• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PSIKOLOGIS DALAM NOVEL YAKUZA MOON

3.1. Sinopsis Cerita Novel Yakuza Moon

Pada masa kecilnya, Shoko Tendo begitu yakin bahwa dunia yang dijalaninya teramat indah. Shoko hidup dikelilingi oleh keluarga besar yang mencintainya, dan juga tamu-tamu yang selalu datang berkunjung dan menghormati keluarganya. Ayah dan ibunya, Hiroyashu dan Satomi, begitu ia sayangi. Shoko adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak lelakinya, Daiki, hanya terpaut dua belas tahun lebih tua darinya, dan Maki, kakak perempuannya, dua tahun lebih tua darinya. Adik bungsunya, Natsuki – atau biasa dipanggil Na-Chan – lima tahun lebih muda darinya. Tempat tinggalnya di kota Sakai menjadi begitu indah pada mulanya.

Kehidupan Shoko-Chan mulai berbeda sejak ayahnya terlibat masalah dan dijebloskan ke penjara. Shoko yang baru saja masuk ke sekolah dasar terpaksa harus belajar menerima bahwa keluarganya selalu dipergunjingkan oleh para tetangganya. Di sekolah, Shoko selalu diolok-olok baik oleh para guru maupun teman-temannya. Akibatnya, di sekolah ia selalu menyendiri dan hanya berteman buku dan pensil. Meski begitu, ia tidak pernah menyesali apalagi mengutuk kenyataan dirinya yang merupakan putri seorang yakuza. Dia menjadi sangat sayang pada rumah, dan terlebih ibunya yang dicintainya.

Di masa ini, Shoko pertama kalinya mengalami pelecehan seksual. Shoko yang saat itu baru pulang sekolah dalam keadaan demam, tengah berbaring di kamarnya. Tiba-tiba, Mizuguchi – seorang yakuza muda di geng ayahnya – memasuki kamar dan menghampirinya. Sejak itu, ia tidak bisa mempercayai orang dewasa. Ketika Shoko memasuki kelas empat, ayahnya keluar dari penjara. Tapi, tabiat ayahnya semakin bertambah buruk. Ayahnya selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Di pagi harinya, dia tidak pernah sadar akan perbuatannya. Shoko dan keluarganya harus bersabar menghadapi hal itu. Akhirnya, enam tahun pendidikan Shoko yang melelahkan di sekolah dasar pun berakhir.

Tahun-tahun berikutnya di SMP berujung dengan pengalaman Shoko di dunia

Yanki. Yanki adalah sebutan untuk anak liar yang mengecat putih rambutnya dan

kebut-kebutan di jalan raya. Shoko mengikuti jejak kakaknya, Maki, dengan kabur dari rumah dan meninggalkan sekolah. Dia menjadi terbiasa mabuk dengan cara menghirup thinner. Shoko segera kehilangan keperawanannya dengan Yuya, seorang Yanki yang dua tahun lebih tua darinya. Shoko berpikir bahwa kehilangan keperawanan adalah semacam ritual menjadi “dewasa”. Dia menjalani ritual tersebut dengan tanpa perasaan apapun dan sama sekali tidak memberi kesenangan apapun baginya. Shoko – seperti halnya Maki – mulai terjebak dengan kehidupan khas Yanki. Minggat dari rumah, ditemukan, diseret pulang, dan dipukuli ayah. Ia akan menunggu lukanya sembuh dan kemudian minggat lagi.

Namun, setelah ditangkap beberapa kali oleh polisi, Shoko akhirnya dijebloskan ke penjara anak-anak. Lalu, ia dihukum dimasukkan ke sekolah anak nakal. Setelah keluar dari sekolah anak nakal, Shoko tidak bermaksud untuk berubah sedikit pun. Ia kembali terjerumus dalam dunia Yanki. Sementara itu, kehidupan keluarganya tidak kunjung membaik. Rencana pernikahan kakaknya, Daiki, berantakan setelah kelaurga calon istrinya mengetahui latar belakang keluarga Daiki. Lebih buruk lagi, ayahnya menjadi penjamin pinjaman salah satu kenalannya. Dengan begitu, keluarganya terjerumus ke neraka utang. Bunga utang itu sampai mencapai lima puluh persen per sepuluh hari. Setiap hari hingga musim dingin seluruh perabotan di rumahnya hilang dibawa para penagih utang.

Dalam suasana buruk seperti itu, Shoko malah mulai mencoba narkoba. Dia menjalaninya masih dengan alasan agar dikatakan “dewasa”. Hampir saja dia kembali menjadi korban pelecehan seksual akibat kecanduan narkoba. Sayangnya, hal buruk itu belum akan berakhir. Maejima – seorang rentenir yang telah banyak meminjami ayahnya uang – memanfaatkan urusan utang dengan ayahnya untuk menundukkan Shoko dalam lingkaran narkoba dan seks. Shoko terjebak dalam lingkaran setan narkoba dan seks. Segera ia menjadi budak seks Maejima.

Di tengah-tengah pengaruh Maejima yang teramat kuat dalam hidupnya itu, Shoko mencoba untuk bekerja di bar. Di sana ia berkenalan dengan Shin, seorang pelanggan yang kemudian menjadi kekasihnya. Namun, statusnya sebatas sebagai seorang simpanan atau gundik. Shoko mendapat hadiah ulang tahun sebuah apartemen dari Shin. Meski begitu Shoko tidak bisa lepas begitu saja dari Maejima. Kenyataan Shin yang jarang pulang ke apartemennya dimanfaatkan Maejima untuk terus berusaha menemui Shoko. Adapun Shoko tidak pernah bisa menolak Maejima, padahal hubungannya dengan Maejima tidak pernah baik. Selain menjadi budak seks dan narkoba, Shoko juga selalu diperlakukan tidak manusiawi. Dia mengalami kekerasan hampir setiap saat ia bertemu dengan Maejima. Terlebih saat itu Shoko sedang hidup bersama Shin. Shoko disiksa terus - menerus, dan pada saat yang bersamaan Maejima juga selalu mengulang kata-kata yang sama, “Aku cinta padamu.” Hubungannya dengan Maejima berakhir ketika Shoko ditinggalkan dalam keadaan sekarat akibat kecanduan narkoba oleh Maejima di hotel mesum yang biasa mereka tinggali.

Kejadiannya saat itu mereka berdua telah dua hari berada di hotel mesum itu. Shoko ingin pulang ke rumahnya, sebab beberapa hari sebelumnya rumah keluarganya resmi disita oleh lembaga kepailitan. Keluarganya terlantar dan pindah ke rumah yang sangat kecil. hal ini sangat menyedihkan bagi Shoko. Niatnya untuk pulang itu tidak disukai oleh Maejima. Maejima memukul wajahnya, menendang rusuknya, menjambak rambutnya, kemudian menariknya ke lantai.

Setelah itu, Maejima menusukkan amfetamin dosis tinggi ke lengan Shoko. Pada saat jarum suntik dicabut, wajah Shoko berkeringat dan tubuhnya terasa lengket. Dadanya seperti terpanggang, dan Shoko menekankan tangannya ke jantung untuk menenangkannya, tapi tak ada gunanya. Shoko pingsan dan tidak bisa bernafas. Melihat Shoko yang menderita seperti itu, Maejima malah kabur. Dua hari kemudian Shoko sekarat di apartemennya merindukan jarum suntik narkoba. Dia mengalami halusinasi terus-menerus. Akhirnya setelah tiga hari halusinasi itu berakhir, dan nafsu makannya kembali.

Saat itulah Shoko memutuskan untuk membebaskan diri dari narkoba selamanya. Adapun Maejima, kurang dari sebulan setelah meninggalkan Shoko di hotel mesum, dia meninggal dunia akibat pendarahan paru-paru. Setelah terbebas dari narkoba, Shoko melanjutkan bekerja. Beruntung dia mendapatkan pekerjaan sebagai hostes di mana saat itu situasi ekonomi di Jepang cukup baik.

Saat itu tahun 1987 adalah puncak buble era yaitu masa melambungnya perekonomian Jepang dan uang mengalir dengan lancar. Karenanya, para pelanggan

Shoko sangat royal dalam mengeluarkan uang mereka. Malangnya, justru perusahaan Shin malah mengalami kebangkrutan sehingga dia tidak bisa lagi mengirimi Shoko uang. Namun, Shoko tetap mencintainya meski Shin sedang bangkrut. Sementara itu, Orang tuanya dan Na-Chan pindah ke kontrakan kecil, dan kakak laki-lakinya pindah ke apartemen di dekat kontrakan tersebut. Penghasilan orang tuanya amat kecil. Ayahnya bekerja sebagai buruh kasar, sedangkan ibunya menjadi pegawai kebersihan di hotel mesum.

Berikutnya, Shoko sempat berkenalan dengan Kuramochi – pelanggannya – namun Shoko tidak berminat untuk memiliki ikatan dengannya sebab masih terikat pada Shin. Kemudian, sekali lagi Shoko berkenalan dengan seorang lelaki yang mengaku masih bujangan, bernama Ito. Malangnya, ternyata Ito berbohong padanya. Ito telah beristri. Namun, Shoko terlalu mudah memaafkan, sehingga sekali lagi dia menjalani peran sebagai simpanan.

Suatu ketika, Shoko mengalami kejadian buruk lagi dengan Ito. Shoko mengalami kekerasan oleh Ito, dan kekerasan itu semakin menjadi-jadi. Seperti halnya Maejima di masa lalunya, Ito pun selalu mengatakan bahwa dia mencintai dan meminta maaf pada Shoko setiap ia selesai menyiksanya. Tentu saja Shoko tidak mudah percaya lagi. Shoko sampai harus masuk rumah sakit akibat kekerasan Ito. Sejak itu, Shoko memutuskan untuk merubah jalan hidupnya.

Perubahan itu bermula dengan keputusan untuk mentato tubuhnya. Tato itu benar-benar meyakinkan Shoko untuk tidak lagi menerima begitu saja perlakuan

kasar dari laki-laki yang mencintainya. Sejak ia ditato, sikap dia terhadap pekerjaan pun berubah. Ia tidak lagi bekerja tanpa tujuan. Ia menjadi bergairah dalam bekerja dan lebih serius dalam menjalaninya.

Kemudian, Shoko bertemu dengan Takamitsu, seorang yakuza yang berusia empat tahun lebih tua darinya. Pertemuan dengan Taka ini berlanjut dengan keputusan Shoko untuk menikah dengannya. Perkenalan Taka dengan keluarganya sangat lancar, dan Taka diterima dengan baik oleh keluarga Shoko. Suatu ketika, Ito – mantan kekasihnya – tiba-tiba menyerang ke rumah Shoko saat Taka tidak di rumah. Ito menyakiti Shoko habis-habisan dan memperkosanya hingga ia harus dibawa ke rumah sakit. Taka yang mengetahui kejadian ini mengejar Ito dan menghabisinya. Keputusan itu ia ambil dengan mengorbankan pula statusnya sebagai yakuza.

Esok harinya, Taka memutuskan untuk menikahi Shoko di kantor catatan sipil. Rumah tangga Shoko dengan Taka dimulai dalam keadaan miskin papa. Tahun-tahun berikutnya, orang tua Shoko meninggal dunia. Namun efek atas kematian keduanya agak berbeda-beda. Saat kematian ibunya, Shoko sangat terpukul. Sedangkan pada saat kematian ayahnya, Shoko merasa terpacu untuk menata hidupnya supaya lebih baik lagi. Shoko juga harus menanggung hidup berat karena harus menanggung utang Maki, akibat kebiasaan judi mantan suaminya Itchan. Shoko juga terpaksa harus bercerai dengan Taka. Hal itu ia lakukan demi kebahagiaan Taka karena mereka berdua tidak pernah lagi berhubungan intim sejak ibunya meninggal dunia.

Ketika umur Shoko menginjak tiga puluh dua tahun, Na-Chan memutuskan untuk menikah dengan sorang pria baik-baik. Karirnya sebagai hostes pada saat itu sedang memuncak. Demikianlah, memoar seorang putri yakuza. Kisah ini hanyalah satu potret kecil dari kehidupan kelam keluarga yakuza di Jepang. Otobiografi Shoko Tendo mengungkapkan dengan jelas bahwa dunia yakuza tidak bisa dipahami dengan sederhana.

Kesalahan dalam menilai kehidupan keluarga yakuza hanya akan menyeret pada sikap merendahkan dan mengucilkan kehidupan yakuza. Demikian juga ketika mencoba memahami kehidupan seorang remaja putri yang terjebak dalam dunia

Yanki, narkoba dan seks. Kenyataannya, Shoko sendiri tidak bisa dikatakan

menikmati kehidupan itu dengan benar. Banyak kesalahan persepsi yang fatal dalam memahami dunianya.

Makna “dewasa” menjadi bergeser ke arah yang salah. Persoalan narkoba menjadi sangat akut dan menyebabkan para remaja menjalani hidup yang semakin suram. Ketika terjebak dalam perbudakan seks dan narkoba pun, lagi-lagi seorang remaja putri lebih tepat disebut sebagai korban. Karenanya, menyalahkan korban menjadi kurang tepat. Shoko tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menepis semua penyiksaan tersebut. Secara fisik mereka lemah di hadapan kaum laki-laki. Proses terbebasnya mereka dari semua jebakan itu tidak terjadi dengan mudah. Dibutuhkan keberuntungan yang cukup besar untuk menarik keluar mereka dari dunia hitam itu.

3.2. Analisis Psikologis Tokoh Shoko Tendo yang Terdapat Dalam

Dokumen terkait