• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM

D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.13 Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Perlu diketahui bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.14 Dari kedua pasal ini nampak bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU

13

Lihat pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, pasal 10 ayat (1) UU No.8 tahun 2011 tentang MK, pasal 29 ayat (1)a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

14Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.

Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945. Tentu dalam konteks permasalahan ini, siapapun bisa menafsirkan bentuk kebebasan beragama yang juga dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara Muslim untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam (menurut pemohon), yang mana hal ini tidak diakomodir dalam UU Peradilan Agama. Sehingga, dalam hemat penulis, Mahkamah Konstitusi seharusnya perlu menelaah hak konstitusional sebagaimana alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU Peradilan Agama menyangkut kewenangannya. Terlebih lagi pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 menyatakan

kata “perdata tertentu” telah diubah menjadi kata “perkara tertentu” yang

berarti menurut penulis, hukum pidana Islam bisa berpeluang untuk masuk ke dalam wewenang Lembaga Peradilan Agama.

2. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan Positive Legislator

Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama karena telah bertentangan dengan UUD NRI 1945, Sedangkan di dalam positanya, pemohon meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensi Peradilan Agama diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana Islam (jinayah). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang sebagai positive legislator dalam arti menambah rumusan undang-undang yang

dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga, permohonan Suryani agar Peradilan Agama ditambah wewenangnya untuk mengadili kasus yang terkait pidana (jinayah) tidak bisa dikabulkan.15

Perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang sebagai

negative legislator yaitu menghapus ayat atau pasal-pasal dalam undang-undang yang dinilai tidak sejalan dengan pasal atau ayat yang tertuang konstitusi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa antara posita dan petitum pemohon terdapat ketidaksesuaian. Dari uraian di atas, menurut penulis, Mahkamah Konstitusi seolah menyarankan agar usulan si pemohon diajukan kepada lembaga legislatif yang berwenang untuk menambah rumusan Undang-Undang.

3. Paradigma Relasi Agama-Negara di Indonesia adalah Paradigma Simbiotik

Berdasarkan kerangka teori analisis yang sudah dipaparkan di bab pendahuluan, bagian sub bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari teori yang diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Menurut Din Syamsuddin, terdapat paling tidak tiga paradigma tentang relasi agama dan negara.16 Paradigma pertama mengajukan konsep bersatunya agama dan negara atau yang biasa disebut dengan paradigma Integralistik. Paradigma ini

dianut oleh kelompok Syi’ah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di

Pakistan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan

15

Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 23

16

Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Ciputat:PT Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 58.

keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar

“kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di

“tangan” Tuhan.

Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.17 Melalui kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya.

Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali.

Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan

hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam, persatuan agama dan negara adalah absah.18 Selain itu, Pradoyo melihat bahwa

“kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan

pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya.19 Konsepsi Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena tetap ada peluang “keterpaduan Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik.

Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran politik Ali Abdur Raziq dari Mesir.20 Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat, ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam sangat ekslusif.21

Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia, penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut

18

Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 92

19

Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, (Jakarta:Grafitipers, 1993), h. 182

20

Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63

21

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992), h. 91.

paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik Islam.22 Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang merupakan penganut paradigma simbiotik.23

Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agama-negara dengan corak integralistik melalui parpol-parpol Islam “dibonsai”

dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal.24 Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir oleh MAS Hikam (1988) sebagai indikasi munculnya semangat untuk mengembangkan kembali paradigma integralistik. Meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam dengan yang lainnya.25

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, penulis menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan

22 M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000), h. 9

23

Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk legal-formal ajaran.

24M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10.

25

Republik Indonesia. Di dalam salah satu pertimbangan para hakim Konstitusi26

adalah kalimat “Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.” Dan “Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.” Dari kalimat ini penulis

menyimpulkan bahwa relasi agama dan negara di Indonesia bukanlah mengacu pada paradigma integralistik ataupun sekularistik, melainkan paradigma simbiotik. Dalam artian peluang “keterpaduan agama” dengan negara Pancasila

hanya dapat terjadi melalui proses-proses politik.

Melalui jalan politik, umat Islam dapat menentukan kebijakan dan hukum-hukum negara. Paradigma simbiotik relasi agama-negara inilah yang harus dipahami oleh Suryani selaku pemohon. Sebagai contoh, salah satu upaya pemberlakukan hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional yakni draf RUU KUHP27 yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan praktisi hukum namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Ini menunjukan bahwa materi hukum pidana Islam dalam RUU KUHP sedemikian

26

Ke-9 hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara ini adalah Jimly Asshidiqie, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukhties Fadjar.

27

Dalam rancangan tersebut dimasukan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik Agama, kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama dsb.

rupa tidak bisa menjadi secara otomatis dapat diberlakukan karena paradigma relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik. Sehingga, dalam usaha untuk memasukan unsur Islam dalam kebijakan-kebijakan hukum negara termasuk pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam salah satu kewenangan Peradilan Agama, haruslah melalui proses-proses politik.

Atas landasan paradigma simbiotik ini juga, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama ini tidak akan mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945.28 Dari pendapat Mahkamah Konstitusi ini, penulis berpandangan bahwasanya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945 tersebut bertentangan dengan sekularisme. Karena UUD NRI 1945 menetapkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Dalam hal itu, secara konstitusional, beragama dan beriman dijamin oleh negara.29 Sehingga dalil pemohon yang menyatakan bahwa UU Peradilan Agama dapat merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dalam beragama sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

28

Lihat Pasal 28E, Pasal 25 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.

29

Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed., Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus, 2001), h. 214.

Dokumen terkait