• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJ IAN PUSTAKA

2.4 Analisis Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur, 2004 : 15). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dengan suatu tanda (Littlejohn, 1996 :64 dalam Sobur, 2004 : 16). Menurut Barthes, semilogi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan menkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal yang sama objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkontruksi sistem terstrukur dari tanda (Bartes, 1988 : 179; Kurniawan, 2001 : 53, dalam Alex Sobur, 2004 : 15)

John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural dan Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi prespektif yang kedua, studi komunikais adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (Ilmu tentang tanda dan makna) (Fiske, 2006 : 9).

Analisis semiotik menurut John Fiske dibagi menjadi tiga level, yaitu:

1. Level Realitas (reality)

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis (Fiske, 1990 : 40).

Kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :

a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh pemain utama. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan cultural. b. Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas yang

dilakukan oleh suatu organisme.

c. Conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau lebih

dorongan perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.

d. Expression atau ekspresi merupakan pesan yang menggunakan air

muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna. Yakni : kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kekesalan, pengencaman, minat ketakjuban, dan tekat.

e. Gesture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang

dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gesture atau gerakan berhubungan dengan ekspresi seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi. Meski lebih cair dan continue, gesture menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati (Fiske, 1990 : 97).

2. Level Representasi (representation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, music dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :

a. Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan

1. Long Shot (LS), yaitu Shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu

Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki

hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long

shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada

penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body

language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan dan sebagainya dari

ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan tersebut.

2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu

Wide Medium Shot (WMS), gambar medium shot tetapi agak

melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium

shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada

penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan dengan long shot.

3. Close-Up (CU), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan

memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton. 4. Ekstrem Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi

pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya).

5. Estabilishing Shot, biasanya digunakan untuk membuka suatu

adegan. b. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting witlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau

atmosfer sel dan bisa menunjang dramatic adegan (Biran, 2006 :

43)

c. Penata Suara

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film “ 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ”. Voice Over (VO) adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh ( Effendy, 2002 : 155). Voice Over sering digunakan sebagai

penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.

d. Teknik Editing

1. Cut : Perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

2. Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

3. Motivated cut : bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

e. Penataan Musik

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing adalah penataan music yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan konstruksi gender pada tokoh Dr.Kartini dalam film “ 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita “.

3. Level Ideologi (ideology)

Level ideologi diorganisasikan ke dalam kesatuan (coherens) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualism, kelas patriarki, gender, ras, matrealism, capitalism, dan sebagainya.

2.4.1 Model Semiotik Char les S.Pierce

Sebuah tanda atau representamen (representamen), menurut Pierce dalam Budiman (2004:25), adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama, pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian, sebuah tanda atau representamen memiliki relaisi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang disebut sebagai proses semiosis merupakan suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering pula disebut sebagai signifikansi

(signification).

Teori Pierce menjadi grand theory dalam semiotik dan gagasan bersifat menyeluruh, deskriptif dari semua system penandaan. Semiotic ingin membongkar bahasa secara keseluruhan. Charles Sanders Pierce, seorang filsuf Amerika yang hidup di peralihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Gagasan bersifat menyeluruh, deskriptif struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktural tunggal (Sobur, 2004 : 97-98).

Dalam kajian media massa semiotik tidak hanya dikenal sebagai teori namun juga sebagai metode analisis. Sanders Pierce (1839-1914) menyusun segitiga makna (triangle meaning) yang terdiri atas sign

(tanda), object (objek) dan Interpretant (interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan sebagai tampak dalam gambar berikut ini (Fiske, 1990 : 42 dalam Alex Sobur, 2001 : 115)

Sign

Interpretant Object

Gambar 2.1 : Model Elemen Makna dalam Semiotika Pierce

Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dengan relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu diluar dirinya sendiri – objek, dan ini dipahami oleh seseorang : dan ini memiliki efek di benak penggunanya – interpretant. (Fiske, 2006:63)

Model triadic Pierce memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu representamen (sesuatu yang mereprentasikan

sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpretansikan) dan interpretan (orang yang memberi interpretasi terhadap tanda) (Piliang 2003:267). Di antara tipologi Pierce yang terkenal adalah pengelompokkan tanda menjadi tiga macam oleh Pierce dalam Sobur (2004:41), yang diistilahkan sebagai tanda sinematik, yaitu:

1. Ikon, yaitu tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemblence) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya.

Menurut Pierce dalam Sobur (2006:158) ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Reperentasi itu ditandai dengan kemiripan, misalnya suatu peta atau lukisan, memiliki hubungan ikonik dengan objek sejauh diantara keduanya terdapat keserupaan. Kata-kata onomatope di dalam bahasa Indonesia, misalnya kukuruyuk, demikian pula. Zoest dalam Sobur (2006:158) menguraikan ikon ke dalam tiga macam perwujudan :

a. Ikon spasial atau topologis, yang ditandai dengan adanya kemiripan antara ruang/ profil dan bentuk teks dengan apa yang diacunya; b. Ikon relasional atau diagramatik di mana terjadi kemiripan antara

hubungan dua unsur tekstual dengan hubungan dua unsur acuan; dan c. Ikon metafora, di sini bukan lagi dilihat adanya kemiripan antara tanda dan acuan, namun antara dua acuan, keduanya diacu dengan tanda yang sama; yang pertama bersifat langsung dan yang kedua bersifat tak langsung.

Beda kepala, beda juga pemikirannya. Pandangan Pierce tentang ikon (icon), pengertiannya relatif sama dengan istilah simbol (symbol) dalam wawasan Saussure. Hal ini ditegaskan oleh Umberto Eco dalam Sobur (2006:158), “Saussure called symbol what Pierce called icons”. Dalam wawasan Saussuran, simbol merupakan diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Peta, umpamanya, bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan.

2. Indeks, adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial diantara representatemen dan objeknya.

Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiasif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan objeknya bersifat konkret, actual, dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana; ketukan pada pintu merupakan indeks dari kehadiran atau kedatangan seseorang. Monaco (1977:160)

mengartikan indeks yaitu yang mengukur kualitas, bukan karena ia sama atau identik dengan itu, tapi karena ia mempunyai hubungan yang erat dengannya.

3. Simbol, yaitu tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara

signifier dan signified. Hubungan ini berdasarkan konvensi (kesepakatan) masyarakat.

Simbol (symbol) biasa disebut Lambang. Dalam pengertian komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Sobur (2006:157) mengatakan simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan unuk menunjuk sesuatu yang lainnya. Berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi : katakata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya tanda lampu lalu lintas. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan

antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.

Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign) dalam wawasan Pierce (Monaco: 1977:160), tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (indeks), dan simbol (symbol). Pada dasarnya ikon merupakan tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu meskipun sesautu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut yang tidak hadir. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga dipresentasikan oleh ikon, indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan (Mulyana dalam Sobur 2006: 158).

Kemudian istilah simbol dalam pandangan Pierce dalam istilah sehari-hari lazim disebut kata (word), nama (name), dan label (label). Sebab itu tidak mengherankan apabila pengertian tanda, simbol, maupun kata sering tumpang tindih.

Pada dasarnya, simbol adalah sesuatu yang berdiri ada untuk sesuatu yang lainnya. Kebanyakan di antaranya tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri sendiri untuk suatu institusi, cara berpikir, ide, harapan, dan banyak hal lain. Dan kebanyakan dari apa yang paling menarik tentang simbol-simbol adalah hubungannya dengan ketidaksadaran. Simbol-simbol, seperti kata Asa Berger dalam Sobur (2006:163) adalah kunci yang memungkinkan kita untuk membuka pintu yang menutupi perasaaan-perasaan ketidaksadaran dan kepercayaan kita melalui penelitian yang mendalam. Simbol-simbol merupakan pesan dari ketidaksadaran kita

2.4.2 Film Dalam Pendekatan Semiotik

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut, bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu system, dan kemudian disebut dengan tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda

membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan Jihn Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode ( Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk ).

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua , studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (Fiske, 2006 : 9).

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktual atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest, 1993 : 109, dalam sobur, 2004 : 128), film dibangu dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagi sistem Tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan system penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128). Memang, cirri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan

realitas yang ditunjukkan. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar) dan musik film. System semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2004 : 128).

Dokumen terkait