• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

7. Analisis Sifat Fungsional a Protein Solubility

Kelarutan protein adalah jumlah protein sampel yang terlarut dalam larutan. Kelarutan protein dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi adalah komposisi asam amino, berat molekul protein, dan konformasi protein. Adapun beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi kelarutan protein yaitu kekuatan ionik, tipe pelarut, pH, suhu dan kondisi pemrosesan tertentu (Zayas, 1997). Profil kelarutan protein ini sangat berhubungan dengan sifat fungsional protein lainnya, terutama sifat buih, emulsi dan gelasi (Zayas, 1997).

0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0 2 4 6 8 10 12 14 K o n se n tr a si ( m g /m l) Nilai pH Protein Solubility

Gambar 12. Kurva Kelarutan Protein pada Berbagai Nilai pH Protein Solubility

Gambar 12 menunjukkan profil kelarutan dari konsentrat protein biji kecipir membentuk kurva berbentuk huruf U antara pH 2-11. Kelarutan protein mencapai titik terendah pada pH 4 dan naik perlahan-lahan hingga mencapai kelarutan maksimum pada pH 11 dan turun kembali pada pH 12. Banyaknya protein terlarut pada medium cair adalah hasil gaya elektrostatik dan interaksi hidrofobik antara molekul protein. Kelarutan meningkat jika gaya elektrostatik protein dan medium lebih besar daripada interaksi hidrofobik (Zayas, 1997). Pada pH asam atau basa, protein bermuatan positif atau negatif dan meningkatkan interaksi protein-air sehingga kelarutan protein meningkat. Pada pH isolektrik, muatan protein nol dan meningkatkan interaksi antara protein itu sendiri sehingga kelarutannya menurun. Fenomena inilah yang menjelaskan kurva kelarutan protein terhadap pH membentuk huruf U dengan kelarutan terendah pada titik isoelektrik (Zayas, 1997).

Percobaan Sathe et al. (1982) menggambarkan bahwa kelarutan terendah konsentrat protein kecipir dicapai pada pH 4, dan seiring dengan meningkatnya pH, kelarutan pun meningkat dengan kelarutan maksimum pada pH 12. Namun pada penelitian ini, kelarutan protein kecipir hanya meningkat hingga pH 11 dan menurun pada pH 12. Hal ini dapat terjadi karena pada pH 12, protein biji kecipir telah mengalami denaturasi sehingga kelarutannya menurun. Winarno (1997) menjelaskan bahwa protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya, karena protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam.

Nilai pH yang ekstrim dapat menyebabkan gaya tolak menolak antara muatan sejenis pada intramolekul protein. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang ditandai dengan adanya pengembangan dan pembukaan struktur protein (Damodaran, 1996). Pada pH basa yang ekstrim, tingkat pembukaan struktur protein lebih tinggi daripada pH asam. Sebenarnya, denaturasi yang disebabkan oleh pH ini bersifat reversibel, namun pada keadaan tertentu hidrolisis parsial dari ikatan peptida protein, deamidasi aspartin dan glutamin, serta destruksi gugus sulfihidril pada pH

basa dapat menyebabkan denaturasi protein yang bersifat permanen (Damodaran, 1996).

b. Daya Serap Air (WHC)

Daya serap air atau water holding capacity merupakan kemampuan protein untuk mengikat air selama diaplikasikannya gaya-gaya, tekanan, sentrifugasi dan pemanasan (Zayas, 1997). Daya serap air berhubungan dengan juiciness dan tekstur dari berbagai produk pangan, seperti daging, bakery dan produk yang memiliki karakter gel (Damodaran, 1996).

Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir sebesar 1.6070 g air/ g solid konsentrat. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan daya serap air dari tepung kedelai (1.3 g air/ g solid), namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrat protein kedelai (2.2 g air/ g solid) seperti dilaporkan oleh Kinsella (1979). Nilai daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini masih termasuk dalam kisaran nilai daya serap air untuk konsentrat dan isolat protein komersial (1.5-2.5 g H2O/ g solid)

seperti dilaporkan oleh Lin dan Zayas (1987).

Daya serap air tergantung pada komposisi protein dan konformasi molekul protein itu sendiri (Zayas, 1997). Karena itu, daya serap air konsentrat protein biji kecipir ini pun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Jika ditinjau dari komposisi asam aminonya, konsentrat protein biji kecipir seharusnya memiliki daya serap air yang baik, mengingat banyaknya asam amino ionik (asam aspartat, asam glutamat dan lisin) yang terkandung. Interaksi air dengan gugus hidrofilik asam amino terjadi karena adanya ikatan hidrogen.

Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini masih dapat ditingkatkan dengan berbagai perbaikan proses produksi, seperti proses penetralan konsentrat sebelum proses pengeringan ataupun adanya modifikasi proses seperti asilasi, asetilasi dan suksinilasi pada protein kecipir (Narayana dan Rao, 1984). Semakin tinggi nilai daya serap air menunjukkan bahwa protein tersebut potensial digunakan dalam pengolahan produk daging, roti dan cake.

c. Daya Serap Minyak

Karakteristik produk pangan banyak melibatkan interaksi antara protein dan lemak, seperti pembentukan emulsi, emulsifikasi lemak pada daging, absorpsi flavor dan tekstur adonan. Kinsella (1979) menjelaskan mekanisme absorpsi minyak sebagai fenomena terperangkapnya minyak secara fisik. Selanjutnya Kinsella (1979) dan Sathe et al. (1982) menyatakan bahwa absorbsi lemak ditentukan oleh pengikatan lemak oleh gugus nonpolar pada protein.

Dalam produk pangan yang berbentuk bubuk, pengikatan lemak dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah dan ukuran partikel kecil mengabsorbsi dan memerangkap minyak lebih banyak daripada protein dengan densitas yang tinggi (Zayas, 1997).

Kemampuan protein mengikat lemak sangat penting untuk aplikasi protein sebagai meat replacer dan extender sehubungan dengan mouthfeel dan retensi flavor yang melibatkan daya ikat lemak pada produk. Daya serap minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini adalah 1.0194 g minyak/ g solid konsentrat. Nilai daya serap minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan daya serap minyak dari konsentrat protein kedelai komersial (ISOPRO) sebesar 1.1704 g minyak/ g solid seperti dilaporkan oleh Lin et al. (1974). Namun lebih kecil dari daya serap minyak protein kecipir yang diujicobakan oleh Sathe et al. (1982).

Jika dilihat berdasarkan struktur partikel konsentrat protein biji kecipir yang halus dan nilai densitas yang menunjukkan sifat porous, seharusnya konsentrat protein biji kecipir memiliki daya serap minyak yang cukup tinggi. Namun daya serap minyak yang tidak terlalu tinggi pada konsentrat biji kecipir ini dapat disebabkan oleh komposisi asam amino konsentrat protein biji kecipir yang cenderung polar dan sedikit mengandung asam amino nonpolar yang dibutuhkan untuk mengikat lemak atau minyak.

d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi

Sifat emulsi protein merupakan kemampuan protein untuk membentuk emulsi. Aktivitas emulsi protein adalah kemampuan protein dalam

pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi tersebut (Zayas, 1997). Nakai et al. (1980), melaporkan bahwa kelarutan protein, hidrofobisitas permukaan, dan fleksibiltas molekul protein mempengaruhi sifat emulsi dari protein globular.

Banyak faktor yang mempengaruhi sifat emulsi dari protein, di antaranya adalah konsentrasi protein, pH medium, kekuatan ionik dan perlakuan panas. Konsentrasi protein berpengaruh terhadap pembentukan emulsi. Adsorpsi permukaan interfasial terjadi secara difusi pada konsentrasi protein yang rendah, namun pada konsentrasi protein yang tinggi adsorpsi pada permukaan membutuhkan energi aktivasi tertentu. Oleh karena itu, sifat emulsi biasanya diamati pada konsentrasi protein yang rendah. Zayas (1997) menyatakan bahwa emulsi protein, air dan minyak dapat diperoleh pada konsentrasi antara 0.2-1%. Percobaan aktivitas emulsi ini dilakukan pada konsentrasi 1%.

Sifat emulsi protein juga sangat bergantung pada pH, hal ini terkait dengan profil kelarutan protein pada berbagai pH. Nilai pH mempengaruhi kelarutan protein, konformasi molekul protein dan sifat permukaan protein yang secara tidak langsung mempengaruhi sifat emulsi protein (Zayas, 1997). Pada gambar berikut dapat dilihat bahwa aktivitas emulsi dari konsentrat protein biji kecipir ini sangat tergantung pada pH. Di mana pada pH yang berbeda, aktivitas emulsinya juga berbeda (Gambar 13).

53.75 c 47.50 b 2.50 a 53.25 b,c 56.25 c 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 2 4 6 8 10 Nilai pH A k ti v it a s E m u ls i (% )

Gambar 13 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir pada Berbagai Nilai pH

Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir tertinggi diperoleh pada pH 10, di mana aktivitasnya tidak berbeda nyata dengan aktivitas emulsi pH 2 dan pH 8, sedangkan aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH 4 dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95% dengan pH lainnya. Aktivitas emulsi pada pH 6 cukup tinggi dan tidak berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pada pH 2, namun berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pH 4, 8, dan 10. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Sifat emulsi dipengaruhi pH dan berkorelasi positif dengan profil kelarutan protein tersebut. Hal tersebut terbukti, pada penelitian ini aktivitas emulsi yang terbentuk sesuai dengan profil kelarutan konsentrat protein biji kecipir yang sangat rendah pada pH 4 dan memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada pH asam atau basa.

Pembentukan film pada droplet minyak hanya dapat terjadi jika protein berada dalam keadaan terlarut (Zayas, 1997). Pada pH isoelektrik, protein yang teradsorbsi di permukaan minyak-air berada pada taraf terendah karena protein tidak dalam keadaan terlarut. Film yang tidak terbentuk pada permukaan minyak-air menyebabkan droplet minyak bersatu kembali dan emulsi tidak dapat terbentuk. Oleh karena itu, protein dapat menjadi emulsifier yang efektif pada pH yang jauh dari titik isolektriknya (Damodaran, 1996). Emulsi yang terbentuk maksimum pada pH 10 disebabkan oleh tingginya nilai kelarutan konsentrat protein biji kecipir pada pH tersebut.

Perlakuan panas pada protein juga sangat berpengaruh terhadap sifat emulsi dari protein. Sifat emulsi dari globular protein dapat ditingkatkan dengan adanya pemanasan, hal ini terkait pembukaan rantai polipeptida protein (Zayas, 1997). Sifat emulsi protein dapat lebih baik setelah dipanaskan, berkorelasi positif dengan meningkatnya hidrofobisitas protein (Kato et al., 1981),. Namun, pemanasan tersebut tidak boleh menyebabkan protein terkoagulasi dan penurunan kelarutan protein. Kombinasi tingginya hidrofobisitas dan kelarutan protein dapat menghasilkan sifat emulsifier yang baik (Zayas, 1997). Pada penelitian ini diamati aktivitas emulsi setelah mendapat perlakuan panas (80oC selama 30 menit). Gambar 14 menunjukkan aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir setelah dipanaskan.

56.25 b 59.50 b 57.75 b 6.50 a 60.00 b 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 2 4 6 8 10 Nilai pH V o l em u ls i (m l)

Gambar 14 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir Setelah Pemanasan pada Berbagai Nilai pH

Setelah dipanaskan, aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir mengalami peningkatan. Di mana aktivitas emulsi pada pH 4 paling rendah dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95% dengan aktivitas emulsi yang lebih tinggi pada pH 2, 6, 8, 10. Olah data mengenai aktivitas emulsi setelah dipanaskan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada aktivitas emulsi, data diolah menggunakan Paired Sample T-test. Uji pada masing-masing pH menunjukkan kecenderungan bahwa perlakuan panas tidak menyebabkan peningkatan yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 95% pada berbagai nilai pH. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Data peningkatan aktivitas emulsi setelah dipanaskan menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir tetap memiliki aktivitas emulsi yang baik setelah pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dapat diterapkan sebagai emulsfying agent pada produk pangan yang membutuhkan proses pemanasan sekalipun.

Diamati juga aktivitas emulsi selama beberapa waktu untuk diketahui stabilitasnya. Emulsi yang terbentuk dengan protein sebagai emulsifier dapat memiliki stabilitas selama beberapa hari jika disimpan pada keadaan atmosfer (Damodaran, 1996). Dari Gambar 15 di bawah dapat diketahui bahwa emulsi yang terbentuk cenderung stabil jika disimpan pada suhu ruang.

Gambar 15. Stabilitas Emulsi Selama 6 Jam pada Suhu Ruang

Pembentukan emulsi oleh protein dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi pH, kekuatan ion, suhu, berat molekul surfaktan, dan tipe protein. Faktor eksternal meliputi jenis peralatan yang digunakan, dan kecepatan pengadukan. Sampai saat ini belum ditetapkan metode yang baku untuk mengukur sifat emulsifier ini, oleh karena itu hasil pengamatan dari berbagai laboratorium sangat bervariasi satu sama lain dan tidak dapat dibandingkan (Damodaran, 1996).

e. Daya Gelasi

Daya gelasi adalah salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi suatu jenis protein. Kualitas suatu produk pangan, khususnya tekstur dan juiciness dapat ditentukan berdasarkan kapasitas gelasi suatu jenis protein. Gel dapat terbentuk ketika struktur protein setengah membuka membentuk polipeptida yang dapat berinteraksi membentuk ikatan cross- linked tiga dimensi (Zayas, 1997). Pembukaan parsial struktur protein dengan sedikit perubahan pada struktur sekunder protein dibutuhkan untuk membentuk gel (Clark dan Tuffnell,1986).

Tabel 7. Daya Gelasi Konsentrat Protein Kecipir pada Berbagai Konsentrasi dan Nilai pH

Keterangan:

0 = gel tidak terbentuk

1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal

3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali

Pembentukan gel dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu pH dan konsentrasi protein, namun hidrofobisitas, komposisi asam amino dan berat molekul protein juga memegang peranan yang penting dalam pembentukan gel (Zayas, 1997). Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi protein-protein dan protein-pelarut. Interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena kontak intermolekular yang juga lebih tinggi (Zayas, 1997).

Penelitian Okezie dan Bello (1988) menunjukkan bahwa isolat protein kedelai (Promine D) membutuhkan konsentrasi inisial 14% untuk membentuk gel dengan pemanasan 1 jam dan pendinginan 4oC selama 2 jam. Tabel 7 di Konsen- trasi gel (%b/v) pH 4 pH 7 pH 10 peng- amatan kualitatif penam- pakan peng- amatan kualitatif penam- pakan peng- amatan kualitatif penam- pakan 6 0 cair dan

terpisah 0 kental 0 cair

8 0 cair dan

terpisah 0 kental 0 cair

10 0 cair dan

terpisah 0 kental 0 cair

12 0 cair dan

terpisah 0 kental 0 cair

14 0 cair dan

terpisah 0 kental 0 cair

16 0 cair dan

terpisah 1 gel 0 kental

18 0 cair dan

terpisah 3 gel 0 kental

20 0 cair dan

atas menunjukkan gel terbentuk pada konsentrasi inisial 16% dan hanya terjadi pada pH netral (pH 7). Protein kecipir dominan berbentuk globular, sehingga konsentrasi inisial yang dibutuhkan untuk pembentukan gel cukup tinggi (Schmidt, 1981).

Berdasarkan hasil penelitian, kekuatan gel yang terbentuk lebih baik pada konsentrasi protein di atas 18%. Semakin tinggi konsentrasi, interaksi protein intramolekular semakin baik sehingga menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin firm yang disebabkan oleh banyaknya jumlah air yang terikat pada molekul protein.

Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, gaya Van der Waals, dan ikatan disulfida kovalen (Zayas, 1997). Oleh karena itu, pembentukan gel secara tidak langsung dipengaruhi oleh pH. Pada pH isoelektrik (pH 4), interaksi antara protein menjadi maksimum dan protein tidak memerangkap air. Sesuai dengan hasil penelitian, pada pH 4 protein mengendap dan terpisah sehingga sama sekali tidak membentuk struktur gel. Gel tidak dapat terbentuk dengan baik pada pH 10 karena protein bermuatan sehingga cenderung menarik air dan kurang interaksi antar protein. Akibatnya pada pH tersebut, struktur tiga dimensi protein tidak terbentuk.. Nilai pH yang optimum untuk pembentukan gel berkisar antara pH 7-8 bagi semua jenis protein (Damodaran, 1996).

f. Kapasitas dan Stabilitas Buih

Kemampuan protein untuk membentuk buih yang stabil sangat diperlukan dalam produksi berbagai bahan pangan, seperti es krim, cake, roti, whipped cream dan mousse. Buih merupakan suatu struktur terdispersi yang menggabungkan dua cairan koloid, seperti larutan protein sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersinya. Sifat pembentukan buih merupakan suatu sifat permukaan protein di mana sifat permukaan dipengaruhi oleh tegangan permukaan. Pembentukan buih berhubungan dengan menurunnya tegangan permukaan pada sistem udara-air akibat adanya adsorpsi oleh molekul protein (Okezie dan Bello,1988). Berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1988) konsentrasi protein kecipir sangat

mempengaruhi pembentukan buih, di mana pembentukan buih maksimum pada konsentrasi 10% seperti diujicobakan pada penelitian ini. Damodaran (1996) menyatakan bahwa kapasitas dan stabilitas buih lebih baik dilakukan pada konsentrasi yang tinggi karena adanya peningkatan viskositas protein dan memfasilitasi pembentukan multilayer dan film yang bersifat kohesif pada permukaan interfasial. 62.77 c 43.18 b 2.38 a 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 4 7 10 Nilai pH K a p a si ta s B u ih ( % )

Gambar 16. Kapasitas Buih pada Berbagai Nilai pH

Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai pH berpengaruh nyata terhadap kapasitas buih pada selang kepercayaan 95%, di mana kapasitas buih pada nilai pH 4 (2.38%), pH 7 (43.18%), dan tertinggi pada pH 10 (62.77%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian kapasitas buih pada protein kedelai oleh Kinsella (1979), di mana kapasitas buih maksimum diperoleh pada pH 2 dan 9, sedangkan kapasitas buih minimum diperoleh pada pH 4-6 ketika kelarutan protein berada pada titik terendah. Pada nilai pH 4 kelarutan protein berada pada titik minimum sehingga hanya sedikit fraksi protein terlarut yang terlibat dalam pembentukan buih. Keterlibatan fraksi protein terlarut sangat penting dalam pembentukan buih sehingga pada nilai pH isoelektrik kapasitas buih yang terbentuk sangat minimum (Damodaran, 1996). Peningkatan nilai pH berkorelasi positif dengan peningkatan kelarutan protein dan kapasitas buih konsentrat protein biji kecipir. Cherry dan McWatters (1981) menyatakan bahwa ketika muatan protein meningkat, kapasitas buih juga meningkat.

Gambar 17. Stabilitas Buih pada Berbagai Nilai pH Terhadap Waktu

Studi yang dilakukan oleh Adebowale dan Lawal (2003) menyatakan bahwa ketidakstabilan buih dapat disebabkan disprosporsionasi gelembung, penggabungan gelembung yang disebabkan ketidakstabilan film yang terbentuk, dan hilangnya air dari gelembung yang menyebabkan film terlalu tipis untuk menstabilkan gelembung. Dari gambar di atas dapat dilihat pada pH 4 buih sudah hilang pada jam ke-0.5, pada pH 7 buih pada jam ke-1.5, sedangkan pada pH 10 buih hilang setelah jam ke-3. Hal ini disebabkan oleh kemampuan protein menahan air pada pH 10. Semakin lama protein menahan air, semakin baik stabilitas buihnya. Hilangnya air dari struktur buih dapat dikurangi jika ada sisi polar polipeptida yang berinteraksi dengan molekul air pada struktur lamela (Zayas, 1997). Pada pH 4 dan 7, protein dengan cepat kehilangan air dan tidak mampu menstabilkan gelembung udara.

Berbagai jenis protein memiliki kapasitas buih yang berbeda, protein yang paling banyak digunakan sebagai pembentuk buih adalah putih telur, gelatin, kasein, protein kedelai dan gluten (Zayas, 1997). Protein-protein tersebut memiliki kemampuan membentuk buih yang sangat baik. Foaming power protein kedelai pada konsentrasi 0.5 % mencapai 500%, sedangkan gelatin 760% (Damodaran, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya konsentrat protein biji kecipir tidak memiliki kapasitas buih yang baik, terkait dengan struktur globular protein kecipir yang sulit didenaturasi pada permukaan dan mengakibatkan rendahnya kapasitas buih.

Dokumen terkait