• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Psikologis Tokoh Shoko Tendo yang Terdapat Dalam Novel Yakuza Moon

ANALISIS PSIKOLOGIS DALAM NOVEL YAKUZA MOON

3.2. Analisis Psikologis Tokoh Shoko Tendo yang Terdapat Dalam Novel Yakuza Moon

Cuplikan hal 4,5

Orangtuaku selalu bersikap lembut, tetapi mereka tak bias dibantah dalam urusan tata karma. Bahkan, pembantu kami pun dilarang memanjakan kami. Kami tidak dibolehkan menonton televisi selagi makan, lalu selesai makan, kami harus membersihkan sendiri piring kami. Meskipun dididik dalam tata krama kuno, aku menyukainya.

Beberapa hari setelah itu, ayah terlilit perkara dan dijebloskan ke dalam penjara. Kami tidak pernah punya urusan dengan tetangga kiri-kanan sejak kami pindah rumah, tetapi tiba-tiba setiap orang menggunjingkan kami-dan semuanya menjijikkan. Inilah pengalaman pertama kami dilecehkan, tetapi itu bukan yang terakhir.

Suatu saat, ketika ku menggambar di depan rumah, salah seorang perempuan yang melintas di jalanan mendekati aku. Ia membungkuk dan membisikan sesuatu di telingaku, “ Shoko-chan, tahukah kamu bahwa kakakmu yang paling tua bukan kakak kandungmu? Ibumu sudah punya anak sebelum bertemu dengan ayahmu.”

Apa yang dikatakan perempuan itu tidak mempengaruhi perasaanku terhadap kakak lelakiku. Aku hanya tidak paham kenapa seseorang harus menyampaikan kepada anak kecil hal semacam itu. Dan, anak-anak di sekitar rumah segera saja meniru kelakuan orang tua mereka. Di sekolah, aku dipanggil “yakuza kecil” dan

dipelakukan sebagai orang buangan. Masa pendidikanku di sekolah dasar berubah menjadi enam tahun penindasan.

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat ditarik analisis bahwa tokoh utama yaitu Shoko Tendo adalah orang yang menyukai keteraturan dan tata krama karena dia menyukai aturan yang dibuat oleh orang tuanya. Shoko Tendo juga memiliki hati yang tulus dan ikhlas dalam menerima anggota keluarganya walaupun dia tahu bahwa kakak lelaki nya bukan saudara kandung. Shoko Tendo justru menyalahkan orang yang menyampaikan hal ini kepadanya karena dia tidak senang kejelekan anggota keluarganya dibicarakan oleh orang lain.

Dari cuplikan di atas kelihatan sekali bagaimana Shoko merasa tidak nyaman dengan lingkungan tetangganya. Ini terlihat dari cuplikan ‘ tetapi tiba-tiba setiap orang menggunjingkan kami-dan semuanya menjijikkan.’ Dalam hal ini struktur kepribadian Super ego menjadi lebih dominan karena tokoh dapat membedakan yang mana yang baik dan yang tidak baik.

Penindasan dan masa kecil Shoko Tendo yang suram dimulai dari hal ini dan ia mengalami keterkejutan dengan semua pelecehan dari lingkungan tetangga dan di sekolah. Dan apabila dihubungkan dengan sistim kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga system kepribadian yang disebut Id, Ego, dan Super Ego. Dan dalam hal ini, sruktur Id tercermin dalam tokoh Shoko Tendo karena tokoh merasa tidak nyaman, merasa tertindas terabaikan serta tersisihkan dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya sehingga terdapat

keinginan untuk berusaha mencari jalan keluar dari penindasan itu yang menurut dia sangat lama sekali. Dengan cara mencari tempat dan orang - orang yang dapat menerima keberadaannya apa adanya walaupun tidak jelas apakah lingkungan itu dapat membuat dirinya menjadi lebih baik atau tidak.

Cuplikan (hal. 7, 32)

Namun, akibatnya, karena aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun, penindasan yang ditujukan kepadaku menjadi rutin. Pakaian dan sepatu senamku dicampakkan ke tungku. Ketika tugas bersih-bersih, aku selalu menjadi satu-satunya yang harus membersihkan lantai. Selebihnya, aku nyaris sepenuhnya diabaikan sehingga rasanya aku tidak pernah ada. Yang paling banyak menindas dan melecehkan aku adalah anak-anak pintar yang orang tuanya memiliki pekerjaan terhormat.

Cara mereka menyakitiku sungguh licik dan cerdik sehingga guru-guru tidak mengetahuinya, kecuali aku melakukan perlawanan. Aku sadar, tak ada gunanya menceritakan kepada siapa pun; itu hanya akan membuat urusan makin runyam. Para penggangguku akan melakukan segala cara agar tidak ketahuan di lain waktu. Tetapi, peduli setan dengan apa yang mereka lakukan padaku, aku tidak pernah menangis atau mangkir dari sekolah, kecuali aku benar-benar sakit.

Satu-satunya temanku hanyalah pensil dan buku catatan. Aku menghabiskan waktu makan dan istirahat dengan menggambar apa saja dan mengabaikan segala ejekan teman-teman sekelasku.

“Aku yakin ayahmu tak akan mengambil rapor karena ia dalam penjara!” “Apa salahnya menjadi yakuza?’ balasku; satu-satunya yang membuatku tak tahan adalah mendengar orang tuaku dilecehkan. Dan, sekalipun menjadi puteri yakuza tidak berarti aku terus diperlakukan sebagai sampah, aku memutuskan untuk tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain, sekadar demi mendapatkan teman.

“Tanda tangan di sini!” katanya menyorongkan kertas ke depan hidungku. Aku tidak bereaksi. Sebanyak apapun ia memintaku, aku hanya duduk membatu.

“Aku tahu kau anak kepala bajingan. Kau sama sekali dengan ayahmu. Pasti kau ini seorang pelacur.”

Sangat ironis kupikir. Begitu dia gagal menginterogasiku, ia menyeret-nyeret ayahku. Aku tidak tahan lagi. Hanya satu hal yang aku tahu, apa pun yang aku katakan, itu hanya akan memberatkanku.

Analisis

Demikianlah bebera cuplik percakapan yang terjadi ketika Shoko Tendo masih di sekolah dasar. Shoko Tendo terlahir sebagai anak dari seorang Yakuza, seorang mafia Jepang. Ia memiliki dua orang kakak dan seorang adik. Serta seorang ibu yang lemah lembut dan sangat baik, khas yamato nadeshiko (wanita sempurna ala Jepang). Dengan kehidupan mewah, aman, dan tenteram karena hasil dari bisnis yang dimiliki ayahnya. Ia bahkan dengan memelihara seekor anjing dan kucing, serta ikan

Dari cuplikan di atas juga kelihatan bahwa penindasan terhadap tokoh masih berlanjut dan bahkan menjadi lebih rutin. Tokoh masih merasa terabaikan dan hanya memiliki teman pensil dan buku catatan saja. Tokoh tidak berani mengadukan hal ini kepada guru atau mungkin juga pihak yang berwajib Karena dia tidak memiliki kepercayaan kepada mereka. Guru-gurunya juga sudah pernah mengejek dan menjelekkan tokoh dengan cara yang lebih halus.

Apabila berurusan dengan polisi mungkin keluarga mereka juga akan berhadapan dengan hukum karena status keluarganya yang yakuza. Mendengar ayahnya yang yakuza dihina oleh temannya dan juga opsir penjara membuat tokoh menjadi emosi karena tokoh tidak dapat menerima kenyataan orang tuanya juga dilecehkan.

Dikaitkan dengan sistim kepribadian Sigmund Freud, Ego menjadi dominan atau lebih menguasai tokoh karena tokoh melaksanakan dorongan-dorongan dari Id untuk melakukan perlawanan terhadap perkataan temannya. Tokoh tidak perlu berpura-pura atau tidak menjadi diri sendiri demi mendapatkan teman karena tokoh menyadari kenyataan yang dihadapi yang sedang terjadi. Dalam melaksanakan tugasnya Ego selalu berpegang pada prinsip kenyataan atau reality principle.

Culikan (hal. 8)

Ibu sungguh istimewa bagiku. Aku anak yang sakit-sakitan, dan karenanya ia selalu mencemaskan keadaanku dan tidak pernah jauh dariku. Tetapi ini juga berarti bahwa aku selalu dihantui rasa takut ia akan meninggalkanku selama-lamanya. Suatu ketika, saat aku terbaring sakit di tempat tidur, aku membuka mata dan tidak

menemukan ibu di dekatku. Aku memanggil-manggilnya, tetapi ia tidak menjawab. Aku berlari ke jalanan tanpa alas kaki untuk mencarinya. Akhirnya aku menemukannya sedang melangkah pulang dari toko.

Aku tidak bisa menjelaskan ketakutanku. Selama aku sakit, ibu selalu membawakan makanan untukku ke tempat tidur. Aku tidak pernah bisa tahu betapa pendek waktu untuk menjalani saat-saat menyenangkan itu bersama ibu.

Analisis

Dari cuplikan di atas sangatlah jelas bahwa tokoh sangat menyayangi ibu dan demikian juga hal nya dengan ibu yang juga sangat menyayangi tokoh Shoko. Tokoh hanya mempercayai dan sangat nyaman bersama ibu dan sangat takut sekali kehilangan ibu suatu saat. Dalam hal ini sistim kepribadian Id lebih dominan.

Adanya dorongan-dorongan hati yang cemas dan takut akan kehilangan akan sosok ibu dari hidupnya membuat tokoh segera mencari ibu kemana-mana demi memuaskan rasa puas dan tenang jika sudah bertemu dan dekat dengan sang ibu. Id selalu terlaksana mengikuti Pleasure Principle yaitu bertugas untuk secepatnya melaksanakan dorongan hati agar tercapai rasa senang dan puas jika sudah terpenuhi.

Cuplikan (hal. 9, 12, 21)

Mizuguchi mendekatkan mukanya ke mukaku dan mencoba menciumku. Aku meronta saat ia memasukkan tangan kasarnya ke dalam piyamaku dan meremas payudaraku. Aku bisa melihat tato di lengannya menyembul dari balik lengan bajunya. Aku mencoba menendang dan memukul untuk membebaskan diri dari

remasannya, tetapi aku sangat takut, tubuhku gemetar, dan aku hamper muntah. Beberapa hari kemudian, mizuguchi ditangkap karena kasus obat terlarang. Sejak itu, aku tidak bisa lagi mempercayai orang-orang dewasa.

Aku tahu bahwa ayah bekerja keras untuk kami. Namun, saat aku merangkak ke kasurku di malam hari, yang terpikir olehku adalah hanyalah bagaimana ia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan membantingi apa saja. Dalam kegelapan malam, aku memandangi urat-urat kayu di langit-langit. Lalu, beberapa waktu kemudian, akan muncul paras muka mengerikan yang membuat aku dihantui perasaan takut. Saat ibu membaringkan tubuhnya ke tempat tidur dan tidur di kasur sebelahku, diam-diam aku selalu memperhatikan wajahnya. Saat itulah, aku baru merasa tenang dan bias memejamkan mata. Pada hari-hari itu, aku tidak pernah bias tidur nyenyak dan nyaris tidakmungkin bagiku untuk mengikutisepenuhnya pelajaran di sekolah. Terus terang saja, aku tidak yakin akan bias menangkap pelajaran dengan baik.

Dan, kemudian setelah enam tahun penuh penderitaan, pendidikanku di sekolah dasar akhirnya rampung.

Yuya menanggalkan pakaianku seperti ia telah melakukannya jutaan kali sebelumnya dan menciumku. Tiba-tiba kenangan mengerikan dari masa kanak-kanak menyelinap di kepalaku. Tangan Yuya merambat turun dari payudaraku, dan aku tak sangsi lagi apa yang akan terjadi

Aku benar-benar tidak peduli pada perkelahian. Bagaimanapun, ini bukan merupakan pertama kali anggota geng yang lebih tua mengadili aku dan ini pun mungkin bukan yang terakhir. Karena itu, aku tak paham kenapa tiba - tiba aku

gemetar. Kemudian, aku sadar. Suara menakutkan itu berbisik di tempurung kepalaku, “Shoko-chan, kau sudah besar sekarang…..”

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat ditarik analisis bahwa dengan pengalaman pertama tokoh hampir diperkosa oleh anak buah yakuza dari ayahnya pada waktu umur Shoko Tendo masih sangat muda, tokoh mengalami trauma sehingga ia tidak dapat mempercayai orang dewasa lagi. Seperti dikatakan Freud, trauma memang tidak muncul secara spontan. Neurosis traumatik dengan jelas menunjukkan bahwa fiksasi terhadap traumatik jelas tergantung pada akarnya.

Pengalaman traumatik adalah pengalaman dalam jangka waktu pendek memaksa pikiran untuk melakukan peningkatan stimulus melebihi yang bisa dilakukan dengan cara normal sehingga hasilnya adalah gangguan terus-menerus pada distribusi energi pada pikiran.

Analogi ini juga memungkinkan mengklasifikasikannya sebagai pengalaman yang sangat berkesan pada perasaan terdalam para pasien. Tokoh juga mengalami trauma dengan sang ayah karena sebagai anak yang masih muda sekali tokoh sudah melihat di depan mata kepala sendiri sang ayah pulang ke rumah dalam keadaan mabuk bersama hostes-hostes. Selain itu sang ayah juga apabila mengamuk akan melempari apa saja kepada siapa saja yang di rumah, bahkan sering melakukan kekerasan terhadap sang ibu.

Inilah juga awal ketenangan tokoh utama berada di rumah sendiri menjadi tidak ada. Pada awalnya kehidupan sebagai seorang anak yakuza tidak menjadi

masalah baginya. Ia bahkan membela ayahnya yang di penjara. Terbukti dari kata-kata pembelaan seperti yang disebutkan di awal. Tetapi ketika ia memasuki kelas empat sekolah dasar, tibalah saat ayahnya dibebaskan. Adalah saat yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.

Namun sebaliknya, setelah keluar dari penjara, tingkah sang ayah malas berbalik menjadi pemarah dan pemabuk. Ayahnya menjadi suka memukuli ibunya. Membuat Na-chan, adik Shoko selalu dirundung ketakutan. Sedangkan Shoko selalu sebagai pihak yang harus menenangkan semua orang.

Trauma yang ke tiga adalah ketika ia ingin menunjukkan kepada anggota geng yanki bahwa dia sudah dewasa dengan cara berhubungan badan tapi pada saat tangan Yuya, sang pacar sudah mulai beraksi membuka baju nya, tokoh tiba-tiba teringat saat pertama dia diperkosa dan ia menjadi ketakutan, tetapi ia takut menunjukkannya pada Yuya. Dan bahkan dari cuplikan di atas Shoko lebih takut dan merasa seram dan gemetar ketika dia juga mendengar suara orang yang menyelamatkan dia dari pemerkosaan antar geng mengucapkan hal yang sama ketika ia diperkosa pertama kali.

Bahkan dia lebih takut daripada perkelahian antar geng yanki yang bisa merenggut nyawa daripada menghadapi kata-kata yang membuatnya teringat masa kanak-kanaknya. Dalam hal ini teori Freud adalah trauma kesadaran

Cuplikan (hal. 39, 41,43)

…namun, tak ada celah untuk menghindar. Setiap aturan dibuat kecuali menaatinya. Bagi orang sepertiku, yang bertindak semaunya sendiri, ini merupakan

pelajaran yang bisa memahami betapa pentingnya kebebasan itu. Aku tahu apa yang dikatakan ayah di pengadilan itu adalah benar. Kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Jika kita melakukan hal-hal yang buruk, maka inilah yang terjadi. Hanya aku satu-satunya orang d antara semua peserta perkelahian yang dijebloskan ke sekolah anak nakal, tetapi itu oke-oke saja. Jika mereka membebaskan aku begitu saja dari rumah tahanan, pastilah aku tidak pulang ke rumah, aku akan keluyuran lagi bersama teman-teman. Jadi, ini hanyalah soal waktu, sebab cepat atau lambat aku tetaplah akan dikirim ke tempat ini.

Sepanjang waktu itu, aku sering memikirkan air mata ibu yang menetes di punggung tanganku di ruang sidang, dan betapa sedihnya orangtuaku saat melihat aku dibawa petugas. Aku memahami kepedihan yang kutimpakan pada setiap orang, tetapi aku masih belum bisa mengambil pelajajaran dari sana.

Kedua orangtuaku sudah masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu tetap terbuka untukku. Mereka berdiri di ambang pintu, tidak terucap sepatah kata pun, hanya sorot mata mereka yang memintaku mengikuti mereka. Ketika membalikkan badan tanpa menginjakkan kaki di rumah sama sekali, aku merasa mata kedua orangtuaku mengebor punggungku. Hatiku merasa berat, tetapi aku belum cukup dewasa untuk melawan panggilan untuk bersenang-senang.

Analisis

Dari cuplikan di atas tokoh utama, yaitu Shoko Tendo setelah mengalami tinggal di rumah tahanan anak-anak nakal, dimana ruangan nya sangat sempit dan pengap, dengan makanan yang jauh dari layak, dan bertemu dengan orang-orang yang nakal juga, sedangkan bertemu dan bersenang-senang dengan teman-temannya

sudah tidak bisa dilakukannya lagi akhirnya bisa menyadarkan konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Apalagi setelah melihat dan menyadari dia telah membuat orang yang dikasihinya menangis sedih, Shoko semakin menyadari kesalahannya. Namun, walaupun dia sudah menyadari arti kebebasannya setelah pulang dari penjara, Shoko masih belum bisa melawan godaan hatinya untuk bergabung dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Dia melupakan janjinya kepada diri sendiri akan menjadi anak yang baik, tetapi semua nya terkalahkan oleh kesenangan yang akan dia dapat. Dalam sistim kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, Super Ego Shoko Tendo dikalahkan oleh Id yang selalu lebih banyak berbicara dalam hati Shoko, agar segera dilaksanankan kesenangan-kesenangan itu. Hal ini jelas terlihat dari ungkapan “…hatiku merasa berat, tetapi aku masih belum cukup dewasa untuk melawan panggilan untuk bersenang-senang.”

Cuplikan (hal. 47)

Fujiwa-san adalah orang dewasa yang bicara padaku tanpa menghakimi penampilanku. Ngobrol dengan nyonya tua ini saat kami berjalan-jalan di taman kecil rumah sakit membuat perasaanku tenang.

Analisis

Shoko Tendo sebagai anak yang masih kecil membutuhkan kawan yang bisa menerima dirinya apa adanya tanpa mencela dan menghakimi penampilan dan latar-belakang keluarganya. Apabila diteliti lebih lanjut lagi sebenarnya Tokoh sedang mencari suatu perlindungan (rasa aman), ia sedang mencari sahabat yang benar-benar bisa dipercaya dengan sahabatnya inilah ia mengemukakan segala isi kalbunya.

Fujiwasan adalah seorang orang tua yang menurut tokoh bisa mengerti dan menerima dirinya tanpa menghakimi penampilan dan latar-belakang dirinya seperti yang biasa dilakukan orang-orang di sekelilingnya.

Cuplikan (hal.48)

Suatu hari, aku pergi membeli soda kalengan dari otak mesin dan melihat sebuah dompet tergeletak di lantai dekatku. Aku memeriksa isinya dan menemukan uang tunai dalam jumlah besar: 180 yen. Ketika aku masih kecil, orang tuaku biasa mmeberiku uang saku untuk membeli pensil dan alat-alat sekolah, tetapi sejak aku menjadi Yanki mereka tidak memberiku apa-apa lagi. Uang itu besar sekali jumlahnya, dan aku ingin sekali menyimpannya. Namun, aku merasa bahwa Tuhan sedang mengawasiku di suatu tempat, maka aku menyerahkan uang itu ke ruang perawat. Segera setelah itu, aku sedang duduk bersama ayah di kafetaria, telah ditemukakan sejumlah uang di dekat mesin penjualan makanan. Tak lama kemudian, seorang perawat mendekati kami sambil mendorong kursi roda. Di kursi itu, duduk seorang lelaki berbalut piyama, kira-kira seusia ayah. Lelaki itu tampak tercengang melihat bahwa seorang yanki sepertiku mengembalikan dompet yang berisi banyak uang.

Analisis

Dari cuplikan di atas, sebenarnya Shoko sangat memerlukan uang yang di dapatnya karena berhubunan keluarga mereka juga dalam keadaan krisis, apalagi ayahnya juga sakit, juga Shoko ingin memakai uang itu untuk membeli beberapa kebutuhannya, tetapi hati nurani Shoko masih berbicara dan memngingatkan dirinya untuk segera mengembalikan itu kepada pemiliknya. Dalam struktur kepribadian

maka Super Ego menang karena hakim dalam hatinya mengalahkan Id yang menginginkan uang itu. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan “Namun, aku merasa Tuhan mengawasiku di suatu tempat, maka aku mengembalikan uang itu kepada perawat”, selain itu Shoko juga berfikir pemiliknya pasti sedang terbaring sakit di rumah sakit ini juga sama halnya seperti ayahnya dan pasti membutuhkan uang ini untuk biaya perawatan rumah sakit.

Cuplikan (hal. 71, 73, 84)

Salah seorang temanku menjadi sangat kacau karena kecanduan sehingga ia mengalami delusi. Ia menanam keyakinan bahwa pacarnya menghianati dia, dan ia kemudian membakar rumah gadis itu. Ia juga meyakini bahwa pori-pori kulitnya penuh belatung, dan ia menyayat kulitnya sendiri dengan pisau. Bejam-jam ia menekan bintik-bintik di kulitnya, yang biasa muncul pada para pecandu, sampai kulitnya rusak dan bernanah. Ia meyakini bahwa seseorang sedang mengawasinya sehingga ia menutup semua jendela di rumahnya dengan selotip. Ia merasa bisa mendengar para tetangga menjelek-jelekkan dirinya, karena itu ia merangsek pintu depan dengan kaki telanjang dan mengancung-ancungkan pisau, tetapi begitulah, tak ada seorang pun disana.

Aku tidak mau mendengar itu, aku tidak mau melihat itu, aku tidak mau tidak tahu tentang itu. Aku tidak mau mereka tahu mengenai aku. Aku tidak mau menjadi salah satu dari mereka.

Melayang bersama Maejima membantuku menyingkirkan penderitaan yang membelit rumahku. Kapan pun aku diam di rumah, melihat ibuku terisak-isak saat penagih utang menggedor pintu, dan Na-chan memelukku ketakutan, aku akan

merindukan darah megalir di tabung suntikan. Hanya dengan itu, aku segera terbebas dari kenyataan.

Gadis kecil yang selalu diganggu di sekolah, anak-anak naïf yang hampir diperkosa Mizuguchi, anak patuh yang selalu membantu ibu membersihkan lantai setelah ayah mengamuk, anak-anak yang selalu berhati-hati agar tidak membuat ayah marah, itu semua bukan aku yang sebenarnya. Aku terbiasa memikirkan segala peristiwa di masa anak-anakku seolah-olah semua terjadi pada orang lain. Lebih menentramkan begitu. Berkali-kali, aku menciptakan diriku yang baru, dan tidak mungkin lagi mengatakan siapa Shoko sebenarnya. Aku bisa memisahkan hati dan pikranku dari tubuh kemudian melenyapkan diriku dalam pesona yang kudapat dari Maejima dan amfetamin. Namun, setiap kali kencan yang dilandasi bubuk putih dengan maejima berkhir dan segala pesona menghilang, yang tersisa adalah kekosongan emosi, dan perasaan bersalah terhadap Shin.

Kenanganku mulai berbaur dengan kenyataan yang jorok. Mula-mula, pikiranku melayang-layang bahagia saat aku terbaring di ranjang bundar hotel mesum, tetapi tiba-tiba aku kepayahan saat aku terbenam ke tempat yang lebih suram dan menakutkan.

Analisis

Tokoh tidak bisa menjadi diri sendiri di tengah-tengah permasalahan yang dihadapi keluarganya. Tokoh tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi masalah, tetapi malah menghindari masalah dengan cara lemah terhadap diri sendiri dan menuruti nafsu-nafsu untuk memakai narkoba dan menuruti kemauan Maejima

Dokumen terkait