• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM

C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan

Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI, periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.35

Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat (yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan perjuangan memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam) di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.36 Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam yang

34

Ibid

35

Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), h. 85.

36

M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198.

memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun

rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemeluk

-pemeluknya”.37

Dan kelompok nasionalis38 yang tetap konsisten menolak Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang

Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.39 Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.40

Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional adalah KUHP yang tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh. Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU

37

Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu: PPP,PBB,PNU (Partai Nahdlatul Ulama),PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). sedangkan partai dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK (sekarang PKS)

38

Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan)

39

Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107.

40

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta:Kanisius, ttp), h. 39.

No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk

melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.41

Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 200142 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula

masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.43 Dalam UU No.18 Tahun 2001

disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam

yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.44

Berikutnya lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam, diantaranya:

1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di

Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam

Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002 secara lebih rinci.45 Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap

pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.46

41

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh:Dinas Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005) ,h. 60.

42

Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD

43

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225

44

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61.

45

Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.

46

2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar yang haram hukumnya. Hukum haram ini berkaitan dengan pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.47 Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.48 Sedang bagi orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.49

3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Sejenisnya Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.50 Mengenai hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam

dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali51 . Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah diancam dengan

hukuman Ta‟zir.52

47

Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

48

Pasal 26 ayat (1) Qanun No. 12 Tahun 2003

49

Pasal 26 ayat (2) Qanun No. 12 Tahun 2003

50

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya.

51

Pasal 23 ayat (1) Qanun No. 13 Tahun 2003

52

4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum)

Dalam qanun ini, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.53 Sedangkan mengenai hukumannya, yaitu bagi mereka yang melanggar hukuman ini akan

dikenakan sanksi ta‟zir.54

5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal diberi kewenangan untuk menentukan besaran dana yang akan diserahkan kepada masing-masing senif. Tetapi penentuan besaran ini harus berpedoman pada ketentuan yang

telah ditetapkan oleh Dewan Syari‟ah. Sedangkan hukuman atas orang-orang yang melanggar qanun ini yaitu berupa sanksi ta‟zir.55

6. Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

Seperti yang telah disinggung dalam qanun sebelumnya, badan Baitul Mal mempunyai kewenangan yang salah satunya adalah mengumpulkan, menyalurkan dan mendayagunakan zakat.56 Dalam pengelolaan zakat ada beberapa perbuatan yang dianggap sebagai jarimah ta‟zir dan karena itu

hukumannya berupa sanksi ta‟zir.57

Dalam perjalanannya, pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa politis dalam artian sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki

53

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat.

54

Pasal 22 ayat (1) (2) (3) Qanun No. 14 Tahun 2003

55

Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43 ) Qanun No. 7 Tahun 2004

56

Pasal 8 ayat (1) (2) Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

57

kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun ekonomi. Bisa dikatakan bahwa pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam pada masa kerajaan adalah benar adanya karena didukung oleh kehendak politik penguasa/raja. Namun pada masa-masa awal kedatangan Belanda dengan politik hukumnya, secara bertahap dan sistematis, Belanda berusaha mengurangi peran dan wewenang dari institusi Peradilan Agama. Bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya.

Setelah Indonesia merdeka, perjuangan sebagian umat Islam untuk menjadikan negara agama yang termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam, juga mengalami dinamika politik yang fluktuatif. Hingga pada akhirnya, meskipun hukum pidana Islam tidak bisa diberlakukan secara nasional, namun daerah Aceh mendapat keistimewaan untuk menjalankan syariat Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Adalah suatu

kenyataan bahwa penerapan Syari‟at Islam secara Formal di Nanggroe Aceh

Darussalam merupakan bagian dari proses politik dalam rangka menciptakan perdamaian di Aceh.58

58

Masykuri Abdillah, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan yang

45

DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Jika pada bab-bab sebelumnya penulis telah menguraikan apa yang dimaksud dengan istilah hukum pidana Islam serta sejarah pemberlakuan aspek hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan menguraikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait wacana hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Yang mana dalam hal ini penulis akan menganalisa lebih lanjut amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 serta bagaimana prospek pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia di masa mendatang.

Dokumen terkait