• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Saran yang bisa dijadikan masukan bagi majalah Moslem Girls

Indonesia untuk perbaikan di edisi berikutnya adalah agar redaktur dalam

menyeleksi foto-foto yang akan diterbitkan lebih spesifik memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman sesuai dengan tema yang ditentukanagar sesuai dengan label yang ada pada nama majalah yaitu majalah Moslem Girls Indonesia.

Arikunto, Dr. Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.

Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKIS, 1999.

Daud Marwah, Dakwah Islam, Makalah Pengantar pada Stadium General Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).

Gumira, Seno Ajidarma. Kisah Mata Fotografi Antara Subyek Perbicaraan Tentang

Ada. Yogyakarta: Galang Press. 2003.

Hasby, Eddy. Teks Foto dalam Jurnalistik. Artikel Kompas Image, 17 Juli 2009. HM, Zaenuddin. The Journalist, Jakarta:Prestasi Pustakarya, 2007.

Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi dan Tesis (Bandung: angkasa 1985), h. 74. Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Yayasan Indonesiatera. 2001. Mirza, Audy Alwi. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

Massa. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), edisi ke-8.

Prastowo, Andi. Memahami Metode-metode Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

R. Masri Sarib Putra, Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memproduksi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 88.

Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa. 1931.

Sobur, Alex. Semotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2009.

Soehoet, Hoeta. Dasar-Dasar Jurnalistik. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003.

Jurnalis Professional. Bandung: Simbioas Rekatama Media, 2006. Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002.

Tebba, Sudirman. Jurnalistik baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.

Uchjana, Onong Effendy. Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.

Yuwono, Untung. T, Christomy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia. 2004.

Sumber dari Internet

“Semiotika”, artikel diakses pada 5 desember 2012 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/semiotika.

Adiguna, “Mengenal Ukuran Tabloid, Majalah dan Surat Kabar” artikel diakses pada 2 April 2013 dari http://adiguna.com/2008/06/mengenal-ukurantabloidmajalah-dansuratkabar

Ahmad Husein “PASANG SURUT MAJALAH”, artikel diakses pada 2 April 2013

dari http://duamata.blogspot.com/2006/02/pasang-surut-majalah.html

Kurniawan Djunaedhi, Rahasia Dapur Majalah Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1995), h. 307

Kurniawan Yuda, “Pengenalan Jenis-jenis Foto,” artikel diakses pada 12 November 2012 dari

http://fotografiyuda.wordpress.com/seputar-fotografi/pengenalan-jenis-jenis-foto-dan-teknis dasar-pemotretan/

M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 120

Superman, “Pengertian Fotografi”, artikel diakses pada 25 Februari 2013 dari

http://www.forumkami.com/forum/forum-fotografi/3323-pengertian-fotografi.html

Sumber Lainnya

Majalah Moslem Girls Indonesia, Edisi 001/Tahun 2011. Jakarta: PT. Matahati Inspirasi Abadi, 2011.

Wawancara Pribadi dengan GRM.Artnika Martodihardjo. Jakarta, 13 November 2012.

Wawancara Pribadi dengan Rr. Wulandari Noerjo Hadikoesoemo. Jakarta, 13 November 2012.

Jabatan : Journalist

Waktu : 4 Maret 2013

Lokasi : PT. INDONESIA EXPOSE CREATIVE

COMMUNICATION Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 5 No. 518 B Jl. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Selatan 10270 Indonesia

1. Apa latar belakang berdirinya majalah Moslem Girls Indonesia?

Ingin menjadikan perempuan muslim yang solihah dan memiliki pemikiran modern dan kreatif, adanya rasa prihatin melihat banyaknya majalah yang tidak mendidik dan tidak syiar islam padahal agama Islam menjadi mayoritas di Indonesia, dan ingin memberikan pencitraan bahwa Islam juga dapat identik dengan kecerdasan, kekinian, dan modis sesuai dengan tagline yang dipakai dalam majalah Moslem Girls Indonesia yaitu

smart educative trendy”.

2. Tujuan dan sasaran Moslem Girls Indonesia sebagai majalah muslim?

Moslem Girls Indonesia ingin men syiarkan nilai-nilai Islam kepada

masyarakat mengenai perkembangan dunia Islam pada zaman modern seperti sekarang ini yang sepatutnya diketahui oleh umat Islam itu sendiri, baik dari aspek sosial, seni/budaya juga fashion yang disajikan dari setiap rubriknya. Sasaran dan target pasar yang ditujukan kepada perempuan remaja muslim usia 15 sampai dengan 21 tahun dengan latar belakang pendidikan pelajar dan mahasiswa.

Ciri Islami yang ditampilkan hampir pada setiap rubrik. majalah Moslem

Girls Indonesia adalah majalah syiar Islam. Oleh karenanya setiap rubrik

pasti ada unsur Islami didalamnya.

4. Apa perbedaan majalah Moslem Girls Indonesia dengan majalah lain?

Perbedaannya terletak pada segmen pasar yang dikhususkan untuk remaja, setiap rubrikasinya syiar Islam, dan sebagian besar menampilkan fashion remaja muslim yang trendy.

5. Adakah ciri Islam di dalam redaksi? Misalkan karyawan harus orang muslim atau yang wanita harus berjilbab?

Ada, yaitu iya karyawan harus beragama islam, tetapi tidak ada keharusan untuk karyawatinya mengenakan jilbab, namun harus tetap sopan dan untuk karyawan juga berpakaian sopan.

6. Ada proses pengeditan apa saja pada foto-foto di rubrik fotografi MGI, khususnya pada edisi ke 4?

Pada rubrik fotografi, proses pemilihan foto yang dikirim oleh pembaca berdasarkan tema-tema yang diangkat. Seleksi foto yang kami lakukan berupa ide cerita dari foto-foto itu atau judul foto yang mereka kirim. Proses pengeditan foto-foto yang dikirimkan ke redaksi justru tidak dilakukan edit olah digital sehingga sentuhan keaslian sang fotografer begitu kentara. Bila sebelum mengirimkan hasil foto mereka sudah melakukan olah digital terlebih dahulu, kami memperbolehkannya karena itu merupakan bentuk kreatifitas mereka sendiri.

diterbitkan di MGI pada edisi berikutnya?

Biasanya kami memberikan deadline untuk pengiriman foto sekitar satu bulan sebelum majalah MGI diterbitkan lagi. Hal ini guna menyaring pemilihan foto-foto yang akan ditampilkan.

8. Sejauh mana MGI menghargai hak cipta sebuah foto?

MGI sangat menghargai hak cipta foto-foto yang dikirimkan yaitu dengan mencantumkan nama fotografer pada setiap foto yang ditampilkan. Untuk artikel pun kami memberitahukan detil source-nya dari foto-foto yang ada. Untuk beberapa edisi kami masih belum memberikan free gift kepada para pembaca yang telah mengirimkan foto-foto mereka namun kedepannya kami berencana akan memberikan free gift untuk foto terbaik setiap tayang di MGI supaya menambah semangat para pembaca untuk mengabadikan

moment melalui kamera mereka dan mengirimkan hasilnya kepada rubrik

fotografi MGI.

9. Dengan adanya rubrik fotografi yang ada di majalah MGI, dimana di majalah-majalah muslim lain tidak ada rubrik seperti ini. apa visi-misi MGI berkaitan dengan rubrik fotografinya?

Rubrik fotografi kita buat mengingat sekarang ini banyak para remaja yang menggandrungi fotografi baik digital maupun analog. Visi misi kami adalah menjadi wadah bagi para remaja yang hobi fotografi untuk bisa menampilkan hasil karya foto mereka secara umum / di-publish. Melalui tema-tema yang kami berikan diharapkan para remaja dapat lebih

sebagai tempat untuk mereka bercerita ataupun melukiskan keadaan sekitarnya. Dan ini merupakan suatu kelebihan dari MGI untuk bisa menjadi ruang ekspresi bagi para remaja muslim Indonesia. Jadi sesuai dengan motto MGI yaitu menjadi remaja yang smart, educative and

trendy. Adanya rubric fotografi merupakan nilai plus bagi remaja muslim

Indonesia untuk bisa berkreasi.

10.Apakah foto-foto yang dikirimkan oleh pembaca MGI pada rubrik fotografi ini termasuk ke dalam citizen journalism, atau hanya

sebagai ruang ekspresi para fotografer yang mengirimkan karyanya?

Foto-foto yang dikirimkan ini merupakan wadah ekspresi bagi teman-teman remaja muslim Indonesia. Namun pada perkembangannya foto ini pun bisa menjadi bagian dari citizen journalism karena mereka dapat berperan aktif dan berpartisipasi dalam membentuk paradigma bagi pembaca melalui penyampaian informasi lewat foto-foto yang diterbitkan.

11.Bagaimana tata cara yang dilakukan redaksi untuk menentukan sebuah tema pada rubrik fotografi disetiap edisinya?

Cara kami menentukan tema pada rubrik fotografi adalah melalui rapat redaksi setiap bulannya dan melalui pengamatan secara umum dari perkembangan kondisi sekitar ataupun apa yang sedang menjadi tren dikalangan remaja. Biasanya tema yang lebih humanis (human interest) yang mengangkat keseharian kita lebih dikedepankan.

12.Apa saja yang menjadi pertimbangan terhadap sebuah foto sehingga foto itu masuk dalam edisi yang akan diterbitkan?

menjadi prioritas utama sebab rubrik fotografi ini dibuat untuk para pemula fotografi serta dapat memudahkan remaja muslim yang memiliki hobi fotografi untuk saling bertukar pikiran melalui tampilan foto yang diterbitkan, guna mengasah bakat dalam fotografi supaya lebih percaya diri dan bagus lagi dalam berkreasi.

13.Apakah seluruh foto yang diterima MGI dan yang terpilih untuk diterbitkan adalah foto jurnalistik?

Setiap foto yang kami pilih bukan berati foto jurnalistik. Foto jurnalistik adalah sajian foto mengenai sebuah peristiwa yang terjadi yang memiliki nilai berita didalamnya dan memiliki impact bagi sebagian besar orang. Kategori Foto jurnalistik meliputi :Spot News, Feature, General News, Tokoh, Keseharian, Seni budaya dan Fashion, Alam dan Lingkungan, IPTEK, dan Olahraga. Sedangkan bidang-bidang yang ada dalam foto jurnalistik di antaranya adalah : War Correspondent ( Wartawan Perang ), Wartawan Foto Olah raga, Glamour dan Pin –Up Fotografi, Fashion Fotografer, wartawan Foto Majalah, General Interest.

14.Unsur Semiotik yang terkandung dari foto-foto itu seperti apa?

Rubrik fotografi MGI selalu memiliki tema. Salah satu contohnya pada

edisi 4 ini mengangkat tema “Friendship”. Tema “Friendship

mengisyaratkan adanya hubungan baik dalam pertemanan dan ini merupakan bentuk dari semiotik yaitu adanya signifier (pemberi tanda),

signified (yang diberi tanda), denotasi dan konotasi dari sebuah foto yang

(to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.

Barthes melalui dua artikelnya yaitu “The Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961 menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic

message) yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan

“pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya.

15.Bagaimana pemaknaan semiotik dari foto-foto yang ditampilkan?

Pemaknaan semiotik dari foto-foto yang ditampilkan memang menuntut peran pembaca dalam melihatnya. Pada foto-foto tersebut kita bisa melakukan kajian dan analisa dari foto yang ditampilkan. Salah satu contoh pemaknaan foto pada edisi 4 ini adalah foto yang berjudul

dari latar belakang mereka yang sedang berada di dekat kolong jembatan dimana ada bangunan non-permanent yang menjadi rumah tinggal mereka. Foto ini jelas memiliki pemaknaan semiotik dari sudut pandang pembaca. Kebahagiaan yang real bagi mereka adalah ketika bisa bermain bersama-sama meski pada kenyataannya mereka dihadapkan pada peliknya kehidupan.

Jadi menurut St. Sunardi (2004:166) dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memandang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu titik.

Dokumen terkait