• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Skenario Pertama dan Kedua

5 Analisis Kelayakan Finansial Pengelolaan Pelepah Sawit Menjadi Mulsa dan Kompos

5.5 Hasil dan Pembahasan 1 Unit Pengelolaan Pelepah Sawit

5.5.6 Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Skenario Pertama dan Kedua

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat perubahan kelayakan finansial terhadap perubahan harga barang produksi dan harga barang untuk investasi. Kenaikan harga barang akibat investasi dilakukan dengan melihat inflasi konsumen. Data inflasi konsumen dari Bank Indonesia lima tahun terakhir terkoreksi maksimum sebesar 8.79% yaitu pada tahun 2013. Untuk menyederhanakan perhitungan maka inflasi yang digunakan pada analisis sensitivitas ini di bulatkan menjadi 9.00%. Perubahan harga kompos dari survey yang dapat dihimpun di Propinsi Aceh adalah sebesar 10%.

Skenario pertama dengan inflasi 9% menunjukkan bahwa usaha masih layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai NPV dari skenario pertama sudah lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp 681,810,988. Net B/C dan IRR masing- masing adalah 1.19 dan 22%. Nilai Net B/C yang lebih besar dari satu dan IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga bank (13%) menunjukkan bahwa usaha dengan skenario pengelolaan pertama layak untuk diusahakan. Waktu balik modal dan BEP dari model skenario pertama dengan tingkat inflasi 9% adalah 9.28 tahun dan 26,713.72 ton.

Penurunan harga jual kompos sebesar 10% juga menunjukkan bahwa usaha pengelolaan pelepah skenario pertama masih layak untuk diusahakan. Nilai IRR yang diperoleh adalah sebesar 21%, hal ini sudah lebih besar dari tingkat suku bunga bank yaitu sebesar 13%. Net B/C yang diperoleh adalah 1.20 yang menunjukkan sudah layak untuk diusahakan. Nilai NVP dari model pengolaan pertama dengan penurunan harga jual adalah sebesar Rp 647,559,833 dengan waktu balik modal dan BEP masing-masing adalah 9.39 tahun, 27,009.12 ton.

Skenario kedua dengan inflasi 9% menunjukkan bahwa usaha tidak layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai NPV dari skenario kedua yang negatif. Net B/C dan IRR masing-masing adalah 0.91 dan 13%. Nilai Net B/C yang lebih kecil dari satu dan IRR yang masih sama dengan tingkat suku bunga bank (13%) menunjukkan bahwa usaha dengan skenario pengelolaan kedua tidak layak untuk diusahakan jika terjadi inflasi sebesar 9%. Namun, jika terjadi inflasi pada harga barang biasanya juga akan diikuti oleh kenaikan harga produk yang dihasilkan (kompos). Kenaikan harga produk yang sejalan dengan inflasi dapat menutupi terjadinya kerugian pada pengelolaan pelepah sehingga skenario kedua juga layak diusahakan.

Penurunan harga jual kompos sebesar 10% juga menunjukkan bahwa usahan pengelolaan pelepah skenario kedua tidak layak untuk diusahakan. Nilai IRR yang diperoleh adalah sebesar 13%, nilai ini sama dengan tingkat suku bunga bank. Net B/C yang diperoleh adalah 0.84 (lebih kecil dari satu) menunjukkan bahwa usaha dengan model kedua tidak layak untuk diusahakan. Nilai NVP dari model pengolaan kedua dengan penurunan harga jual 10% adalah lebih kecil dari nol. Penyebab tidak layaknya usaha skenario kedua adalah besarnya biaya investasi dan reinvestasi yang dikeluarkan selema pengelolaan pelepah sawit. 5.5.7 Analisis Biaya Pokok Alat dan Mesin Pengelolaan Pelepah sawit

Alat dan Mesin yang digunakan dalam pengelolan pelepah sawit menjadi kompos dan mulsa diantaranya adalah mesin pencacah dan pengempa pelepah,

truk, traktor dan trailer, mesin pencampur dan mesin pengaduk. Kapasitas dari masing-masing mesin yang digunakan disajikan pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Alat dan mesin dalam pengelolaan pelepah sawit Komponen Nilai Jumlah Satuan

Truk 5-10 1 m3/truk

Traktor dan trailer 1000 1 kg/trailer Mesin pencacah dan pengempa pelepah (chopper) 207 1 pelepah/jam Mesin pencampur 120-125 1 kg/proses Mesin pengaduk 100-500 1 m3/jam

Pelepah yang dihasilkan dari proses pemanen akan dikumpulkan oleh tenaga pengumpul sebanyak 15 tenaga kerja. Pelepah ini dikumpulkan dari piringan pohon setelah tenaga pemanen sawit selesai. Pelepah akan langsung dimuat pada trailer yang dibawa oleh traktor. Traktor yang membawa trailer akan masuk pada jalur panen dan akan keluar lagi pada jalur panen selanjutnya. Truk pengangkut pelepah akan menunggu di jalan utama. Traktor dan trailer yang digunakan untuk pengelolaan pelepah akan disediakan hanya satu unit saja. Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian traktor dan trailer adalah Rp 367,325,000 per tahun; Rp 155,792,588 per tahun (Lampiran 26). Biaya penggunaan traktor dan trailer pada skenario pertama dan kedua tidak berbeda.

Truk pengangkut pelepah (Lampiran 49) yang telah penuh kapasitasnya akan membawa pelepah menuju unit pengelolaan pelepah sawit. Pelepah tersebut akan di tumpuk sementara di gudang penyimpanan pelepah. Truk yang telah selesai menurunkan pelepah akan kembali ke lahan dengan membawa kompos dan mulsa. Jumlah unit truk yang disediakan untuk pengelolaan pelepah ini adalah satu unit. Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian truk skenario pertama adalah Rp 262,375,000per tahun; Rp 163,849,790 per tahun (Lampiran 27). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian truk skenario kedua adalah Rp 262,375,000 per tahun; Rp 163,849,790 per tahun (Lampiran 27).

Mesin pencacah daun dan pengempa pelepah, mesin pencampur (Lampiran 47) dan pengaduk (Lampiran 48) digunakan di unit pengelolaan pelepah sawit. Mesin pencacah daun dan pengempa pelepah digunakan untuk mencacah daun dan mengempa pelepah. Daun akan digunakan sebagai bahan utama pembuatan kompos dan pelepah hasil pengempaan akan digunakan sebagai mulsa organik. Mesin pencampur berfungsi untuk mencampur cacahan daun sawit dengan kotoran ternak. Mesin pengaduk akan berfungsi untuk mengaduk dan membalikkan kompos yang difermentasi. Jumlah unit mesin pencacah dan pengempa pelepah yang disediakan untuk pengelolaan pelepah adalah satu unit pada skenario pertama dan dua unit dengan berbeda kapasitas pada skenario kedua. Jumlah unit mesin pencampur pada skenario pertama akan disediakan satu unit dengan kapasitas 120-125 kg/proses dimana tiap proses memakan waktu 15 menit. Pada skenario kedua, mesin pencampur akan disediakan dua unit dengan kapasitas 80-100 kg/proses. Mesin pengaduk yang disediakan untuk pengelolaan pelepah adalah satu unit pada skenario pertama dan dua unit mesin pengaduk pada skenario kedua.

Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pencacah dan pengempa pelepah skenario pertama adalah Rp 21,080,000 per tahun; Rp

57,480,371 per tahun (Lampiran 28). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pencacah dan pengempa pelepah skenario kedua adalah Rp 19,390,000 per tahun; Rp 114,479,357 per tahun (Lampiran 28). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pencampur skenario pertama adalah adalah Rp 104,950,000 per tahun; Rp 95,649,357 per tahun (Lampiran 29). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pencampur skenario kedua adalah Rp 96,162,500 per tahun; Rp 164,518,325 per tahun (Lampiran 29). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pengaduk pada skenario pertama yaitu sebesar Rp 164,771,500 per tahun; Rp 52,731,752 per tahun (Lampiran 30). Biaya tetap dan biaya tidak tetap dari pengoperasian mesin pengaduk pada skenario kedua yaitu sebesar Rp 172,543,000 per tahun; Rp 105,463,505 per tahun (Lampiran 30).

5.6 Simpulan

1. Potensi pelepah sawit dari perkebunan dengan luas 600 ha adalah sebesar 3,905 pelepah per pekan. Daun sawit dari perkebunan tersebut dapat menghasilkan kompos sebanyak 2,510,687.7 kg per tahun.

2. Analisis kelayakan finansial dari parameter nilai NPV masing-masing skenario menunjukkan bahwa usaha pengelolaan pelepah sawit secara mekanis layak diusahakan karena nilai NPV lebih besar dari pada 0. Nilai NVP pada masing-masing skenario pertama dan kedua adalah Rp 766,518,333 dan Rp 487,406,792.

3. Lama pengembalian modal menggunakan skenario kedua (14.23 tahun) lebih lama 6.14 tahun jika dibandingkan dengan skenario pertama (8.09 tahun). Jumlah kompos yang harus dihasilkan untuk mencapai titik impas pada skenario kedua (40,935.51 ton) lebih besar 17,644.79 ton dari skenario pertama (23,290.72 ton). Biaya produksi kompos pada skenario pertama (Rp 604.06 per kg) lebih kecil Rp 161.14 per kg dibandingkan dengan biaya produksi kompos pada skenario kedua (Rp 765.20 per kg).

4. Pada kondisi tingkat produksi normal (varietas tenera) oengolahan pelepah sawit menjadi kompos dan mulsa secara mekanis menggunakan skenario satu (membuat satu unit pengolahan kompos pada satu afdeling) lebih layak untuk dilakukan dari pada skenario kedua (membuat dua unit pengolahan kompos pada satu afdeling) ditinjau dari parameter analisis kelayakan finansial dengan tingkat suku bunga bank 13%. Bila dilihat dari aspek sosial skenario kedua lebih baik diterapkan karena dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak dari pada skenario pertama sehingga dapat mensejahterakan masyarakat sekitar perkebunan.

5. Hasil analisis sensitivitas dari kelayakan finansial pengelolaan pelepah sawit skenario pertama layak diusahakan jika terjadi inflasi konsumen sebesar 9% dan penurunan harga penjualan produk sebesar 10%. Sebaliknya pada skenario kedua usaha pengelolaan pelepah sawit dengan tingkat inflasi konsumen sebesar 9% dan penurunan harga penjualan produk 10% tidak layak untuk diusahakan.

6

Model Usaha Mekanisasi Pengelolaan Pelepah Sawit Menjadi

Dokumen terkait