• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institute of food Technologist di dalam Arpah (2001) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat- sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan menurut Floros (1993) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu.

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan

irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu, hasil reaksi tersebut menyebabkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui batas masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Pendugaan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk pangan selama selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume.

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies

(ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS).

ESS sering disebut juga metode konvensional, yaitu penetapan kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal

sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001).

Berbeda halnya dengan metode ESS, metode ASS membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati perubahan parameter yang berlangsung (Arpah, 2001).

Metode akselerasi ini pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1.) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2.) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika di mana mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahapan-tahapannya tidak menjadi fokus perhatian, namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung. Laju reaksi pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).

Pendekatan semi empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan produk pangan akan mengikuti pola reaksi.

A produk intermediat B

Dalam kondisi ini konsentrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi yang diukur adalah perubahan konsentrasi intermediet terhadap waktu.

Perubahan konsentrasi dianggap proporsional terhadap penurunan konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B.

n

atau

n

Di mana:

[A] = penurunan konsentrasi A yang dikorelasikan dengan mutu produk [B] = peningkatan konsentrasi B yang dikorelasika dengan mutu produk t = waktu

k = laju reaksi n = ordo reaksi

Persamaan ini diterapkan pada penentuan umur simpan dilakukan dengan menentukan konsentrasi kriteria A atau B di mana pengaruhnya terhadap mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat diterima konsumen.

Menurut Syarief dan Halid (1993), untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan kadaan mutu produk yang diamati. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, atau uji mikrobiologi, seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, skor uji cita rasa,

tekstur, warna, total mikroba, dan sebagaimya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berbentuk bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk suatu produk, yang diukur tidak semua parameter, melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Metode akselerasi (model Arrhenius) dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan dalan persamaan Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap parameter produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi laju reaksi berbagai

senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula penurunan mutu produk (Haryadi et al., 2006).

Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius menurut Syarief dan Halid (1993) adalah:

1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.

3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses- proses yang terjadi sebelumnya.

4. Suhu selama penyimpanann tetap atau dianggap tetap.

Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar, 2006).

Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan nilai temperatur yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan temperatur menggunakan persamaan Arrhenius:

k = koe-(Ea/RT)

atau dalam bentuk logaritma

ln k = ln ko – {Ea/R}1/T

atau dalam bentuk persamaan linear

y = b +ax di mana y = ln k; x = 1/T

1. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak (ketengikan pada snacks dan dry food), pencoklatan enzimatis dan non enzimatis (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo nol yaitu: (Arpah, 2001)

Keterangan:

dA = perubahan parameter mutu

dt = waktu penyimpanan

k = konstanta

Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:

At= Aok.t

Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan:

t = (A0At)/k

Keterangan:

t = umur simpan hari

Ao = nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula

At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluwarsa (titik

kritis)

k = konstanta 2. Reaksi Ordo Satu

Penurunan mutu yang mengikuti ordo reksi satu meliputi ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo satu yaitu: (Arpah, 2001)

= k [ A] Keterangan:

[ A] = konsentrasi A

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

atau

ln (At) = ln (Ao) – k.t

3. Reaksi Ordo Lain

Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti orde ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al., 2006). Contoh persamaan reaksi ordo dua yaitu: (Arpah, 2001)

= k [ A]2 Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari tepung hotong, tepung terigu dan air. Bahan-bahan lainnya antara lain: CMC, garam dapur (NaCl), baking powder, dan minyak goreng. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik

Low Density Polyethylene (LDPE). Bahan yang digunakan untuk analisis lemak adalah pelarut heksana dan kertas saring. Bahan yang digunakan untuk analisis protein adalah air raksa oksida (HgO), bubuk kalium sulfat (K2SO4),

larutan asam sulfat (H2SO4) pekat, campuran larutan NaOH-Na2S2O3, larutan

asam borat (H3B03) jenuh 3%, larutan asam klorida (HCl) 0.02N, aquades,

indikator campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol. Bahan yang digunakan untuk analisis bilangan TBA adalah aquades, larutan asan klorida (HCl) 4M, bubuk pereaksi TBA, asam asetat glasial 90%, dan bahan antibusa (antibuiha).

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung hotong adalah cabinet dryer, disc mill, dan vibrating screen. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan mi hotong instan diantaranya adalah timbangan analitik, gelas ukur, hand mixer, baskom, alat pembuat lembaran mi (sheeter), alat pemotong untaian mi (slitter), jangka sorong, tray, pisau, alat penggorengan deep fat fryer, dan sealer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kadar air adalah timbangan analitik, mortar, cawan alumunium, oven pengering, dan desikator. Alat yang digunakan untuk analisis kadar abu adalah neraca analitik, mortar, cawan porselen, pembakar bunsen, tanur, dan desikator. Alat yang digunakan untuk analisis kadar protein diantaranya adalah neraca analitik, mortar, spatula, labu dan alat destilasi Kjeldahl, botol semprot, pengaduk kaca, gelas piala, corong kaca, labu Erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet tetes, pipet mohr, bulb, dan buret. Alat yang digunakan untuk analisis kadar lemak diantaranya adalah neraca analitik, mortar, spatula, labu dan alat ekstraksi Soxhlet, serta oven pengering. Alat yang digunakan untuk analisis bilangan TBA diantaranya adalah timbangan analitik, hand blender, spatula, gelas ukur,

pipet mohr, pipet tetes, tabung reaksi bertutup, gelas piala, labu Erlenmeyer, alat pemanas, dan alat destilasi (kondensor). Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik diantaranya chromameter dan texture analyzer. Alat yang digunakan untuk penyimpanan adalah inkubator.

Dokumen terkait