• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

B. Analisis Resepsi

1. Sembahyang

a. Sembahyang sebagai Perintah Allah

Kedudukan sembahyang sebagai perintah Allah terdapat dalam teks Asrāru `sh-Shalāt seperti pada kutipan berikut.

“Adapun salat maqām kala bagi segala abdi dan jati bagi / segala salik dan memuji bagi segala arif seperti / sabda nabi shallā `l-Lāhu „alaihi wa sallam “La tuqbalu `l-a‟ma [la illā] `sh-shallah”. Tiada terima Allah Taala akan segala amal / yang lain melainkan dengan sembahyang itu (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4).

Bapak Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kedudukan sembahyang sebagai perintah Allah terdapat dalam naskah Asrāru `sh-Shalāt, yang diartikan bahwa sembahyang merupakan anugerah Ilahi sekaligus ketentuan (perintah) Allah yang harus dikerjakan dan dipatuhi. Sembahyang memiliki keistimewaan yang tidak terhingga di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Hal itu berarti bahwa jika sembahyang baik dan sempurna, maka amalan-amalan lain dianggap baik juga. Akan tetapi jika sembahyang tidak baik dan tidak sempurna, maka amalan-amalan yang lain pun dianggap buruk.

commit to user

Ustad Novel menafsirkan bahwa sembahyang adalah ibadah manusia kepada Allah dan merupakan ibadah utama bagi seorang muslim. Jika sembahyang seseorang itu tidak baik, yakni hanya sebatas melakukan tanpa adanya niat ibadah mengagungkan Allah, maka ibadah-ibadah lain, meskipun ibadah itu baik, maka tetap tidak diterima oleh Allah.

Bapak Agus Himawan mengemukakan bahwa seseorang yang sudah melakukan banyak kebaikan, tanpa melakukan sembahyang, segala amal perbuatannya itu tidak dianggap di mata Allah.

b. Sembahyang sebagai Ibadah Semua Makhluk

Sembahyang adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah kepada semua makhluk ciptaannya. Hal tersebut diuraikan dalam teks, seperti kutipan berikut.

“Bermula makna / sembahyang itu yaitu sembah maka murād daripada sembah / itu yaitu memuliakan dan memesarkan dan mengangkatkan / dan berbuat [a]kan yang disuruh akan Allah Taala dan Nabi shallā `l-Lāhu „alaihi wa sallam dan menjauhi segala larangan . / Seperti firman Allah Taala: “Innanī a«nā» `l-Lāhu / lā ilāha illa „l-Lahu [illā] «a»nā fā‟budnī wa aqimī `sh-shalāta…”. Bahwa // sanya Aku Allah Tuhan yang tiada Tuhan hanya Aku, / maka sembah olehmu akan Daku dan berdirikan sembahyang pada / sehari semalam lima waktu.

Dan lagi firman Allah Taala / “Qul in kuntum tuhibbūna `l-Lā«ha» fāttabi„ūnī yūhbibkumu `l-Lāhu…” / Katakan olehmu ya Muhammad jika ada kamu mengasihi Allah Taala / bahwa ikut oleh kamu perbuatan-Ku supaya kamu kasihi / Allah Taala dan sembahyang itu pada insan taat, / dan pada malaikat istigfar, dan segala hayawan tasbih (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4–5).

Berdasarkan kutipan tersebut, Bapak Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa sembahyang berarti memuliakan Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bapak Agus Himawan mengartikan

commit to user

bahwa semua makhluk ciptaan Allah pada dasarnya menyembah Allah, yakni jika manusia salat, maka malaikat itu beristigfar dan hewan itu bertasbih. Ustad Novel berpendapat bahwa yang dimaksud pada kutipan itu seharusnya bukan sembahyang, tetapi salat. Arti salat adalah salawat. Maka semua makhluk ciptaan Allah pada dasarnya menyembah kepada Allah, yakni manusia menyembah dengan cara salat, malaikat dengan cara istigfar, sedangkan salawat bagi hewan adalah bertasbih kepada Allah.

c. Sembahyang sebagai Tiang Agama

Sembahyang adalah tiang agama terdapat pada kutipan berikut.

“Seperti sabda Nabi Allah „alaihi wa sallam “A `sh-shalātu «„i»mmādūd /dīna wa „ammādī `sh-shalāti sab„a”. Adapun sembahyang tiang [a]gama. / Dan tiang sembahyang itu tujuh perkara.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 5).

“Pertama takut / akan Allah. Dan murād takut akan Dia itu, yaitu senantiasa / ingat serta me-ta‟zhim akan Dia dan menjauhi segala <nahi> / nahi-Nya dan mengikut segala amar-Nya dan tiada mendapat / kan zat seperti firman Allah Taala “Wa yukhazhimu kumu // `l-Lāhu nafsah”. Dan dipertakut Allah Taala akan kamu / daripada meninggalkan zat.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 5–6).

“Kedua hadir hatinya. Dan murād hadir kalbu(l) akan Allah Taala itu yaitu menyelaskan diri / daripada lain dan lupa dan ingatkan pada kalbu itu serta / Haq Taala jua yang empunya nama tashawwur-kan itu hingga / tiadalah dilihatnya perintah yang maujud pandang kalbu. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 6).

“Ketiga serta paham akan makrifat dan tauhid. Dan / murād sempurna makrifat dan tauhid itu, yaitu tiada / menyekutukan Haq Taala serta pengenalnya akan Dia, tiada lagi / syak di dalam iktikadnya akan wujud zat Allah dan <muhi>/ muhīth pada sekalian alam yang sempurna. Tauhid itu ha / rap akan Tuhan.” (Asrāru `sh -Shalāt, hlm. 6).

“Keempat membesarkan amarnya dan / nahinya.”

“Kelima menghebatkan. Dan murād hebat itu yaitu / [se]nantiasa hadir dan nazir akan Dia, serta memuliakan / Haq Taala dan menghinakan dirinya.” (Asrāru `sh-Shalat, hlm. 6).

“Keenam harap akan // rahmat-Nya dan ampu[n]-Nya.”

commit to user

“Ketujuh malu akan Haq Taala. / Dan malu itu yaitu me-ta‟zhim-kan akan Dia dan / senantiasa ingat akan Dia berbisik rahasia-Nya seperti sabda Nabi / shallā `l-Lāhu „alaihi wa sallam “…an ta‟buda`l-Lāha ka annaka tarāhu faillam / takun tarahu fa innahu yarāka”. Bahwasanya engkau semah Tuhan seo / lah-olah engkau lihat akan Dia, maka jika tiada engkau melihat, (engkau) / makasanya melihat engkau.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 7).

Bapak Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa sembahyang merupakan tiang agama Islam. Seperti fungsi tiang pada rumah, fungsi sembahyang yaitu sebagai menopang hidup yang dibangun atas amalan-amalan lain. Jika tiang penopangnya kuat, maka sudah dipastikan keimanan kita juga kuat dan tidak mudah terpengaruh terhadap pengaruh buruk dalam hidup.

Ustad Novel menguraikan bahwa sembahyang akan menjadi tiang agama, apabila dilakukan dengan tujuh hal, yaitu takut, hadir hatinya, paham makrifat dan tauhid, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, menghebatkan (menjadikan diri ini merasakan betul-betul memandang Allah), mengharap rahmat dan ampunan, serta malu. Ketika melakukan sembahyang, tujuh hal itu harus ada pada diri kita. Dengan demikian kita akan sungguh-sungguh melakukan sembahyang karena merasa di balik semua peristiwa yang terjadi itu semata-mata karena Allah.

Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa sembahyang merupakan penyangga bagi agama. Jika penyangganya kuat, maka agama tidak akan runtuh. Kuatnya penyangga itu disebabkan oleh tujuh faktor yang tersebut dalam kutipan tersebut.

commit to user

d. Asal yang Mengerjakan Sembahyang

Asal yang mengerjakan sembahyang diuraikan sebagai berikut.

“Soal sembahyang <se>/ sehari semalam lima waktu itu siapa asal yang / mengerjakan dia?

Jawab: adapun sembahyang subuh dua rakaat / Nabi Allah Adam „alaihi sallam. Kedua sembahyang waktu / zuhur empat rakaat awal mengerjakan dia Nabi Ibrahim [„alaihi sallam]. // Ketiga sembahyang waktu asar empat rakaat itu / mengerjakan dia Nabi Allah Yunus „alaihi sallam. / Keempat sembahyang waktu magrib tiga rakaat awal yang / mengerjakan dia Nabi Allah Isa „alaihi sallam. Kelima / sembahyang waktu isya empat rakaat awal menger<jaka> / jakan dia Nabi Allah Musa „alaihi sallam. Dan sembahyang / witir dan sembahyang jumat itu akan Nabi Muhammad shallā `l-Lāhu / „alaihi wa sallam awal mengerjakan dia.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 7–8).

Bapak Ahmad Dahlan mengemukakan bahwa asal mula sembahyang sudah dilakukan sejak Nabi Adam. Sembahyang yang dilakukan ketika pada zaman Nabi Adam, yakni hanya sembahyang subuh. Pada zaman Nabi Ibrahim hanya dilakukan sembahyang waktu zuhur. Pada masa Nabi Yunus hanya dikerjakan sembahyang pada waktu asar. Pada masa Nabi Isa hanya dikerjakan sembahyang magrib, dan masa Nabi Musa, sembahyang yang dilakukan hanya waktu isya. Barulah ketika masa Nabi Muhammad, sembahyang dilakukan secara lengkap sebanyak lima kali dalam sehari, dan ditambah pula sembahyang Jumat dan witir oleh Nabi Muhammad saw.

Ustad Novel menjelaskan bahwa kutipan itu adalah sejarah sembahyang lima waktu. Perintah sembahyang tidak hanya diberikan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi juga pada nabi-nabi sebelumnya, seperti Adam, Ibrahim, Yunus, Isa, dan Musa. Ketika masa Nabi Muhammad, sembahyang lima waktu dilakukan berdasarkan rangkuman

commit to user

sembahyang yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya. Sejarah sembahyang lima waktu itu ada juga yang berpendapat seperti ini:

Orang yang pertama mengerjakan sembahyang subuh ialah Nabi Adam a.s., yaitu tatkala Nabi Adam a.s. keluar dari surga lalu diturunkan ke bumi. Hal pertama yang dilihatnya ialah kegelapan dan ia merasa takut. Oleh sebab itu, ketika fajar subuh telah keluar Nabi Adam a.s. pun melakukan sembahyang dua rakaat.

Orang yang pertama mengerjakan sembahyang zuhur ialah Nabi Ibrahim a.s., yaitu tatkala Allah Swt. telah memerintahkan padanya agar menyembelih anaknya, Nabi Ismail a.s. Perintah itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim empat rakaat.

Orang yang pertama mengerjakan sembahyang asar ialah Nabi Yunus a.s., ketika ia dikeluarkan oleh Allah dari perut ikan hiu. Ikan itu telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai. Peristiwa itu terjadi pada waktu Asar. Maka bersyukurlah Nabi Yunus a.s., lalu melakukan sembahyang sebanyak empat rakaat karena telah diselamatkan oleh Allah Swt.

Orang yang pertama mengerjakan sembahyang magrib ialah Nabi Isa a.s., yaitu saat ia dikeluarkan oleh Allah Swt. dari kebodohan kaumnya. Peristiwa itu terjadi ketika terbenamnya matahari. Maka bersyukurlah Nabi Isa a.s., lalu melakukan sembahyang tiga rakaat.

Orang yang pertama mengerjakan sembahyang isya ialah Nabi Musa a.s. Pada ketika itu Nabi Musa telah tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan dan hatinya penuh dengan kesedihan. Kemudian

commit to user

Allah menghilangkan kesedihan itu pada waktu isya yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa a.s. empat rakaat sebagai tanda bersyukur.

Bapak Agus Himawan menafsirkan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang tidak melupakan syariat yang dilakukan nabi-nabi sebelumnya, termasuk soal sembahyang. Nabi Muhammad saw. melakukan syariat-syariat sembahyang dari nabi-nabi sebelumnya, sehingga sembahyang yang dilakukannya meliputi sembahyang lima waktu.

e. Sebab Difardukan Sembahyang Lima Waktu

Penjelasan sebab difardukan sembahyang lima waktu terdapat pada kutipan berikut.

“Soal sebabnya kita / difardukan sembahyang lima waktu pada sehari semalam? /

Jawab: adalah tatkala masa awal, berfirman Allah Taala akan / Nur Muhammad shallā `l-Lāhu / „alaihi wa sallam tatkala belum lagi ada / kenyataan segala suatu yang lain dari pada-Nya. Maka firman Allah / Taala akan Nur Muhammad “… alastu bi rabbikum…”. Artinya bukanlah / Aku Tuhanmu? Maka sabdanya “ qalu balā”. Artinya berkata nur // Muhammad bahkan yakni murād bahkan itu Engkau jua Tuhan / kami. Maka tatkala itu sujudlah ia akan mengesakan Tuhannya / kira-kira lima ratus tahun lamanya. Maka itulah difardukan atasnya / segala umatnya mengerjakan sembahyang lima waktu pada sehari semalam.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 8–9).

Bapak Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa sebab difardukan sembahyang lima waktu berkaitan dengan penciptaan manusia. Berdasarkan naskah, diterangkan mengenai perjanjian ruh dengan Allah Swt., sebelum ruh dimasukkan ke dalam jasad. Perjanjian itu mengisyaratkan, bahwa pada dasarnya semua manusia itu beragama

commit to user

Islam, yakni ketika masih dalam alam ruh, manusia mengakui bahwa hanya Allah Swt. semata Tuhan mereka. Oleh sebab itu ketika manusia terlahir ke alam dunia, manusia diwajibkan menyembah Allah Swt. dengan cara sembahyang sebagai wujud ditepatinya perjanjian itu. Akan tetapi, setelah manusia lahir ke alam dunia, tidak sedikit manusia yang mengingkari janji itu.

Ustad Novel menguraikan bahwa ketika di alam zar, Allah mengumpulkan seluruh ruh. Ketika itu Allah bertanya “Bukankah Aku

Tuhan kalian?”. Pada saat itu ruh dari nur Muhammad yang menjawab

pertama kali dan bersujud. Hal itu merupakan kemuliaan, sehingga menyembah Allah menjadi sesuatu yang wajib sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa sebelum ada segala sesuatu di dunia ini, Allah telah menciptakan nur Muhammad sebagai salah satu inti untuk menciptakan makhluk. Dalam kutipan disebutkan bahwa nur Muhammad bersujud kepada Allah. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang berasal dari nur Muhammad, sudah seharusnya kita juga bersujud kepada Allah.

f. Makna Jumlah Rakaat Sembahyang

Masing-masing rakaat dalam sembahyang memiliki maksud tertentu, seperti yang diuraikan dalam kutipan berikut.

“Maka sembah // Sayyidinā Ali, ya Rasulullah apa sebab sembahyang / zuhur empat rakaat?

Maka sabdanya karena tajalli Tu / han itu dengan empat perkara. Pertama wujud. Kedua / ilmu. Ketiga nur. Keempat syuhud.

commit to user

Maka yang wujud / itu isbat pada menyata[kan] ta„ayyun zat karena jika tiada / wujud, zat pun tiada nyata. Maka [yang] ilmu itu isyarat / pada menyatakan ta„ayyun sifat karena jika tiada ilmu, sifat/ pun tiada. Maka yang nur itu isyarat pada menyatakan / ta„ayyun asma karena jika tiada nur, asma pun tiada / nyata. Maka yang syuhud itu pada menyatakan ta„ayyun af„al / karena jika tiada syuhud, fi„il pun tiada nyata.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 10).

“Maka sembah Sayyidi // Ali, ya Rasulallah apa sebab sembahyang asar empat / rakaat?

Maka sabdanya karena tajalli insan itu dengan / empat perkara. Pertama daripada air. Kedua daripada tanah. / Ketiga daripada angin. Keempat daripada api.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 11).

“Maka sembah <Sa> / Sayyidinā Ali ya Rasulallah apa [sebab] sembahyang magrib itu / tiga rakaat?

Maka sabdanya karena tajalli Haq Taala dengan / tiga perkara. Pertama ahadiyyah. Kedua wahdah. Ketiga / wahidiyyah. Adapun ahadiyyah itu keesaan / zat la ta„ayyun. Dan wahdah itu keesaan sifat ta„ayyun / awal, yaitu hakikat Muhammadiyah. Dan wahidiyyah kee[saan] / af„al yakni sāni yaitu hakikat Adam. Adapun / ahadiyyah pada kita ini air yang hidup “mā„ul hayat” namanya. / Dan wahdah pada kita ini ha[ti] yang dipalu tiada belah, kalbu / nurani dan ruhani pun namanya. Dan wahidiyyah // pada kita ini akal arif lagi sempurna akal <ha> / hakikat namanya.”

(Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 11).

“Maka sembah Sayyidinā Ali, ya Rasul / Allah apa sebab (semyaham) sembahyang isya empat / perkara?

Pertama wadi. Kedua mazi. Ketiga pada mani. / Keempat ma«ni»kam. Adapun tempat mani itu dalam / tulang dan sendi. Setelah keluarlah ia daripada tempat / itu dalam nikmat, maka jatuh ke dalam rahim perempuan / atau barang sebagainya dan yang dinamai itu yaitu (nar) / nur Allah. Dan Nur Muhammad pun namanya. Dan keluarnya / itu daripada sebab syahwat yang zhahir atau syahwat / yang terbua«t». Dan adalah syahwat itu daripada mazhahir / sifat jalalla dan m.ng.n.k.m itu yaitu semata-mata l.n / ialah m.ng.n.k.m namanya lagi lengkap segala masail ilmu / dalamnya.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 12).

Bapak Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan tidak dapat menjelaskan maksud dari kutipan tersebut. Ustad Novel berpendapat bahwa kutipan itu sulit untuk dijabarkan karena termasuk tasawuf tingkat tinggi. Namun pada intinya, dapat dikatakan bahwa sembahyang subuh itu untuk mengagungkan sifat dan zat Allah. Sembahyang zuhur itu

commit to user

mengagungkan tajalli Tuhan, yaitu wujud, ilmu, nur, dan syuhud terhadap-Nya. Sembahyang asar dikarenakan mengagungkan tajalli insan, yaitu air, tanah, api, dan angin. Sembahyang magrib untuk mengagungkan tajalli Haq Allah, yaitu ahadiyyah, wahidiyyah, dan wahidah. Sembahyang isya berkenaan dengan penjelasan tentang macam-macam air mani.

g. Hakikat Sembahyang

Hakikat sembahyang terdapat pada kutipan berikut.

“Adapun hakikat ash-shalāh itu / empat perkara. Pertama masuk serta ilmu. Kedua <ber> / berdiri serta malu. Ketiga memaca surat. Keempat / serta takut.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 15).

Bapak Ahmad Dahlan menafsirkan hakikat sembahyang dalam naskah terdiri dari empat hal, yaitu masuk dan ilmu, berdiri dan malu, membaca surat, serta takut. Masuk berarti mengetahui masuknya waktu sembahyang, malu adalah perasaan yang ada dalam diri kita ketika berhadap-hadapan dengan Allah melalui sembahyang, membaca surat dilakukan dengan benar, jangan hanya dilisankan saja, dan takut artinya hati kita senantiasa merasa takut kepada Allah.

Ustad Novel berpendapat bahwa kutipan tersebut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperoleh hakikat sembahyang. Untuk memperoleh hakikat sembahyang, maka perlu diketahui bahwa masuknya sembahyang itu dengan ilmu (pengetahuan) mengenai hukum-hukumnya. Kemudian berdiri dan malu berarti bahwa kita hendaknya berdiri dengan rasa malu ketika sembahyang. Terakhir adalah membaca surat dengan

commit to user

rasa takut. Dengan adanya rasa takut itu, maka seseorang yang sembahyang akan selalu berusaha agar semua perbuatan sembahyangnya itu benar.

Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa hakikat sembahyang itu harus memenuhi unsur-unsur seperti paham akan syariatnya, senantiasa mengusahakan berdiri semampunya untuk mengerjakan sembahyang, dan memiliki rasa takut kepada Allah. Dengan demikian maka sembahyang yang dilakukan akan khusyuk.

h. Rukun Sembahyang

Rukun sembahyang terdiri dari tiga belas urutan. Dalam teks Asrāru `sh-Shalāt, ketiga belas rukun tersebut diuraikan satu per satu seperti berikut.

1) Niat.

“Maka ialah // maka disertakannyalah niatnya kaukatanya Allahu Akbar jangan / dahulu.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 13).

2) Takbiratul Ihram.

“Dan terkemudian daripada “alif”Allah hingga “ra” Akbar. Wa / jib dinyatakan “ra” Akbar serta menyatakan Dia dengan seakan / yakni pada i«th»thāha[d] -nya memutuskan segala sifat fi„il / yang berkaya-kaya itu serta membesarkan sifat zat mutlak. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 13).

3) Maqam tabdil

“Ketiga yaitu maqām tabdil artinya tawakal kepada Allah / Taala serta menafilah insan, hanyalah wujud Allah / Taala seperti firman ---. / Bahwasanya Allah jua yang kekal dan fanalah semuanya. Demikian / lah dalam musyāhadah dan muqābalah dan muqāranah ia / hadirat Tuhan dalam

commit to user

sembahyang serta taslim-nya / dan tawadlu‟-nya dan takutnya ia mengerjakan amar-nya / dan serta menjauhi (na‟a) nahinya.”

(Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 13).

4) Membaca Fatihah

“Keempat memaca / fatihah yaitu maqām mutakalim artinya berkata-kata dengan // Allah. Bermula fatihah itu keluar daripada tubuh yang halu / s yakni meninggilah dirinya dan hapus segala ta„ayyun / --- / yang zhahir maka hendaklah dikeluarkan bacanya itu kepada huruf / dan bukan suara. Inilah maqāmmutakalim.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 13–14).

5) Rukuk

“Kelima rukuk dalam / itu seolah-olah memanang tiang ka‟bah, yakni ibu kakinya kedua. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

6) Iktidal

“Keenam iktidal dalamnya itu memanang antara kening kedua seolah-olah / memandang Nur Muhammad, Rasulallah.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

7) Sujud

“Ketujuh sujud dalamnya itu / memandang dada seolah-olah melihat Tuhan dalam ka‟bah. Dan / sujud itu maqām taqarubi yakni mengnyempurnakan diri / kepada Haq Taala serta hapuslah ta„ayyun insan dalamnya. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

8) Qu‟ud

“Kedelapan qu„ud.” (Asrāru `sh-Shalat, hlm. 14).

9) Duduk

commit to user

10) Tahiyat Akhir

“Yang kemudian kesepuluh / tahiyat akhir.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

11) Salawat

“Kesebelas salawat akan nabi shallā `l-Lāhu „alaihi / wa sallam.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

12) Salam

“Keduabelas salam yang pertama.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

13) Tertib

“Ketigabelas tertib. //” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 14).

Berdasarkan kutipan tersebut, ketiga narasumber, yaitu Bapak Ahmad Dahlan, Ustad Novel, dan Bapak Agus Himawan berpendapat bahwa rukun sembahyang tersebut merupakan urutan-urutan sembahyang yang dalam pelaksanaannya tidak boleh saling bertukar, harus sesuai urutan sebanyak tiga belas urutan. Pertama niat. Kedua, takbiratul ihram. Ketiga, maqam tabdil. Keempat, membaca Al-Fatihah. Kelima, rukuk. Keenam, iktidal. Ketujuh, sujud. Kedelapan, qu'ud. Kesembilan, duduk. Kesepuluh, tahiyat akhir. Kesebelas, salawat. Kedua belas, salam. Ketiga belas, tertib

i. Penggolongan Sembahyang

Orang-orang yang melakukan sembahyang dapat dibagi menjadi tiga macam. Hal tersebut tercantum dalam kutipan berikut.

commit to user

“Maka adalah musyāhadah-nya / tatkala itu segala masiwa `l -Lah ini fana ia, / hanya Haq Taala jua yang baqā seperti firman Allah / Taala “Kullu syai‟in hālikun illā wajhah”. Tiap-tiap / binasa melainkan zat-Nya yang adanya. Demikianlah takbira / tu `l-ihrām orang yang muntahi.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 19).

“Dan jikalau ada ia / daripada orang yang mutawasith, takbirnya Allah, takbirnya / akbar“Allahu Akbar” hadir, dan hadir di sini nyatalah / fana-Nya, af„al kepadaaf„al Allah, dan sifat-Nya / kepada sifat Allah, zat-Nya kepada zat Allah. Maka / apabila tataplah hapusnya seperti keadaan // hapus bulan dan bintang itu sebab ter / bit matahari, maka tiada terbilang cahaya keduanya / itu melainkan yang terbilang cahayanya matahari / jua. Maka dihukumkan pandangnya yang demikian itu / pandang mutawasith namanya.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 19–20).

“Dan jikalau ia / daripada orang yang mubtadi maka muqāranah-nya / Allahu Akbar atau sembahyang fardu zuhur atau la / innya. Maka apabila selesailah si-mushali itu daripada / takbiratu `l-ihrām, kemudian muqāranah maka hendaklah / ia kembali akan pandang kepada mu„ayyanah serta / muntahi yang di bawahi hingga sampailah kepada Islam. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 20).

Bapak Ahmad Dahlan menjelaskan penggolongan orang yang melakukan sembahyang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu golongan orang muntahi sebagai golongan orang yang sudah sangat mengenal Allah, golongan orang mutawasith. adalah golongan orang yang dianggap menengah dalam mengenal Allah, dan golongan orang mubtadi adalah orang yang baru memulai mengenal Allah.

Ustad Novel menguraikan tiga macam orang sembahyang berdasarkan takbiratul ihramnya. Golongan orang muntahi merupakan

Dokumen terkait