• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Pengadilan Nomor 105/Pid.B/2013/PN.Mu tentang Tindak Pidana Pencabulan

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN

B. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 105/Pid.B/2013/PN.Mu tentang Tindak Pidana Pencabulan

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum formal sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang tersebut merupakan produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi dari undang-undang tersebut mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Pijakan Mejelis Hakim dalam putusan Nomor 105/Pid.B/2013/PN.Mu adalah Pasal 289 KUHP yang bunyi lengkapnya ialah sebagai berikut :

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Dengan demikian, Majelis Hakim memilih KUHP khususnya Pasal 289, sebagai dasar hukumnya untuk menjatuhkan sanksi pidana, sebab pelaku melakukan perbuatan kesusilaan yakni pencabulan.

Untuk sampai kepada putusan, Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan antara fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh pelaku. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini antara lain sebagai berikut :

1. Unsur Barangsiapa ;

2. Unsur dengan kekerasan memaksa seseorang.; 3. Unsur melakukan perbuatan cabul.;

Pertama, unsur Barang siapa disini ialah siapa saja setiap orang sebagai subyek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana, yang dalam hal ini MAHMUDDIN Alias UDIN Bin HAMBALI yang setelah melalui pemeriksaan di tingkat penyidikan dan pra penuntutan selanjutnya ia dihadapkan sebagai terdakwa dan ternyata terdakwa mengakui bahwa identitas sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan adalah sebagai identitasnya, maka terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah MAHMUDDIN Alias UDIN Bin HAMBALI ialah sebagai manusia yang

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian, maka unsur “Barang siapa ‟ telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Kedua, „unsur dengan kekerasan memaksa seseorang‟. Berkaitan dalam hal ini, kekerasan adalah melakukan kekerasan yang mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah,misalnya memukul dengan tangan atau dengan senjata,menyepak menendang dan bentuk kekerasan lainnya. Fakta hukum yang kemudian terungkap dalam persidangan yakni berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa sendiri serta barang bukti menyatakan bahwa Terdakwa pada hari Sabtu tanggal 25 Agustus 2013 sekitar pukul 15.30 wita bertempat di dalam kamar saksi korban IDA tepatnya di Jl.Andi Dai, Kec.Mamuju,Kab.Mamuju telah melakukan pencabulan dengan cara terdakwa masuk ke dalam kamar saksi korban dan langsung memeluk saksi korban dari belakang, sambil menutup mulut saksi korban, dimana pada saat itu saksi korban hanya memakai handuk karena saksi korban meronta-ronta maka Terdakwa membaringkan dengan paksa saksi korban ke tempat tidur sambil berusaha membuka handuk saksi korban sambal Terdakwa meraba-raba payudara saksi korban yang sebelah kiri, yang pada saat itu, saksi korban menolak dan melawan dengan cara meronta-ronta,namun saksi korban tidak bisa berteriak meminta tolong karena Terdakwa menutup mulut saksi korban, sehingga akibat perbuatan Terdakwa tersebut saksi korban menjadi takut sehingga saksi korban meronta-ronta dan badan saksi korban terasa sakit karena Terdakwa memeluk saksi korban dengan keras.

Dari fakta persidangan tersebut yang terungkap, maka dapat dilihat bahwa telah jelas bahwa Terdakwa sebelum melakukan tidakan pencabulan kepada diri saksi korban, Terdakwa telah melakukan tindakan membekap mulut saksi korban dengan tangan kemudian memeluk tubuh saksi korban dengan kuat sehingga saksi korban tidak bisa bergerak dan berteriak kemudian Terdakwa membanting tubuh saksi korban ke atas kasursehingga saksi korban tidak berdaya kemudian. Perbuatan Terdakwa tersebut jelas bagi

mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah sehingga saksi korban menjadi takut dan badan saksi korban menjadi sakit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur “dengan kekerasan memaksa seseorang” telah terpenuhi.

Ketiga, „unsur melakukan perbuatan cabul‟. Perbutan cabul merupakan segala perbutan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbutan keji, semuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba buah dada dan lainnya. Berkaitan dengan unsur yang ketiga ini, berdasarkan pada keterangan saksi-saksi yang mana keterangan saksi-saksi-saksi-saksi tersebut saling bersesuaian dan dibenarkan oleh Terdakwa serta keterangan Terdakwa sendiri serta dikuatkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan maka diperoleh fakta-fakta bahwa Terdakwa melakukan pencabulan dengan cara Terdakwa masuk ke dalam kamar saksi korban dan langsung memeluk saksi korban dari belakang, sambil menutup mulut saksi korban,dimana pada saat itu saksi korban hanya memakai handuk karena saksi korban meronta-ronta maka Terdakwa membaringkan dengan paksa saksi korban ke tempat tidur sambil berusaha membuka handuk saksi korban sambal Terdakwa meraba-raba payudara saksi korban yang sebelah kiri secara berulang-ulang. Hal ini membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan karena Terdakwa ingin meniduri saksi korban untuk melampiaskan nafsu Terdakwa. Oleh karena itu, atas fakta tersebut jelas bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yangmelanggar kesusilaan (kesopanan) yang kesemuanya itudidalam lingkungan nafsu birahi kelamin dikarenakan Terdakwa telah meraba-raba payudara sebelah kiri saksi korban dengan tangan Terdakwa dan Terdakwa memiliki niat untuk meniduri saksi korban.Dengan demikian unsur keempat “Melakukan perbutan cabul” telah terpenuhi pula.

Dalam hal ini penulis menggunakan Teori tujuan yang memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni

untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.2

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :3

a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde)

b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel)

c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader)

d. Untuk membinasakan kejahatan (onschadelijk maken van de misdadiger) e. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

4. Teori Gabungan (Virenigingstheorieen)

Teori ini mencakup dasar hubungan dari teori absolut dan teori relatif, digabungkan menjadi satu. Menurut teori ini dasar hukumnya adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan. Di samping itu, sebagai dasar adalah tujuan daripada hukuman. Menurut teori ini dasar penjatuhan pidana dilihat dari unsur pembalasan dan juga untuk memperbaiki penjahatnya, artinya dasar pemidanaan terletak pada kejahatan dan tujuan dari pidana itu sendiri.Berdasarkan hal tersebut, maka dalam teori gabungan tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori

2

Zainal Abidin, Pemidanaan Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP Position

Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, h., 11.

3 Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum

tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan kepuasan, baik bagi penjahat maupun bagi masyarakat

Namun meski penerapan hukum yang terdapat dalam kasus ini sudah tepat, masih ada hal yang perlu di kritisi terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana 2 tahun penjara. Hal ini dapat terlihat misalnya dari putusan hakim yang kurang progresif dalam memandang kasus pencabulan. Yang pertama jika dikaji secara aspek psikologis terpidana (terutama setelah melihat perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dalam putusan 105/Pid.B/2013/PN.Mu) menggambarkan bahwa terpidana memiliki nafsu birahi yang sulit dikontrol sehingga membuat terpidana melampiaskan nafsu birahi tersebut tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kesusilaan. Hal ini akan semakin problematis bilamana kemudian terpidana dimasukkan kedalam penjara dengan tanpa pembinaan dan pendampingan sebagaimana mestinya.

Amar putusan hakim dalam perkara ini hanya menyentuh pada persoalan bahwa terpidana bersalah dan harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. Namun tidak memperhatikan konsekuensi setelah penjatuhan vonis terhadap terpidana. Padahal jika kita melakukan komparasi pada kasus serupa kita bisa melihat berapa banyak terpidana yang melakukan Tindakan residivis yang disebabkan oleh minimnya lembaga pemasyarakatan yang gagal untuk merehabilitasi pelaku pelanggar asusila, apalagi jika hukuman yang dijatuhkan hanya mendekam di penjara tentu efektifitas pemidanaannya dipertanyakan.

Berkaitan dengan hal ini, semangat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang di godog dalam prolegnas sejatinya menginginkan adanya pola pembinaan terukur agar pelaku kekerasan seksual baik berupa pencabulan dan lain sebagainya tidak lagi mengulangi perbuatannya dengan melakukan pola pembinaan terpadu dimana pelaku akan mendapatkan Pendidikan khusus baik dalam aspek religi maupun moral social yang bertujuan untuk menyadarkan pelaku betapa pentingnya untuk mengontrol dan mengendalikan diri agar tidak mengulangi kesalahannya.

Bahkan di dalam perkembangannya terdapat banyak cara untuk menjerakan pelaku Tindakan asusila seperti misalkan kebiri kimia. terlepas dari kontroversi pro dan kontra terkait dengan kebiri kimia yang diberikan kepada narapidana yang terbukti mengulangi perbuatannya, kebiri kimia sendiri telah diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 tentang PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK yang sudah disahkan menjadi UU no UU Nomor 17 tahun 2016 yang mewajibkan pendampingan berupa rehabilitasi sebagimana termuat dalam pasal 81 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi atau pemulihan kejiwaan bagi para pelaku kekerasan seksual” . Model penangangan yang terbilang menakutkan atau ekstrem sekalipun pada idealnya memerlukan proses rehabilitasi sehingga Pada intinya Segala hal yang berkaitan dengan perilaku seksual juga harus diiringi dengan treatment atau cara yang tidak hanya parsial yang hanya dihukum dengan tanpa menindaklanjuti moralitas pelaku.

Kedua, putusan ini sama sekali tidak menyentuh perspektif korban dimana dalam amar putusan, hakim tidak memerintahkan kepada pihak terkait (dalam hal ini Kementerian pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak) untuk kemudian memberikan pendampingan pasca perkara. Karena dapat dipastikan bahwa korban pencabulan akan terganggu secara psikis maupun social hal ini terbukti dalam factor yang memberatkan terpidana adalah dikarenakan korban mengalami trauma. Padahal bentuk pemulihan semacam ini urgen adanya dan tidak bisa diserahkan dan dikembalikan kepada pihak keluarga begitu saja, hal ini menjadi sangat ironi mengingat bahwa sudah sejak lama mekanisme pemulihan ini diatur dengan jelas dalam PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG PANDUAN PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT PELAYANAN TERPADU yang ditugaskan untuk mendampingi korban

kekerasan seksual. Amat sangat mubazir jika kemudian unit yang memiliki layanan komprehensif seperti yang tertuang dalam pasal 6 yang menyebutkan bahwa Pembentukan dan pengembangan PPT dilakukan dalam rangka memberikan layanan terpadu korban kekerasan berupa:

a. layanan pengaduan;

b. layanan rehabilitasi kesehatan; c. layanan rehabiltasi sosial; d. layanan bantuan hukum; e. pemulangan; dan

f. reintegrasi sosial.

Pusat pelayanan terpadu ini sudah tersebar di berbagai daerah namun tidak dilirik sebagai tempat pemulihan korban yang efektif.

Penulis memahami bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara delik perzinaan dengan pemerkosaan dan delik pencabulan, namun seharusnya terdapat persamaan perlakuan terhadap kedua korban tindak pidana tersebut karena berkaitan dengan psikologi korban dimana dampak yang ditimbulkan sama-sama membuat korban merasa tertekan atas kejadian yang menimpanya dan membuat trauma yang berkepanjangan terhadap kehidupan korban. Sehingga solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah sudah sepantasnya bahwa seorang yang mengalami pencabulan maka harus ditangani dengan penanganan yang komprehensif untuk memberikan jaminan bahwa proses pemidanaan dan tujuan pemidanaan itu sendiri tercapai.

Ketiga, dalam pandangan penulis terdapat kekeliruan formil yang terdapat dalam persidangan berkaitan dengan perkara ini, dimana sudah jelas bahw perkara ini berkaitan dengan Tindakan kesusilaan sehingga seharusnya persidangan ini ialah tidak terbuka untuk umum dimana pemeriksaan semacam ini seharusnya tertutup untuk umum sehingga kehadiran peserta sidang harus dibatasi dan tidak terbuka untuk public. Jika kita ingin secara konsekuen menerapkan prinsip hukum acara pidana kita maka seharusnya hakim Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi bahwa “Untuk keperluan

pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”

Tentunya kritik yang disampaikan penulis adalah hasil refleksi yang bertujuan untuk memberika pandangan alternatif dalam khazanah hukum pidana kita. Karena penulis dalam melakukan eksaminasi melihat dengan menggunakan optik restorative justice yang sedang digandrungi dalam dunia pemidanaan dewasa ini dimana Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri . Sehingga kritik yang ditawarkan oleh penulis dalam hasil eksaminasi ini adalah semata-mata bertujuan untuk membuat kondisi yang sama-sama diinginkan oleh pelaku dan korban yakni mendapatkan perlakuan yang pantas sehingga hukum dalam hal ini dapat menjadi obat yang tepat bagi persoalan yang mendera sebagaimana adagium hukum yang berbunyi Lex Semper Debit Remedium. Demikian perspektif penulis dari segi hukum positif.

C. Analisa Hukum Pidana Islam dalam Putusan Nomor 105/Pid.B/Pn.Mu

Dilihat dari segi hukum islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa MAHMUDDIN Alias UDIN Bin HAMBALI merupakan tindak pidana yang dikenai hukuman ta‟zir, yang hal ini dikarenakan hukuman seperti had dan qishash tidak mengatur.

Jarimah ta‟zîr, merupakan jarimah yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta‟zir.4

Adapun berkaitan dalam hal ini, jenis jarimah ta‟zir tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada jarimah hudud dan qishash serta diyat sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta‟zir ialah seperti riba, suap, pencabulan, illegal logging, human trafficking dan sebagainya. Menurut A. Djazuli ta‟zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran dimana hukuman ini ialah menghalangi seseorang yang terhukum untuk tidak

4Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî‟ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wâdi‟î, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), juz I, hlm. 100

kembali pada jarimah atau yang membuatnya jera.5Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta‟zir, di mana petunjuknya diperoleh dari nas yang mengharamkan perbuatan tersebut.6

Berkaitan dalam hal ini, tindak pidana pencabulan sejatinya masuk pada jarimah ta‟zir yang memilliki kaitan dengan kehormatan yakni mengenai kerusakan akal yang berkaitan dengan tindak pidana pencabulan dianalogikan dengan perbuatan yang mendekati zina. Sebagaimana firman Allah SWT :

         

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.: al-Isra‟ : 32)

Dalam hal ini, Ulama Malikiyah memberikan pengertian mengenai zina dengan me-wathi-nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Sedangkan ulama Syafi‟iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu. Dari kedua pendapat tersebut, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasanya tindak pidana dikatakan perbuatan sebagai zina apabila memasukkan alat kelamin pria dalam alat kelamin wanita dan ini dilakukan untuk memuaskan hawa nafsu. Sedangakan berkaitan dengan tindak idana pencabulan ini tidaklah sampai ke persetubuhan melainkan perbuatan pencabulan ini merupakan segala perbautan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang dilakukan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, sehingga dengan begitu, jarimah pencabulan dianalogikan sebagai perbuatan mendekati zina. Adapun hukuman ta‟zi sendiri bagi pelaku yang melakukan perbuatan pencabulan ini ialah berupa hukuman jilid sebagai hukuman pokoknya yang dalam hal ini ada berbagai perbedaan pendapat dari kalangan ulama yaitu sebagai berikut :

5

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), hlm.165

6 Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî‟ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wâdi‟î, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), juz I, hlm. 104

Dalam mazhab Hanafiyah hukuman ta‟zir tidak boleh melebihi batas hukuman hadis yang didasarkan pada :

Artinya: “Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas”(HR. al-Baihaqi dari Nu‟am bin Basyir dan al-Dhahak).

Untuk mengenali seperti apa hukuman ta„zīr pada kejahatan pencabulan, maka dibawah ini akan terdapat pemaparan oleh penulis satu persatu dari berbagai macam hukuman ta„zīr, sebagai berikut:

a. Hukuman Mati Pada dasarnya menurut Syari‟at Islam hukuman ta„zīr adalah untuk memberi pengajaran dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena demikian maka dalam hukuman ta„zīr tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi Sebagian besar fuqaha membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu dibolehkannya hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian karena tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya.7

b. Hukuman Dera, adalah Hukuman yang pokok dalam Syari‟at Islam, sehingga dalam jarimah-jarimahh hudud sudah ada ditentukan jumlah deranya, contoh: seratus kali dera untuk zina dan delapan puluh kali dera untuk qadzaf, sedangkan untuk jarimah-jarimah ta„zīr tidak ditentukan jumlah deranya, hal ini karena untuk jarimah-jarimah ta„zīr dapat diterapkan bahkan jarimah ta„zīr yang berbahaya hukuman dera lebih diutamakan. Adapun sebab lebih diutamakan hukuman dera adalah:  Keberhasilan dalam menumpas orang-otang penjahat yang biasa

melakukan jarimah.

 Ada dua batas dalam hukuman dera, yaitu batas paling atas dan batas paling rendah dimana seorang hakim bisa memilih jumlah dera yang terletak diantara keduanya yang lebih sesuai dengan keadaan si pelaku.

7

 Dalam segi pembiayaan untuk pelaksanaannya tidak membebani keuangan negara dan tanpa menghentikan daya usaha pembuat ataupun menyebabkan keluarga terlantar, sebab hukuman dera bisa dilaksanakan seketika dan sesudah itu pembuat bisa bebas.

 Dengan hukuman dera pelaku juga dapat terhindar dari akibat buruk penjara .

Hukuman ta„zīr ini tidak diperbolehkan melebihi hukuman dera dalam hudud karena tujuannya adalah memberikan pelajaran dan pendidikan kepadanya. Namun terkait dengan batas maksimal tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha.

Di kalangan mazhab Syafi‟iyah hukuman ta‟zir dengan jilid juga harus kurang dari jilid dalam had. Di samping itu, ada juga sebagian ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta‟zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali. Selanjutnya ialah pendapat yang disampaikan oleh Ulama Malikiyah bahwa sanksi ta‟zir yang berupa jilid boleh melebihi had selama mengandung maslahat dan mengenai batas terendah hukuman jilid pada jarimah ta‟zir juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni:

1) Ulama Hanafiyah berpendapat jilid sebagai sanksi ta‟zir memiliki batas terendahnya harus mampu memberi dampak yang preventif dan ayng represif bagi umat.

2) Ulama lain menyatakan batas terendah bagi jilid ta‟zir adalah satu kali jilid.

3) Ulama lain lagi menyatakan tiga kali jilid.

Dan bila telah ada ketetapan hakim, maka tidak ada lagi perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah:

Artinya: “Keputusan hakim itu meniadakan perbedaan pendapat”

Sanksi jilid dalam hal ini pun sejatinya memiliki beberapa segi eksklusifitas tersendiri dalam hukuman ta‟zir yaitu Lebih menjerakan, yakni

pelaku merasakan perih, hukuman ini pun sejatinya bukan suatu sanksi yang kaku karena dalam konteks ini bersifat fleksibel dimana jumlahnya jilidnya disesuaikan, Low cost manakala dihadapkan dengan hukuman kurungan maupun penjara dan tentunya Lebih murni karena dikenakan langsung kepada pelakunya.

Selain hukuman pokok berupa hukuman jilid, pelaku jarimah ta‟zir dapat dikenai hukuman tambahan yakni berupa:

1. Peringatan keras dan dihadirkan di hadapan sidang. 2. Dicela

3. Dikucilkan 4. Dinasehati

5. Dipecat dari jabatannya 6. Diumumkan kesalahannya

Apabila melihat dari kasus yang dilakukan oleh terdakwa MAHMUDDIN Alias UDIN Bin HAMBALI, terhadap korban maka hukuman tambahan yang tepat dikenakan kepada pelaku yakni dinasehati atau dalam hal ini ialah diberikan rehabilitasi atau pemulihan kejiwaan bagi para pelaku kekerasan seksual. Karena pada intinya Segala hal yang berkaitan dengan perilaku seksual juga harus diiringi dengan treatment atau cara yang tidak hanya parsial yang hanya dihukum dengan tanpa menindaklanjuti moralitas pelaku.

68

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan hukum hakim dalam study putusan nomor 105/Pid.B/2013/PN.Mu:

Penerapan hukum pidana oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mamuju dalam putusan Nomor 105/Pid.B/2013/PN.Mu tentang tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa bernama MAHMUDDIN Alias UDIN Bin HAMBALI adalah pasal 289 KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun” sejatinya telah tepat. Terdakwa MAHMUDDIN Alias UDIN Bin

Dokumen terkait