BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pada Masa Kerajaan Aceh
Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1514-1903), Sultan Ali Mughayat Syah (1516-1530 M) tercatat dalam sejarah sebagai pembangun Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar (1537-1571 M) sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Dalam perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan
bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber hukumnya berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas 1
Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum pidana Islam di Kerajaan Aceh.
1. Perzinaan
Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah (1516-1530 M).2 Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan, yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak bagi perempuan.3
Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1571 M), hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alun-alun lalu dirajam hingga mati.4
1
A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h. 70-72.
2
Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M.
3
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h. 124.
4
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604 M). Berdasarkan kesaksian Francois Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua matanya.5
Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda (1607-1636 M) juga pernah memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan
Syari‟at Islam pada siapapun.6
Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki
5
Ibid, h. 126.
6 Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban, tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam menutup rapat aib tersebut.7
2. Pencurian
Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar (1537-1571 M) menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.8
Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M). Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.9
Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda (1607-1636 M), hukuman potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal 33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri
7 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127.
8
Ibid
9
dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat tinggalnya (pasal 34), dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong tangannya (pasal 35).10
3. Minuman Keras
Sultan Alaudin Perak (1579-1586 M), tercatat sebagai Sultan yang pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh. Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya.11
Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M). Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah dengan cara menelan timah panas.12
4. Pembunuhan
Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar (1537-1571 M) pernah melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria.13 10 Ibid, h. 129. 11 Ibid, h. 135. 12 Ibid, h. 136.
Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M), dari sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat ganas dan tentu menjadi santapan mereka.14
Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan.15 Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M) benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta Alam tersebut.16
5. Murtad
Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Thani (1636-1641 M). Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf
wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang
14
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137.
15
Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak tersebut (pasal 32). Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466.
dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya. Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad.17 Dalam Islam Murtad harus dihukum mati.18
6. Perampokan
Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678 M). Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum.19
Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental (kaidah larangan) dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental (jenis ancaman hukuman), dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya
sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.20
17
Ibid, h. 140.
18
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h. 127.
19 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142.
20
Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh (1514-1903 M)”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.
Menurut Arskal Salim, bahwa pemberlakuan hukum pidana lslam di Nusantara menunjukan betapa pelaksanaan hukum pidana Islam tidak pernah berlaku secara seragam dan konsisten.21 Karena keberlakuannya sangat ditentukan oleh kebijakan penguasa pada masanya. Ia menambahkan, pemberlakuan hukum pidana Islam di sejumlah kerajaan Nusantara22 adalah sebuah proses interaksi yang aktif antara hukum lslam dan tradisi lokal setempat yang kemudian menjelma menjadi sebuah akulturasi.23