• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. METODE PENELITIAN

2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir

Titik kelarutan maksimum dari protein biji kecipir perlu ditentukan untuk efisiensi proses ekstraksi protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan

Biji kecipir

Dikeringkan dalam oven 50oC selama 9-11 jam

Ditepungkan dengan pin disc mill

Diayak 60 mesh

Direndam dalam air selama 24 jam

Direbus 70-80oC selama 30 menit

Diekstraksi lemaknya dengan maserasi heksana (1:5) selama 2 jam pada suhu ruang

Tepung kecipir rendah lemak

Dikeringkan 50oC selama 5 jam untuk menghilangkan sisa heksana Dikupas dengan abrasive peeler

protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Oleh karena itu akan diuji kelarutan protein kecipir pada ketiga pH tersebut dan diukur rendemennya. Percobaan ini diujicobakan dengan melarutkan tepung kecipir rendah

lemak pada ketiga pH tersebut, lalu protein terlarut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. Protein yang mengendap dipisahkan dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer, lalu rendemen protein dari tepung dihitung dan dibandingkan. Rendemen protein yang tertinggi menggambarkan titik kelarutan maksimum dari protein biji kecipir.

3.Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Sebelum konsentrat protein diproduksi, dilakukan penelitian untuk menentukan metode pengeringan konsentrat. Parameter warna adalah parameter yang cukup penting dalam penerimaan suatu produk. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan metode pengeringan yang tepat agar diperoleh warna konsentrat protein yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis produk. Penelitian pendahuluan ini mengujicobakan 4 jenis pengeringan, yaitu pengeringan dengan oven vakum, oven biasa, rumah kaca dan spray dryer. Metode pengeringan akan dipilih berdasarkan warna konsentrat protein yang telah dikeringkan. Protein yang telah diendapkan pada pH isoelektriknya dikeringkan dengan empat jenis pengering dan dibandingkan warnanya secara objektif dengan menggunakan kromameter MINOLTA CR-200. Metode pengeringan yang dibandingkan adalah pengeringan dengan oven pada suhu 50oC, pengeringan dengan oven vakum pada suhu 70oC dan tekanan 60 psi, spray dryer dengan suhu outlet 80oC, serta rumah kaca yang bersuhu antara 50- 70oC.

4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Pembuatan konsentrat protein biji kecipir ini dilakukan dengan merujuk pada salah satu metode pembuatan konsentrat protein menurut Lusas dan Rhee (1995), yaitu dengan menggunakan titik isoelektrik dari protein kecipir agar kemudian proteinnya mengendap dan dapat dipisahkan dengan sentrifus.

Prinsip pembuatan konsentrat protein biji kecipir adalah melarutkan tepung biji kecipir pada pH kelarutan protein maksimum, kemudian protein diendapkan pada pH isoelektriknya dan dikeringkan. Menurut Erlina (1982), titik isoelektrik kecipir terdapat pada rentang pH 3.87-4.87, sedangkan pada penelitian Okezie dan Bello (1988) titik isoelektrik yang digunakan ialah pH 4. Proses pelarutan protein dilakukan pada pH yang menghasilkan rendemen protein terbesar yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu pada pH 10.

Proses recovery dilakukan untuk mengekstrak protein yang masih terkandung dalam residu awal. Residu awal dilarutkan kembali proteinnya dan digabungkan dengan filtrat yang telah diendapkan. Campuran filtrat larutan tersebut diendapkan proteinnya, dipisahkan dari filtratnya dan dikeringkan. Pengeringan dengan spray dryer dilakukan berdasarkan percobaan sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengeringan dengan spray dryer menghasilkan konsentrat dengan derajat putih yang paling tinggi. Secara lengkap, proses pembuatan konsentrat protein ini dapat dilihat pada Gambar 5.

@

Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir

@

Dilarutkan lagi dengan air destilata dengan jumlah sama seperti sebelumnya Filtrat diendapkan di

refrigerator semalaman

Filtrat diambil

Dicampur dan diendapkan pada pH

Protein dilarutkan lagi pada pH 10 dengan NaOH 1N

Dipanaskan suhu 50oC selama 1 jam Residu

Filtrat

Tepung kecipir rendah lemak

Dipanaskan suhu 50oC selama 1 jam dengan pengadukan Dilarutkan dalam air destilata dengan perbandingan 1:10

Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir

5. Analisis Proksimat

Penelitian utama yang dilakukan adalah analisis proksimat, sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein kecipir yang sudah diproduksi sebelumnya.

a. Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0005 gram).

Perhitungan :

Kadar air (g/100 g bahan basah) = W – (W1-W2) x 100 W

Kadar air (g/100 g bahan kering) = W – (W1-W2) x 100 W1-W2

Keterangan : W= bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1= bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2= bobot cawan kosong (g)

b. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro (AOAC 960.52 yang dimodifikasi)

Sejumlah kecil sampel (100-250mg) ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjedahl. Setelah itu, ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10

mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Dua sampai tiga butir batu didih dimasukkan

ke labu Kjedahl dan dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata.

Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes

indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen biru 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian di

tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai

tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. Cara perhitungan kadar protein :

Kadar N (%) = (ml HCl contoh- ml HCl blanko)x N HCl x 14.007 x 100%

mg contoh

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi

c. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian

ditimbang. Selongsong kertas saring yang berisi contoh dengan kapas dikeringkan pada suhu 80oC selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Ekstraksi lemak dengan heksana dilakukan selama ± 6 jam. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobotnya tetap. Cara perhitungan kadar lemak:

Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100 W

Kadar lemak (g/100 g bahan kering) = kadar lemak (%BB) x 100 (100-kadar air (%BB)) Keterangan : W = Bobot sampel (g)

W1= Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g) W2= Bobot labu lemak kosong (g)

d. Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)

Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven 105oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel padat diarangkan dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tanur. Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu maksimum 5500C hingga pengabuan sempurna. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik hingga bobotnya tetap.

Perhitungan :

Kadar abu (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100 W

Kadar abu (g/100 g bahan kering) = kadar abu (%BB) x 100 (100-kadar air (%BB))

Keterangan : W = Bobot sampel sebelum diabukan (gram)

W1= Bobot cawan + sampel setelah diabukan (gram) W2= Bobot cawan kosong (gram)

e. Analisis Kadar Karbohidrat by difference

6. Analisis Sifat Fisikokimia

a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter Minolta CR- 200 (modifikasi Hutching, 1999)

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel yang sudah tersedia dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, b. Selanjutnya dihitung nilai derajat putih dengan persamaan:

Derajat putih = 100 - √{(100-L)2 + (a2+ b2)} b. Particle Size Index (PSI) (modifikasi Bejarano et al., 2007)

Sampel sebanyak 5 gram diayak menggunakan ayakan dalam berbagai ukuran (mesh) yaitu 40 mesh (420 m), 60 mesh (318 m), 80 mesh (180 m), dan 100 mesh (150 m). Sampel diayak menggunakan alat selama 10 menit. Material yang tersisa dalam ayakan dinyatakan dalam percent over.

PSI = Σ aibi Keterangan : ai = percent over pada ayakan

bi= koefisien relatif ayakan (40, 60, 80, 100 mesh dinyatakan dalam 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0)

c. Densitas Kamba (ρA) (Okezie dan Bello, 1988)

Sampel dimasukkan ke dalam sebuah gelas ukur 10 ml yang telah diketahui beratnya. Gelas ukur yang telah dimasukkan sampel diketuk-ketukkan ke meja > 30 kali hingga tak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 10 ml. Gelas ukur yang berisi sampel tersebut kemudian ditimbang. Densitas kamba dapat dihitung dari hasil pembagian berat sampel dengan volumenya (10 ml). Pengukuran densitas kamba dilakukan dua kali ulangan.

Densitas kamba (g/ml) = (a-b) x 100% 10

Keterangan : a = berat gelas ukur berisi 10 ml sampel (g) b = berat gelas ukur kosong (g)

d.Komposisi Asam Amino (AOAC 982.30)

Sebanyak 0.25-0.5 gram sampel konsentrat protein biji kecipir ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung 25 ml untuk ditambahkan 5-10 ml

HCl 6 N (khusus untuk asam amino triptofan, HCl diganti dengan NaOH). Lalu sampel tersebut dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC, kemudian disaring. Sampel diambil sebanyak 30 ml dan ditambahkan larutan pengering (metanol, picolotiocianat, dan trietilamin). Sampel dikeringkan dengan pompa vakum dan ditambahkan lagi dengan 30 ml larutan derivatisasi (metanol, natrium asetat, dan trietilamin).

Sampel didiamkan 20 menit, kemudian ditambahkan 200 ml natrium asetat sebelum diinjek ke alat HPLC. Kolom HPLC yang digunakan adalah kolom pico tag 3.9x150 mm dengan fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1M. Detektor yang digunakan adalah detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Kadar asam amino dihitung dengan rumus berikut: Kadar asam amino = Luas area contoh x konsentrasi standar x BM x FK x 100

Luas area standar bobot sampel Keterangan: BM= Berat molekul asam amino

FK = Faktor konversi

7. Analisis Sifat Fungsional

a. Protein solubility (Sathe et al., 1982)

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui profil kelarutan protein biji kecipir pada berbagai pH. Profil mengenai kelarutan protein ini penting untuk diketahui karena berpengaruh terhadap sifat fungsional protein lainnya (Zayas, 1997). Kelarutan protein ini dapat diamati dengan melarutkan 10 mg sampel ke dalam 10 ml air, lalu pH larutan ditepatkan. Larutan disentrifus dan supernatan diambil untuk dianalisis konsentrasi protein terlarutnya dengan metode Lowry. Pengujian dilakukan dua ulangan.

0.5 ml supernatan diambil dan ditambahkan 3.5 ml akuades

Ditambahkan 5.5 ml pereaksi Lowry*

10 mg konsentrat protein biji kecipir dilarutkan dalam 10 ml air

Larutan tersebut ditepatkan pH 2-12 dengan menggunakan HCl dan NaOH 1N

Gambar 6. Penentuan Kurva Protein Solubility

*Pereaksi Lowry adalah campuran 50 ml NaOH 0.1 N yang mengandung 2% Natrium karbonat dan 1 ml Na-K-tartarat yang mengandung CuSO4 5%.

b.Daya Serap Air (WHC) (Sathe et al., 1982)

Sebanyak 1 g sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam tabung sentrifus kemudian dikocok dengan vorteks selama dua menit. Campuran kemudian didiamkan selama satu jam pada suhu ruang, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Filtrat dipisahkan secara hati-hati dan diukur dengan gelas ukur 10 ml untuk diketahui volum air bebas yang tidak terikat. Pengukuran daya serap air dilakukan dua kali ulangan, di mana densitas air diasumsikan 1 g/ml. Daya serap air dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Daya Serap Air (g/g) = (10 ml – volum air tidak terikat (ml)) x densitas air berat sampel kering

c.Daya Serap Minyak (Chakraborty, 1986 dalam Zheng et al, 2007)

Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan 10 ml minyak kedelai. Campuran tersebut dikocok dengan vorteks selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah itu,

Divorteks dan disimpan 15 menit pada suhu ruang

Ditambahkan 0.5 ml Folin Ciocalteu

Divorteks dan disimpan 30 menit pada ruang gelap hingga warna biru terbentuk

Absorbansi protein terlarut diukur pada panjang gelombang 650 nm

Nilai absorbansi dimasukkan ke persamaan kurva standar untuk diketahui konsentrasi protein terlarut

disentrifus pada kecepatan 3600 rpm selama 20 menit. Supernatan dituang ke gelas ukur 10 ml dan diamati volum minyak bebas. Pengukuran dilakukan dua kali ulangan, di mana densitas minyak kedelai diasumsikan sebesar 0.88 g/ml (Sathe et al, 1982). Daya serap minyak dihitung dengan persamaan berikut.

Daya Serap Minyak = (10 ml – volum minyak bebas (ml)) x densitas minyak

(g/g) berat sampel

d.Aktivitas dan Stabilitas Emulsi (modifikasi Franzen & Kinsella, 1976) Pengukuran aktivitas emulsi dilakukan dengan mencampur sebanyak 0.25g sampel dan 25 ml air. Sebanyak 25 ml larutan sampel ditambah 25 ml minyak kedelai. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, lalu diambil sebanyak 5 ml untuk ditepatkan pHnya sambil diaduk dengan magnetic stirer. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit sehingga volume emulsi dapat diukur. Aktivitas emulsi dapat dihitung dengan persamaan berikut

Aktivitas Emulsi (%) = volum campuran teremulsi x 100% volum total dalam tabung

Pengamatan juga dilakukan pada aktivitas emulsi setelah dilakukan pemanasan terhadap sampel. Larutan sampel dan minyak yang sudah didispersikan, dipanaskan 80oC selama 30 menit (Neto et al., 2001 dalam Lawal et al., 2007), disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan diamati lagi volume emulsinya. Untuk mengamati stabilitas emulsi selama waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan selama beberapa lama pada suhu ruang. Volume emulsi diamati pada jam ke-0.5, 1, 2, 4, 6 kemudian dicatat dan dibuat kurva kestabilan emulsinya (Okezie dan Bello, 1988). Percobaan kapasitas dan stabilitas emulsi ini dilakukan pada pH 2, 4, 6, 8, dan 10 sebanyak dua kali ulangan.

e.Daya Gelasi (Coffman dan Garcia, 1977)

Suspensi sampel dengan konsentrasi 6-20% disiapkan dan ditepatkan pHnya. Suspensi sampel lalu dipanaskan pada suhu 80oC selama 30 menit dan setelah diangkat dialiri dengan air mengalir. Setelah mencapai suhu ruang, suspensi ditaruh di refrigerator bersuhu 4oC selama 1 jam. Berdasarkan

penelitian Okezie dan Bello (1988), gel dapat terbentuk dengan pemanasan minimal 80oC 30 menit yang diikuti oleh pendinginan 4oC selama 1 jam. Kekuatan gel yang terbentuk diukur secara kualitatif dan dicatat penampakannya. Pengukuran sifat gelasi ini dilakukan dua ulangan. Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah:

0 = gel tidak terbentuk

1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal

3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali

f. Kapasitas dan Stabilitas Buih (Coffman dan Garcia, 1977)

Sebanyak 2 g sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades dan dihomogenkan dengan magnetic stirer selama ± 1 menit. Larutan tersebut kemudian diatur pHnya dan dikocok dengan waring blender selama 2 menit. Volume busa sebelum dan sesudah dikocok dicatat, kemudian kapasitas buih dihitung dengan persamaan berikut:

Kapasitas Buih (%) = volum busa sesudah dikocok x 100% volum awal larutan protein

Studi terhadap kapasitas buih ini dilakukan pada pH 4, 7 dan 10 sebanyak 2 kali ulangan. Selain itu juga diamati stabilitas buih pada jam ke-0.5, 1, 1.5, 2, 3, 4 dan dibuat kurva stabilitas buih terhadap waktu.

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak

Tahap pembuatan tepung ini adalah tahap yang umumnya dilakukan sebelum tahap pembuatan konsentrat. Tahap penepungan ini sangat penting untuk mempermudah proses ekstraksi protein karena luas permukaan yang semakin besar. Terdapat beberapa tahap dalam pembuatan tepung ini, di antaranya adalah tahap pengupasan kulit biji kecipir dan tahap ekstraksi lemak. Dengan adanya pengupasan kulit sebagian besar serat dapat dibuang, sedangkan pada tahap ekstraksi lemak, lemak dapat dikurangi. Penggunaan tepung bebas lemak sangat penting pada tahap pembuatan konsentrat karena lemak dapat membentuk kompleks dengan protein dan menghambat proses ekstraksi protein pada tahap berikutnya (Leimena, 2000).

Tahap pengupasan dilakukan dengan metode pengupasan basah, meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit. Menurut penelitian Sambudi dan Buckle (1991), dengan perendaman dan perebusan tersebut, kulit kecipir dapat dikupas dengan cukup mudah, enzim lipoksigenase dapat dihilangkan dengan adanya pemanasan, dan sifat fungsional dari protein tersebut dapat ditingkatkan, terutama daya serap airnya.

Tahap ekstraksi lemak dilakukan berdasarkan percobaan Handoko (2000), di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5 dengan waktu ekstraksi selama 2 jam. Pelarut heksana adalah pelarut non polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein. Pelarut heksana ini harus diuapkan setelah proses ekstraksi lemak untuk meminimumkan residu heksana pada produk akhir. European Union (2009) menetapkan limit residu maksimum untuk beberapa produk defatted dan produk pekatan protein kedelai yang biasa dijual sebagai produk akhir untuk konsumen. Nilai limit maksimum residu heksana untuk produk pekatan protein kedelai adalah 30 ppm, sedangkan untuk produk defatted adalah 10 ppm.

Dalam tahap ekstraksi lemak ini ukuran bahan perlu diperhatikan. Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan tidak memakan waktu yang lama. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan akan menggumpal sehingga akan sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama (Moestafa, 1981). Oleh karena itu, dipilih ukuran 60 mesh karena jika ukuran bahan di atas 50 mesh sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang nyata pada perbedaan kadar lemak yang terekstraksi (Handoko, 2000). Berdasarkan penelitian Handoko (2000), ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan tidak mampu lagi melarutkan lemak. Berikut ini dapat dilihat hasil analisis proksimat dari tepung kecipir rendah lemak (Tabel 4).

Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak Analisis Berat basah Berat kering

Kadar air (%) 7.19 7.75

Kadar abu (%) 4.22 4.54

Kadar protein (%) 40.72 43.87

Kadar lemak (%) 5.26 5.67

Kadar karbohidrat (%) 42.61 45.91

FAO menggolongkan tepung kedelai ke dalam beberapa kelas berdasarkan kadar lemak yang terkandung (FAO, 2009). Tepung kedelai dapat digolongkan sebagai tepung kedelai rendah lemak jika kandungan lemaknya berkisar antara 4.5%-9%. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam tepung kecipir (5.67%), tepung kecipir yang dihasilkan dapat digolongkan sebagai tepung rendah lemak.

2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir

Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein memiliki sifat kelarutan yang berbeda pada berbagai tingkatan pH yang berbeda. Prinsip dari proses pembuatan konsentrat protein adalah dengan mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan serat sehingga kadar proteinnya meningkat (Lusas dan Rhee, 1995). Secara garis besar, konsentrat protein dibuat dengan melarutkan protein pada pH kelarutan protein tertinggi, lalu protein terlarut tersebut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. pH isoelektrik ditentukan berdasarkan studi literatur, di mana Sathe et al (1982), Okezie dan Bello (1988) menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4.

Nilai pH kelarutan protein biji kecipir perlu ditentukan karena beberapa sumber menyatakan perbedaan titik kelarutan maksimum dari protein kecipir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan menghasilkan rendemen protein yang tinggi pula. Berikut ini dapat dilihat perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.

0.615 a 3.88 b 2.68 a,b 0 1 2 3 4 5 6.37 10 12 Nilai pH R en d em en ( %)

Gambar 8 menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, rendemen pada pH 6.37 dan 10 berbeda nyata, sedangkan rendemen pH 12 tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein tertinggi diperoleh pada pH 10, karena itu untuk proses produksi konsentrat protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein.

Okezie dan Bello (1989) melakukan percobaan dengan melarutkan protein kecipir pada pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen pH 12 lebih tinggi. Pelarutan protein pada pH 10 lebih dipilih daripada pH 12 karena mempertimbangkan beberapa hal. Proses pelarutan protein sebaiknya tidak dilakukan di atas pH 10 karena terdapat kemungkinan terbentuknya komponen antinutrisi seperti lisinoalanin (Kinsella, 1979). Selain itu, dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan protein pada pH isoelektrik (pH 4).

3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Metode pengeringan konsentrat protein dapat mempengaruhi warna dan sifat fungsional dari protein itu sendiri, karena sifat fungsional protein sangat tergantung dari kondisi proses pembuatan konsentrat tersebut (Fernandez-Quintella et al, 1997). Jenis pengeringan dipilih berdasarkan parameter warna. Berdasarkan hasil pengeringan dengan empat jenis pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.

78.2591 d 51.0359 c 46.6907 b 52.2460 a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Oven 50C Oven vakum 70C Rumah kaca Spray dryer Jenis Pengering D er a ja t P u ti h

Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan Oven

50oC

Oven vakum

Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai derajat putih dengan berbagai jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95%, di mana pengeringan dengan spray dryer memberikan warna konsentrat yang paling cerah karena memiliki derajat putih paling tinggi. Data lengkap mengenai nilai L, a dan b dari konsentrat dengan berbagai jenis pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer. Selain karena warna, pemilihan spray dryer dilakukan karena mempertimbangkan efisiensi waktu. Pengeringan dengan spray dryer lebih cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.

4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Konsentrat protein adalah pekatan protein dengan kadar protein 60- 70% berat kering (Hanson, 1974). Tahap pembuatan konsentrat dimulai dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan 1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik (Smith, 1958 dan Circle, 1951). Peningkatan pH menjadi 10 adalah tahap ekstraksi protein, di mana pada pH 10, protein berada dalam posisi kelarutan tertinggi. Cheftel et al. (1985) menyebutkan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, pada kondisi ini muatan sejenis cenderung untuk tolak menolak sehingga interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutannya meningkat. Untuk meningkatkan rendemen ekstraksi protein, proses ekstraksi pada pH 10 dilakukan dengan pemanasan 50oC, pemanasan merupakan kondisi optimum untuk mengekstrak protein (Circle, 1951).

Proses pengendapan protein pada pH isoelektrik dapat juga disebut proses pencucian dengan asam, karena pada pH sekitar 4, komponen lain (karbohidrat, mineral) terlarut dan protein mengendap. Proses isoelektrik ini

Dokumen terkait