• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sidik Ragam Nilai Absorbansi Pada Pengujian Hemolisis

Analisis sidik ragam ini dilakukan dengan Metode Anova. Analisis dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai aborbansi sampel pepes yang telah didapat ke dalam program SPSS. Melalui program ini, data absorbansi masing-masing akan diolah sehingga nantinya akan diperoleh hubungan antar sampel pada suatu selang kepercayaan. 100 ) ( ) ( x Akontrol Asampel Akontrol   

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi

Sampel pepes dalam keadaan beku dithawing pada suhu ruang. Sampel pepes ikan mas non iradiasi memiliki daging dengan tekstur agak keras dan berwarna putih. Sampel pepes ikan mas iradiasi memiliki daging dengan tekstur lebih lunak dan warna lebih gelap karena telah mengalami proses pembekuan pada suhu -79ºC selama iradiasi. Ekstraksi sampel pepes ikan mas iradiasi dan pepes kontrol (non iradiasi) dilakukan dalam keadaan basah, artinya sampel tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Tahap ekstraksi dilakukan dengan menggunakan aquades. Ekstraksi dilakukan pada daging sampel pepes yang telah terlebih dahulu dipisahkan dari balutan rempah yang membungkusnya. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana senyawa antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah dapat berpenetrasi ke dalam daging sampel dan memberikan pengaruhnya untuk melindungi komponen-komponen daging dari senyawa radikal bebas yang terbentuk. Ekstraksi dilakukan terhadap tiap-tiap jenis sampel dengan perbandingan daging ikan dan aquades adalah 1:1. Tahap Ekstraksi ini dilakukan untuk mendapatkan sari dari daging pepes yang memungkinkan masih mengandung komponen-komponen untuk keperluan analisis.

Hasil ekstrak yang didapat dianggap sebagai ekstrak dengan pengenceran 1x. Kemudian dari ekstrak tersebut dilakukan kembali pengenceran 2x dan 4x. Berikut ini adalah perbandingan volume ekstrak masing-masing sampel pepes dan aquades untuk memperoleh pengenceran yang diinginkan:

Tabel 2. Perbandingan ekstrak dan aquades

Jenis Pengenceran Ekstrak (ml) Aquades (ml)

Pengenceran 1x 2 0

Pengenceran 2x 1 1

Pengenceran 4x 0.5 1.5

Pengenceran yang dilakukan merupakan model yang dapat mewakili dosis sampel yang dikonsumsi. Pengenceran 1x berarti bahwa dosis sampel yang akan dikonsumi lebih tinggi daripada sampel dengan pengenceran 2x. Pengenceran 2x berarti bahwa dosis sampel yang akan dikonsumsi lebih tinggi dari pada sampel dengan pengenceran 4x.

Kemungkinan adanya komponen antioksidan serta senyawa radikal bebas yang masih aktif dalam ekstrak dan perbandingan aktivitasnya dapat diketahui dengan dilakukannya metode pengujian kapasitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH. Selain itu, hasil interaksi radikal bebas terhadap makromolekul seperti karbohidrat, protein, dan lemak dalam membentuk radikal-radikal baru dapat diamati dengan melakukan pengujian hemolisis eritrosit

B. Kapasitas Antioksidan (Metode DPPH)

Penghitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil). DPPH merupakan senyawa radikal stabil dalam metanol dan berwarna ungu tua saat belum bereaksi dengan senyawa pereduksi. Proses reduksi dari seyawa antioksidan akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sehingga terjadi penurunan intensitas warna. Dalam metode ini digunakan asam askorbat sebagai kontrol positif karena serta metanol sebagai kontrol negatif. Kontrol positif di sini merupakan sampel yang mengandung senyawa antioksidan dengan konsentrasi tertentu, sedangkan kontrol negatif merupakan sampel yang tidak mengandung senyawa antioksidan.

Molekul suatu bahan pangan tersusun dari atom-atom yang secara normal tidak bermuatan. Masing-masing atom memiliki nukleus yang mengandung neutron yang tidak bermuatan serta proton yang bermuatan positif. Elektron yang bermuatan negatif berada di orbit mengitari nukleus. Iradiasi pada bahan pangan dapat mengubah dari struktur molekul dengan cara menumbuk elektron sehingga keluar dari orbit. Hal ini akan mengakibatkan atom menjadi bermuatan dan menjadi suatu bentuk baru yang dikenal sebagai radikal bebas (Roggenthen, 1984). Radikal bebas yang

terbentuk dapat menyebabkan terjadinya reaksi berantai autooksidasi. Radikal bebas tersebut dapat berikatan dengan sesamanya radikal bebas atau berikatan dengan antioksidan, atau berikatan dengan komponen molekul pangan seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Senyawa antioksidan berperan dalam menekan terjadinya efek autooksidasi (Will, 1981).

Dalam penelitian ini ekstrak sampel pepes ikan mas iradiasi yang digunakan bervariasi menurut tahun penyinarannya dengan kontrol pepes non iradiasi sebagai pembandingnya. Pengukuran kapasitas antioksidan yang dimaksud di sini bukanlah mengukur kapasitas antioksidan awal sampel, namun yang diukur adalah kapasitas antioksidan ekstrak sampel yang tersisa selama penyimpanan sampel pepes akibat senyawa antioksidan yang telah teroksidasii selama proses penyimpanan. Antioksidan dalam sampel pepes berasal dari rempah-rempah yang dibalurkan pada daging pepes ikan mas iradiasi. Komponen antioksidan yang terdapat pada sampel tersebut merupakan jenis antioksidan non enzimatis yang terdiri atas antioksidan larut air dan larut lemak. Contoh komponen antioksidan larut air pada sampel pepes tersebut adalah asam askorbat pada lemon, sedangkan contoh komponen antioksidan larut lemak misalnya gingerol dan shagaol pada jahe

Gambar 6. Kapasitas antioksidan sampel per pengenceran

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dengan asumsi bahwa kapasitas antioksidan awal sampel adalah 100%, ekstrak sampel dengan pengenceran 1x yang memiliki kapasitas antioksidan tertinggi adalah sampel pepes D,

yaitu sebesar 33.83%. Kapasitas antioksidan kedua terbesar untuk pengenceran 1x adalah sampel pepes C yaitu 31.91%. Urutan selanjutnya adalah sampel pepes A sebesar 21.06% dan terakhir yang terendah adalah sampel pepes B sebesar 20.42%. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa semakin lama tahun penyinaran, akan dihasilkan sampel dengan kapasitas antioksidan terukur yang rendah. Penelitian dilakukan oleh Diehl (1979), menunjukkan hasil bahwa terjadi penurunan kandungan alfa tokoferol sebesar 20% pada rolled oats selama penyimpanan 6-8 bulan akibat proses iradiasi pada kondisi terekspos udara. Penurunan kandungan tokoferol juga tetap terjadi walau rolled oats

disimpan pada kondisi penuh nitrogen meskipun penurunan yang terjadi tidak signifikan.

Menurut Diehl (1990), kondisi penyinaran yang dilakukan pada suhu beku akan memberikan efek perlindungan pada sampel. Efek radiolitik yang bersifat reaktif akan dihambat oleh kondisi makanan yang beku serta mencegah kemungkinan terjadinya reaksi dengan dirinya sendiri atau substrat. Kenaikan suhu penyimpanan secara bertahap akan kembali memungkinkan radikal bebas yang terbentuk kembali aktif dan bereaksi dengan sesamanya untuk saling menetralkan. Namun tidak menutup kemungkinan radikal bebas yang aktif berikatan dengan substrat sampel . Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa berkurangnya kapasitas antioksidan sampel akibat penyimpanan dapat dikarenakan oleh aktivitas radikal bebas yang aktif kembali atau terbentuk yang berikatan dengan antioksidan. Artinya, bahwa semakin lama masa simpan sampel pepes ikan mas iradiasi, kemungkinan kontak yang terjadi antara radikal bebas dan antioksidan akan semakin sering terjadi. Hal ini lah yang menyebabkan sampel dengan masa simpan lebih dari 12 bulan memiliki kapasitas antioksidan tersisa yang rendah.

Hasil yang menyimpang terjadi pada sampel pepes B di mana memiliki kapasitas antioksidan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan sampel pepes A. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi pengekstrakan sampel yang kurang sempurna sehingga tidak semua komponen antioksidan

pada sampel terekstrak. Menurut Shahidi (1995), tidak ada sistem ekstraksi yang sangat cocok untuk isolasi semua jenis senyawa fenolik dan bahkan jenis spesifik tertentu dari senyawa fenolik tersebut.

Sampel pepes D pada pengeceran 1x memiliki kapasitas antioksidan tertinggi. Sampel pepes D ini diduga dilakukan penyinaran pada tahun yang lebih baru dibandingkan sampel pepes yang lain. Hal ini mengakibatkan senyawa antioksidan yang berada pada ekstrak sampel belum terlalu banyak teroksidasi oleh radikal bebas yang terbentuk selama proses iradiasi atau penyimpanan.

Apabila kapasitas antioksidan semua ekstrak sampel pepes iradiasi pengenceran 1x dibandingkan dengan sampel pepes kontrol, ternyata ekstrak sampel pepes iradiasi memiliki kapasitas antioksidan yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena proses iradiasi akan membantu membuka matriks bahan pangan sehingga komponen antioksidan akan mudah terekstrak. Sampel pepes kontrol menghasilkan kapasitas antioksidan sebesar 15.53%. Kenaikan persentase kapasitas antioksidan sampel pepes iradiasi apabila dibandingkan terhadap pepes kontrol adalah lebih dari 31.49%. Menurut Wierbicki (1980) dan Giroux (1998), proses iradiasi dapat menyebabkan degradasi dari jaringan ikat yang akan menyebabkan tekstur menjadi rapuh. Jaringan kolagen akan mudah diputus menjadi unit yang lebih kecil pada dosis iradiasi lebih dari 50 kGy.

Pengenceran 2x dan pengeceran 4 x yang dilakukan terhadap ekstrak sampel secara keseluruhan menghasilkan penurunan kapasitas antioksidan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah senyawa antioksidan pada ekstrak yang dapat berikatan dengan senyawa DPPH menjadi berkurang akibat pengenceran. Selain itu, adanya pengenceran akan menyebabkan peningkatan ketersediaan air yang dapat dioksidasi oleh radikal bebas menjadi bentuk radikal hidroksil. Vas (1969) melakukan penelitian dengan meiradiasi pektin eterase pada kondisi basah dan kering.data penelitian tersebut menunjukkan bahwa enzim yang diiradiasi pada kondisi basah aktifitasnya akan menjadi inaktif, sedangkan pada kondisi kering aktifitas enzim masih terjaga walau menurun. Penelitian Vas (1969) tersebut

membuktikan bahwa dengan meningkatnya kandungan air dalam suatu bahan akan menyebabkan kandungan radikal bebas pada bahan pangan tersebut mengalami peningkatan.

Pada sampel pepes A pengenceran 2 x memiliki kapasitas antioksidan sebesar 16.17%, pengenceran 4 x sebesar 15.10%. Sampel pepes B pengenceran 2x memiliki kapasitas antioksidan sebesar 16.60%, pengenceran 4x sebesar 8.51%. Sampel pepes C pengenceran 2x memiliki kapasitas antioksidan sebesar 16.17%, pengenceran 4x sebesar 14.04%. Sampel pepes D pengenceran 2x memiliki kapasitas antioksidan sebesar 24.45%, pengenceran 4x sebesar 19.14%. Sampel pepes kontrol pengenceran 2x memiliki kapasitas antioksidan sebesar 14.26%, pengenceran 4x sebesar 12.23%. Perbandingan juga dilakukan antara kontrol asam askorbat dan masing-masing ekstrak. Berdasarkan hasil yang diperoleh asam askorbat dengan konsentrasi 1000 ppm (100 mg/ 100 ml) dengan aktifitas peredanan sebesar 92.65% memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kapasitas antioksidan semua ekstrak sampel pepes. Hal ini dapat disebabkan masih adanya senyawa antioksidan pada sampel yang belum terekstrak

C Pengaruh Penambahan Ekstrak Pepes terhadap Hemolisis Eritrosit Eritrosit diisolasi dari darah perifer mahasiswa dewasa sehat, jenis kelamin laki-laki. Darah donor diambil sebanyak 7 ml secara aseptis oleh seorang perawat di Klinik Farfa Darmaga ke dalam vacutainer steril yang berisi heparin agar darah tidak menggumpal. Darah itu kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse di dalam laminar hood secara aseptis untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba baik dari udara, ryangan maupun pekerja, dan untuk menjaga keaseptisan proses. Setelah diperoleh suspensi sel eritrosit, jumlah sel kemudian dihitung dengan hemasitometer.

Pengujian pengaruh ekstrak pepes ikan mas iradiasi terhadap eritosit dapat dilakukan dengan cara mengukur derajat ketahanan eritrosit terhadap hemolisis. Menurut Deuticke, et al. (1990) eritrosit adalah model yang

cocok digunakan untuk menganalisis respon sel dan membrannya terhadap berbagai faktor luar. Hal ini disebabkan oleh strukturnya yang sederhana sehingga memudahkan pengamatan. Prinsip dari pengujian ini adalah mereaksikan suspensi eritrosit dengan ekstrak pepes ikan mas iradiasi untuk melihat efek ketahanan eritrosit terhadap kemungkinan terjadinya hemolisis.

Inkubasi sel eritrosit dengan larutan PBS tidak memerlukan pengaturan kadar CO2 sebab pengaturan CO2 dibutuhkan apabila buffer yang

digunakan adakah buffer alami bikarbonat. Akan tetapi, inkubasi sel eritrosit selama pengujian memerlukan lingkungan yang sesuai agar dapat tetap hidup dan mendekati keadaan sebenarnya seperti di dalam tubuh.

Media yang digunakan pada proses isolasi dan pengujian adalah

balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam inorganik yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. Ion-ion organik yang ada digunakan untuk mempertahankan membran potensial, kofaktor pada reaksi enzim, dan pelekatan sel (Davis, 1994). Umumnya

balanced salt solution tidak mengandung nutrien-nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan sel jangka panjang sehingga dapat digunakan sebagai media dalam uji kultur sel eritrosit yang tidak memerlukan waktu pemeliharaan lama. Balanced salt solution yang digunakan pada penelitian kali ini adalah phosphate bufer saline yang mengandung buffer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4. Menurut Davis (1994), kondisi optimal untuk kultur sel mamalia umumnya memiliki pH 7.2-7.5, osmolalitas 280-320 mOsmol/kg, kandungan CO2 2-5%, serta suhu 35-370C.

Protein dan lipid merupakan target kritikal bagi radikal bebas karena konsentrasinya yang sangat tinggi baik di dalam maupun diluar sel. Menurut Deuticke, et al. (1990) membran sel eritrosit tersusun atas lipid dan protein. Lipid yang terdapat pada membran eritrosit terutama berada dalam bentuk fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol. Sedangkan protein sendiri menyusun hingga 50% dari komposisi membran eritrosit. Menurut Evans (1990), berberapa asam amino yang penting bagi protein dan fungsi membran sangat rentan terhadap radikal bebas. Protein rentan terhadap serangan radikal hidroksil yang dihasilkan oleh H2O2 atau alkoksil lipid dan radikal peroksi

sebagai konsekuensi pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipid. Penambahan H2O2 dalam suspensi eritrosit diketahui mampu mempercepat

hemolisis. H2O2 bekerja dengan jalan menginduksi terjadinya peroksidasi

lipid di membran yang memicu reaksi peroksidasi berantai pada membran sel dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Younkin, et al. 1971).

Penghitungan persentase hemolisis eritrosit dilakukan dengan cara membandingkan nilai absorbansi sampel pepes ikan mas terhadap nilai absorbansi kontrol negatif. Pengukuran absorbansi dilakukan dari jam ke-0 hingga jam ke-5. Nilai absorbansi yang semakin tinggi mengindikasikan semakin banyaknya eritrosit yang mengalami hemolisis. Hal ini ditandai dengan semakin tinggi intensitas warna merah yang dihasilkan akibat hemoglobin yang keluar dari membran eritrosit. Semakin rendah intensitas warna merah yang dihasilkan maka nilai absorbansi juga akan semakin rendah. Hal ini menandakan bahwa hanya sedikit eritrosit yang mengalami hemolisis

Pengujian hemolisis eritrosit dilakukan dua kali pada hari yang berbeda. Masing-masing sampel pada kedua hari tersebut dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali atau triplo sehingga akan didapatkan enam data nilai absorbansi hemolisis eritrosit untuk masing-masing sampel. Untuk mengolah data tersebut, maka dilakukan seleksi terhadap data nilai absorbansi yang didapat, yaitu data nilai absorbansi yang terbesar dan terkecil pada masing-masing sampel dihilangkan. Kemudian dipilih kembali tiga dari empat data berdasarkan nilai absorbansi yang terendah.

a. Respon Hemolisis Eritrosit terhadap Sampel Ekstrak Pepes pada Pengenceran 1x

Berdasarkan Gambar 7. dapat dilihat bahwa secara keseluruhan untuk setiap ekstrak sampel pepes menunjukkan kestabilan nilai absorbansi hingga pengamatan jam ke-5, yang artinya pengaruh penambahan ekstrak sampel pepes ikan mas iradiasi pada substansi eritrosit relatif rendah dalam memicu hemolisis yang berkelanjutan. Kurva di atas juga memberikan informasi bahwa secara keseluruhan,

berdasarkan nilai absorbansi, penambahan ekstrak sampel pepes A, menghasilkan kisaran absorbansi yang tertinggi apabila

dibandingkan dengan ekstrak sampel lainnya, bahkan hingga jam ke-4 menghasilkan nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kontrol positif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak sampel A lebih memicu terjadinya hemolisis. Pada ekstrak sampel pepes B, C, D nilai absorbansi yang dihasilkan relatif stabil hingga jam ke-5. Namun, nilai absorbansinya cenderung lebih kecil daripada ekstrak sampel pepes A. Ekstrak sampel pepes kontrol menghasilkan kisaran absorbansi yang terendah hingga jam ke-5. hal tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak sampel ini memiliki daya hemolisis yang rendah bila dibandingkan dengan ekstrak sampel lainnya.

Gambar 7. Hubungan absorbansi dan waktu pengamatan pada sampel pengenceran 1x

.

Gambar 8. Persentase hemolisis eritrosit pada berbagai jenis sampel pepes

Gambar 8. menunjukkan persentase hemolisis eritrosit pada setiap sampel pada jam ke-5. untuk sampel yang diiradiasi. Persentase

125.11 114.20 114.20 95.96 129.15 0 20 40 60 80 100 120 140

Pepes A Pepes B Pepes C Pepes D KP Sampel % H em ol is is 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0 1 2 3 4 5 6 sampel A bs or ba ns i Pepes 14 Juni 2007 Pepes 11 November 2006 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K-

hemolisis ini dihitung dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol negatif. Irawati et al (2000) melakukan pengujian kandungan radikal bebas pada bagian tulang ikan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan menggunakan metode pengukutan ESR. Berdasarkan penelitian tersebut ternyata seiring dengan lamanya waktu penyimpanan, jumlah radikal pada tulang tersebut mengalami penurunan dari jumlah awal. Menurut Diehl (1990), radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadiya reaksi saling menetralkan antar radikal bebas.

Ekstrak sampel pepes A menunjukkan persentase hemolisis yang tertinggi, yaitu sebesar 129.15%, sedangkan ekstrak sampel C dan D memiliki persentase hemolisis yang terendah, yaitu sebesar 114.20%. Menurut Kume et al (1983), makanan yang diradiasi sebesar 50 kGy tidak menunjukkan perubahan pada kandungan protein, daya cerna, dan komposisi asam amino. Akan tetapi terdapat peningkatan kandungan senyawa peroksida pada makanan tersebut. Oleh karena itu, ketika masa simpan sampel semakin lama, senyawa peroksida dan radikal hidroksi yang terbentuk akan semakin banyak dan reaksi autooksidasi akan lebih sering terjadi. Senyawa peroksida dapat masuk ke dalam membran dan akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih reaktif seperti OH*. Radikal hidroksil ini dapat merusak protein, lemak, dan DNA di dalam sel. Selain itu, senyawa peroksida mampu mendegradasi Hb untuk melepas ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991). Hal ini lah yang menyebabkan sampel dengan masa simpan terlama memiliki persentase hemolisis erotrosit yag lebih tinggi bila dibandingkan dengan sampel lain

Sampel pepes kontrol memiliki persentase hemolisis terendah, yaitu sebesar 95.96% bila dibandingkan dengan sampel iradiasi, padahal memiliki kapasitas antioksidan yang terendah. Hal ini mungkin disebabkan karena sampel pepes kontrol mengandung lipid peroksida yang lebih sedikit apabila dibandingkan dengan sampel pepes iradiasi. Penelitian yang dilakukan oleh Rao et al. (2005)

menyatakan bahwa sampel kabab dan bacon yang mengalami perlakuan non iradiasi memilliki bilangan TBA yang lebih rendah dari sampel kabab dan bacon yang diiradiasi. Chouliara et al.(2005) melakukan penelitian dengan melakukan iradiasi dosis rendah pada ikan Sea Beam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar malonaldehida selama penyimpanan 21 hari.

Gambar 9. Rata-Rata enam Nilai Absorbansi Hemolisis pada Pengenceran 1x

Gambar 10. Rata-rata nilai absorbansi hemolisis ulangan I Pengenceran 1x

Gambar 11. Rata-rata nilai absorbansi hemolisis ulangan II Pengenceran 1x 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0 2 4 6 Pepes 11 November 2006 Pepes 14 Juni 2007 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K- 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 2 4 6 Pepes 11 November 2006 Pepes 14 Juni 2007 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K- 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0 2 4 6 Waktu (jam) A bs or ba ns i Pepes 11 November 2006 Pepes 14 Juni 2007 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K-

Nilai absorbansi pada Gambar 9. menunjukkan rata-rata enam nilai absorbansi hemolisis eritrosit pada pengenceran 1x yang mana menampakkan kisaran kenaikan nilai absorbansi secara signifikan dibandingkan dengan nilai absorbansi yang ditunjukkan pada Gambar7. Gambar 10 menunjukkan nilai absorbansi hemolisis eritrosit pada ulangan I, sedangkan Gambar 11 merupakan nilai absorbansi hemolisis eritrosit pada ulangan II di mana masing-masing sampel pada setiap ulangan terdiri atas tiga data nilai absorbansi hemolisis eritrosit. Berdasarkan kedua gambar tersebut dapat dilihat terjadinya kenaikan nilai ansorbansi yang cukup tinggi pada ulangan kedua dibandingkan ulangan pertama. Tingginya nilai absorbansi pada ulangan kedua untuk setiap sampel pepes dapat disebabkan karena pepes telah mengalami thawing secara berulang kali sehingga mengubah struktur kimia atau fisik pada produk pepes tersebut. Kemungkinan adanya kontaminasi mikroba saat thawing atau saat pembekuan ulang untuk penyimpanan merupakan faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit. Penyimpanan pada suhu beku yang diterapkan di laboratorium adalah menggunakan suhu -5C. Menurut Buckle (2007), untuk menghambat tumbuhnya bakteri dalam jangka waktu yang lama, diperlukan suhu -10C sampai -12C, tetapi perubahan-perubahan lain yang tidak dikehendaki seperti denaturasi protein dan ketengikan lemak hanya dapat diatasi dengan penggunaan suhu serendah -20C sampai -30C. Ulangan pertama menghasilkan nilai absorbansi yang relatif rendah karena sampel yang digunakan masih dalam kondisi steril tertutup rapat.

b. Respon Hemolisis Eritrosit terhadap Sampel Ekstrak Pepes pada Pengenceran 2x dan 4x

Gambar 12 dan gambar 13 menunjukkan bahwa pegenceran yang dilakukan terhadap ekstrak pepes ikan mas iradiasi mau pun pepes kontrol akan menghasilkan peningkatan asborbansi seiring

dengan lamanya waktu inkubasi bila dibandingkan dengan ekstrak sampel tanpa pengenceran. Adanya kenaikan absorbansi ini mengindikasikan meningkatnya persentase hemolisis yang terjadi pada sel eritrosit.

Gambar 12. Hubungan absorbansi dan waktu pengamatan pada Sampel pengenceran 2x

Gambar 13. Hubungan absorbansi dan waktu pengamatan pada Sampel pengenceran 4x

Pada gambar 12, absorbansi sampel pepes A mengalami sedikit kenaikan hingga jam ke-2 kemudian menurun, dan naik kembali hingga jam ke-5. Absorbansi sampel pepes B terus mengalami kenaikan hingga jam ke-4 dan sedikit menurun pada jam ke-5. Pada sampel pepes C dan D, absorbansi sampel mengalami sedikit kenaikan hingga jam ke-5 dan absorbansi sampel pepes kontrol menunjukkan kisaran yang relatif stabil hingga akhir pengamatan. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif, hanya absorbansi

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0 1 2 3 4 5 6 Sampel A b s o rb a n s i Pepes 14 Juni 2007 Pepes 11 November 2006 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K- 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 2 4 6 Sampel A b s o rb a n s i Pepes 14 Juni 2007 Pepes 11 November 2006 Pepes No Label Pepes 5 April 08 Kontrol pepes K+ K-

sampel pepes A yang memiliki nilai absorbansi lebih tinggi dari nilai absorbansi kontrol positif pada pengamatan jam ke-5 meskipun sampel pepes B sempat menunjukan kisaran absorbansi yang lebih tinggi dari kontrol positif pada jam ke-3 dan ke-4. Sedangkan untuk kontrol negatif, semua sampel pepes memiliki absorbansi di atas absorbansi kontrol negatif hingga akhir pengamatan. Nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kontrol positif mengindikasikan bahwa persentase hemolisis yang terjadi adalah lebih besar sedangkan nilai asborbansi yang lebih tinggi dari kontrol negatif menunjukkan bahwa penambahan ekstrak sampel pepes pada sel eritrosit lebih memicu terjadinya hemolisis.

Pada pengenceran 4x, secara umum, pola absorbansi sampel pepes mengalami kenaikan hingga jam ke-5. Akan tetapi, tampak pada

Dokumen terkait