• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN DENGAN SUBSTITUSI TERIGU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE

AKSELERASI

Oleh: SIYAM SUSENO

F24050340

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN DENGAN SUBSTITUSI TERIGU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE

AKSELERASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: SIYAM SUSENO

F24050340

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu

dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi Nama : Siyam Suseno

NIM : F24050340

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc.) (Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc.) NIP. 19530815.197903.1.002 NIP. 19650729.199002.1.002

Mengetahui, Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP. 19650814.199002.1.001

(4)

Siyam Suseno. F24050340. Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi. Di bawah bimbingan Budiatman Satiawihardja dan Sugiyono. 2010.

RINGKASAN

Tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan sejenis tanaman padi yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman/adat di wilayah Kabupaten Buru (Maluku). Penetapan tanaman hotong sebagai komoditas pangan alternatif adalah pilihan yang tepat karena beberapa pertimbangan penting, antara lain: (a) adaptif terhadap lahan marjinal dan iklim kering, (b) umur pendek (80-90 hari), (c) hasil panen dapat disimpan bertahun-tahun (mencapai 20 bertahun-tahun), dan (d) mengandung karbohidrat relatif tinggi (sama dengan beras) dan protein tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut adalah dengan rekayasa cara pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan masyarakat terhadap hotong meningkat. Salah satu alternatif pengolahannya ialah dengan membuat hotong menjadi mi instan. Untuk memperbaiki karakteristik mi yang dihasilkan digunakan substitusi terigu.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula dan proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi terigu terbaik yang memiliki karakteristik fisik yang dapat diterima konsumen secara sensori beserta pendugaan umur simpannya. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah komoditas buru hotong.

Pembuatan tepung hotong menghasilkan tepung hotong 100 mesh dengan kandungan air 9.39%, abu 1.85%, protein 13.35%, lemak 6.96%, dan karbohidrat 68.45% dengan rendemen 31.10%.

Pembuatan mi hotong instan substitusi terigu dilakukan melalui tiga tahap yaitu, penentuan jumlah air, penentuan tingkat substitusi terigu, dan penentuan parameter proses pembuatan mi hotong instan. Formula terbaik dipilih berdasarkan penilaian panelis melalui uji rating hedonik terhadap mi instan sebelum dimasak (mentah) dan setelah dimasak (matang) terhadap atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Berdasarkan uji tersebut, diperoleh satu produk yang terbaik, yaitu mi hotong instan dengan substitusi terigu 40% (dari campuran tepung) dengan penambahan air sebanyak 50% dan waktu penggorengan selama 2 menit pada suhu 160⁰C.

Berdasarkan analisis kimia produk mi hotong instan terbaik memiliki kadar air 6.04%, abu 2.26%, protein 11.38%, lemak 20.53%, dan karbohidrat 59.79%. Produk tersebut mimpunyai karakter warna dengan nilai L sebesar 52.36, nilai a sebesar +5.67, nilai b sebesar +24.77 dan nilai ⁰hue 77.11 atau berwana campuran kuning-merah. Nilai kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan produk mi hotong instan terbaik berturut-turut 1893.10 gf, 557.35 gf, dan 0.285 gs. Nilai daya serap air (DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) masing masing 157.60% dan 10.26%, sedangkan waktu pemasakannya antara 4.5-6.5 menit menit.

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Atas kehendak dan karunia-Nya, penelitian dan skripsi yang berjudul “Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dapat diselesaikan atas sumbangan pemikiran dan masukan dari pembimbing serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, saran, bantuan dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan izin untuk mengerjakan proyek penelitian ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, saran, dan masukan bagi penulis.

3. Dr. Fahim Muchammad Taqi, STP., DEA yang telah bersedia mengalokasikan waktu sebagai dosen penguji.

4. Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Badan Litbang Departemen Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. selaku penanggung jawab dan Iin Yusliana, STP. selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian.

(7)

selama ini. Berkat doa dan dukungan kalian semua baik yang berupa materil maupun non materil.

6. Teknisi dan Laboran Laboratorium ITP dan SEAFAST Center: Pak Wahid, Pak Rojak, Pak Sidik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Bu Antin, Pak Nurwanto, Pak Junaedi, dan Bu Sri, terima kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

7. Teman-teman semua yang telah membantu penelitian, memberikan motivasi dan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT menerima dan membalas seluruh kebaikan yang telah dilakukan.

Bogor, April 2010

(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 19 Mei 1987 sebagai anak keenam dari pasangan Sumarjo dan Kasini. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di SD Negeri Karangrena IV, SLTP Negeri 2 Maos dan SMA Negeri 1 Cilacap. Kemudian penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Partanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2005, dan masuk pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah tergabung dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi Staf Divisi Profesi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain sebagai Guide dalam acara Open House Asrama Putra TPB IPB, Sie Pubdekdok dalam acara Seminar dan Pelatihan HACCP, dan lain-lain.

Penulis juga pernah mengikuti acara-acara seminar atau pelatihan, diantaranya Seminar Indonesian Food Expo 2007, Seminar Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi Tingkat Nasional, yang diselenggarakan oleh HIMITEPA IPB, Lokakarya Nasional Akselerasi Industrialisasi Tepung Cassava untuk Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional, Pelatihan Sistem Manajemen Halal, dan lain-lain.

(9)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 4

C. MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN HOTONG ... 5

B. PATI ... 12

C. GELATINISASI PATI ... 16

D. MI ... 22

E. MI INSTAN ... 23

F. PENGGORENGAN ... 25

G. UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI ... 27

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 34

B. METODE PENELITIAN ... 35

1. Pembuatan Tepung Hotong ... 37

2. Seleksi Perlakuan Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ... 38

1. Penentuan Jumlah Air ... 38

2. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu ... 38

3. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi hotong Instan 39

(10)

C. METODE ANALISIS ... 44

1. Uji Organoleptik ... 44

2. Analisis Statistik ... 44

3. Analisis Proksimat ... 44

a. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) ... 45

b. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995) .... 45

c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 960.52 yang Dimodifikasi) ... 45

d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) ... 46

d. Kadar Karbohidrat (By Difference) ... 47

4. Analisis Fisik ... 47

a. Warna dengan Chromameter (Huthcing, 1999) ... 47

b. Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan dengan Texture Analyzer TAXT-2 ... 48

c. Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985) ... 49

d. Waktu Pemasakan ... 49

5. Analisis Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) ... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN TEPUNG HOTONG ... 51

1. Pembuatan Tepung Hotong ... 51

2. Analisis Proksimat Tepung Hotong ... 51

B. PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN ... 52

1. Penentuan Jumlah Air ... 52

2. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu ... 54

3. Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ... 56

4. Penentuan Produk Mi Hotong Instan Terbaik ... 50

i. Warna ... 60

ii. Aroma ... 61

iii. Rasa ... 61

(11)

v. Uji Pembobotan ... 62

a. Mi Mentah ... 63

b. Mi Matang ... 65

5. Analisis Proksimat dan Fisik Produk Mi Hotong Instan Terbaik 66

a. Analisis Proksimat ... 66

b. Analisis Warna ... 69

c. Analisis Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan ... 70

d. Daya Serap Air (DSA) dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 72

e. Waktu Pemasakan ... 73

C. PENDUGAAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS) ... 74

1. Uji Organoleptik Off Flavor (Ketengikan) Mi Hotong Instan ... 76

2. Pengukuran Bilangan TBA ... 81

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN... 87

B. SARAN ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia biji hotong dibandingkan dengan hermada dan

beras ... 9

Tabel 7. Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin ... 16

Tabel 8. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati ... 21

Tabel 9. Hasil analisis proksimat tepung hotong ... 52

Tabel 10. Karakter adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda untuk terigu 10% dari bahan campuran tepung ... 53

Tabel 11. Karakter lembaran dan untaian mi pada tingkat substitusi terigu berbeda dengan penambahan air 50% dari bahan campuran tepung 55

Tabel 12. Hasil percobaan pengukusan mi basah dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih ... 57

Tabel 13. Karakteristik produk mi hotong instan hasil penggorengan dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih ... 58

Tabel 14. Hasil pembobotan pada setiap atribut mi hotong ... 63

Tabel 15. Hasil analisis proksimat mi hotong instan substitusi terigu 40% dan mi hotong instan tanpa substitusi ... 67

Tabel 16. Nilai ⁰hue dan daerah kisaran warna kromatis ... 69

Tabel 17. Perbandingan nilai kekerasan dan kelengketan antara mi hotong instan tanpa substitusi dengan mi hotong instan substitusi terigu 40% ... 70

Tabel 18. Perbandingan nilai DSA dan KPAP antara mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu 40%, dan mi instan terigu ... 73

Tabel 19. Skor rata-rata uji organoleptik ketengikan mi hotong instan substitusi terigu 40% pada berbagai suhu selama proses penyimpanan ... 76

Tabel 20. Tabulasi nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter ketengikan secara organoleptik ... 79

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 11. Diagram alir proses pembuatan mi hotong instan substitusi terigu 60

Gambar 12. Mi hotong instan mentah: (a) formula A, (b) formula B, dan (c) formula C ... 62

Gambar 13. Hubungan antara ketiga sampel mi mentah dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis ... 64

Gambar 14. Hubungan antara ketiga sampel mi matang dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis ... 65

Gambar 15. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 32⁰C ... 78

Gambar 16. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 45⁰C ... 78

Gambar 17. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 50⁰C ... 78

Gambar 18. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter ketengikan secara organoleptik ... 79

Gambar 19. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 32⁰C ... 82

Gambar 20. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 45⁰C ... 82

Gambar 21. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 50⁰C ... 82

Gambar 22. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter pengukuran nilai bilangan TBA ... 83

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Syarat mutu mi instan terigu menurut SNI 01-3551-1994 ... 98 Lampiran 2. Contoh kuesioner uji rating hedonik ... 99 Lampiran 3. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan

mentah ... 100 Lampiran 4. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan

matang ... 101 Lampiran 5. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut

hedonik terhadap mi mentah ... 102 Lampiran 6. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong

instan mentah ... 103 Lampiran 7. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut

hedonik terhadap mi matang ... 104 Lampiran 8. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong

instan matang ... 105 Lampiran 9. Contoh kuesioner uji rating off flavor (ketengikan) ... 106 Lampiran 10. Skor organoleptik off flavor (ketengikan) mi hotong instan

substitusi terigu 40% pada berbagai tingkat suhu dan hari

penyimpanan ... 107 Lampiran 11. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi

terigu 40% berdasarkan uji sensori terhadap tingkat

ketengikan ... 108 Lampiran 12. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi

(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia karena pangan berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Ketahanan pangan bagi suatu negara sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena ketahanan pangan suatu negara sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakatnya. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim, memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial. Sewajarnya, pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduknya harus dapat dipenuhi, terutama pemenuhan dalam hal kebutuhan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.

Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan ekstensifikasi, intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Ekstensifikasi diarahkan pada pemanfaatan lahan kering yang merupakan bagian terbesar dari potensi lahan. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan kering (Herodian et al., 2008).

Dewasa ini, daya dukung lingkungan semakin menurun sehingga ketersediaan bahan pangan juga semakin berkurang. Berkurangnya kemampuan produksi pangan dalam negeri itu terjadi karena meningkatnya penggunaan konversi lahan di daerah-daerah pertanian dan perkebunan potensial menjadi daerah pemukiman dan industri. Akibatnya, produksi pangan dalam negeri tidak dapat mengimbangi kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Dampaknya, negara mendatangkan bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat dari luar negeri. Contoh kasus pada tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras dan terigu. Volume impor terigu di Indonesia cukup besar dengan harga yang terus meningkat (Herodian et al., 2008).

(17)

berbasis sumber pangan lokal yang potensial sebagai penyedia sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras. Namun, program diversifikasi pangan akan menjadi keliru jika justru bahan pangan berasal dari impor seperti terigu yang menjadi solusinya. Dampak kebijakan insidental pemerintah yang menyetujui menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) tepung terigu dan harga terigu yang murah mengakibatkan perubahan pola konsumsi warga ke berbagai produk pangan olahan terigu. Substitusi beras ke terigu bermakna dari sisi diversifikasi karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras. Namun, hal ini akan membuat ketergantungan terhadap terigu.

Di Indonesia tidak ada petani yang menanam gandum yang merupakan bahan baku terigu, tetapi konsumsi terigu terus meningkat setiap tahunnya (17.11 kg per kapita). Konsumsi terigu Indonesia meningkat sangat signifikan dari 9.9 kg per kapita pada 2002, menjadi 17.11 kg per kapita pada 2007 atau sekitar 12% dari konsumsi pangan Indonesia. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-6 importir terbesar di dunia setelah Brasil, Mesir, Iran, Jepang, dan Algeria (Kusmuljono, 2009).

Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi terigu di Indonesia pada 2003 mencapai 19.8 gram per kapita per hari dan meningkat pada 2006 yang mencapai 22.6 gram per kapita per hari serta mencapai 38 gram per kapita per hari pada 2008 (Andrian 2009). Diperkirakan kebutuhan terigu rata-rata tumbuh minimal 5 persen per tahun (Andrian 2009). Menurut catatan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), total kebutuhan terigu setara dengan sekitar 4.5 hingga 5 juta ton biji gandum yang seluruhnya masih diimpor (Andrian 2009). Volume impor tepung terigu hingga bulan Maret tahun 2009 melonjak hingga dua kali lipat daripada periode yang sama tahun 2008. Konsumsi terigu saat ini diperkirakan sebesar 17 kg/kapita/tahun. Impor di bulan Januari 2009 mencapai 9,475 ton, bulan Februari mencapai 35,021 ton, dan bulan Maret sebesar 49,632 ton (Melyani, 2010).

(18)

seperti mi, roti, kue, dan sebagainya, yang dikonsumsi di hampir setiap rumah tangga, yang meliputi segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan ke atas. Bahkan dalam kondisi bencana, bahan olahan terigu terutama mi instan menjadi produk utama untuk dikirim ke daerah bencana. Penelitian yang dilakukan Herodian et al. (2008) telah mencoba mengembangkan produk pangan alternatif berbahan baku komoditi indigenous

lokal daerah sebagai sarana diversifikasi pangan, yakni salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.).

Tanaman ini telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman/adat di wilayah Kabupaten Buru dan memiliki nilai budaya dan adat tinggi hingga saat ini masih tetap dijaga. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi, lebih mirip alang-alang, yang tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif yang tumbuh dengan baik di lahan kering dan marjinal. Selain itu, hasil analisis laboratorium IPB menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat pada biji hotong sama seperti pada beras, bahkan kandungan protein dan lemak lebih tinggi daripada beras, kentang dan sumber karbohidrat lainnya (Herodian et al., 2008).

Penetapan tanaman hotong sebagai komoditas pangan alternatif adalah pilihan yang tepat karena beberapa pertimbangan penting, antara lain: (a) adaptif terhadap lahan marjinal dan iklim kering, (b) umur pendek (80-90 hari), (c) hasil panen dapat disimpan bertahun-tahun (mencapai 20 tahun), dan (d) mengandung karbohidrat relatif tinggi (sama dengan beras) dan protein tinggi (Herodian et al., 2008).

(19)

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula dan proses pembuatan mi hotong instan dengan sustitusi terigu terbaik yang memiliki karakteristik fisik yang dapat diterima konsumen secara sensori beserta pendugaan umur simpannya.

C. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: Meningkatkan nilai tambah komoditas buru hotong.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN HOTONG

Tanaman hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan tanaman serealia sejenis padi atau alang-alang. Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang biasanya tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi tanaman 60-150 cm (Dassanayake, 1994). Menurut Doust et al. (2009) tanaman hotong memiliki perawakan yang kecil dengan tinggi tanaman antara 20-215 cm. Tanaman ini berbentuk batang dengan sedikit cabang dan sistem perakaran yang dalam. Umur panennya adalah 8-15 minggu setelah tanam, dengan waktu berbunga antara 5-8 minggu setelah tanam. Tanaman hotong memiliki beberapa nama lain diantaranya foxtail millet, Italian millet, dan giant millet. Morfologi tanaman hotong disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi tanaman hotong

Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Tanaman hotong dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan (Herodian et al., 2008). Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian antara 0-2000 meter dari permukaan laut di wilayah tropis dan subtropis. Tanaman hotong dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur. Hal ini disebabkan tanaman ini memiliki karakter dinding sel tebal, distribusi akar yang padat, dan daun

Keterangan:

(21)

yang sempit sehingga efisien dalam penggunaan air (Zhang et al., 2007 dan Li, 1997). Oleh sebab itu, tanaman ini sering ditanam pada musim kering atau kemarau. Selain itu, tanaman hotong juga memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi (Zhang et al., 2007 dan Veeranagamallaiah et al., 2008). Waktu penanaman terbaik adalah pada bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus pada daerah-daerah beriklim tropis, misalnya di wilayah India bagian selatan (Khrisiworld, 2005).

Tanaman hotong termasuk dalam kelas Monocotyledone, famili Poaceae

(Dassanayake, 1994). Botani tanaman buru hotong dapat dilihat sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Division : Magnoliophyta (Angiospermae)

Class : Liliopsida

Subclass : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Family : Poaceae (Graminae)

Genus : Setaria Beauv.

Species : Setaria italica (L.) Beauv.

Menurut Sreenivasulu et al. (2004) dan Bai et al. (2009), hotong merupakan komoditas pertanian penting yang ditanam di India, China, dan Jepang. Hotong sering ditanam di lahan kering dan kadar garam tinggi. Selain itu, tanaman hotong juga ditanam di Australia, Afrika Utara, dan Amerika Selatan. Di Indonesia, tanaman hotong ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Pulau Buru (Maluku). Budidaya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dijadikan tanaman pangan alternatif pengganti beras (Herodian et al., 2008). Karena pembudidayaanya hanya terbatas di Pulau Buru, hotong di Indonesia sering disebut buru hotong.

(22)

Malai sebenarnya merupakan lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin ke ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji hotong. Panjang malai hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 gram per malai. Biji hotong memiliki panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Tanaman buru hotong beserta bijinya disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. (a) Tanaman buru hotong, dan (b) biji hotong

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budidaya (Prakoso, 2006). Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah alluvial, bahkan pada tanah liat. Budidaya tanaman hotong pada tanah dengan komposisi liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perlokasi air tanah, karena tanaman hotong memerlukan drainase yang baik (Prakoso, 2006). Tanaman hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanah ini harus bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik.

Varietas tanaman hotong yang dibudidayakan saat ini lebih dari satu spesies. Tiga spesies hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L.) Beauv, Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa (Dassanayake, 1994). Varietas tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah Setaria italica (L.) Beauv.

(23)

Buru hotong bukan hal baru di kalangan masyarakat Pulau Buru, sebab selama ini tanaman buru hotong telah dibudidayakan oleh para petani untuk dijadikan sebagai tanaman sela. Buru hotong dapat segera dimanfaatkan setelah dipanen. Penanganan buru hotong setelah pemanenan adalah melalui tahap pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan, penepungan, dan penyimpanan. Kegiatan pemanenan dilakukan ketika buru hotong sudah cukup tua. Panen dilakukan pada saat malai mulai berwarna kecoklatan dengan keseragaman warna mencapai 90% (Sutanto, 2006).

Setelah dipanen, buru hotong dirontokkan dari malainya. Perontokan biji dari malai biasanya sebelum dikeringkan. Perontokan buru hotong dilakukan dengan cara manual dan semi-mekanis. Biji-biji yang sudah dirontokkan dibersihkan dari tangkai, jerami, biji hampa dan pengotor-pengotor lainnya (Sutanto, 2006). Setelah melewati proses pembersihan, buru hotong dikeringkan dengan pengering buatan maupun sinar matahari. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 13%. Apabila menggunakan sinar matahari, waktu rata-rata yang diperlukan agar biji sampai kering adalah 3-4 hari tergantung kondisi cuaca.

Proses setelah pengeringan adalah penyosohan. Penyosohan bertujuan memisahkan kulit (sekam) dari bulir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit maksimum (Sutanto, 2006). Menurut Kalabadi (2007), proses penyosohan biji buru hotong sudah termasuk di dalam proses pengupasan biji buru hotong (pemisahan sekam). Hal ini disebabkan biji hotong sangat kecil dan pericarpnya mudah dilepaskan dari biji (McDonough and Rooney, 2000). Setelah itu dapat dilakukan penepungan biji hotong (Sutanto, 2006).

(24)

Menurut Antony et al. (1996), hotong dapat dikonsumsi dalam bentuk

whole grain atau diolah secara manual. Biji hotong dapat dimanfaatkan sebagai pangganti beras dan sebagai bahan untuk produk pangan lain seperti wajik dan bubur (Herodian et al., 2008). Biji hotong yang diolah secara manual dibuat menjadi bubur dan roti (Antony et al., 1996). Hotong memiliki nutrisi yang lebih baik daripada beras dan gandum. Semua komponen gizi dalam hotong menjadikan hotong memiliki kegunaan yang tepat sebagai bahan baku produk pangan seperti makanan bayi, snack, makanan untuk diet, dan lain lain baik biji maupun tepungnya (Hadimani et al., 2001 dan Subramanian dan Viswanathan, 2007).

Komponen utama dalam hotong adalah karbohidrat protein dan lemak (Gu dan Li, 1986), namun terdapat juga gula bebas dan pilosakarida non karbohidrat (Malleshi et al., 1986; Kato et al., 1989). Rokhani et al. (2003) melaporkan bahwa biji buru hotong memiliki kandungan lemak dan protein yang cukup tinggi, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada biji hermada (Sorghum bicolour (L.) Moench). Kandungan lemak biji hotong sebesar 2.4% sedangkan kandungan protein sebesar 11.2%. Komposisi kimia biji buru hotong, biji hermada, dan beras disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia biji hotong dibandingkan dengan hermada dan beras

Komponen Hermadaa) Hotonga) Berasb)

Karbohidrat 72 73.4 78.9 + 0.70

Protein 11.3 11.2 8.37 + 0.60

Lemak 5.2 2.4 1.04 + 0.04

Serat kasar 8.5 - 6.60 + 0.00

Abu 3.3 1.3 0.80 + 0.20

Sumber: a) Rokhani et al. (2003) b) Junhua et al. (2005)

(25)

memiliki komposisi yang tidak jauh berbeda, antara bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian ujung malai. Komposisi kimia biji bagian-bagian malai buru hotong disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia biji bagian-bagian malai buru hotong

Komponen Pangkal (%) Tengah (%) Ujung (%)

Kadar air 11.85 + 0.04 11.82 + 0.05 11.84 + 0.10 Kadar protein 13.18 + 0.14 13.36 + 0.28 13.36 + 0.11 Kadar lemak 3.72 + 0.23 3.84 + 0.32 4.04 + 0.11 Kadar karbohidrat 67.59 + 0.28 67.91 + 0.09 67.49 + 0.21 Kadar abu 3.68 + 0.13 3.08 + 0.07 3.28 + 0.08

Sumber: Sutanto (2006)

Herodian et al. (2008) menyatakan bahwa hotong termasuk ke dalam komoditas berkadar amilosa sedang, bila diolah akan menghasilkan produk dengan tingkat kepulenan sedang. Selain itu, daya cerna pati in vitro biji sebesar 53.60% dan tepung hotong 50.78% lebih rendah dibandingkan dengan daya cerna beras (62-81%). Hal ini menunjukkan tingkat kecernaan hotong lebih rendah dibandingkan beras, dan memberi harapan bahwa produk-produk berbasis tepung hotong akan menghasilkan indeks glikemik yang cenderung rendah. Tabel 3 berikut menunjukkan kandungan kimia buru hotong.

Tabel 3. Kandungan kimia buru hotong

Komponen (%) Biji Tepung

Amilosa 23.17 24.72

Daya cerna pati 53.60 50.78

Serat pangan tidak larut 7.44 6.69

Serat pangan larut 3.63 2.99

Total serat pangan 11.06 9.68

Tanin 0.22 0.06

Vitamin E 44.5 50.90

(26)

Penelitian (Wibowo, 2008), mengolah biji hotong menjadi produk mi instan. Formula mi instan hotong tersebut terdiri atas 100% tepung hotong, air 30%, garam 1%, CMC 1%, dan baking powder 0.3% dengan basis 300 gram tepung hotong. Karakteristik mi instan yang dihasilkan cukup baik, seperti disajikan pada Tabel 4.

Tebel 4. Karakteristik mi instan hotong

Parameter Nilai Kadar karbohidrat 71.33% (bb) 73.03% (bk)

Fisik

Prasetyo (2008) melaporkan bahwa produk olahan buru hotong (kukis, mi instan, dan snack) tergolong pangan dengan indeks glikemik yang rendah, sedangkan bubur instan tergolong ke dalam pangan dengan indeks glikemik sedang. Karena nilai indeks glikemiknya yang rendah, kukis, mi instan, dan

(27)

energi/tenaga. Nilai indeks glikemik beberapa produk olahan hotong disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai indeks glikemik produk olahan buru hotong

Produk olahan buru hotong Indeks glikemik

Kukis hotong 47.25

Mi instan hotong 48.45

Bubur instan hotong 59.57

Snack hotong 45.32

Sumber : Prasetyo (2008)

B. PATI

Pati merupakan komponen terbanyak dalam serealia dan umbi-umbian serta bersifat penting karena mempunyai sifat fungsional yang kompleks. Pada tanaman, pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan oleh tubuh dalam proses metabolisme sebagai cadangan makanan (Pomeranz, 1971). Pati adalah homopolimer yang tersusun atas satu jenis unit monomer glukosa (homoglikan) yang dihubungkan dengan ikatan glukosida (α -glikosidik). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari sumber dan panjang rantai unit monomernya.

Sebagai cadangan makanan, pati terdapat dalam bentuk butir kecil atau granula yang tersimpan di dalam sel tanaman di dalam biji atau umbi tanaman (Hodge dan Osman, 1976). Menurut Pandanwangi (1984), pati tersusun atas kumpulan butiran-butiran granula, berwarna putih, mengkilap, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati setidaknya mangandung tiga komoponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara (Manley, 1983). Ukuran dan bentuk dari granula pati berbeda untuk setiap jenis tanaman.

(28)

Pembengkakan granula pati pada air dingin bersifat terbatas karena penetrasi air ke dalam granula dihambat oleh ikatan intermolekuler yang kuat. Pembengkakan pati pada mualnya bersifat reversible, yaitu granula pati yang telah mengalami pembengkakan dapat kembali pada kondisi semula. Namun dapat menjadi irreversible jika terus dipanaskan dengan suhu tinggi. Sifat pembengkakan yang reversible masih dapat bertahan sampai pada pemanasan suhu sekitar 60⁰C (Osman, 1972).

Granula pati tersusun atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1997). Berdasarkan kedua fraksi tersebut, terdapat dua jenis pati yaitu pati waxy dan non waxy. Pati non waxy mengandung komponen amilosa dan amilopektin, sedangkan pati waxy hanya mengandung amilopektin dan tidak mengandung amilosa atau sangat sedikit mengandung amilosa (Nakamura et al., 1995).

Fraksi dari pati yang terlarut dalam air panas adalah amilosa. Amilosa merupakan rantai lurus dari unit D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan

α-(1,4)-D-glukosa. Amilosa terbentuk dari monomer glukosa yang bergabung dengan mengeliminasi satu molekul air pada setiap ikatan (Juliano, 1985). Sebuah rantai amilosa mengandung lebih dari 250-2000 unit D-glukosa yang satu sama lain diikat oleh ikatan α-(1,4) glikosidik.

Kadang-kadang pada amilosa juga terdapat percabangan molekul, namun jumlahnya sangat terbatas. Percabangan akan timbul kurang lebih setelah 500 unit glukosa membentuk rantai lurus. Rantai lurus dan sifat hidrofilik amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabakan afinitas amilosa dalam air akan menurun.

(29)

pera) memiliki sifat pera. Umumnya pati memiliki kadar amilosa sekitar 25% (Fennema, 1996). Kadar amilosa bervariasi tergantung jenis sumber patinya (Tabel 6).

Tabel 6. Kadar amilosa beberapa jenis pati

Jenis pati Kadar amilosa (%)

Jagung 28

Kentang 21

Tapioka 17

Gandum 28

Hotong (foxtail millet)* 11.4-27.1

Sumber: Fennema (1996)

*

Fujita et al. (1996)

(30)

Gambar 3. Struktur kimia amilosa

Amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekul yang kuat. Hal ini terjadi bila larutan pekat amilosa didinginkan perlahan-lahan. Kristalisasi sering pula dilihat sebagai retrogradasi, yaitu proses di mana molekul pati menjadi tidak larut dalam air secara irreversible

sehubungan dengan pembentukan ikatan molekul yang kuat.

Fraksi kedua dari pati adalah amilopektin. Amilopektin merupakan polimer dari D-glukosa yang mempunyai rantai lurus dan percabangan. Amilopektin mempunyai ikatan α-(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya dan

ikatan β-(1,6)-D-glukosa pada titik percabangannya (Gambar 4). Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Winarno, 1997). Molekul amilopektin tersusun atas baratus-ratus cabang dan mempunyai sekitar 105-106 unit glukosa dengan berat molekul sekitar 1.6 x107-1.6x108 gram/mol. Amilopektin memiliki bentuk globula yang memeperlihatkan peningkatan pembengkakan dan viskositas yang lebih tinggi dibanding amilosa dalam larutan.

Gambar 4. Struktur kimia amilopektin

(31)

yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan 25 unit glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak. Proses kristalisasi amilopektin berbeda dengan amilosa. Pada amilopektin, kristalisasi terhalang oleh rantai cabang polimer. Hal ini dikarenakan kristalisasi dipengaruhi oleh keteraturan dan bentuk polimer.

Menurut Hart dan Schemets (1972), dua jenis fraksi molekul pati tersebut, yaitu amilosa dan amilopektin yang memiliki sifat berbeda. Amilosa yang merupakan polimer linear dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa memiliki sifat larut dalam air panas. Amilopektin yang merupakan polimer bercabang dengan ikatan β-(1,6)-D-glukosa tidak larut dalam air panas. Derajat polimerisasi amilosa dan amilopektin pun berbeda. Derajat polimerisasi amilopektin lebih tinggi dibandingkan amilosa. Amilosa memberikan kompleks warna biru sewaktu bereaksi dengan iodin, sedangkan amilopektin memberikan kompleks warna ungu sewaktu berinteraksi dengan iodin (Baianu, 1992). Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin

Sifat komponen Amilosa Amilopektin

Struktur Tidak bercabang Bercabang

Panjang rantai rata-rata 103 20-25 Derajat polimerisasi 103 104-105 Stabilitas dalam larutan Tidak stabil/retrogradasi Stabil

Pewarnnaan Iod Biru tua Ungu

Konversi menjadi maltose %

(32)

sekaligus sebagai bahan pengikat. Pati yang tergelatinisasi merupakan bahan pengikat matriks adonan yang cukup baik. Beberapa prinsip dasar gelatinisasi yaitu konsep dan mekanisme gelatinisasi pati, suhu gelatinisasi, serta sifat

birefringence.

Konsep dan mekanisme gelatinisasi pati

Gelatinisasi pati adalah proses kompleks bersifat irreversible. Pada saat gelatinisasi pati granula pati membengkak secara irreversible (Winarno, 1997). Gelatinisasi pati ditandai dengan menghilangnya garis polarisasi (birefringence), peningkatan transmitan optis dan peningkatan viskositas (Swinkels, 1985).

Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dimulai ketika pati diberi air. Pemberian air pada pati akan memisahkan kristalinitas amilosa dan menggangu struktur heliksnya. Granula pati kemudian mengembang dan volumenya menjadi 20-30 kalinya. Apabila panas dan air diberikan terus maka amilosa mulai keluar dari granula. Apabila proses gelatinisasi terus berlangsung maka granula menjadi pecah dan terbentuklah struktur gel koloidal.

Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi pati terjadi dalam tiga tahap antara lain: (1) granula pati menyerap air sampai batas hampir mengembang di mana air secara perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula; (2) granula mengembang secara cepat karena menyerap air sampai kehilangan sifat birefringencenya; (3) jika cukup air dan suhu terus naik maka granula pecah sehingga molekul amilosa keluar dari granula.

Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan kemampuan membengkaknya terbatas. Air yang dapat diserap hanya sampai mencapai 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air dengan suhu 55⁰C-65⁰C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya,

(33)

kembali lagi pada kondisi semula (irreversible). Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997).

Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi mengalami pengembangan volume jika suspensi air-pati dipanaskan (Hodge dan Osman, 1976). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979). Selanjutnya pemanasan akan lebih merenggangkan misela, sehingga air akan lebih banyak terperangkap dalam granula. Setelah itu granula semakin membesar hingga pati kehilangan struktrur kristalnya sama sekali (Hodge dan Osman, 1976).

Selain fenomena gelatinisasi, pati juga dapat mengalami retrogradasi dan sineresis. Apabila pati yang telah tergelatinisasi tidak mengalami pemanasan lebih lanjut, maka pati tersebut akan mengalami pengkristalan. Pengkristalan tersebut terus meluas dan menyebabkan pengerasan struktur gel (Osman, 1972). Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Bila gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel pati disebut sineresis (Osman, 1972 dan Winarno, 1997).

Perubahan-perubahan selama gelatinisasi pati

Perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati mengalami hidrasi dan pengembangan, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang dengan diikuti semakin kuatnya ikatan antar granula. Kekentalan/viskositas semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan menigkat (Collison, 1968).

(34)

air. Sesudah perusakan granula selesai viskositas/kekentalan pati menurun. Kenaikan dan penurunan viskositas selama pemanasan dapat dideteksi dengan

Brabender amilograph berupa kurva amilografi (Greenwood dan Munro, 1979 dan Hood, 1980).

Ketika suhu naik, granula mengembang dan saling bersinggungan satu dengan yang lain, sehingga viskositas/kekentalan pasta granula pati meningkat. Proses ini berlangsung terus hingga viskositas maksimum tercapai. Pada kondisi ini daya kohesif struktur asli granula pati terlalu lemah. Kemudian dilanjutkan dengan struktur pasta dan viskositas yang menurun, karena kehilangan integritas granula pati.

Menurut McCready (1970), dengan semakin naiknya suhu suspensi pati dalam air maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di sisi lain molekul-molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula. Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya perubahan kekentalan.

(35)

Apabila proses gelatinisasi pati diamati pada variasi suhu untuk setiap jenis pati maka akan terlihat beberapa perubahan. Perubahan tersebut adalah terbentuknya larutan bening dari larutan keruh. Terjadinya pengembangan butir granula pati bersamaan dengan berubahnya kekeruhan tersebut. Berubahnya ukuran granula di dalam air panas mula-mula terjadi dengan tiba-tiba. Pada awalnya, perubahan ini sangat cepat kemudian terjadi peningkatan kekentalan larutan. Hal ini dapat dipergunakan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pati (Winarno, 1997).

Suhu gelatinisasi pati

Suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat birefringence pati mulai menghilang (Fennema, 1996). Menurut Winarno (1997), suhu gelatinisasi pati adalah suhu pada saat granula pati pecah. Menurut Damardjati (1986), dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran.

Menurut Winarno (1997), suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Selain konsentrasi, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh pH larutan. Menurut Winarno (1997), apabila pH terlalu tinggi, pembentuan gel semakin cepat tercapai, namun akan cepat turun kembali. Apabila pH terlalu rendah terbentuknya gel lambat dan apabila pemanasan diteruskan, viskositas akan turun kembali.

(36)

1997). Suhu gelatinisai tidak memiliki hubungan yang jelas dengan kandungan amilosa pati. Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin (Juliano, 1985).

Suhu gelatinisasi pati tidak sama pada berbagai jenis pati (Fennema, 1996). Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi pati berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula pati yang bervariasi dalam hal ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Granula-granula dari jenis pati yang sama mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi sehingga energi yang diperlukan untuk pembengkakan granula juga berbeda. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati

Sumber pati Suhu gelatinisasi (⁰C)

Beras 65-73

Ubi jalar 82-83

Tapioka 59-70

Jagung 61-72

Gandum 53-64

Tepung ketan giling/komersial *) 68-78

Kentang **) 58-68

Sifat birefringence pati yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap-terang (hitam-putih) atau biru-kuning dengan pengamatan mikroskop terpolarisasi. Sifat birefringence dapat diketahui dengan melakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi (polarized microscope). Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat kristal. Pada pati mentah dan belum mendapat perlakuan akan didapati pola

(37)

bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang (Hoseney, 1998). Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence ini akan menghilang (Winarno, 1997).

D. MI

Menurut Hou, G. dan M. Kruk (1998), mi mula-mula berasal dari daratan Cina. Kemudian menyebar ke wilayah Eropa (Itali), hingga sampai kini mi sangat popular hampir di seluruh penjuru dunia terutama Asia bagian timur. Dalam bahasa Inggris mi dikenal sebagai noodle,dalam bahasa Jepang disebur

ramen, udon, dan kisimen, sedangkan dalam bahasa Itali dikenal sebagai

spaghetti. Bahkan di Indonesia pun mi sangat populer. Ini dibuktikan dengan banyak makanan daerah yang menggunakan bahan baku mi (Astawan, 1999). Oleh karena itu, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan utama (Sunaryo, 1985).

(38)

Secara umum, proses pembuatan mi terdiri dari tahap pencampuran bahan, pembuatan adonan, pencetakan, dan pengukusan. Proses pencetakan mi atau ekstrusi dilakukan dengan memipihkan adonan dengan alat roll press dan dicetak menjadi alur-alur sampai diameter 1-2 mm sehingga dihasilkan mi mentah. Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100⁰C selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu kamar akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (penjemuran matahari 60⁰C selama 7 jam) menjadi mi kering. Setelah proses ekstrusi, bila digoreng pada suhu 140-150⁰C sampai kadar air 3-5% dan dikeringkan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985). Walaupun pada prinsipnya mi dibuat dengan cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mi, seperti mi segar/mentah (raw Chinese noodle), mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried noodle), dan mi instan (instant noodle) (Astawan, 1999).

Proses pembuatan mi non-terigu seperti mi bihun, soun, dan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi terigu. Pada proses pembuatan mi non-terigu, adonan mengalami proses pengukusan terlebih dahulu sebelum pembentukan lembaran adonan (pencetakan). Pengukusan ini dilakukan untuk menggelatinisasi pati di dalam adonan sehingga adonan menjadi lebih kompak dan mudah dicetak.

E. MI INSTAN

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3551-1994 mi instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan umumnya dikenal dengan nama ramen. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar, yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan.

(39)

noodle). Mi instan goreng (instant fried noodle) mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan (Astawan, 1999).

Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air. Bahan tambahan yang digunakan antaara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu (Sunaryo, 1985).

Menurut Astawan (1999), tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Keistimewaan terigu di antara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mi menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Fungsi garam dapur adalah memberi rasa, memperkuat tekstur mi, dan mengikat air. Selain itu garam dapur dapat juga menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein. Penggunaan telur terutama putih telur harus secukupnya saja, karena pemakaian yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan mi menyerap air (daya rehidrasi) waktu direbus. Soda abu (baking powder) merupakan campuaran natrium karbonat dan kalium karbonat (1:1). Soda abu berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kahalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 1999).

(40)

Proses pembuatan mi instan terigu terdiri dari beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain persiapan bahan, mixing, rolling dan noodle formation, cutting, steaming, molding, frying, cooling, dan packaging. Proses mixing ini bertujuan untuk mendistribusikan ingridient secara seragam dan membentuk adonan yang kompak. Rolling adalah pembentukan lembaran yang tipis dengan ukuran disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian lembaran adonan dibentuk menjadi untaian mi (noodle formation). Proses selanjutnya adalah

cutting yaitu proses pemotongan untaian mi dengan ukuran tertentu. Proses

steaming adalah proses pengukusan untaian mi (Kim, 1996).

Mi yang telah dipotong sesuai ukuran dan telah dikukus, diletakkan di sebuah wadah yang disebut molder sebelum dilanjutkan ke penggorengan. Proses ini disebut molding. Penggorengan adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai media. Penggorengan dilakukan pada suhu 140-150ºC selama 60-70 detik untuk mi dalam kemasan biasa dan 157-160ºC selama 90-120 detik untuk mi dalam cup. Selama penggorengan terjadi penghilangan air dalam jumlah yang besar dan penyerapan minyak ke dalam mi. Selain itu, penggorengan juga memberikan proses gelatinisasi tambahan pada pati. Oleh karena itu, selama proses penggorengan akan terjadi kehilangan bobot mi sekitar 30-32% (mi dalam kemasan biasa) dan 32-33% (mi dalam cup) (Kim, 1996).

Tahap terakhir yaitu pendinginan (cooling) sebelum mi dikemas. Pendinginan dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Proses pendinginan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi minyak karena suhu mi setelah digoreng cukup tinggi yaitu 140ºC. Setelah didinginkan, mi langsung dikemas (Kim, 1996).

F. PENGGORENGAN

(41)

dimasukan ke dalam minyak panas, temperatur permukaan bahan pangan pun meningkat dengan cepat dan airnya menguap (Fellows, 2000).

Tujuan utama penggorengan adalah untuk mendapatkan karakteristik warna, rasa, aroma pada permukaan makanan yang digoreng. Kualitas bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi reaksi Maillard dan komponen yang terabsorpsi dari minyak. Faktor-faktor utama yang mengontrol perubahan rasa dan warna makanan adalah jenis minyak yang digunakan untuk menggoreng, umur, dan suhu bekas pemakaian minyak, tegangan artifisial antara minyak dan bahan minyak, suhu dan waktu penggorengan, ukuran, kelembaban, dan karakteristik permukaan bahan pangan serta perlakuan setelah penggorengan selesai (Fellows, 2000).

Suhu penggorengan sangat bervariasi dan tergantung pada sifat fisiko kimia dari bahan pangan yang digoreng (Yustica, 1994). Waktu yang dibutuhkan bagi bahan pangan untuk tergoreng sempurna tergantung pada tipe bahan pangannya, suhu minyak, metode penggorengan (shallow atau deep fat frying), ketebalan bahan pangan, dan perubahan kaulitas bahan pangan yang dihasilkan (Fellows, 2000).

Terdapat dua metode utama dalam penggorengan komersial berdasarkan metode transfer panas. Metode penggorengan tersebut adalah shallow dan

deep fat frying. Shallow frying merupakan metode yang cocok untuk bahan pangan dengan area permukaan dan rasio volume yang besar seperti irisan

bacon, telur dadar, dan burger. Sedangkan metode deep fat frying merupakan kombinasi konveksi minyak panas dan konduksi minyak ke dalam bahan pangan (Fellows, 2000).

(42)

Penggorengan makanan ringan di industri pangan biasanya dilakukan dengan menggunakan metode deep fat frying. Mekanisme masuknya minyak ke dalam bahan pangan dalam metode deep fat frying terdiri dari tiga tahap yaitu surface wetting, capillary action, dan vacuum absorption (Fellows, 2000).

Bahan pangan mentah dimasukkan ke dalam penggorengan berisi minyak panas dan terjadi interaksi dengan minyak di seluruh permukaan bahan yang dinamakan surface wetting. Setelah seluruh permukaan bahan pangan terselimuti minyak, penggorengan memasuki tahap selanjutnya yaitu tahap

capillary action. Pada tahap tersebut minyak akan masuk secara kapiler ke dalam pori-pori bahan pangan tetapi belum meresap ke dalam bagian dalam atau bagian tengah bahan pangan. Bahan pangan digoreng dengan pengatur suhu dan lamanya bervariasi tergantung jenis dan ukuran bahan pangan yang digoreng.

Setelah bahan pangan matang, bahan diangkat dan ditiriskan. Pada saat inilah terjadi tahap vacuum absorption. Pada tahap ini, yaitu saat bahan pangan ditiriskan dari minyak dan diletakan di udara luar, tekanan udara di dalam bahan pangan rendah sedangkan tekanan udara di lingkungan tinggi sehingga udara mengalir dari lingkungan ke dalam bahan pangan membawa serta minyak yang ada di permukaan bahan sehingga seluruh minyak masuk ke dalam bahan pangan.

G. UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI

Institute of food Technologist di dalam Arpah (2001) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan menurut Floros (1993) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu.

(43)

irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu, hasil reaksi tersebut menyebabkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui batas masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Pendugaan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk pangan selama selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume.

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies

(ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS).

(44)

sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001).

Berbeda halnya dengan metode ESS, metode ASS membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati perubahan parameter yang berlangsung (Arpah, 2001).

Metode akselerasi ini pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1.) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2.) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika di mana mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahapan-tahapannya tidak menjadi fokus perhatian, namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung. Laju reaksi pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).

Pendekatan semi empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan produk pangan akan mengikuti pola reaksi.

A produk intermediat B

(45)

Perubahan konsentrasi dianggap proporsional terhadap penurunan konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B.

n

atau

n

Di mana:

[A] = penurunan konsentrasi A yang dikorelasikan dengan mutu produk [B] = peningkatan konsentrasi B yang dikorelasika dengan mutu produk t = waktu

k = laju reaksi n = ordo reaksi

Persamaan ini diterapkan pada penentuan umur simpan dilakukan dengan menentukan konsentrasi kriteria A atau B di mana pengaruhnya terhadap mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat diterima konsumen.

Menurut Syarief dan Halid (1993), untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan kadaan mutu produk yang diamati. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, atau uji mikrobiologi, seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, skor uji cita rasa,

tekstur, warna, total mikroba, dan sebagaimya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berbentuk bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk suatu produk, yang diukur tidak semua parameter, melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

(46)

senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula penurunan mutu produk (Haryadi et al., 2006).

Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius menurut Syarief dan Halid (1993) adalah:

1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.

3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya.

4. Suhu selama penyimpanann tetap atau dianggap tetap.

Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar, 2006).

Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan nilai temperatur yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan temperatur menggunakan persamaan Arrhenius:

k = koe-(Ea/RT)

atau dalam bentuk logaritma

ln k = ln ko – {Ea/R}1/T

atau dalam bentuk persamaan linear

y = b +ax di mana y = ln k; x = 1/T

1. Reaksi Ordo Nol

(47)

Keterangan:

dA = perubahan parameter mutu

dt = waktu penyimpanan

k = konstanta

Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:

At= Aok.t

Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan:

t = (A0At)/k

Keterangan:

t = umur simpan hari

Ao = nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula

At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluwarsa (titik

kritis)

k = konstanta 2. Reaksi Ordo Satu

Penurunan mutu yang mengikuti ordo reksi satu meliputi ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo satu yaitu: (Arpah, 2001)

= k [ A]

Keterangan:

[ A] = konsentrasi A

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

atau

ln (At) = ln (Ao) – k.t

(48)

3. Reaksi Ordo Lain

Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti orde ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al., 2006). Contoh persamaan reaksi ordo dua yaitu: (Arpah, 2001)

= k [ A]2

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

(49)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari tepung hotong, tepung terigu dan air. Bahan-bahan lainnya antara lain: CMC, garam dapur (NaCl), baking powder, dan minyak goreng. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik

Low Density Polyethylene (LDPE). Bahan yang digunakan untuk analisis lemak adalah pelarut heksana dan kertas saring. Bahan yang digunakan untuk analisis protein adalah air raksa oksida (HgO), bubuk kalium sulfat (K2SO4),

larutan asam sulfat (H2SO4) pekat, campuran larutan NaOH-Na2S2O3, larutan

asam borat (H3B03) jenuh 3%, larutan asam klorida (HCl) 0.02N, aquades,

indikator campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol. Bahan yang digunakan untuk analisis bilangan TBA adalah aquades, larutan asan klorida (HCl) 4M, bubuk pereaksi TBA, asam asetat glasial 90%, dan bahan antibusa (antibuiha).

(50)

pipet mohr, pipet tetes, tabung reaksi bertutup, gelas piala, labu Erlenmeyer, alat pemanas, dan alat destilasi (kondensor). Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik diantaranya chromameter dan texture analyzer. Alat yang digunakan untuk penyimpanan adalah inkubator.

B. METODE PENELITIAN

(51)

Gambar 5. Diagram alir penelitian

warna, aroma, rasa, dan tekstur

Pendugaan umur simpan Umur simpan

(52)

1. Pembuatan Tepung Hotong

Pembuatan tepung hotong dilakukan untuk membuat tepung hotong dari biji hotong yang sudah disosoh. Pembuatan tepung hotong menggunakan metode penggilingan kering. Proses pembuaan tepung hotong dilakukan dengan beberapa tahap yaitu pencucian, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan 100 mesh (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tepung hotong

Pembuatan tepung hotong menggunakan alat berupa mesin penepung tipe disc mill. Pengayakan tepung hotong yang dihasilkan menggunakan alat pengayak tepung tipe vibrating screen. Ilustrasi dari kedua alat tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. (a) Mesin penepung biji hotong tipe disc mill, dan (b) Alat pengayak tepung tipe vibrating screen

a b

Biji hotong sosoh

Pencucian

Pengeringan (cabinet dryer)

Penggilingan (disc mill)

Pengayakan 100 mesh (vibrating screen)

Gambar

Gambar 3. Struktur kimia amilosa
Tabel 7. Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin
Tabel 8. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati
Gambar 5. Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendugaan umur simpan pada produk susu cokelat UHT menggunakan metode percepatan umur simpan model Arrhenius, memberikan hasil parameter penduga yang sesuai

Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang

Bekatul terstabilisasi yang dihasilkan dengan pemanasan selama 5 menit terpilih sebagai produk yang digunakan dalam pendugaan umur simpan dengan karakteristik kadar air

menduga umur simpan kerupuk bawang kentang yang dikemas dalam kemasan.. polypropylene, polyethylene, dan metalized plastic dengan

Dari Tabel 4.8 ditunjukkan bahwa penggunaan tepung umbi suweg sebagai substitusi terigu dalam pembuatan mi kering memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap

Pembuatan mi instan dimulai dengan cara mencampur semua bahan yang terdiri dari pati sagu, daging ikan patin yang sudah dihaluskan, CMC, garam dan air, formulasi

Berdasarkan respon kadar air, mi kering dari tepung komposit terigu, keladi, dan ubijalar yang dikemas dalam plastik PE 0,35 mm pada suhu 30 0 C (kontrol) memiliki umur simpan

Metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) Model Arrhenius merupakan metode pendugaan umur simpan produk dengan menggunakan suhu akselerasi sehingga dapat