• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.13. Analisis Risiko

Risiko mengacu pada peluang bahwa beberapa kejadian yang tidak menguntungkan akan terjadi. Risiko dapat diukur dengan beberapa cara yang berbeda dan kesimpulan yang berbeda tentang bagaimana tingkat risiko aktiva dapat diketahui tergantung pada ukuran yang digunakan. Beberapa hal yang perlu diingat adalah sebagai berikut:

1. Semua aktiva keuangan diharapkan menghasilkan arus kas dan tingkat risiko aktiva ditentukan dari tingkat risiko arus kasnya.

2. Tingkat risiko aktiva dapat dipertimbangkan dengan dua cara: (1) atas dasar berdiri sendiri (stand-alone basis) dimana arus kas aktiva dianalisis oleh mereka sendiri, atau (2) dalam konteks portofolio, dimana arus kas dari sejumlah aktiva digabungkan dan kemudian arus kas konsolidasi tersebut dianalisis.

3. Risiko aktiva dalam konteks portofolio dapat dibagi menjadi dua komponen: (1) komponen risiko yang dapat didiversifikasi (diversifiable risk component) dan (2) komponen risiko pasar (market risk component).

4. Aktiva dengan tingkat risiko relevan (pasar) yang tinggi harus memberikan tingkat pengembalian yang tinggi untuk menarik para investor. (Brigham, 2004)

Siamat (2004) mengemukakan bahwa memprediksi risiko dalam investasi merupakan hal yang cukup kompleks. Risiko investasi di pasar modal pada prinsipnya semata-mata berkaitan dengan kemungkinan terjadinya fluktuasi harga (prica volatility). Risiko-risiko yang mungkin dapat dihadapi investor tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Risiko daya beli (purchasing power risk). Sifat investor dalam menangani faktor risiko di pasar modal ini terdiri dari dua yaitu investor yang tidak menyukai risiko (risk averter) dan investor justru menyukai menantang risiko (risk averse). Bagi investor kategori pertama ini akan mencari atau memilih jenus investasi yang akan memberikan keuntungan yang jumlahnya sekurang-kurangnya sama dengan investasi yang dilakukan sebelumnya. Di samping itu, investor mengharapkan untuk memperoleh pendapatan dan atau capital gain dalam waktu yang tidak lama. Akan

tetapi, apabila investasi tersebut memerlukan waktu 10 tahun untuk mencapai 60% keuntungan sementara tingkat inflasi selama jangka waktu tersebut telah naik melebihi 100%, maka investor jelas akan menerima keuntungan (return) yang daya belinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh semula. Oleh karena itu, risiko daya beli ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya inflasi yang menyebabkan nilai riil pendapatan akan lebih kecil.

b. Risiko bisnis (business risk). Risiko bisnis adalah suatu risiko menurunnya kemampuan memperoleh laba yang pada gilirannya akan mengurangi pula kemampuan perusahaan (emiten) membayar bunga atau deviden.

c. Risiko tingkat bunga (interest rate risk). Naiknya tingkat bunga biasanya menekan harga jenis surat-surat berharga yang berpendapatan tetap termasuk harga-harga saham. Biasanya, kenaikan tingkat bunga berjalan tidak searah dengan harga-harga instrumen pasar modal. Risiko naiknya tingkat suku bunga misalnya jelas akan menurunkan harga-harga di pasar modal.

d. Risiko pasar (market risk). Apabila pasar bergairah (bullish) umumnya hampir semua harga saham di Bursa Efek mengalami kenaikan. Sebaliknya apabila lesu (bearish), saham-saham akan ikut pula mengalami penurunan. Perubahan psikologi pasar dapat menyebabkan harga-harga surat berharga anjlok terlepas dari adanya perubahan fundamental atas kemampuan perolehan laba perusahaan.

e. Risiko likuiditas (liquidity risk). Risiko ini berkaitan dengan kemampuan suatu surat berharga untuk dapat segera diperjualbelikan dengan tanpa mengalami kerugian yang berarti.

2.14. Beta

Koefisien beta adalah mengukur tingkat pergerakan pengembalian saham yang telah ada terhadap saham pasar. Rata-rata risiko saham didefinisikan sebagai saham yang cenderung bergerak naik dan turun sejalan dengan pasar umum yang diukur oleh beberapa indeks. Jika sebuah saham mempunyai beta yang positif, maka kita akan mengharapkan pengembalian yang meningkat apabila pasar saham secara keseluruhan naik. Akan tetapi, faktor perusahaan dapat menyebabkan

pengembalian saham menurun, meskipun pengembalian pasar adalah positif (Brigham, 2004). Beta portofolio adalah rata-rata tertimbang sederhana pada modal dari saham individu, di mana tertimbang adalah presentase dari dana yang diinvestasikan pada tiap saham. Beta portofolio mengukur rata-rata daya reaksi dari pengembalian portofolio pada pergerakannya di pasar umum (Keown, 2004). 2.15. Penelitian Terdahulu

Wicaksono, D.T. (2005) dalam penelitiannya tentang Analisis Portofolio Optimal dari Saham Sektor Industri Keuangan di Bursa Efek Jakarta, mengemukakan bahwa (1) saham-saham sektor keuangan berdasarkan tingkat pengembalian dan risikonya yang memiliki kinerja terbaik adalah saham ABDA (sub sektor asuransi), saham BGIN (sub sektor bank), saham MITI (sub sektor perusahaan efek) dan saham MTFN (sub sektor lembaga pembiayaan); (2) saham- saham sektor keuangan yang termasuk kedalam saham unggulan pada sub sektor bank memiliki jumlah saham unggulan terbanyak dan dinilai sebagai sub sektor yang paling baik, yaitu saham INPC, MAYA, BGIN, BVIC, NISP, BBIA, BABP, BNGA, BDMN,BNII, BBRI, BEKS, BMRI, BBNI, LPBN, PNBN; (3) portofolio optimal pada sub sektor keuangan (asuransi, bank, perusahaan efek dan lembaga pembiayaan) memiliki tingkat pengembalian dan risiko rendah; (4) membentuk portofolio optimal saham sektor industri keuangan yang terdiri dari portofolio optimal yang dihasilkan pada masing-masing sub sektor asuransi, bank, perusahaan efek dan lembaga pembiayaan; (5) melalui pembandingan antara investasi portofolio saham-saham sektor keuangan dengan deposito, maka dapat ditentukan tercapainya suatu bentuk investasi portofolio yang aman (dengan tingkat risiko minimum) dan tingkat pengembalian maksimal.

Hasil penelitian Dewoprojo, W.K. (2005) tentang Analisis Investasi Saham Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Jakarta Periode 2002-2004 menyatakan bahwa (1) tingkat suku bunga deposito mempengaruhi saham GGRM dan HMSP, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh terhadap saham MLBI, GGRM dan HMSP, sedangkan IHSG tidak terpengaruh oleh kedua faktor makro ekonomi tersebut; (2) harga saham antar perusahaan (industri) barang konsumsi di BEJ tidak saling mempengaruhi; (3) investasi dalam

bentuk saham perusahaan (industri) barang konsumsi di BEJ pada umumnya memiliki tingkat risiko yang tinggi dan tingkat hasil yang rendah.

Penelitian Widyaningdyah (2001) tentang Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia dengan tujuan untuk menguji pengaruh reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage dan persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO terhadap earnings management, yang di-proxy-kan dengan discretionary accruals. Berdasarkan hasil pengujian hanya leverage saja yang berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Hasil penelitian ini mendukung temuan Dechow et.al (1996) bahwa debt motivation yang salah satu proxy-nya adalah leverage, berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Perusahaan yang terancam defaultcenderung melakukan earnings management dengan menaikkan laba. Hal ini dilakukan dalam rangka memperbaiki posisi bargainingnya saat negosiasi ulang atau perusahaan melakukan go public untuk mendapatkan dana segar karena kesulitan mencari dana pinjaman. Earnings management untuk perusahaan yang go public dilakukan pada prospektus laporan keuangan perusahaan sebelum IPO agar investor tertarik menanamkan modalnya.

Analisis Pengaruh Profitabilitas Industri, Rasio Leverage Keuangan Tertimbang dan Intensitas Modal Tertimbang serta Pangsa Pasar Terhadap ROA dan ROE Perusahaan Manufaktur yang Go-Public di Indonesia, diteliti oleh Martono (2002) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, tiga variabel, yaitu ROA industri, intensitas modal tertimbang dan leverage keuangan tertimbang terbukti berpengaruh signifikan terhadap ROA perusahaan. Kedua, tiga variabel, yaitu ROE industri, leverage keuangan tertimbang dan pangsa pasar terbukti berpengaruh signifikan terhadap ROE. Ketiga, berdasarkan nilai R2, hasil analisis regresi ROE lebih robust dibandingkan hasil analisis regresi ROA. Keempat, profitabilitas industri terbukti superior dalam menjelaskan ROA, sedangkan variabel yang superior dalam menjelaskan ROE adalah rasio leverage keuangan tertimbang.