• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis prospektif bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) mengidentifikasi atribut kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan perubahan kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya. Penentuan atribut-atribut kunci dalam analisis diperoleh dari atribut sensitif berpengaruh hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 23 atribut sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan dianalisis prospektif. Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar atribut (Lampiran 3) diperoleh 5 (lima) atribut kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar atribut tidak terlalu kuat, yaitu: (a) ketersediaan sarana dan Parameter Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Hukum Multi

Stress R2 Iterasi 0.15 0.87 4 0.14 0.88 4 0.14 0.92 3 0.14 0.93 3 0.13 0.95 3 0.20 0.93 4 Sumber: Data Primer (diolah)

prasarana agribisnis peternakan, (b) sistem pemeliharaan ternak, (c) ketersediaan pasar agroindustri peternakan, (d) ketersediaan industri pakan dan koperasi ternak sapi potong. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa kelima atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar terwujud pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.

Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan di Kabupaten Bondowoso dikategorikan minim atau tidak lengkap tersedia, padahal atribut tersebut merupakan salah satu atribut kunci/penentu yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam menentukan indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong. Hal ini disebabkan atribut tersebut mempunyai efek domino (multiplier effects) terhadap atribut-atribut yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan. Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Menurut Saragih (2000), kegiatan usaha budidaya peternakan merupakan bagian dari sistem agribisnis peternakan yang mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness); subsistem agribisnis budidaya peternakan

(on-farm agribusiness); subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness); dan subsistem jasa penunjang (supporting institution).

Dengan demikian sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara sinergis (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kawasan industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut:

1 Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pakan, industri obat-obatan, inseminasi buatan, dan lain-lain.

2 Subsistem agribisnis peternakan (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak.

3 Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Subsistem ini termasuk didalamnya industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging serta industri pengolahan kulit.

4 Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain.

Sistem pemeliharaan ternak pada umumnya masih bersifat tradisional dan semi intensif. Sebagian besar ternak sapi potong diikat pada pohon yang berada dekat dengan rumah dan sebagian lainnya dikandangkan. Pakan yang diberikan pada umumnya rumput lapangan yang dicampur dengan rumput unggul, seperti: rumput gajah dan raja. Sistem pemeliharaan ternak seperti ini sudah tentu kurang maksimal dalam memberikan penerimaan terhadap peternak. Kabupaten Bondowoso yang memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang cukup potensial, sangat cocok dalam menerapkan sistem pemeliharaan ternak sapi potong secara terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan.

Sistem usahatani terpadu yang didasarkan pada penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Penelitian ini diberi nama ”on station multiple cropping” mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI (Manwan 1989). Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani (farming system), dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002).

Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan peningkatan dayasaing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi tanaman padi dan sapi potong bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Menurut Diwyanto (2001), ada 8 (delapan) keuntungan penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) mengurangi terjadinya resiko; (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja; (4) efisiensi penggunaan komponen produksi; (5) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (6) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (7) meningkatkan output; dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.

Sistem integrasi ternak dangan tanaman merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Sistem ini melibatkan paling tidak tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan, yaitu: (1) budidaya ternak sapi potong, (2) budidaya tanaman pangan atau perkebunan, dan (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak. Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002).

Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan

diversifikasi usaha dan peningkatan dayasaing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Menurut Wardhani dan Musofie (2004) bahwa dalam melaksanakan usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan maka petani akan melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan modal. Antara sub-sistem rumah tangga, ternak, dan tanaman saling terkait, terpadu, dan saling tergantung. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan

Kegiatan usahatani tanaman (pangan dan perkebunan) menghasikan hijauan pakan ternak, seperti: rumput alam dari pematang sawah, gulma yang diperoleh dari kebun, dan limbah pertanian berupa jerami padi, kacang tanah, daun jagung, daun singkong, dan daun pucuk tebu. Selain itu dari limbah agroindustri, seperti: dedak, molases, ampas tahu, tongkol jagung, ampas kecap, dan lainnya sebagai merupakan input untuk usaha ternak. Kegiatan usaha ternak menyerap tenaga kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan.

Limbah Tanaman

Pupuk, Tenaga Kerja Ternak

Manajemen, Tenaga Kerja

TERNAK Pupuk Insektisida Tenaga Kerja TANAMAN (Padi, Jagung, dan Tebu) PASAR Tenaga Kerja Non-Farm RUMAH TANGGA Ternak Konsentrat Obat Hewan

Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman pangan, perkebunan, tanaman pakan ternak. Pola usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan mampu memberikan nilai tambah pada masing- masing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi sedapat mugkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait. Pengembangan integrasi tanaman-sapi bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik, (2) meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging, dan (3) meningkatkan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.

Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan akan memacu terciptanya/tersedianya ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik yang akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup banyak. Selain itu, akan terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan kegiatan agribisnis komoditas unggulan lokal, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah).

Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan akan memacu terciptanya/tersedianya ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik yang akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup

banyak. Selain itu, akan terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan kegiatan agribisnis komoditas unggulan lokal, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah).

Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya masih mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal. Peternak sapi potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanianyang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effects terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah.

Dalam rangka membangun kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong yang maju, kehadiran koperasi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat mencari suntikan dana/modal, menampung produk agroindustri peternakan dan memasarkannya, serta lebih mempermudah dalam pelayanan pembiayaan kegiatan ekonomi mikro masyarakat setempat. Koperasi yang terbentuk sebaiknya merupakan upaya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat dalam menjalankan program pengembangan untuk kepentingannya sendiri. Pada pola ini masyarakatlah yang memilki inisiatif dan berperan penuh pada kegiatan- kegiatan mereka, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggung- jawab dari masyarakat itu sendiri. Langkah awal dari pembentukan koperasi ini harus ada pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat.

VII SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait