• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJ IAN PUSTAKA

2.3 Konsep Gender

Gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan ciri-ciri fisik, biologis dan ilmu sosial, orang yang sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender adalah Ann Oakley (1972) yang mengartikan gender sebagai kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.

Gender bukanlah sifat bawaan bersama dengan kelahiran manusia, atau yang biasa disebut jenis kelamin, tetapi gender dibentuk sesudah kelahiran, yang kemudian dikembangkan dan diinternalisasikan oleh masyarakat, oleh karena itu pandangan masyarakat sangatlah menentukan keberadaan terutama mengenai hubungan antara laki-laki dengan kelelakiannya dan perempuan dengan keperempuanannya.

Gender adalah interpretasi mental dan cultural terhadap

perbedaan-perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang interpretasi mental ini lebih merupakan keadaan ideal daripada apa

yang sesungguhnya dilakukan dan dapat dilihat. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi para pria dan wanita. Sering kali kegiatan didefinisikan sebagai milik laki-laki atau perempuan yang diorganisasikan dalam hubungan saling ketergantungan (Ihromi, 1995 : 171)

Gender merupakan konsep sosial, istilah feminine dan maskulin

yang berkaitan dengan istilah Gender sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang secara kompleks telah dipelajari (Ihrom, 1995 : 70)

Konsep Gender, merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.

Gender terdiri dari beberapa elemen :

a. Peranan Gender, yaitu peranan sosial yang ditentukan oleh perbedaan kelamin.

b. Pembagian Kerja Gender, yaitu pola pembagian kerja dimana pria dan wanita melakukan jenis kerja tertentu sering menimbulkan ketimpangan yang merugikan.

c. Diskriminasi Gender, yaitu system sosial dan budaya, peraturan-peraturan serta hukum dalam masyarakat yang melegitimasi berdasarkan jenis kelamin.

d. Ketimpangan struktural gender, yaitu system diskriminasi gender dipengaruhi oleh adanya legitimasi oleh adat, peraturan administrasi ataupun perundang-undangan (Fakih, 1995 : 2-30)

Pemahaman maupun pembedaan antara konsep seks dan konsep gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial baik yang menimpa kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan (gender

inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.

Seringkali gender disama artikan dengan seks. Maka dari itu, untuk memahami konsep gender perlu mengetahui perbedaan antara Seks dan Gender. Pengertian seks yaitu perbedaan organ biologis laki-laki dan perempuan khususnya pada bagian reproduksi. Seks merupakan ciptaan tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat ditukar, berlaku sepanjang zaman dan diaman saja. Sedangkan pengertian Gender yaitu perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan hasil konstruksi sosial. Gender merupakan “buatan” manusia, tidak bersifat kodrat, dapat berubah, dapat ditukar, tergantung waktu dan budaya setempat. (hhtp://www.scribd.com/doc/2591144/-Konsep-Gender)

Atau bisa juga dikatakan, gender adalah kontruksi sosial dan kodifikasi perbedaan antarseks. Konsep ini merujuk pada hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, etnik, adat istiadat, golongan, faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Subandy, 2007 : 6-7)

Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender, ada beberapa istilah yang perlu diketahui :

1. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian/konsep gender karena ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan.

2. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang sudah menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.

3. Peka atau Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan).

4. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang suatu keadaan berdasarkan prespektif gender.

5. Peduli atau Responsif Gender (gender concern/responcive), yaitu kebijakan, program kegiatan, konidisi yang sudah dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin. (http://does.google.com/viewer?a=v&q=cache:49TdSBU9DJcJ:lip4.bk

2.3.1 Ketidakadilan Gender

Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotype) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya penadaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotype ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotype terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan agama, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype tersebut. (Fakih, 2003 : 17)

Ketidakadilan gender mengacu pada konstruksi sosial yang dibangun di atas budaya patriarki yang tertanam kuat dalam masyarakat secara luas (Mufidah, 2003 : 51). Sebaliknya, sebagian kecil masyarakat matriarki saja yang membangun tradisi kesetaraan gender. Perbedaan gender selanjutnya melahirkan peran gender yang sesungguhnya tidak menjadi masalah jika seandainya tidak terjadi ketimpangan yang berakhir pada ketidakadilan gender.

Sedangkan pengertian keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadapm perempuan dan laki-laki. Adanya keadilan

gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Berikut bentuk-bentuk ketidakadilan gender :

1. Marginalisasi (peminggiran) : perempuan sebagai pencari nafkah tambahan, di sector produksi atau public, sering dibedakan pendapatannya atau upah perempuan lebih kecil, izin usaha perempuan harus diketahui ayah (jika masih lajang) dan suami (jika sudah menikah), pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan terhadap perempuan, kemajuan teknologi industry meminggirkan peran serta perempuan.

2. Subordinasi (penomorduaan) : pekerja perempuan sedikit di posisi pengambil keputusan dan penentu kebijakan, status perempuan dianggap rendah (perempuan tidak menikah atau tidak punya anak dinilai secara sosial lebih rendah daripada laki-laki sehingga muncul alas an untuk poligami), perempuan sebagai “konco wiking” (orang belakang), hak kawin perempuan dinomorduakan, bagian waris perempuan lebih sedikit.

3. Pelabelan atau citra baku atau streotipe (pelabelan negative) :

Perempuan : sumur-dapur-kasur, macak-masak-manak, janda mudah dirayu.

Laki-laki : tulang punggung keluarga, kehebatannya-dilekatkan pada kemampuan seksual dan karirnya, mata keranjang.

4. Beban ganda (double burden) : pekerjaan dalam rumah tangga 90% dikerjakan perempuan, perempuan bekerja di luar maupun di dalam rumah, laki-laki bekerja masih harus siskamling, perempuan sebagai perawat, pendidik anak sekaligus pendamping suami, pencari nafkah tambahan, perempuan pencari nafkah utama sekaligus.

5. Tindakan kekerasan atau violence (fisik dan non fisik) : pembedaan karakter feminine dan maskulin memunculkan kekerasan dan kesemena-menaan bisa dalam rumah tangga (KDRT) atau ditempat umum, eksploitasi terhadap perempuan, pelecehan seksual terhadap perempuan, perkosaan, perempuan menjadi obyek iklan, pria diharuskan atau diharapkan sebagai pencari nafkah, pria bertubuh pendek dianggap kurang laki-laki, gagal dibidang karir dan dilecehkan. (hhtp://www.scribd.com/doc/2591144/-Konsep-Gender) .

Ada beberapa macam dan bentuk kekerasan gender, diantaranya:

pertama, bentuk pemerkosaan perempuan termasuk pemerkosaan dalam

perkawinan, pemerkosaan ini terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik terjadi dalam rumah

tangga, dan penyiksaan terhadap anak-anak. Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap alat kelamin perempuan. Keempat, kekerasan terhadap pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan

kaum perempuan. Kelima, kekerasan terhadap perempuan, jenis kekerasan ini termasuk dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterelisasi dalam keluarga berencana. Ketujuh, jenis kekerasan ini terselubung, yakni memegang atau menyentuh bagian dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and harassment. (Fakih, 2001 : 18-20)

2.3.2 Konstruksi Sosial Gender

Proses konstruksi yang berlangsung secara mapan dan lama inilah yang mengakibatkan masyarakat kita sulit untuk membedakan apakah sifat-sifat gender tersebut dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan dari tuhan. Namun, Mansour fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu bisa dipertukarkan, maka sikap tersebut adalah hasil kontruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1999 : 10)

Menurut Wijaya, keberadaan konstruksi sosial gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :

1. Adat kebiasaan 2. Kultur

4. Lingkungan dan pranata gender,diferensiasi (perbedaan gender) 5. Stuktur yang berlaku

6. Kekuasaan

Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan stereotype yaitu pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain stereotype laki-laki adalah maskulinitas dan perempuan adalah feminitas. Secara objektif terdapat butir-butir stereotype maskulin yang bernilai positif, yaitu mandiri, agresif, tidak emosional, sangat objektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, lugas, logis, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya. Dan terdapat pula butir-butir stereotype feminine yang bernilai positif seperti tidak suka bicara kasar,halus, lembut, peka terhadap perasaan oranglain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. (Wijaya, 1991 : 156-157)

Stereotype gender adalah keyakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki untuk peran-peran yang berbeda. Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat tuhan karena sifat-sifat yang ada didalamnya bisa dipertukarkan. (Fakih, 1999 : 72)

Dokumen terkait