• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak

Tahap pembuatan tepung ini adalah tahap yang umumnya dilakukan sebelum tahap pembuatan konsentrat. Tahap penepungan ini sangat penting untuk mempermudah proses ekstraksi protein karena luas permukaan yang semakin besar. Terdapat beberapa tahap dalam pembuatan tepung ini, di antaranya adalah tahap pengupasan kulit biji kecipir dan tahap ekstraksi lemak. Dengan adanya pengupasan kulit sebagian besar serat dapat dibuang, sedangkan pada tahap ekstraksi lemak, lemak dapat dikurangi. Penggunaan tepung bebas lemak sangat penting pada tahap pembuatan konsentrat karena lemak dapat membentuk kompleks dengan protein dan menghambat proses ekstraksi protein pada tahap berikutnya (Leimena, 2000).

Tahap pengupasan dilakukan dengan metode pengupasan basah, meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit. Menurut penelitian Sambudi dan Buckle (1991), dengan perendaman dan perebusan tersebut, kulit kecipir dapat dikupas dengan cukup mudah, enzim lipoksigenase dapat dihilangkan dengan adanya pemanasan, dan sifat fungsional dari protein tersebut dapat ditingkatkan, terutama daya serap airnya.

Tahap ekstraksi lemak dilakukan berdasarkan percobaan Handoko (2000), di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5 dengan waktu ekstraksi selama 2 jam. Pelarut heksana adalah pelarut non polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein. Pelarut heksana ini harus diuapkan setelah proses ekstraksi lemak untuk meminimumkan residu heksana pada produk akhir. European Union (2009) menetapkan limit residu maksimum untuk beberapa produk defatted dan produk pekatan protein kedelai yang biasa dijual sebagai produk akhir untuk konsumen. Nilai limit maksimum residu heksana untuk produk pekatan protein kedelai adalah 30 ppm, sedangkan untuk produk defatted adalah 10 ppm.

Dalam tahap ekstraksi lemak ini ukuran bahan perlu diperhatikan. Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan tidak memakan waktu yang lama. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan akan menggumpal sehingga akan sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama (Moestafa, 1981). Oleh karena itu, dipilih ukuran 60 mesh karena jika ukuran bahan di atas 50 mesh sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang nyata pada perbedaan kadar lemak yang terekstraksi (Handoko, 2000). Berdasarkan penelitian Handoko (2000), ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan tidak mampu lagi melarutkan lemak. Berikut ini dapat dilihat hasil analisis proksimat dari tepung kecipir rendah lemak (Tabel 4).

Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak Analisis Berat basah Berat kering

Kadar air (%) 7.19 7.75

Kadar abu (%) 4.22 4.54

Kadar protein (%) 40.72 43.87

Kadar lemak (%) 5.26 5.67

Kadar karbohidrat (%) 42.61 45.91

FAO menggolongkan tepung kedelai ke dalam beberapa kelas berdasarkan kadar lemak yang terkandung (FAO, 2009). Tepung kedelai dapat digolongkan sebagai tepung kedelai rendah lemak jika kandungan lemaknya berkisar antara 4.5%-9%. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam tepung kecipir (5.67%), tepung kecipir yang dihasilkan dapat digolongkan sebagai tepung rendah lemak.

2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir

Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein memiliki sifat kelarutan yang berbeda pada berbagai tingkatan pH yang berbeda. Prinsip dari proses pembuatan konsentrat protein adalah dengan mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan serat sehingga kadar proteinnya meningkat (Lusas dan Rhee, 1995). Secara garis besar, konsentrat protein dibuat dengan melarutkan protein pada pH kelarutan protein tertinggi, lalu protein terlarut tersebut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. pH isoelektrik ditentukan berdasarkan studi literatur, di mana Sathe et al (1982), Okezie dan Bello (1988) menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4.

Nilai pH kelarutan protein biji kecipir perlu ditentukan karena beberapa sumber menyatakan perbedaan titik kelarutan maksimum dari protein kecipir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan menghasilkan rendemen protein yang tinggi pula. Berikut ini dapat dilihat perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.

0.615 a 3.88 b 2.68 a,b 0 1 2 3 4 5 6.37 10 12 Nilai pH R en d em en ( %)

Gambar 8 menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, rendemen pada pH 6.37 dan 10 berbeda nyata, sedangkan rendemen pH 12 tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein tertinggi diperoleh pada pH 10, karena itu untuk proses produksi konsentrat protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein.

Okezie dan Bello (1989) melakukan percobaan dengan melarutkan protein kecipir pada pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen pH 12 lebih tinggi. Pelarutan protein pada pH 10 lebih dipilih daripada pH 12 karena mempertimbangkan beberapa hal. Proses pelarutan protein sebaiknya tidak dilakukan di atas pH 10 karena terdapat kemungkinan terbentuknya komponen antinutrisi seperti lisinoalanin (Kinsella, 1979). Selain itu, dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan protein pada pH isoelektrik (pH 4).

3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Metode pengeringan konsentrat protein dapat mempengaruhi warna dan sifat fungsional dari protein itu sendiri, karena sifat fungsional protein sangat tergantung dari kondisi proses pembuatan konsentrat tersebut (Fernandez-Quintella et al, 1997). Jenis pengeringan dipilih berdasarkan parameter warna. Berdasarkan hasil pengeringan dengan empat jenis pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.

78.2591 d 51.0359 c 46.6907 b 52.2460 a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Oven 50C Oven vakum 70C Rumah kaca Spray dryer Jenis Pengering D er a ja t P u ti h

Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan Oven

50oC

Oven vakum

Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai derajat putih dengan berbagai jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95%, di mana pengeringan dengan spray dryer memberikan warna konsentrat yang paling cerah karena memiliki derajat putih paling tinggi. Data lengkap mengenai nilai L, a dan b dari konsentrat dengan berbagai jenis pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer. Selain karena warna, pemilihan spray dryer dilakukan karena mempertimbangkan efisiensi waktu. Pengeringan dengan spray dryer lebih cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.

4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir

Konsentrat protein adalah pekatan protein dengan kadar protein 60- 70% berat kering (Hanson, 1974). Tahap pembuatan konsentrat dimulai dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan 1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik (Smith, 1958 dan Circle, 1951). Peningkatan pH menjadi 10 adalah tahap ekstraksi protein, di mana pada pH 10, protein berada dalam posisi kelarutan tertinggi. Cheftel et al. (1985) menyebutkan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, pada kondisi ini muatan sejenis cenderung untuk tolak menolak sehingga interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutannya meningkat. Untuk meningkatkan rendemen ekstraksi protein, proses ekstraksi pada pH 10 dilakukan dengan pemanasan 50oC, pemanasan merupakan kondisi optimum untuk mengekstrak protein (Circle, 1951).

Proses pengendapan protein pada pH isoelektrik dapat juga disebut proses pencucian dengan asam, karena pada pH sekitar 4, komponen lain (karbohidrat, mineral) terlarut dan protein mengendap. Proses isoelektrik ini sangat menguntungkan karena dapat menggunakan pelarut air yang tidak berbahaya, murah dan tidak mudah terbakar. Kelemahan metode ini adalah sulitnya memisahkan padatan dari pelarut air (FAO,2009). Oleh karena itu pemisahan padatan dilakukan dengan menggunakan sentrifus.

Pengeringan slurry protein sesudah disentrifus dilakukan dengan menggunakan spray dryer pada suhu inlet 170oC dan suhu outlet 80oC seperti percobaan Zheng et al (2007). Dengan menggunakan spray dryer, warna konsentrat yang dihasilkan menjadi lebih cerah karena protein dikeringkan dengan waktu yang singkat dan reaksi Maillard dapat dihindari. Menurut Fernandez-Quintela et al. (1997), tidak terdapat perbedaan yang nyata pada sifat fungsional konsentrat protein yang dikeringkan dengan spray dryer dengan freeze dryer. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengeringan dengan spray dryer dapat diterapkan pada proses pembuatan konsentrat protein biji kecipir.

5. Analisis Proksimat

Terdapat beberapa jenis produk pekatan protein, salah satunya adalah konsentrat protein. Sampai saat ini belum ada standar baku yang ditetapkan untuk mendefinisikan konsentrat protein. CODEX hanya menetapkan standar baku untuk mendefinisikan produk pekatan protein kedelai dan menetapkan komposisi baku dari produk pekatan protein kedelai tersebut.

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan hasil percobaan, kadar protein konsentrat protein kecipir adalah 65.69% berat basah dan 71.47% berat kering seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir Analisis Berat Basah Berat Kering

Kadar air (%) 8.04 8.75

Kadar abu (%) 3.73 4.05

Kadar protein (%) 65.69 71.47

Kadar lemak (%) 6.68 7.27

Kadar karbohidrat (%) 15.87 17.21

Berdasarkan CODEX (1989), produk pekatan protein dapat dikatakan sebagai konsentrat protein jika mengandung protein minimal 65% dan maksimal 90% berat kering. Adapun, produk pekatan protein harus memiliki kadar air yang tidak melebihi 10% dan kadar abu yang kurang dari 8% berat kering. Jika dilihat dari tabel di atas, maka konsentrat protein biji kecipir yang

dihasilkan telah memenuhi standar CODEX (1989) yang biasanya hanya diterapkan pada pekatan protein kedelai.

Komposisi konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan menunjukkan kadar protein yang sama, kandungan lemak dan abu yang lebih kecil dan kadar air yang lebih besar dari percobaan yang dilakukan oleh Sathe et al. (1982). Perbedaan komposisi konsentrat protein kecipir yang dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan proses produksi konsentrat. Pada percobaan ini, kandungan lemak yang lebih rendah disebabkan oleh adanya tahapan ekstraksi lemak pada tepung kecipir, sedangkan kadar air yang lebih tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan proses penyimpanan.

6. Analisis Sifat Fisikokimia

a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Kromameter Minolta CR-200 Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting untuk diamati. Warna konsentrat protein yang tidak terlalu gelap dapat memperluas aplikasi konsentrat pada berbagai jenis produk makanan. Proses pengolahan sangat berpengaruh terhadap warna konsentrat yang dihasilkan. Honestin (2007) menyatakan bahwa suhu pengeringan dan perlakuan pramasak berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung-tepungan yang dihasilkan.

Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir

Warna konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan tidak terlalu gelap seperti dapat dilihat pada Gambar 10 dan ditunjukkan oleh nilai derajat

putihnya sebesar 72.40 %. Notasi warna konsentrat protein biji kecipir pada Tabel. 6 menunjukkan bahwa pigmen biji kecipir yang berpotensi menghasilkan warna coklat pada konsentrat, dapat dihilangkan selama proses produksi. Selain itu, komponen gula yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard pada konsentrat juga dapat dikurangi. Parameter warna ini tidak menunjukkan pengaruh proses pengolahan terhadap sifat fisikokimia dan fungsional lain dari konsentrat protein biji kecipir.

Tabel 6 . Parameter Warna Konsentrat Protein Biji Kecipir Parameter warna Nilai

L (lightness) 75.42 a (warna merah) 0.85 b (warna kuning) 12.52 Derajat putih (%) 72.40

b. Particle Size Index (PSI)

Ukuran partikel mempengaruhi parameter penyerapan air, cooking loss dan tekstur dari produk yang dihasilkan. Semakin halus ukuran partikel, semakin besar tingkat penyerapan air dan cooking loss ketika proses produksi (Hatcher et al., 2002). Distribusi ukuran partikel pangan berbentuk bubuk memiliki pengaruh yang nyata pada densitas kamba dan porositas bahan. Semakin kecil ukuran partikel, semakin kecil densitas kamba dan semakin tinggi porositasnya.

Particle Size Index menunjukkan tingkat kehalusan dari konsentrat protein yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dua ulangan, PSI dari konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan adalah 63.05%. Nilai PSI yang semakin besar menunjukkan semakin tingginya tingkat kehalusan dari partikel tepung yang dihasilkan (Bejarano et al., 2007). Cukup tingginya nilai PSI dari konsentrat protein biji kecipir ini dapat disebabkan oleh proses pengeringan dengan spray dryer yang menghasilkan produk dengan ukuran partikel yang relatif halus.

c. Densitas kamba

Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volum bahan yang dinyatakan dalam satuan g/ml. Peleg dan Bagley (1983) menyatakan bahwa densitas kamba tergantung dari beberapa faktor, yaitu gaya tarik antara partikel, ukuran partikel dan luas permukaan sentuh partikel.

Konsentrat protein biji kecipir mempunyai densitas kamba sebesar 0.5831 g/ml. Nilai densitas kamba dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan nilai densitas kamba tepung biji kecipir (0.5300 g/ ml) yang diteliti oleh Okezie dan Bello (1988). Bahan pangan dengan bentuk bubuk umumnya memiliki densitas kamba antara 0.3-0.8 g/ml (Wirakartakusumah et al., 1992). Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80%.

Densitas kamba ini berhubungan dengan formulasi produk dan pengemasan bahan pangan. Semakin tinggi nilai densitas kamba, menunjukkan bahwa produk semakin padat dan memiliki porositas yang rendah. Pada formulasi produk, nilai densitas kamba berpengaruh terhadap jumlah konsentrat protein yang dapat ditambahkan ke dalam satu sajian produk pangan. Konsentrat protein diharapkan memiliki nilai densitas kamba yang cukup tinggi karena dapat menghasilkan kekentalan pasta protein yang rendah, hal ini merupakan faktor yang penting untuk aplikasi makanan yang berbentuk bubur untuk anak-anak dan orang sakit (Padmashree et al., 1987).

d. Komposisi Asam Amino

Selain nilai nutrisi, komposisi asam amino suatu protein sangat menentukan sifat fungsional protein tersebut (Philips dan Finley, 1989). Hal ini terkait dengan tingkat kepolaran dari protein itu sendiri, di mana asam amino polar dan non polar memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat fungsional protein seperti kelarutan protein, daya serap air, daya serap minyak dan sifat fungsional lainnya.

2.788 0.956 3.371 1.204 0.395 0.601 1.669 1.118 3.608 1.098 1.667 0.886 0.965 0.856 1.744 6.369 2.680 0.374 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000

T rp Asp Glu Ser Gly His Arg T hr Ala Pro T yr Val Met Cys Ileu Leu Phe Lys

Asam Amino P er se n ta se ( % )

Gambar 11. Komposisi Asam Amino Konsentrat Protein Biji Kecipir

Gambar 11 di atas menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dominan mengandung asam glutamat, diikuti oleh prolin, leusin, lisin dan asam aspartat. Dari komposisi tersebut dapat dilihat bahwa protein konsentrat biji kecipir ini cenderung bersifat hidrofilik. Asam aspartat, asam glutamat dan lisin dapat mengikat sekitar 4-7 molekul air/ molekul asam amino, sedangkan asam amino polar hanya 1-2 molekul air/ molekul asam amino, bahkan asam amino non polar hanya 1 molekul air/molekul asam amino atau tidak sama sekali (Zayas, 1997). Jika dilihat dari komposisi asam aminonya saja, konsentrat protein biji kecipir ini memiliki daya ikat air yang baik, sedangkan daya ikat minyaknya tidak terlalu baik.

Konsentrat protein biji kecipir mengandung semua asam amino esensial, yaitu lisin, leusin, isoleusin, arginin, fenilalanin, valin, treonin, metionin, dan triptofan. Berdasarkan penelitian ini, sistein dan metionin menjadi asam amino pembatas bagi konsentrat protein biji kecipir ini. Asam amino pembatas ditentukan dengan menghitung skor kimia untuk asam amino esensial yang terkandung pada konsentrat protein biji kecipir.

Skor kimia dapat dihitung dengan membandingkan jumlah asam amino esensial pada sampel dengan pola kebutuhan asam amino yang diterapkan oleh FAO (1973). Okezie dan Bello (1988) membandingkan komposisi asam

amino dari konsentrat protein biji kecipir dengan isolat protein kedelai komersial (Promine D). Kedua pekatan protein tersebut memiliki asam amino pembatas yang sama, yaitu metionin dan sistein. Skor kimia untuk konsentrat protein kecipir adalah 58%, sedangkan isolat kedelai memiliki skor kimia sebesar 65.7%. Penelitian yang dilakukan Okezie dan Bello (1988) ini menunjukkan bahwa komposisi asam amino dari protein kecipir sebanding dengan isolat protein kedelai, terutama pada distribusi dan kandungan asam amino esensialnya.

7. Analisis Sifat Fungsional

Dokumen terkait