• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SITUASIONAL Sejarah dan Perkembangan Pesantren

DAFTAR LAMPIRAN

(4) RICH PICTURE

4. ANALISIS SITUASIONAL Sejarah dan Perkembangan Pesantren

Lembaga pendidikan yang disebut pesantren sebagai pusat penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar (mushala) atau masjid oleh seorang kiai dengan beberapa orang santri yang datang mengaji.

Penyebaran Islam di Indonesia merupakan peristiwa yang sangat dan menakjubkan dalam sejarah perluasan dunia Islam (the extension of the Islamic World). Akan tetapi prosesnya belum dapat diungkapkan secara memadai oleh para sejarawan. Proses perluasan Islam di Indonesia sangat menakjubkan karena berlangsung abad ke-13 sampai dengan ke-16 saat kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Timur Tengah sedang mengalami kemuduran. Disamping itu peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang memeluk agama baru saat itu luar biasa banyaknya. Sejumlah makam orang Islam lengkap dengan tulisan tersebar di beberapa wilayah. Sejumlah inskripsinya menunjukkan bahwa jasad yang dikubur adalah orang-orang yang bergelar syekh1 yang mengajar dan bermukim di kota metropolitan serta pelabuhan samudera. Inskripsi yang ditemukan kebanyakan berbahasa Arab, sejumlah kecil berbahasa Parsi atau Arab yang dipengaruhi oleh bahasa Parsi (Dhofier 2011).

Dhofier (2011) dalam bukunya Tradisi Pesantren menjelaskan bahwa suatu rekonstruksi masa awal pembangunan tradisi pesantren antara abad ke-11 dan ke-14. Masa transisi dari peradaban Hindu Buddha Majapahit ke masa periode pembangunan Peradaban Melayu Nusantara. Periode ini dinilai sangat sejarah bangsa Indonesia modern karena menentukan arah pembangunan Peradaban Indonesia Modern memasuki periode millennium ketiga. Dari pendekatan bidang studi agama dan kebudayaan dunia, proses terbangunnya Peradaban Islam di Nusantara merupakan peristiwa sejarah yang mengagumkan. Bukti sejarah tersebut menggambarkan betapa kuatnya identitas dan dinamika bangsa di kepulauan nusantara itu dalam mengadopsi aspek-aspek positif suatu peradaban dari luar yang dianggap baik dan bermafaat.

Untuk dapat mengetahui sejauh mana kualitas Islam serta lembaga pesantren pada periode antara tahun 1200 dan 1650 sangat berkualitas dapat dijelaskan melalui suatu rekonstruksi sebagai berikut:

 Pertama, Eropa pada abad ke-14 dan ke-15, bukanlah kawasan yang paling maju di dunia. Bahkan kekuatan besar yang sedang berkembang di India dan Asia Tenggara pada abad ke-15, 16, dan 17 adah Islam.

 Kedua, kualitas Islam dan kualitas lembaga pendidikan yang tinggi dimulai pertengahan abad ke-10, tetapi tradisi menulis di wilayah Indonesia masih sangat lemah. Menurut catatan Claude Guillot & Ludvik Kallus (Parasman 2009; Dhofier 2011) Barus, antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-14

1 Syekh, juga dapat ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh (Bahasa Arab: خي ش), adalah kata dari

Bahasa Arab yang berarti kepala suku, pemimpin, tetua, atau ahli agama Islam. Di Indonesia, gelar Syekh biasanya digunakan oleh para muballigh keturunan Arab atau para ulama besar dan ahli agama Islam, baik yang menyebarkan ajaran berdasarkan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah maupun yang menyebarkan faham yang bersifat tasawuf.

50

merupakan bandar metropolitan yang menjadi awal terbangunnya pusat pendidikan Islam.

 Ketiga, proses terpilihnya Islam sebagai agama baru di Nusantara setelah rakyat kecewa atas melemahnya Imperium Majapahit. Di samping itu, peralihan ke agama dan peradaban baru tidak mungkin dapat dilakukan bila para penganjur agama Islam dan pemimpim-pemimpin pendiri kesultanan di berbagai kota pantai bukan pemikir-pemikir yang berkualitas tinggi.

Menurut catatan sejarah, di Barus lahir seorang tokoh Islam yang yang sangat tersohor bernama Hamzah Fansuri, dimana pada saat itu Barus setelah menjadi Bandar kosmopolitan (pertengan abad ke-10 sampai dengan abad ke-15) juga menjadi pusat pendidikan agama Islam di Nusantara. Pada abad tersebut Islam sedang berkembang sebagai kekuatan besar dan menjadikan Indonesia sebagai kawasan yang paling dinamis. Wilayah Barus terkenal sebagai eksportir minyak wangi yang sangat disukai oleh pangeran dan bansa Arab, Parsi dan Cina. Karena konsumennya adalah masyarakat kelas atas dapat dipastikan bahwa harga komoditas minyak wangi sangat mahal.

Sesuai tradisi yang berkembang di dunia Muslim, para pedagang Muslim di Barus menyediakan amal jariyah bagi ulama yang bersedia menemani para pedagang untuk tinggal dan mengembangkan aktivitas pendidikan dan pengajaran Islam di negeri yang jauh (Barus). Dapat dipastikan pula para syekh yang menyertai pedagang itu adalah ulama yang tinggi ilmu pengetahuannya, karena sekitar 200 tahun telah menumbuhkan Kesultanan Lamreh menjelang tahun 1200. Proses terbangunnya pemukiman di pantai- pantai menyebabkan lahirnya lembaga-lembaga pesantren dan menumbuhkan sejumlah ibukota kesultanan

Hamzah Fansuri yang lahir di abad ke-15 merupakah budayawan agung Nusantara yang menguasai bahasa Arab dan ilmu keislaman lainnya. Salah satu bukti yang terungkap adalah penemuan inskripsi pada nisan Hamzah Fansuri oleh Claude Guillot & Ludvik Kallus. Penemuan itu sangat menarik dan penting karena batu nisan tersebut ditemukan bukan di pekuburan Barus melainkan di Bab al-Ma’la di Mekkah saat inskripsinya disalin pada tahun 1934. Kealiman dan kemasyuran Hamzah Fansuri sebagai budayawan agung memungkinkan dirinya berhasil menjadi guru besar yang dihormati di Masjidil Harram Mekkah.

Mata rantai hubungan antara Hamzah Fansuri dan Nurullah (salah seorang muridnya kemudian menjadi tokoh yang sangat dihormati kelompok Wali Songo) merupakan bukti bahwa jaringan ulama Indonesia dan ulama Timur Tengah pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 sangat intensif. Hamzah Fansuri berkesempatan mendidik Syekh Nurulloh dari Pasai selama 4 tahun di Mekkah (antara tahun 1522 dan 1526) dan disuruh pulang ke Indonesia menuju Demak dengan tugas membantu Sultan Trenggono mengusir Portugis dari Jawa.

Wali Songo di Jawa dikenal sebagai 9 wali yang berhasil mengislamkan seluruh penduduk Jawa. Para wali ini melakukan dakwah nilai-nilai Islam menjadi budaya masyarakat. Wali pertama adalah Malik Ibrahim ditemukan nisannya bertarikh 822 H/1419 M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dipadang sebagai orang pertama yang mendirikan pesantren dan wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H (8 April 1419 H). Beliau dikenal dengan nama Sunan Gresik (Zuhri 1979). Dilanjutkan oleh wali-wali lainnya. Wali terakhir adalah Syek Nurulloh yang berhasil mengislamkan seluruh wilayah Jawa Barat dan kemudian anak cucunya meluaskannya ke Lampung. Akan tetapi tokoh yang dianggap berhasil

mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti sesungguhnya adalah Raden Rahmat. Beliau mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang waktu pendiriannya hanya memiliki 3 orang santri. Kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pesantren di sana. Selanjutnya beliau dikenal dengan Sunan Ampel. Uraian ini menunjukkan bahwa sebenarnya Islam telah masuk dan berkembang di Jawa lebih dulu.

Telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam bahwa Islam pertama kali masuk ke Jawa waktunya didasarkan pada tarikh 475 H (1082 M) yang tertera di batu nisan Fatimah binti Maemun di Leran (Gresik). Masa itu terjadi perpecahan yang menyebabkan kekuasaan Majapahit melemah, sehingga mendukung penyebaran Islam secara cepat di Jawa. Bupati-bupati pesisir merasa bebas dari pengaruh Majapahit dan mulai menganut agama Islam. Dalam situasi ini, agama menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyarakat.

Mastuhu (1994) berpendapat bahwa belum ada kepastian waktu pendirian pesantren dan tokoh pendirinya. Dari hasil pendataan Departemen Agama tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan tahun 1062 atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura. Hal ini diragukan karena tentunya pesantren Tan Jampes I lebih dahulu ada. Dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian yang mungkin mereka memiliki usia lebih tua.

Akan tetapi, dapat dipastikan bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah ada di Indonesia, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap produk budaya Indonesia yang indoneous. Lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non kooperatif ulama terhadap kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda akhir abad ke-19. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai balas jasa kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern dengan sistem budaya Barat. Namun, pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat pendidikan yang diberikan. Sikap non kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota. Tujuannya untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial dan memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Para ulama mendidik santri-santrinya dengan sikap politis anti penjajah serta nonkompromi terhadap kolonial dalam bidang pendidikan agama. Oleh karena itu, pada masa penjajahan pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang penjajahan. Jadi melalui pesantren tertanam patriotisme di samping fanatisme agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu.

Pada masa kolonialisme pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentuknya Republik Indonesia. Tokoh-tokoh nasional ini memiliki figur kiai sebagai pimpinan pesantren yang sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar pondok. Mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan kiai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki (Ilahiyyah).

Lembaga-lembaga pesantren itu paling menentukan watak ke-Islaman sejumlah kesultanan di wilayah Indonesia dan memegang peranan paling penting dalam penyebaran Islam sampai ke pelosok perdesaan (Dhofier 2011). Daulay 2009 menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat muslim di suatu tempat melalui proses yang panjang. Prosesnya

52

dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil upaya para da’i. Selanjutnya masyarakat muslim tersebut menumbuhkan kerajaan Islam, seperti Perlak di Aceh, Pasai di Sumatera, Demak, Pajang, dan Mataram di Jawa, Gowa, Tallo dan Bone di Sulawesi, serta Ternate dan Tidore di Maluku.

Salah satu kerajaan Islam yang berperan dalam pengembangan pendidikan Islam di Jawa adalah Kerajaan Mataram pada jaman pemerintahan Sultan Agung. Junus (1960) dalam bukunya berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana dikutip Dhofier (2011) menyebutkan bahwa pada saat itu pesantren telah dibagi dalam beberapa tingkatan. Pertama, tingkatan pengajian al Quran yang terdapat di setiap desa. Materi yang diajarkan meliputi pengenalan huruf hijaiyah, membaca Kitab Barzanji, rukun Islam dan rukun iman. Kedua, tingkatan pengajian kitab. Para santri yang belajar di tingkatan ini adalah mereka yang sudah khatam2 Al Quran. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan umumnya mondok3. Kitab yang dipelajari adalah Kitab 6 Bis, yaitu sebuah kitab yang berisi 6 kitab dan 6 Bismillahirrahmaanirrahim. Ketiga, tingkat pesantren besar yang didirikan di kabupaten sebagai lanjutan pesantren desa. Kitab yang diajarkan adalah kitab yang berbahasa Arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Cabang ilmu yang diajarkan antara lain fiqih, tafsir, hadist, ilmu kalam, dan tasawuf. Keempat, tingkat pesantren keahlian atau spesialis (takhasus), sehingga ilmu yang dipelajari adalah satu cabang ilmu secara mendalam.

Pada masa pasca kemerdekaan, perkembangan pesantren mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni di bidang agama (tafaqquh fiddien). Pada masa priode transisi antara tahun 1950 – 1965 pesantren mengalami fase stagnasi, dimana kiai sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis. Fase ini ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuansa Islami peserta pemilu pertama tahun 1955. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari partai tersebut adalah kiai yang mempunyai pesantren.

Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indoneisa lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji (Dhofier 2011), sedang CC Berg (1932) yang dikutip oleh Dhofier (2011) berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Hindu.

Namun demikian apabila dikaji lebih jauh tentang asal usul pesantren sebenarnya berasal dari jaman Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu banyak sahabat yang tinggal di masjid Nabi untuk berdzikir dan mendekatkan diri kepada Alloh. Mereka juga bertanya langsung kepada Rasulullloh segala sesuatu tentang keagamaan. Dari situ sebenarnya telah terjadi proses pengajaran dan pendidikan. Mereka itulah yang biasa disebut Ashab al-Suffa

(Sahabat Beranda) atau Ahl al-Suffa (Orang-orang Beranda) (Suhendra et al. 2012). Hasil penelitian beberapa ilmuwan menggambarkan kehidupan pesantren hanya menyentuh aspek kesederhanaan bangunan dalam lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup

2

Khatam berarti selesai atau tamat. Khatam Al quran berarti menyelesaikan membaca sesuai dengan yang dianjurkan dalam Al Quran, selesai mengkaji Al Quran.

3

para santri, kepatuhan mutlak para santri kepada kiainya dan dalam beberapa hal pelajaran- pelajaran dasar mengenai kitab-kitab Islam klasik (Dhofier 2011).

Pesantren mengalami dinamika dalam perkembangan berikutnya. Kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadaptasi nilai-nilai baru sebagai dampak modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Oleh karena itu, saat ini secara garis besar pesantren dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang masih terikat dengan sistem pola lama, sedang pesantren khalafi adalah pesantren yang menerima unsur-unsur pembaharuan.

Sejalan dengan bergeraknya waktu, lambat laun pesantren semakin tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika pembangunan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian pesantren ada yang tetap meneruskan segala tradisi yang diwariskannya secara turun temurun, tanpa perubahan dan improvisasi. Di lain pihak, ada pula pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam inilah adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat. Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan kitab kuning, melainkan sudah mengajarkan berbagai disiplin ilmu sesuai tuntuan dan perubahan jaman. Dengan demikian, pesantren tidak akan pernah mengalami tahapan statis, selama setiap unsur pesantren dapat menyikapi dan merespon secara baik kondisi yang paling aktual.

Suhendra et al. (2012) menjelaskan dinamika pesantren terlihat pada 2 sudut padang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas yang menakjubkan. Dalam catatan Departemen Agama, tahun 1977 ada 4 195 pesantren dengan 677 394 santri. Jumlah pesantren tahun 1985 mengalami peningkatan menjadi 6 239 dengan santri mencapai 1 084 801 orang. Dua dasawarsa kemudian Kementerian Agama mencatat tahun 1997 jumlah pesantren mengalami kenaikan mencapai 224% atau menjadi 9 388 pesantren dan kenaikan santri mencapai 261% atau sebanyak 1 770 768 orang. Tahun 2001 santri di Indonesia seluruhnya berjumlah 2 737 805 orang. Perkembangan pesantren yang pesat ditunjukkan secara nyata dengan kecenderungan peningkatan jumlah pesantren dari masa ke masa. Demikian pula dengan jumlah santri yang semakin meningkat.

Selanjutnya periode 2008/2009, jumlah pesantren mencapai 24 206 unit dan santri sebanyak 3 647 719 orang. Setahun kemudian pesantren mengalami penambahan menjadi 25 785 unit dengan keseluruhan santri berjumlah 3 648 893 orang. Periode 2010/2011 tercatat jumlah pesantren sebanyak 27 218 unit dan jumlah santri 3 642 738 orang. Periode 2011/2012 menujukkan kenaikan pesantren menjadi 27 230 dan jumlah santri 3 759 198 orang. Data terakhir yang diperoleh dari Kementerian Agama periode 2012/2013 tercatat jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 29 535 dengan santri 3 876 696 orang (Tabel 4). Khusus untuk Provinsi Jawa Barat pada periode 2012/2013 tercatat memiliki 8 954 pesantren (30.32%) (Tabel 5, Kemenag 2014).

Tabel 4. Perkembangan jumlah pesantren dan santri

2009/2010 2010/2011 2011/2012 2012/2013

Pesantren 25 785 27 218 27 230 29 535

Santri 3 648 893 3 642 738 3 759 198 3 876 696

Sumber: Data Emis, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Kementerian Agama 2013/2014

Keseluruhan jumlah pesantren di atas sudah mencakup pesantren tradisional maupun modern. Nurkhamidi (2010) melihat peningkatan santri terjadi secara alami, efek relasi

54

sosial santri dengan komunitas serta kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Apabila dibandingkan jumlah santri terhadap pesantren, terlihat bahwa jumlah santri yang berminat masuk pesantren lebih rendah dari pertumbuhan pesantren itu sendiri. Bahkan, sebuah pesantren hanya memiliki beberapa orang santri, atau hampir tidak memiliki santri. Sebagian orang tua mengirim anak-anaknya belajar di pesantren untuk memperoleh pendidikan agama yang cukup agar anaknya menghindari pengaruh lingkungan dan dampak negatif moralitas modern. Sebagian lagi berambisi agar anaknya dapat menjadi ulama.

Tabel 5. Jumlah pesantren di Jawa tahun 2012/2013

Provinsi Pesantren Santri

Jumlah % Jumlah % Banten 3 578 12.11 331 138 8.54 Jawa barat 8 954 30.32 960 420 24.77 Jawa tengah 4 834 16.37 477 308 12.31 DI Yogyakarta 265 0.90 25 178 0.65 Jawa Timur 6 442 21.81 1 159 621 29.91 Nasional 29 535 3 876 696

Sumber: Data Emis, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Kementerian Agama 2013/2014

Perkembangan kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970- an bentuk pendidikan yang diselenggarakan pesantren sudah bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan pesantren dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: (1) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs, Madrasah Aliyah/MA) maupun yang memiliki sekolah umum (Sekolah Dasar/SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/SLTA dan Perguruan Tinggi Umum); (2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dang mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah; dan (4) pesantren yang hanya menjadi tempat pengajian.

Perkembangan ini menujukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk bertahan di tengah perubahan masyarakat. Kenyataan ini disebabkan sejak awal pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai- nilai kehidupan yang bersumber dari ajaran Islam. Realita sosial inilah yang membawa pesantren kepada kesadaran akan perubahan yang terus menerus.

Kebijakan Pemerintah Terkait Pesantren, Pertanian dan Lingkungan

Di pihak pemerintah, berbagai kebijakan telah diluncurkan terkait dengan pertanian, pengelolaan lingkungan hidup dan juga pesantren sejak dilaksanakan pembangunan di Indonesia. Menurut Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan keagamaan. Lahirnya UU ini menjadikan negara mengubah haluan kebijakannya terhadap pendidikan agama, sehingga pesantren semakin dilibatkan dalam penyediaan layanan wajib belajar 9 tahun. Meskipun demikian, terkait dengan substansi keagamaan pembinaan pesantren secara langsung menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Dalam hal ini, dukungan pemerintah melalui Kementerian Agama diberikan terutama dalam hal peningkatan kualitas pengajaran. Karni (2009) menjelaskan Kementerian Agama juga memberikan bantuan berupa block grant dan bantuan yang bersifat sporadis, seperti

Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), bantuan prasarana dan sarana, tunjangan pendidik serta beasiswa bagi santri berprestasi. Negara juga memberi status mu’adalah4

pada sejumlah pesantren agar memiliki ruang kiprah yang lebih luas. Meskipun tidak sedikit pesantren yang tetap mempertahankan kemandiriannya baik dalam hal pendidikan maupun kegiatan pesantren lainnya.

Pada masa lalu, pembangunan pertanian diarahkan untuk mencapai produktivitas yang tinggi hingga mampu mewujudkan swasembada pangan. Akan tetapi pembangunan tersebut belum memiliki landasan yang kuat karena belum memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, sehingga yang terjadi bukan peningkatan produktivitas yang sebenarnya (Kementan & PSP3 2015). Pada saat sekarang strategi pembangunan nasional difokuskan pada pengelolaan SDA secara efisien ditunjang oleh SDM yang berkualitas. Kegiatan utama dalam strateginya adalah pembangunan sektor pertanian. Masyarakat perdesaan menjadi basis kegiatan pertanian sebagai penopang sumber pangan dan gizi masyarakat. Jika masyarakat perdesaan tidak berdaya, penyedia pangan akan terhendi dan satu-satunya jalan akan dipenuhi dari impor pangan. Oleh karenanya, periode 2010 – 2014 pemerintah menerapkan pembangunan ketahanan pangan yang tujuannya akhirnya adalah pencapain kesejahteraan rakyat.

Menurut Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam UU tersebut, Pemerintah berkewajiban 3 hal: (1) menjamin ketersediaan pangan yang cukup dan merata; (2) keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; dan (3) pemenuhan konsumsi pangan untuk setiap individu rakyat yang beragama, bergizi seimbang, aman dan halal. Penyelenggaraan sistem ketahanan pangan ini, tidak terlepas dari adanya kedaulatan dan kemandirian pangan yang harus didukung oleh keamanan pangan (Kementan 2014). Salah satu upaya mewujudkannya dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal menggunakan teknologi spesifik lokal dan ramah lingkungan. Di sisi lain, pemerintah harus mendorong masyarakat agar mau dan mampu mengkonsumsi pangan beragam, bergizi seimbang, aman dan halal.

Selanjutnya agenda prioritas pembangunan pertanian untuk periode 2015 – 2019 mencakup peningkatan agroindustri dan peningkatan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri, yang perlu didukung: (1) ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (2) pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri; dan (3) mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan, terutama petani dan nelayan.

Selain program-program yang tertuang dalam dokumen rencana strategis tersebut, Kementerian pertanian meluncurkan berbagai program terobosan guna percepatan pencapaian keberlanjutan pertanian khususnya dalam hal pangan. Beberapa diantaranya adalah program Pengembangan Lumbung Pangan (PLP), Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), Pembadayaan

4

Pesantren mu’adalah adalah pesantren yang melakukan proses penyetaraan antara institusi pendidikan baik pendidikan di pesantren maupun di luar pesantren dengan menggunakan kriteria baku dan mutu/kualitas yang telah ditetapkan secara adil dan terbuka. Pesantren mu’adalah terbagi 2: (1) pesantren

Dokumen terkait