• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan indeks keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso berdasarkan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dengan atribut dan nilai keberlanjutan tiap dimensi pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis menggunakan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT), nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 41.61% dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi 57.73% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 75.46% dengan status baik, dimensi sosial budaya sebesar 58.05% dengan status cukup berkelanjutan serta dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 47.05% dengan status kurang berkelanjutan. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan di masa depan dapat dilakukan dengan perbaikan atribut sensitif berpengaruh pada nilai indeks keberlanjutan lima dimensi tersebut. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis

Rap-AGROSAPOT seperti diperlihatkan pada Gambar 5 dan Lampiran 2.

Gambar 5 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso

6.1.1 Dimensi Ekologi

0.12 0.59 1.76 0.58 0.96 1.31 2.76 2.72 2.94 3.10 1.78 2.64 3.06 2.54 1.65 1.49 0.96 1.41 0.22 3.36 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak Sistem pemeliharaan ternak sapi potong Lahan (kesuburan tanah) Kapasitas tampung padang penggembalaan Kegiatan Ladang Berpindah Ketersediaan pakan ternak sapi potong Kebersihan Kandang Ketersediaan IPAL Agroindustri hasil Ternak Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) Ketersediaan instalasi pengolahan limbah RPH Jenis pakan ternak Ketersediaan lahan HMT unggul Kuantitas limbah peternakan Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman Kejadian kekeringan Frekuensi kejadian banjir Curah hujan Kondisi prasarana jalan usahatani Kondisi prasarana jalan desa

A tt r ib u te

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas 20 (dua puluh) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah 41.61% berkategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

Analisis sensitivitas dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada

Rapfish memperlihatkan 10 (sepuluh) atribut sensitif terhadap nilai indeks Sumber: Data Primer (diolah)

keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekologi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan galat (error) atau root mean square (RMS) sepuluh atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut lainnya (Gambar 6). Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1 Sistem pemeliharaan ternak sapi potong. Sistem pemeliharaan sapi potong

dilakukan dengan cara ekstensif, yaitu mengikat ternak sapi pada ruang terbuka seperti padang penggembalaan atau pekarangan rumah tanpa dikandangkan sehingga ternak sapi sulit diawasi, rawan terkena penyakit dan gangguan lainnya. Pemberian pakan dilakukan dengan cara melepas ternak sapi di padang penggembalaan atau meletakkan hijauan kering (hay) pada tempat yang mudah dijangkau oleh ternak sapi. Masyarakat setempat sebagian besar menerapkan sistem pemeliharan ini karena enggan mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat dan merawat kandang ternak sapi. Selain itu, sistem pemeliharaan ternak ekstensif merupakan budaya warisan leluhur sehingga sulit dilakukan perubahan sistem pemeliharaan ternak menjadi semi intensif atau intensif.

2 Ketersediaan pakan ternak sapi potong. Saat ini ketersediaan pakan masih mencukupi kebutuhan dan cenderung berlebih. Dalam rangka pengembangan ternak ruminansia, daya dukung pakan harus dipertahankan agar ternak sapi potong dapat berkembang dengan baik. Limbah pertanian, seperti: jerami padi, jagung, kacang tanah, dan pucuk tebu serta limbah agroindustri (dedak padi, tongkol jagung, ampas tahu, bungkil kelapa dan ampas tebu) yang cukup banyak di daerah ini, membantu ketersediaan pakan ternak sapi potong. 3 Kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan oleh peternak. Kotoran

ternak dibiarkan menumpuk dalam kandang selama beberapa hari sebelum dikumpulkan pada suatu tempat. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan lingkungan dan kesehatan. Penyuluhan kepada peternak sangat diperlukan dalam rangka menanamkan kesadaran untuk menjaga kebersihan kandang, agar kekhawatiran seperti hal tersebut dapat dicegah.

4 Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak belum tersedia, sehingga perlu disediakan mulai sekarang karena pembuangan limbah agroindustri hasil

ternak yang sembarangan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat setempat. Saat ini, limbah agroindustri peternakan dibuang tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut ke sungai atau saluran pembuangan limbah rumah tangga. Hal ini menimbulkan bau menyengat dan pencemaran air yang berada di sekitar lokasi agroindustri hasil ternak.

5 Ketersediaan RPH masih terbatas di beberapa kecamatan dan berkategori C. Seharusnya ketersediaan RPH ditambah khususnya di kecamatan dengan populasi ternak sapi potong lebih dari 10 000 ekor. Selain itu, peningkatan kategori RPH menjadi B atau A harus menjadi prioritas. RPH berkategori C adalah RPH dengan fasilitas pemotongan sederhana sehingga jumlah ternak yang dipotong berkisar 5-10 ekor/hari. Pada masa yang akan datang jumlah ketersediaan rumah potong hewan perlu ditambah demikian juga kategorinya ditingkatkan menjadi type B atau A sesuai dengan jumlah pemotongan ternak dan target pasar yang dituju.

6 Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah RPH masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan karena pembuangan limbah pemotongan ternak saat ini langsung dibuang ke sungai sehingga menimbulkan pencemaran dan ekternalitas negatif.

7 Jenis pakan ternak yang diberikan sebatas rumput hijauan dengan jerami pertanian. Makanan tambahan seperti konsentrat diperlukan ternak untuk mempercepat proses pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi, namun harga konsentrat relatif mahal bagi peternak mengakibatkan pakan konsentrat jarang diberikan. Selain itu, tidak tersedianya pabrik pakan berdampak pada sulitnya pakan konsentrat diperoleh para peternak sapi potong.

8 Ketersediaan lahan HMT unggul masih mencukupi untuk mendukung usaha peternakan sapi potong. Masyarakat setempat memanfaatkan lahan kosong seperti tegalan, lahan pinggir jalan, sepadan sungai, lahan pinggiran hutan dan lain sebagainya untuk ditanami rumput unggul seperti rumput Bengggala (Panicum maximum), Raja (Pennisetum purpuphoides) dan Gajah (Pennisetum purpureum). Pertumbuhan penduduk dan ternak sapi potong yang meningkat setiap tahunnya tanpa diikuti dengan pertumbuhan lahan berpotensi

mengancam status ketersediaan lahan pakan ternak sapi potong. Oleh karena itu, industri pakan perlu segera dibagun untuk keterjaminan pakan di masa datang.

9 Kuantitas limbah peternakan (feses) pada umumnya cukup banyak dan hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah peternakan untuk dijadikan pupuk organik belum memasyarakat, karena petani setempat sebagian besar lebih menyukai menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik/pupuk kandang. Kelemahan pupuk organik, seperti: a) kandungan hara rendah, b) jumlah pupuk organik yang dibutuhkan sangat banyak menyulitkan transportasi sehingga kurang ekonomis, c) perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat dibanding pupuk buatan, d) mudah terurai, dan e) pupuk organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman. Kekurangan yang dimiliki pupuk organik tersebut mengakibatkan beberapa petani lebih menyukai menggunakan pupuk buatan.

10 Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk perlu diperhatikan. Kandang ternak yang berkumpul dengan tempat tinggal atau terlalu dekat dengan rumah penduduk mengganggu kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Kondisi ini perlu diantisipasi, misalnya dengan cara membuat kandang kolektif yang terpisah dari pemukiman dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penduduk, sehingga efek negatif dapat dikurangi. Pembuatan kandang kolektif memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Dengan demikian jika setiap atribut tersebut dikelola dengan baik, maka indeks keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan lebih meningkat statusnya.

6.1.2 Dimensi Ekonomi

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi terdiri dari 17 (tujuh belas) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 57.73% berkategori cukup berkelanjutan. Analisis sensitivitas dimensi ekonomi dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan 3 (tiga) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan root mean square change (Gambar 7) tiga atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu:

1 Ketersediaan industri pakan di Kabupaten Bondowoso masih belum tersedia. Kebutuhan pakan yang berasal dari industri pakan seperti konsentrat diperoleh dari Kota Jember dan Situbondo. Hal ini mengakibatkan ketersediaan pakan konsentrat tidak menentu tergantung pasokan dari distributor pakan sehingga kebanyakan peternak setempat memilih pakan hijauan yang tersedia di wilayahnya. Ketergantungan pada pakan hijauan menghadapi kendala saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia.

2 Pasar produk agroindustri peternakan masih bersifat lokal. Hal ini disebabkan, ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim/sedikit kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan. Kondisi ini harus diperbaiki, dengan membangun beberapa agroindustri peternakan dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan penyediaan

0.44 0.89 1.46 2.77 2.69 4.67 0.91 5.37 0.77 3.98 1.93 2.45 2.50 0.76 0.05 0.98 0.03 0 1 2 3 4 5 6

Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan Kontribusi terhadap PDRB Kontribusi terhadap PAD bidang pertanian Rataan penghasilan peternak terhadap UMK Bondowoso Transfer keuntungan Pasar Produk Agroindustri Peternakan Ketersediaan Pasar Ternak Ketersediaan Industri Pakan Tempat Peternak Menjual Ternak Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 thn terakhir) Subsidi usaha ternak sapi potong Persentase penduduk miskin Rata-rata harga jual ternak sapi potong Jumlah tenaga kerja pertanian Jenis komoditas unggulan Kelayakan usaha agroindustri Tingkat ketergantungan konsumen

A tt r ib u te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

sarana dan prasarana agribisnis/infrastruktur penunjang yang lebih baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Bondowoso untuk membeli produk-produk agroindustri peternakan.

3 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bidang peternakan selama 5 tahun terakhir selalu bertambah. Hal ini bertujuan untuk membiayai sarana dan prasarana agribisnis usaha ternak sapi potong. Namun, penggunaan APBD bidang peternakan ini dinilai masih belum digunakan secara optimal. Hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas yang tersedia untuk mendukung sektor usaha peternakan sapi potong seperti minimnya fasilitas kesehatan yang dimiliki Pos Keswan, tidak tersedianya RPH di tiap kecamatan, minimnya fasilitas yang dimiliki untuk menunjang kegiatan petugas IB dan kurangnya pemberian insentif berupa dana bantuan usaha ternak. Nilai APBD yang besar seharusnya digunakan secara optimal dengan memperhatikan kebutuhan para peternak dan pihak terkait lain.

Gambar 7 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

6.1.3 Dimensi Sosial Budaya

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial budaya berjumlah 13 (tiga belas). Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah 58.05% berkategori cukup berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 8. Sebanyak 5 (lima) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu:

1 Peran masyarakat dalam usaha peternakan yang relatif rendah selama ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agroindustri peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam bidang usaha peternakan mengakibatkan ketersediaan jumlah agroindustri peternakan sangat sedikit yang pada akhirnya berdampak terhadap jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan juga masih sedikit. Keterkaitan antara ketersediaan agroindustri, peran masyarakat, jumlah penduduk yang terlibat, partisipasi keluarga serta alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. 2 Partisipasi keluarga dalam usaha peternakan di daerah ini masih rendah.

Umumnya, partisipasi aktif keluarga hanya tercermin dalam kegiatan budidaya (onfarm) sapi potong seperti membantu memandikan sapi, mencari rumput pakan dan memasukkan sapi ke kandang dan hal tersebut hanya dilakukan oleh anak laki-laki dalam keluarga. Keadaan ini harus dirubah dan diperbaiki agar dimasa yang akan datang seluruh keluarga mampu berpartsipasi dalam pengelolaan usaha peternakan, sehingga usaha agribisnis peternakan di daerah ini semakin maju dan pesat.

3 Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan masih tergolong rendah dikarenakan sektor peternakan hanya dijadikan sebagai usaha sambilan selain kegiatan bercocok tanam. Hal tersebut harus diperbaiki dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor peternakan melalui pemberian insentif beternak khususnya ternak sapi potong.

4 Frekuensi pelatihan dan penyuluhan di daerah ini digolongkan jarang. Kabupaten Bondowoso rata-rata mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat di kecamatan maksimal 3 kali setahun dan minimal 1 kali

1.30 1.33 1.88 1.35 1.51 2.56 3.19 3.22 3.09 0.57 0.44 0.02 1.41 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok

Jumlah rumah tangga peternak Pertumbuhan rumah tangga peternak Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri Frekuensi konflik Partisipasi keluarga dalam usaha peternakan Peran masyarakat dalam usaha peternakan Frekuensi penyuluhan dan pelatihan Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan Alternatif usaha selain usaha peternakan Jumlah penduduk yang bekerja di Agroindustri Peternakan Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha peternakan Jumlah desa dengan penduduk kerja disektor peternakan

A

ttr

ib

u

te

dalam setahun. Materi penyuluhan dan pelatihan biasanya terkait dengan sosialisasi bibit unggul, pembuatan pakan dari limbah peternakan dan pembuatan pupuk organik. Daerah dengan potensi peternakan sapi potong yang menjanjikan seharusnya sering mengadakan pelatihan dan penyuluhan terkait dengan kemajuan teknologi budidaya peternakan atau sosialisasi kebijakan peternakan yang diterapkan pemerintah. Pelatihan dan penyuluhan harus lebih sering dilakukan karena banyak permasalahan mendasar dalam budidaya peternakan seperti kebersihan kandang yang belum memiliki penyelesaian masalah.

5 Pertumbuhan rumah tangga peternak tergolong lamban. Hal ini menunjukkan bahwa insentif beternak sapi potong berkurang. Saat ini, pemerintah setempat tidak melakukan inovasi dalam mendorong masyarakat beternak sapi potong. Seharusnya pemerintah setempat mendorong pertumbuhan rumah tangga peternak untuk mendukung pengembangan sentra ternak sapi potong melalui program agropolitan.

Gambar 8 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

6.1.4 Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi berjumlah 12 (dua belas) atribut. Penentuan atribut-atribut sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, ditentukan melalui analisis

leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 9) diperoleh 1 (satu) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis.

Sarana dan prasarana agribisnis yang dibangun dalam rangka memajukan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bondowoso memang tergolong minim. Pada subsistem agribisnis hulu, terdapat permasalahan mendasar seperti ketersediaan input usaha ternak seperti industri pakan konsentrat yang tidak tersedia, lokasi kandang yang berada di pemukiman penduduk, ketersediaan lahan pakan hijauan yang terbatas dan tidak handalnya tenaga kerja usaha ternak sapi potong. Pada subsistem agribisnis budidaya, terdapat permasalahan mendasar seperti kesulitan membeli sapronak karena keterbatasan ketersediaan sapronak, sistem pemeliharaan ternak yang masih tradisional karena kurangnya sarana dan prasarana informasi budidaya ternak sapi potong, jumlah dan kehandalan petugas kesehatan hewan yang terbatas sehingga kurang aktif dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak. Pada subsistem agribisnis hilir, terdapat permasalahan mendasar seperti minimnya agroindustri produk olahan ternak sapi potong, ketersediaan pasar hewan dan pasar produk agroindustri ternak yang terbatas. Pada subsistem lembaga penunjang usaha ternak sapi potong, terdapat masalah mendasar terkait dengan prasarana penunjang (jalan usaha tani, koperasi, dan lembaga keuangan), sarana (transportasi, informasi, kredit dan peralatan ternak), kebijakan (RUTR, makro dan mikro) serta penyuluhan yang memerlukan peningkatan kualitas maupun kuantitas.

0.74 1.05 0.66 0.57 0.49 0.43 0.39 2.60 0.21 0.05 0.48 1.12 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Penyebaran tempat pelayanan Poskeswan Penyebaran tempat pos pelayaan inseminasi buatan Penggunaan vitamin dan probiotik Teknologi pakan Teknologi pengolahan limbah ternak sapi potong Teknologi pengolahan hasil produk ternak sapi potong Teknologi informasi dan transportasi Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis Ketersediaan Sarana dan Prasarana Umum Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan Ketersediaan teknologi informasi peternakan Standarisasi mutu produk peternakan

A ttr ib u te

Gambar 9 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

6.1.5 Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan berjumlah 8 (delapan). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak 5 (lima) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: 1 Ketersediaan badan pengelola kawasan agropolitan sangat diperlukan dalam

mendukung keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Badan ini berperan antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional, dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan

master plan, program, dan melaksanakan program kawasan agropolitan; c) Sumber: Data Primer (diolah)

menumbuh kembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan

2 Koperasi ternak sapi potong merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersama- sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya gabungan koperasi susu Indonesia (GKSI).

3 Ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) di daerah ini sangat sedikit yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return).

4 Ketersediaan aturan kearifan lokal dalam usaha ternak sapi potong sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha ternak sapi potong. Pada lokasi penelitian aturan kearifan local setempat mulai ditinggalkan oleh masyarakat dikarenakan pengaruh moderenisasi yang semakin kuat. Perbaikan atribut ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali aturan local yang dianggap rasional dan baik untuk dikembangkan melalui sosialisasi kembali oleh para tokoh masyarakat setempat.

5 Lembaga penyuluhan pertanian sudah terdapat di daerah ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap

5.90 7.43 3.93 4.45 4.36 3.88 3.20 0.47 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Koperasi Ternak Sapi Potong Badan Pengelola Kawasan

Agropolitan Lembaga Penyuluh Pertanian

Lembaga Keuangan Mikro (Bank/Kredit) Ketersediaan aturan kearifan lokal usaha ternak sapi potong

Ketersediaan Kelompok Tani Kesesuaian kebijakan pusat dan

daerah

Perjanjian Kerjasama dengan Daerah Lain A tt r ib u te

mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan.

Gambar 10Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

6.1.6 Multidimensi

Hasil analisis Rap-AGROSAPOT multidimensi keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 54.78% dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 70 (tujuh puluh) atribut dari lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur/teknologi, dan hukum/kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-AGROSAPOT mengenai keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potongsapi potong dapat dilihat pada Gambar 11.

-0.21 -0.21 -0.21 -0.21 54.78 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 -20 0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeder Sustainability

O the r D is ti ng is hi ng Fe at ure s Real Breeder References Anchors

Gambar 11 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Bondowoso Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso pada taraf kepercayaan 95%, menunjukkan hasil yang tidak mengalami perbedaan besar dengan hasil Rap-AGROSAPOT (MDS). Hal ini menginterpretasikan bahwa kesalahan dalam analisis kecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang mampu dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-AGROSAPOT

Dimensi Keberlanjutan MDS Monte Carlo Perbedaan

Ekologi 41.61 42.76 1.15 Ekonomi 57.73 57.74 0.01 Sosial-Budaya 58.05 57.57 0.48 Infrastruktur/Teknologi 47.05 47.13 0.08 Hukum/Kelembagaan 75.46 72.36 3.10 Multidimensi 54.78 54.72 0.06

Sumber: Data Primer (diolah)

Hasil analisis Rap-AGROSAPOT menunjukkan bahwa semua atribut yang

Dokumen terkait