• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.2 Analisis proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air menggunakan metode oven, abu menggunakan tanur, protein menggunakan metode Kjeldahl dan lemak menggunakan metode sokhlet.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 5 gram ditimbang dalam cawan, setelah terlebih dahulu dihaluskan. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-1050C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air :

% Kadar air = B - C x 100% B - A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 0C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dalam cawan porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 o

C selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

% Kadar abu = C - A x 100% B - A

Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen + sampel setelah dikeringkan (gram) c) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan dari protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 1 gram. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Setengah butir katalis selenium dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambah 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.

2) Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan kemudian ditambah 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 2 % yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 40 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau kebiruan.

3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein api-api adalah sebagai berikut:

% Nitrogen = (ml HCl sampel–ml HCl blanko) x N HCl x 14 x 100% mg berat awal

% Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi (6,25) d) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai beikut.

Keterangan : W1= Berat sampel (gram)

W2= Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3= Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.3.3 Ekstraksi dari tumbuhan api-api (Avicennia marina(Forks.)Vierh.) Tahap ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan teknik maserasi menggunakan pelarut metanol pro analisis. Sampel tumbuhan api-api ditimbang sebanyak 25 gram masing-masing untuk daun dan kulit batang dari hasil pengeringan dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Pelarut metanol ditambahkan sampai sampel terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:3 (b/v), lalu Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil. Sampel dimaserasi menggunakanorbital shaker selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan ekstrak yang diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 untuk memisahkan filtrat dan residu yang dihasilkan. Maserasi dilakukan berulang sebanyak 16 kali. Hasil penggabungan filtrat yang didapat dievaporasi pada suhu 37oC.

Filtrat yang diperoleh hasil evaporasi disimpan dalam botol ekstrak untuk dianalisis, yaitu uji fitokimia kualitatif, uji kadar flavonoid total dan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Sebelum dilakukan pengujian aktivitas antioksidan ekstrak kasar yang diperoleh dilakukan perhitungan untuk nilai rendemen hasil ekstrakan.

3.3.4 Uji komponen fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar pohon api-api untuk masing-masing perlakuan. Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1987).

a) Uji alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi

% Kadar lemak = W3- W2 x100% W1

Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

b) Uji steroid/triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform 99,98 % dalam tabung reaksi. Asetat pekat diencerkan menggunakan air dan alkohol ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

c) Uji flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

d) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambah 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

e) Tanin

Sejumlah sampel ditambahkan FeCl3kemudian campuran dihomogenkan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran. f) Uji Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

absorbansi blanko–absorbansi sampel absorbansi blanko

3.3.5 Uji kadar flavonoid total

Sebanyak 0,5 ml ekstrak yang telah diencerkan dengan etanol p.a (1:10 g/ml) ditambah 1,5 ml etanol p.a; 0,1 ml AlCl310 %; 0,1 ml natrium asetat 1 M; dan 2,8 ml akuades. Campuran larutan tersebut dibiarkan selama 30 menit dan diukur absorbansinya pada 417 nm. Kuersetin digunakan untuk membuat kurva kalibrasi. Kandungan total flavonoid dalam ekstrak etanol diekspresikan sebagai mg kuersetin/gram serbuk kering.

3.3.6 Uji aktivitas antioksidan

Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan menggunakan metode DPPH berdasarkan kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas stabil l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Blanko dibuat dari larutan methanol dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm. Sebanyak 0,01 mg ekstrak api- api dibutuhkan untuk membuat larutan stok dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm. Sebanyak 0,0004 mg butylated hydroxytoluena (BHT) sebagai standar ditimbang lalu ditambah 50 ml metanol dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 ppm. Selanjutnya 0,0098 mg DPPH diencerkan dengan 25 ml metanol. Selanjutnya pemberian DPPH pada larutan stok dan BHT untuk masing-masing konsentrasi. Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 517 nm.

Persentase penghambatan aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai absorbansi sampel. Persamaan regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi sampel dan presentase penghambatan aktivitas radikal bebas. Aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

% inhibisi = x 100 %

Nilai konsentrasi penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50 % (IC50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier. Nilai IC50

diperoleh dengan memasukkan y=50 serta nilai A dan B yang telah diketahui. Nilai x sebagai IC50dapat dihitung dengan persamaan : y = A + B Ln (x)

Y = persen inhibisi

X = konsentrasi sampel (ppm) A = slope,B =intercept

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina(Forks.)Vierh.)

Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi tumbuhan api-api yang diambil dari Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Daun pohon api-api yang diambil dan dijadikan sebagai sampel Daun api-api yang didapat pada bagian atas berwarna hijau muda dan bagian bawah berwarna abu-abu keperakan. Bentuknya elips dengan panjang rata- rata daun yang didapat berkisar 5-10 cm. Daun api-api memiliki ruas atau tulang daun yang sejajar dan teratur. Teksurnya tidak lunak apabila disentuh dengan tangan. Kulit batang api-api yang digunakan berwarna cokelat muda, tipis dan berserat. Pada bagian dalam terlihat warna yang lebih cerah, yaitu putih kehijauan dan sedikit berair (Lampiran 1).

Proses karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Karakterisasi bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi juga pada sifat kimia, karena sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakterisasi sifat kimia dilakukan untuk mengetahui zat yang terkandung di dalam bahan, misalnya kandungan nilai gizi yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan manusia.

4.2 Kandungan Gizi

Kandungan gizi pada daun dan kulit batang api-api dapat diketahui melalui uji proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya kandungan air, abu, lemak, dan protein. Tumbuhan api-api banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar baik sebagai sumber makanan maupun untuk kesehatan. Tumbuhan berdaun sejati ini memiliki nilai gizi yang cukup tinggi untuk dijadikan sumber makanan. Berikut hasil data proksimat dari tumbuhan api-api dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil data proksimat tumbuhan api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.); Daun; Kulit batang

1) Kadar air

Daun api-api memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 69,2 % dan kulit batang api-api sebesar 55 % (Lampiran 2). Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil analisis kadar air yang telah diuji sebelumnya oleh Jacoebet al. (2011), yakni kadar air daun api-api sebesar 68,16 %. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wibowo et al.(2009), yaitu sebesar 70,59 %. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal sangat mempengaruhi perbedaan yang terjadi, yakni sifat tumbuhan yang berada di wilayah Jakarta dengan wilayah Subang. Faktor eksternal seperti habitat dan kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi perbedaan komposisi kimia api-api.

2) Kadar abu

Hasil pengukuran kadar abu menggunakan bobot kering pada daun dan kulit batang api-api menunjukkan bahwa daun api-api mengandung mineral atau zat anorganik sebesar 14,91 % dan kulit batang api-api memiliki kadar abu sebesar 9,6 % (Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Wibowo et al.(2009) bahwa kadar abu pada daun api-api sebesar 15,61 %. Hasil serupa dikemukakan oleh Jacoeb et al. (2011), yaitu sebesar 13,97 %. Tinggi dan rendahnya kadar abu pada tumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan yang berbeda satu sama lainnya. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan sumber mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup didalamnya. Tumbuhan api-api merupakan tumbuhan sejati yang hidupnya hanya mampu di wilayah mangrove atau estuari. Bengen (2000) menjelaskan bahwa wilayah estuari merupakan wilayah perairan dimana terjadi peralihan atau pencampuran antara air tawar dan air laut yang menyebabkan banyaknya mineral yang terkandung di dalamnya.

3) Kadar protein

Hasil pengukuran bobot kering kadar protein menunjukkan bahwa daun api-api dan kulit batangnya memiliki kadar protein sebesar 11,04 % dan 6,4 % (Lampiran 2). Hasil tersebut sedikit berbeda menurut Wibowoet al.(2009) bahwa protein api-api sebesar 17,31 %. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Jacoebet al. (2011) yang menyatakan bahwa daun api-api memiliki kandungan protein sebesar 11,53 %. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi adanya beberapa faktor, yaitu habitat, umur, dan laju metabolisme. Daun memiliki kadar protein yang tinggi karena di daun terjadi proses fotosintesis yang membutuhkan banyak jaringan serta organ yang bekerja. Kulit batang cenderung memiliki kadar protein yang rendah dari daun dikarenakan kulit batang hanya terdapat jaringan sistem pembuluh yang bertitik beratkan pada kerja sistem angkut mineral, unsur hara dan menjaga kesetimbangan akibat adanya garam.

4) Kadar lemak

Kadar lemak daun api-api 2,21 % dan kulit batang api-api sebesar 1,55 % (Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Jacoebet

Ekstrak

Daun Kulit Batang Standar (warna)

al.(2011), yaitu kadar lemak daun api-api sebesar 2,45 %. Berbeda halnya dengan penelitian Wibowo et al. (2009), yaitu sebesar 1,16 %. Perbedaan tersebut dibenarkan oleh Yunizal et al. (1998) bahwa kadar lemak yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air dalam daun dan kulit batang pohon api-api sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun drastis. Faktor lain seperti umur, habitat, dan perbedaan lokasi pengambilan sampel juga menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi kadar lemak suatu bahan.

4.3 Komponen Bioaktif Ekstrak Kasar

Hasil ekstraksi komponen bioaktif api-api menunjukkan bahwa ekstrak kasar menggunakan pelarut metanol berwarna coklat kehijauan dan berbau khas ekstrak tumbuhan. Rendemen ekstrak kasar yang dihasilkan cukup tinggi untuk daun 17,53 % dan kulit batang api-api 12,07 % (Lampiran 2). Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Hasil uji fitokimia pada masing-masing ekstrak kasar api-api dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar api-api (Avicennia marina)

Alkaloid:

-Dragendorff + - Endapan merah atau jingga

-Meyer + - Endapan putih kekuningan

-Wagner - - Endapat coklat

Steroid/triterpenoid ++ ++ Perubahan dari merah

menjadi biru/hijau

Flavonoid ++ ++ Lapisan amil alkohol

berwarna merah/kuning/hijau

Saponin - - Terbentuk busa

Fenol hidrokuinon - + Warna hijau atau hijau biru

Tanin + ++ Terbentuk warna merah

Keterangan: (-) hasil negatif; (+) hasil ada namun tidak pekat; (++) hasil ada dan pekat

a) Alkaloid

Komponen alkaloid didefinisikan sebagai substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Alkaloid ditemukan pada daun api-api, namun tidak ditemukan pada kulit batang api-api. Alkaloid umumnya larut pada pelarut organik (non polar), sedangkan beberapa kelompok pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Penelitian ini dilakukan dengan pelarut metanol (polar) yang justru menunjukkan adanya kandungan alkaloid pada daun api-api walaupun hasil yang ditunjukkan (Tabel 2) tidak terlalu pekat, hal ini menunjukkan bahwa daun api-api tidak mengandung alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Alkaloid tidak dihasilkan pada kulit batang api-api dengan ditandai hasil negatif pada Tabel 2.

b) Steroid/triterpenoid

Hasil uji fitokimia untuk daun dan kulit batang api-api menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid, ditunjukkan oleh hasil yang cukup pekat (Tabel 2). Steroid/triterpenoid dapat diketahui keberadaanya dengan perkursor kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984). Hasil pada Tabel 2 menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid walaupun menggunakan pelarut metanol yang bersifat polar, hal ini dapat terjadi mengingat metanol merupakan pelarut polar yang dapat mengekstrak komponen lainnya, meskipun bersifat non polar ataupun semipolar. Schmidt dan Steinhart (2001) menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

c) Flavonoid

Hasil pengujian flavonoid terhadap daun dan kulit batang api-api (Tabel 2) menunjukkan bahwa bagian tersebut sama-sama memiliki kandungan flavonoid, hal itu ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pekat pada lapisan amil alkohol yang telah diuji (Lampiran 3). Flavonoid merupakan senyawa polar yang dapat larut pada pelarut polar, hal ini dibuktikan dengan terlarutnya senyawa flavonoid menggunakan pelarut metanol. Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air, sehingga dapat diekstrak dengan pelarut polar dan tertinggal

Sampel

% Inhibisi

IC50(ppm)

Ekstrak Daun 18,75 19,55 20,23 21,48 Ekstrak Kulit Batang 7,84 9,25 10,00 10,34

200 400 600 800

(ppm)

pada lapisanaqueous (Harborne 1984). Flavonoid merupakan senyawa aktif yang potensial dan sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian Simamora (2011) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari buah apel memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat.

d) Tanin

Hasil pengujian fitokimia untuk uji tanin menunjukkan bahwa daun dan kulit batang api-api sama-sama mengandung tanin. Hasil uji tanin untuk daun terlihat ada, namun tidak pekat apabila dibandingkan dengan hasil yang ditunjukkan oleh kulit batang api-api (Tabel 2). Tanin di dalam tumbuhan dapat berfungsi sebagai penyamak apabila jaringan rusak, karena sifat tanin yang mampu menyambung silangkan protein. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan, karena rasanya yang pahit. Fungsi utama tanin di dalam tumbuhan adalah penolak hewan pemakan tumbuhan (Harborne 1987). Tumbuhan api-api termasuk tumbuhan mangrove yang memiliki rasa pahit dan banyak digunakan penduduk sekitar untuk obat nyamuk.

4.4 Aktivitas Antioksidan

Hasil uji aktivitas antioksidan dengan DPPH menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm menunjukkan bahwa daun dan kulit batang api-api memiliki aktivitas antioksidan. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan ekstrak kulit batang api-api dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan ekstrak kulit batang api-api (Avicennia marina)

36,35 51,51

Tabel 3 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi, baik daun maupun kulit batang api-api dimiliki oleh konsentrasi tertinggi, yaitu 800 ppm dan nilai terendah untuk persen inhibisi dimiliki oleh konsentrasi terendah, yaitu 200 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin tinggi pula daya hambat yang dilakukan sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC50 yang dihasilkan oleh ekstrak daun lebih rendah dari ekstrak kulit batang, yaitu 36,35 ppm untuk daun dan 51,51 ppm untuk kulit batang. Ekstrak daun lebih banyak menghilangkan 50 % aktivitas DPPH apabila dibandingkan dengan ekstrak kulit batang. Molyneux (2004) menyatakan bahwa nilai IC50 adalah konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH.

Kedua ekstrak kasar daun dan kulit batang pohon api-api memiliki kekuatan penghambat yang berbeda-beda satu sama lainnya. Hubungan aktivitas antioksidan antara ekstrak kasar daun dan ekstrak kasar kulit batang api-api dengan persen inhibisinya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik perbandingan aktivitas antioksidan antara ekstrak kasar daun dan kulit batang api-api dengan persen inhibisinya;

Daun; Kulit Batang

Gambar 9 menunjukkan daun api-api memiliki aktivitas yang cukup baik bila dibandingkan kulit batang. Hal ini diduga karena adanya kandungan senyawa aktif yang cukup banyak terdapat dalam daun, seperti alkaloid, steroid/triterpenoid, dan flavonoid (Tabel 2).

Penelitian ini menggunakan larutan BHT sebagai pembanding dalam uji aktivitas antioksidan. Jacoeb et al. (2011) mengemukakan bahwa nilai IC50 BHT sebesar 5,85 ppm, dimana hasil tersebut merupakan hasil terbaik untuk aktivitas

Sampel % Inhibisi IC50(ppm) Larutan BHT 22,05 37,73 49,66 58,30 3,17 2 4 6 8 (ppm)

antioksidan. Larutan BHT yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan nilai IC50 sebesar 3,17 ppm. Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Jacoeb et al. (2011) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (<50 ppm). Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT

Tabel 4 menunjukkan hasil larutan BHT memiliki persen inhibisi tertinggi pada konsentrasi tertinggi, yaitu 8 ppm dan persen inhibisi terendah pada konsentrasi terendah, yaitu 2 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin tinggi pula daya hambat yang dilakukan sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC50BHT sebesar 3,17 ppm, merupakan nilai terbaik apabila dibandingkan dengan nilai IC50ekstrak daun dan kulit batang api- api (Tabel 3). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisi Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin

tinggi pula persen inhibisi atau daya hambatnya. Ekstrak daun dan kulit batang pohon api-api pada Gambar 9 sama-sama menunjukkan hasil yang serupa dengan larutan BHT pada Gambar 10, grafik akan bergerak naik ke atas dengan naiknya konsentrasi yang digunakan. Nilai IC50yang ditunjukkan pada Tabel 3 untuk daun dan kulit batang api-api, serta larutan BHT pada Tabel 4 sama-sama menunjukkan bahwa ketiga ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat