BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
B. Pada Masa Kolonial Belanda
Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum yang diterima dan diakui. Karena para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara.24 Belanda sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1798 M tetap membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat Muslim dan VOC juga tetap mengakui apa yang berlaku sejak
21 Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”, Hukum Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68.
22
Selain Aceh, beberapa kerajaan lain seperti Banten dan Mataram juga pernah memberlakukan aspek hukum pidana Islam. Bisa di lihat dalam Arskal Salim, Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara , h. 67, Azyumardi Azra, Implementasi Syari’at Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi
Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. Xxviii, Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 39.
23 Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum...”, h. 72.
24
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.25
Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18 , berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan negeri (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statuta Jakarta 1642 bahkan hukum keluarga diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dikenal dengan Compendium Freijer.26 Selain itu juga diadakannya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi hakim-hakim peradilan adat yang isinya antara lain memuat sistim hukuman seperti pemukulan, cap bakar, dirantai dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk pengadilan negeri Semarang yang berisi perkara-perkara perdata dan pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.27
Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan teori Reception in Complexu. Digagas oleh Loedewyk Willem Christian Van Den Berg, teori ini menyatakan pemberlakuan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata
25
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47.
26
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:Gema Insani press, 1996), h. 131.
27
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 34.
lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku.28 Meskipun demikian, hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim. Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam (Pernikahan, perceraian, waris dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah
sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam.
Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak serta perkembangan hukum Islam. Di sisi lain, Belanda memberikan keleluasaan kepada adat kebiasaan dan membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut.29 Inilah yang disebut sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30. Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-Undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti
Regeerningsreglement (R.R), yang disebut Wet de Staatsinricting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang
28
Ibid, h. 37-38.
29
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 252.
30
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 75.
diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.31
Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada
landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk
hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang
pemeriksaannya kepada landraad.32
Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.33 Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan
31 Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132.
32
A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 155.
33
perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.34