• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL TRANSFORMASI PESANTREN

DALAM MEWUJUDKAN KEBERLANJUTAN PANGAN

SEPTALINA PRADINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)
(5)

RINGKASAN

SEPTALINA PRADINI. Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, TRI PRANADJI, dan HASIM.

Persoalan dalam pembangunan pertanian muncul akibat ketidakseimbangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) serta struktur dan kultur sumber daya manusia (SDM) yang lemah, sehingga dapat mengakibatkan krisis pangan. Kegagalan pembangunan SDM dan kelembagaan pada sektor pertanian juga memudarkan budaya pertanian maupun keberlanjutan pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan SDM berkompetensi, terampil, serta mampu menyeimbangkan nilai spiritual. Pembangunan SDM tersebut mampu diperankan oleh lembaga sosial berbasis keagamaan. Salah satunya pesantren yang sudah mengakar dalam masyarakat dan memiliki potensi serta kekuatan untuk menyatukan nilai spiritual dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pada tahun 2013 tercatat 29 535 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3 876 696 orang. Data tersebut menunjukkan potensi yang besar bagi pembangunan bangsa, termasuk pembangunan pertanian. Namun pesantren juga menghadapi berbagai persoalan internal maupun eksternal kelembagaan sesuai tuntutan masyarakat dan modernisasi. Oleh karena itu, pesantren perlu melakukan perubahan menuju pesantren masa depan dengan karakter unggul: mandiri, berkeadilan dan menerapkan prinsip-prinsip ekologi dalam mengelola potensi yang dimilikinya Perubahan secara menyeluruh, terstruktur, dan terus menerus sebagai proses transformasi terhadap sistem pesantren dan sistem pertanian menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Dengan demikian, diperlukan model transformasi untuk mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi dalam perubahan pesantren masa depan.

Penelitian bertujuan untuk: (1) Menganalisis keragaan pesantren ditinjau dari aspek manajemen, SDM, dan tradisi; (2) Menganalisis sistem pertanian yang dilakukan pesantren saat ini; (3) Menganalisis kompleksitas perubahan pesantren terhadap unsur kelembagaan, SDM, serta nilai universal pesantren dalam mewujudkan keberlanjutan pangan; dan (4) Merancang model transformasi pesantren yang mampu menjadi agen of change secara holistik dengan strategi yang terarah untuk mewujudkan keberlanjutan pangan. Pendekatan soft system

methodology (SSM) digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Pemilihan

obyek penelitian dilakukan secara purposive pada 6 pesantren di 3 kabupaten: (1) Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea - Bogor; (2) Pesantren Asshiddiqiyah 7, Cijeruk - Bogor; (2) Yayasan Pendidikan Islam Al Uzlah, Pacet - Cianjur; (4) Yayasan Pesantren Al Muhajirin Al Musri, Ciranjang - Cianjur; (5) Yasayan Pesantren Al Barkah, Soreang - Bandung; dan (6) Pesantren Al Ittifaq, Ciwidey - Bandung. Analisis data dilakukan dengan metode SAST (Strategic

Assumption Surfacing and Testing) untuk membangun asumsi strategis, ISM

(Interpretive Structural Model) untuk menstrukturkan sistemnya, serta MPE

(6)

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan in depth interview diperoleh keragaan pesantren dikategorikan menurut aspek manajemen, SDM dan tradisi dalam 3 kondisi: baik, sedang, dan kurang. Pesantren dengan kategori baik adalah pesantren yang memiliki: manajemen baik dan jelas, SDM Islami yang berkarakter, konsisten dalam tradisi, bijak dalam memanfaakan dan mengelola SDA, teknologi ramah lingkungan serta memiliki skema dan sumber pembiayaan benar dan jelas.

Asumsi yang diperlukan sebagai persyaratan untuk mendorong keberhasilan perubahan pesantren: (1) memiliki tokoh pemimpin progresif, tidak hanya menjadi leader tetapi juga manajer; (2) nilai pesantren dilembagakan untuk membangun karakter secara individu maupun kolektif; serta (3) memiliki modalitas kuat dalam bentuk lembaga formal yang dapat meningkatkan kapabilitas pesantren untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat. Untuk antisipasi terhadap persoalan transformasi pesantren disyaratkan: (1) perubahan dikelola dengan baik dan (2) memiliki orientasi perubahan pada pertumbuhan hijau. Orientasi dalam pengelolaan sumber daya pesantren perlu dijalankan dengan komitmen bersama, peningkatan kemampuan inovasi, patuh terhadap regulasi, serta menganut pola hidup hemat untuk keberlanjutannya.

Model konseptual dibangun dengan proses peralihan bentuk organisasi dalam sistem transformasi pesantren. Prosesnya dilakukan dengan pengembangan fungsi pesantren untuk mengelola potensi sumber daya pertanian (SDP) guna mewujudkan keberlanjutan pangannya serta didukung kelembagaan pengelola SDP dan budaya organisasinya agar menjadi pesantren ideal yang mampu menerangi kehidupan masyarakat. Berdasarkan proses transformasinya dihasilkan 3 model, yaitu (1) model pembangunan spiritual kolektif yang dilandaskan pada

the deep ecology guna membangun komitmen dengan benar; (2) model

pengelolaan sumber daya pertanian pesantren sebagai proses pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan paradigma keberlanjutan lingkungan dan teologis; (3) model kelembagaan pengelola sumber daya pertanian dengan penguatan kelembagaan ekonomi umat berdasarkan keimanan dan amal saleh yang menciptkan keseimbangan material dan spiritual serta kepentingan individu dan masyarakat.

Strategi implementasi model sebagai tindak lanjut proses transformasi pesantren untuk keberlanjutan pengelolaan sumber daya pertanian dibangun dari pembentukan komitmen, konservasi sumber daya pertanian dan optimalisasi sumber daya pertanian. Berdasarkan hasil analisis MPE diperoleh 5 prioritas strategi, yaitu (1) Pengembangan kompetensi SDM pesantren; (2) Pengkaderan pimpinan pesantren dengan kepemimpinan spiritual; (3) Pengembangan visi-misi pesantren sesuai paradigma baru dalam keberlanjutan pangan; (4) Pengembangan usaha produktif dengan inklusif bisnis; (5) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan fungsinya. Kelima prioritas strategi tersebut sesuai konsep transformasi 4R melalui tahapan renew, restructure, reframe, dan revitalize. Kata kunci: transformasi, pesantren, keberlanjutan pangan, kepemimpinan

(7)

SUMMARY

SEPTALINA PRADINI. Pesantren Transformation Model Toward Foods Sustainability. Supervises by HADI S ALIKODRA, TRI PRANADJI, and HASIM.

Agricultural development problems have been occured becouse of unbalanced natural resources management and human resources (HR) weakness in structure and culture system. That was cause food crisis in Indonesia. The failure of HR development and institution on agriculture sectors also faded agriculture culture and food sustainability. Therefore, it was need HR competency, skill, and spiritual balancing. Human Resource Development is able to be played by religious-based social institutions. One of these institutions is pesantren which has been rooted in the community and have the potential and strength to unite spiritual values in various aspects of community life. In 2013, there are 29 535 pesantren with the number of students is 3,876,696 people. The data show a great potential for people development, including agricultural development. However, pesantren are also facing various internal and external problems of institutional due to the demands of society and modernization. Therefore, pesantren have to change to the future pesantren which superior character: independent, fair, and apply ecological principles in managing their potential. Overall, structured, and continuous change as the process of transformation for pesantren agricultural systems becomes a necessity that can not be avoided anymore. Therefore, transformation model of pesantren is needed to integrate ecological, social and economic change for future pesantren.

The aims of the study: (1) to analyze the performance of schools in terms of aspects of management, human resources, and tradition; (2) to analyze farming systems that do schools today; (3) to analyze the complexity of the changes in pesantren to the institutional element, human resources as well as the universal values of pesantren in realizing food sustainability, and (4) to design pesantren transformation model which is capable to be an agent of change holistically with directional strategies to achieve food sustainability. Soft system methodology (SSM) approach is used in order to achieve the aims. The selection of research objects is using purposively way to six pesantrens in three districts/regions: (1) Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea - Bogor; (2) Pesantren Asshiddiqiyah 7, Cijeruk - Bogor; (2) Yayasan Pendidikan Islam Al Uzlah, Pacet - Cianjur; (4) Yayasan Pesantren Miftahul huda Al Musri, Ciranjang - Cianjur; (5) Yasayan Pesantren Al Barkah, Soreang - Bandung; dan (6) Pesantren Al Ittifaq, Ciwidey - Bandung. The data analysis is using SAST (Strategic Assumption Surfacing and Testing) method to establish a strategic assumption, ISM (Interpretive Structural Model) for structuring the system, and ECP (Exponential Comparative Method) for determining priority in model implementation strategy. Validation of the conceptual model uses face validity method.

(8)

friendly technology, and they own clearly and right financial resources and schema.

Assumptions strategic that are encouraging, which has a progressive prominent leader not only a leader but also the manager, the value of pesantren institutionalized or internalized into pesantren to build the character of both individual and collective, become strong modalities in the form of formal institutions that can enhance the capabilities of pesantren to meet the needs and demands of the society. In addition, the two strategies assumptions are identified to anticipate the issue of the pesantren transformation, they are: the change that is well managed and having orientation on green growth. Orientation in the management of pesantren resources needs to be run with a shared commitment, increased innovation capabilities, obedient to the regulations, and adopting frugal lifestyle to sustainability.

Conceptual model is built with the organizational transition process in the form of pesantren transformation system. The process is carried out by developing the function of pesantren to manage the potential agricultural resources (SDP) in order to achieve its food sustainability as well as institutional support manager SDP and its organizational culture in order to be able to illuminate the ideal pesantren community life. The transformation process produced three models: (1) the collective spiritual development models which is based on the deep ecology in order to build right commitment; (2) the management of pesantren agricultural resources model as the process of managing natural resources in accordance with environmental sustainability and theological paradigms; (3) the institutional agricultural resource management model with community economic institutional strengthening based on faith and good deeds creating material and spiritual balance as well as the individual and society interests.

Model implementation strategy as a follow-up of the pesantren transforming process for the sustainability of agricultural resource management is built on commitment building, conservation of agricultural resources and the optimization of agricultural resources. The MPE analysis results obtained five strategic priorities, namely (1) Development of pesantren human resource competencies; (2) regeneration of pesantren leaders with spiritual leadership; (3) Development of pesantren vision and mission that fit with new paradigm in food sustainability; (4) Development of productive enterprise with business inclusive; (5) The establishment of an organizational structure that is appropriate to its function. These five strategic priorities match to the 4R transformation concept through the steps of renew, restructure, reframe, and revitalize.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

MODEL TRANSFORMASI PESANTREN

DALAM MEWUJUDKAN KEBERLANJUTAN PANGAN

SEPTALINA PRADINI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Drs Didin Hafidhuddin, MS

(Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor)

2. Dr Ir Momon Rusmono, MS

(Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian)

Penguji pada Sidang Promosi: 1. Prof Dr Drs Didin Hafidhuddin, MS

(Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor)

2. Dr Ir Momon Rusmono, MS

(13)
(14)

Judul Disertasi : Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan

Nama : Septalina Pradini

NIM : P062120071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hadi S. Alikodra Ketua

Dr drh Hasim, DEA Anggota

Dr Ir Tri Pranadji, MSi Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup: 10 Januari 2017

Tanggal Sidang Promosi: 31 Januari 2017

Tanggal Lulus: 10 Januari 2017

(15)
(16)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Model Transformasi Pesantren Dalam Mewujudkan Keberlanjutan Pangan” di Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan penulisan disertasi ini bertolak dari pengalaman penulis di lapangan yang menimbulkan suatu kecemasan hingga melalui perenungan dan pencarian yang cukup panjang dan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya kontribusi, pemikiran dan pandangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof Dr Ir Hadi Sukadi Alikodra, MSi; Dr Ir Tri Pranadji, MSi; dan Dr drh Hasim, DEA selaku komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan koreksi, saran, dan arahan dengan penuh kesabaran dan ketulusan mulai penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian serta penyusunan disertasi ini.

Dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Didin Hafidhuddin dan Dr Momon Rusmono selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas dan kedalaman disertasi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Cecep Kusmana selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, seluruh pengajar beserta seluruh karyawan ilmu, bantuan dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan sehingga dapat menyelesaikan dengan baik.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Kementerian Pertanian Republik Indonesia cq Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kepala Pusat Pendidikan, Standardisasi dan Sertifikasi Profesi, Kepala Bagian Perencanaan Sekretariat Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian beserta seluruh staf yang telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada penulis megikuti dan menyelesaikan tugas belajar ini.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan juga kepada KH Abdul Hanan Abbas, Lc pengasuh pesantren Darul Fallah Bogor, Gus Yajid pengasuh pesantren Asshiddiqiyah 7 Bogor, KH Aceng Yajid pengasuh pesantren Al Uzlah Cianjur, KH Syaeful Uyun, Lc pengasuh pesantren Miftahul Huda Al Musri Cianjur, H Najib Fauzy pengasuh pesantren Al Barkah Bandung, KH Fuad Affandi sesepuh dan pengasuh pesantren Al Ittifaq Bandung, beserta seluruh masyarakat pesantren masing-masing yang telah banyak memberikan kesempatan dan meluangkan waktu bagi penulis melakukan pengambilan data selama penelitian sekaligus memperkaya wawasan dan memahami kehidupan pesantren.

(17)

Hadist Bogor), Dr Suhendra selaku Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor beserta seluruh staf Sub Dinas Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bogor beserta seluruh staf Sub Dinas Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (khususnya Bapak Zainal Abidin); Ir Nursyamsu M, MSi (Direktur PT Daffa Agrotek); Dr Ir Rimun Wibowo (SIT Insan Tama Bogor).

Terima kasih tak terhingga kepada Ir Andi Sumarga, MSc untuk penggalian ide, kristalisasi pemikiran serta lecutan semangat dari awal pendidikan hingga penyusunan. Terima kasih tak terhingga disampaikan juga kepada Ir Sugiyono, MSi (Centre for System) atas komitmennya serta untuk seluruh waktu, tenaga, pikiran, dan diskusi-diskusi panjang dalam mendampingi penulis selama penelitian hingga tersusunnya disertasi ini dengan penuh kesabaran dan ketulusan, serta Dedi Kurniawan, SS MPd atas kesediaan alih bahasa naskah ringkasan disertasi dan jurnal internasional.

Penghargaan yang tinggi dan terima kasih tak terhingga kepada orang tua penulis yang selalu mendoakan, berjasa membesarkan dan memberikan bekal semangat, Ayahanda Bambang Supriyanto, SH (alm) dan Ibunda Hajjah Titit Kartini, SH, Ibunda Hajjah Supartin (alm), semua kakak dan adek dan keluarga besar Hadi Soeparto. Studi saya ini juga mendapat dukungan dan semangat tiada henti dengan penuh kasih sayang dari suami Mochamad Akur Arifin, SPi; ananda Mochamad Hafidz Putra Fajar dan Mochamad Hanif Muhandis.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis sampaikan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan balasan yang lebih baik.

Tiada kesempurnaan melainkan kesempurnaan-Nya. Saran dan koreksi senantiasa diperhatikan sebagai landasan penyempurnaan disertasi ini.

Bogor, Januari 2017

(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xv

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1. PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Kebaruan Penelitian 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Pesantren 9

Konsep Transformasi 13

Keberlanjutan Pangan 15

Pembangunan Berkelanjutan 20

Pendekatan Sistem 22

Posisi Penelitian 32

3. METODE PENELITIAN 34

Kerangka Pemikiran 34

Lokasi dan Waktu Penelitian 39

Pengumpulan Data dan Informasi 39

Analisis Data 40

Pemodelan Sistem 45

Validasi Model 48

4. ANALISIS SITUASIONAL 49

Sejarah dan Perkembangan Pesantren 49

Kebijakan Pemerintah Terkait Pesantren, Pertanian dan Lingkungan 54 Keragaan Pesantren Berdasarkan Aspek Manajemen, SDM, dan Tradisi 58

Keragaan Sistem Pertanian Pesantren 88

Berdasarkan Faktor Lahan, Teknololgi, dan Pembiayaan 88

Situasi Proses Transformasi Pesantren 102

Persoalan Perubahan Pesantren 105

5. PEMODELAN SISTEM TRANSFORMASI 108

Analisis Sistem Transformasi 108

Asumsi Strategis 113

(19)

6. MODEL TRANSFORMASI PESANTREN 125

Model Proses Transformasi Pesantren 128

Sub-model Pembangunan Spiritual Kolektif 131

Sub-model Pengelolaan Sumber Daya Pertanian 134

Sub-model Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian 139

Validasi Model 141

Strategi Implementasi Model 142

Implikasi Model 150

7. SIMPULAN DAN SARAN 153

Simpulan 153

Saran 154

DAFTAR PUSTAKA 155

LAMPIRAN 162

(20)

DAFTAR GAMBAR

1. Rumusan permasalahan dalam penelitian 6

2. Siklus proses transformasi 15

3. Proses pembelajaran soft systems methodology 24

4. CS-Protokol aplikasi SOSM 26

12. Skematik aturan logik penyusunan PAM 47

13. Validasi dalam pemodelan sistem 48

14. Visi dan program pesantren contoh 61

15. Faktor pengendalian pesantren contoh 66

16. Peran dan fungsi personal pesantren contoh 69

17. Faktor kepemimpinan berdasarkan dimensi keteladanan pesantren contoh 72 18. Faktor kompetensi SDM dari dimensi spiritual pesantren contoh 74 19. Faktor kompetensi SDM dari dimensi kemampuan emosional pesanten contoh 76 20. Faktor kompetensi SDM dari dimensi kemampuan intelektual pesanten contoh 78

21. Kondisi infrastruktur pesantren contoh 78

22. Faktor etika dari dimensi tata nilai pesantren contoh 82

23. Faktor etika dari dimensi aturan pesantren contoh 83

24. Faktor etika dari dimensi kebiasaan pesantren contoh 84

25. Kondisi faktor lahan pesantren contoh 89

26. Kondisi sumber daya air pesantren contoh 91

27. Kondisi komoditas pertanian pesantren contoh 93

28. Siklus proses transformasi pesantren contoh 103

29. Rich picture kompleksitas keterkaitan pesantren 111

30. Diagram purposeful activity model transformasi pesantren 112

31. Kuadran asumsi strategis 114

32. Elemen sistem yang dikembangkan 116

33. Diagram (a) driver power-dependence, (b) struktur hirarki elemen tujuan 117 34. Diagram (a) driver power-dependence, (b) struktur hirarki elemen kebutuhan 118 35. Diagram (a) driver power-dependence, (b) struktur hirarki elemen kendala

utama 120

36. Diagram (a) driver power-dependence, (b) struktur hirarki elemen perubahan

yang dimungkinkan 122

37. Diagram (a) driver power-dependence, (b) struktur hirarki elemen lembaga

yang terkait 123

38. Diagram venn konsep transformasi pesantren dalam keberlanjutan pangan 128

39. Tahapan transformasi pesantren 129

40. Model proses membangun spiritual kolektif 132

41. Model pengelolaan sumber daya pertanian (SDP) 135

42. Model kelembagaan pengelolaan sumber daya pertanian 139 43. Diagram IOM (a) komitmen pesantren; (b) konservasi sumber daya pertanian

(21)

DAFTAR TABEL

1. Aspek pembelajaran deduktif dan induktif 26

2. Keterkaitan antar sub-elemen pada teknik ISM 28

3. Matriks penilaian alternatif strategi 45

4. Perkembangan jumlah pesantren dan santri 53

5. Jumlah pesantren di Jawa tahun 2012/2013 54

6. Keunggulan sistem pesantren 87

7. Keunggulan sistem pertanian 102

8. Asumsi-asumsi transformasi pesantren 113

9. Arah Transformasi Pesantren menuju Keberlanjutan Pangan 142 10. Prioritas strategi implementasi model transformasi 145

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner analisis situasional 163

2. Kuesioner proses transformasi pesantren 183

3. Kuesioner penilaian asumsi dan struktur model 186

4. Kuesioner penentuan prioritas strategi dengan MPE 199

5. Hasil analisis SAST untuk penentuan asumsi strategis 207 6. VAXO, matrik initial reachability dan final untuk elemen tujuan 208 7. VAXO, matrik initial reachability dan final untuk elemen kebutuhan 209 8. VAXO, matrik initial reachability dan final untuk elemen kendala utama 210 9. VAXO, matrik initial reachability dan final untuk elemen perubahan yang

dimungkinkan 211

10. VAXO, matrik initial reachability dan final untuk elemen lembaga yang terkait 212 11. Hasil penetapan prioritas strategi implementasi model 213

12. Foto kondisi pesantren contoh 214

(22)

1.

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pangan menjadi kebutuhan pokok yang turut menentukan keberlangsungan hidup manusia. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam pasal 25 Declaration Of

Human Right tahun 1948 dan Undang Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Dalam

undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pangan mencakup makanan dan minuman yang berasal dari hasil-hasil usaha pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan) untuk memenuhi kebutuhan gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

Terkait dengan kewajiban negara dalam pemenuhan pangan sebagai kebutuhan dasar masyarakat, peran dan kebijakan pemerintah akan penyediaan dan penjaminan keberlanjutan pangan menjadi sangat penting. Indonesia telah meluncurkan kebijakan pembangunan nasional sektor pertanian tentang pencapaian ketahanan pangan sejak tahun 2009. Dalam penyelenggaraannya pemerintah menerapkan prinsip manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan berbasis kemandirian, kedaulatan, dan ketahanan pangan. Pangan harus tersedia sepanjang waktu sehingga dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankan keberlanjutan pangan.

Pertanian menjadi pabrik alami yang menghasilkan produk-produk bahan pangan yang sangat dibutuhkan manusia. Penyelenggaraan pangan berhubungan erat dengan produktivitas pertanian. Produktivitas pertanian memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi. Banyak hal yang saling terkait dan mempengaruhi produkvitas pertanian, terutama sumber daya. Faktor-faktor sumber daya tersebut meliputi sumber daya alam (SDA) termasuk lahan, air, iklim, sumber daya sarana produksi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaku usahatani. Faktor-faktor sumber daya tersebut saling berinteraksi dalam menentukan dinamika produkvitas pertanian (Muksin 2014).

Penyediaan pangan untuk masyarakat Indonesia akan terus menghadapi kendala yang mengarah pada terjadinya krisis pangan. Krisis pangan di Indonesia didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan atau pasokan pangan tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan terhadap pangan. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek-aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah, sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat. Dengan kata lain bahwa pertumbuhan permintaan pangan lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya (Kementan & PSP3 2015). Peningkatan permintaan yang semakin melaju tersebut merupakan hasil dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli dan perubahan selera masyarakat (Kementan & PSP3 2015).

(23)

kompetensi SDM pertanian dan lemahnya kelembagaan pengelola pertanian menyebabkan pudarnya aktivitas pertanian, yang dapat mengakibatkan impor pangan. Persoalan kelembagaan petani selama ini disebabkan adanya intervensi pemerintah yang menyebabkan tumbuhnya sikap pasif sehingga kelompok tani cenderung lebih kepada fungsi administratif dan menjalankan program pemerintah; karakter kepemimpinan lemah dan tidak berminat menjadi pengurus; serta keanggotaan berdasarkan lahan dan tempat tinggal (Syahyuti et al. 2015). Bila terus berlanjut kondisi ini tentu berdampak pada semakin terpuruknya sektor pertanian terhadap kemampuan produksi pangan dalam negeri.

Untuk mencegah sektor pertanian yang semakin terpuruk dan krisis pangan, seluruh pihak terkait harus bangkit untuk melakukan perubahan menjalin, mendudukan perannya dan berkomitmen kuat untuk bersama-sama memperbaiki kondisi pertanian. Dalam hal ini, tidak cukup hanya meluncurkan kebijakan dan program-program pembangunan sektor pertanian, akan tetapi perlu ditekankan pada pengembangan dan penguatan SDM yang terlibat di dalamnya. Pembangunan SDM ini perlu dilakukan secara utuh dan terus menerus. SDM yang dibutuhkan harus memiliki kompeten dalam berbagai keterampilan hidup, serta mampu menggabungkan nilai spiritual dengan kompetensi yang dimiliki dalam kehidupan. Bahkan kompetensi ini seharusnya dibangun di atas fondasi pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai sprititual dan agama yang kuat. Agama seharusnya menjadi dasar dan sumber motivasi berbagai kegiatan duniawi.

Indonesia memiliki 87.18 persen penduduk beragama Islam dan 29 535 pesantren sebagai lembaga pendidikan pembangun karakter generasi muda. Islam sebagai agama

Rahmatan lil alamin tidak memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Pemahaman

spiritual yang tinggi akan tercermin pada perilaku dan aktivitas di dunia. Pesantren menjadi contoh lembaga yang menyatukan ketaatan beragama dengan aktivitas ekonomi khususnya pertanian. Pesantren menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk mempertahankan budaya dan menggerakkan pembangunan pertanian.

Pesantren salah satu bentuk lembaga sosial yang telah hidup dan berkembang menyebar di tengah masyarakat Indonesia. Pesantren dengan sistem dan karakter tersendiri memegang nilai luhur, norma (Supardi 1994; Duff & Bull 2011), perilaku mental tinggi dan prinsip kuat yang diterapkan membangun sistem pertanian nasional. Masyarakat umum mengenal pesantren sebagai institusi yang mengajarkan dan menjalankan nilai-nilai agama secara detil, khusus dan intensif. Tidak banyak masyarakat luas melihat sisi lain yang positif dari lembaga keagamaan ini. Selain belajar agama, mayoritas pesantren menjalankan aktivitas pertanian untuk penghidupannya. Disadari atau tidak, banyak di antara mereka telah berkiprah dalam pembangunan dan bergerak melakukan pembaharuan bagi masyarakat sekitar, terutama keterlibatan dalam membangun sektor pertanian Indonesia.

Sepanjang perjalanan sejarah, pesantren mengalami perubahan fungsi sesuai tuntutan jamannya pada saat itu, bukan saja sebagai lembaga pendidikan dan penyairan agama. Perubahan pesantren bukan hanya terjadi pada sistem pendidikan, melainkan juga melakukan proses transformasi dalam bidang ekonomi, sosia, dan budaya. Semangat pesantren melakukan pengembangan dan penyesuaian menyebabkan keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan diakui di tengah masyarakat.

(24)

ekonomi. Lahan-lahan produktif pesantren sering dipertaruhkan untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu, sifat kharismatik kepemimpinan seorang kiai menjadikannya cenderung lemah dalam kaderisasi pemimpin.

Oleh karena itu, kekuatan besar pesantren masih belum menunjukkan perkembangan dengan baik terutama di sektor pertanian. Selain hal di atas, penyebab pesantren belum berkembang secara baik dalam hal ini dilihat dari 3 sudut pandang.

Pertama, aspek yang bersifat materi pendukung yang dimiliki pesantren masih lemah. Sumber daya alam yang menjadi salah satu modal utama pertanian banyak mengalami kerusakan dan degradasi. Sarana dan prasana produksi serta infrastruktur penunjang usaha pertanian umumnya masih belum memadai, baik dalam jumlah maupun kualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi yang pesat belum dapat diserap sepenuhnya oleh pesantren. Upaya untuk menjalin kemitraan dan meluaskan jaringan pasar menjadi kelemahan yang banyak dirasakan pihak pesantren dan organisasi petani lainnya. Demikian pula, akses pada sumber permodalan juga menjadi kelemahan dalam meningkatkan usaha pertanian pesantren. Kedua, aspek yang bersifat non material yang mendukung pesantren masih lemah. SDM yang dimiliki belum cukup baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini terlihat dari sistem nilai (moral) cenderung hanya dilaksanakan oleh orang-orang tertentu dalam hal ini tokoh pemimpin pesantren. Adapun anggota atau santri cenderung bersifat pasif, yaitu tunduk dan mengikuti perintah-perintah para pemimpin. Dapat dikatakan bahwa penerapan sistem nilai dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari masih bersifat individu belum diterapkan secara kolektif – secara bersama-sama di antara seluruh SDM pesantren. Tidak dipungkiri bahwa setiap individu pesantren memiliki tingkat keshalihan di atas masyarakat pada umumnya, keshalihan ini cenderung bersifat untuk diri sendiri. Di samping itu, SDM yang terlibat dalam pesantren umumnya belum memiliki keterampilan dan kompetensi di luar bidang spiritual dan keagamaan yang memadai. Umumnya kepemimpinan pesantren belum bersifat progresif. Kepemimpinan persantren mayoritas tergantung hanya pada satu orang pemimpin yang bersifat aktif, sedangkan anggota lain dan santri terkesan bersifat pasif dalam menerima semua nilai, norma dan peraturan yang telah berlaku di pesantren. Ketiga, kapasitas organisasi pesantren masih lemah. Sebagian besar usaha pertanian pesantren belum menerapkan sistem manajemen yang sepenuhnya rasional dan profesional. Pesantren tidak didukung dengan kerangka kerja yang kuat dan sistematik, terutama dalam pengelolaan lahan dan sumber daya lokal lainnya secara kompetitif dan berkelanjutan (Pranadji 2011).

Sebagai akibat belum berkembangnya pesantren dengan baik menyebabkan produktivitas usaha belum mampu meningkat bahkan mungkin mengalami stagnasi. Lebih jauh lagi, usaha pertanian yang dijalankan selama ini cenderung belum ramah lingkungan karena pesantren belum memahami benar tentang prinsip-prinsip konservasi. Dengan kondisi seperti sekarang, pesantren dapat dipastikan tidak akan berdaya saing dengan lembaga lain. Daya saing ini tidak hanya di tingkat produk, namun juga manusia dan organisasinya.

(25)

Untuk mewujudkan pesantren ideal dengan karakter unggul, pesantren perlu melakukan perubahan secara menyeluruh dan terus menerus. Perubahan pada dasarnya mengarah pada perbaikan dan peningkatan kapasitas organisasi untuk mampu menghadapi dinamika lingkungan (Robbins 2006). Faktor pendorong perubahan ekstern berupa teknologi dan ekonomi serta faktor intern organisasi mencakup perubahan struktural (hard system tools) dan kultural (soft system tools) (Sobirin 2005). Umumnya organisasi hanya melakukan perubahan struktural dan cenderung kurang memperhatikan faktor ekstern dan kultural sehingga perubahan yang dilakukan kurang efektif.

Dalam rangka keberlanjutan penyediaan pangan di pesantren sangat diperlukan perubahan yang direncanakan secara baik dan terstruktur dengan memperhatikan aspek ekstern dan intern. Hal tersebut yang menjadikan pesantren memiliki keunikan untuk diteliti secara terpadu dan komprehensif. Dengan mendisain sebuah perubahan yang menyatukan sistem pesantren berbasis keshalihan spiritual dengan aktivitas pertanian dalam penyediaan pangan. Pertanian dilakukan sebagai refleksi ketaatan beragama akan mampu memperbaiki sistem pertanian yang semakin terpuruk. Dengan perubahan ini pula diharapkan pesantren memiliki kepemimpinan yang mampu diteladani, melakukan sosialisasi, internalisasi dan konstitualisasi nilai-nilai yang dimiliki untuk pengelolaan pangan. Secara kolektif, perubahan ini diharapkan mampu membawa pesantren mencapai kehidupan yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan dan hidup harmonis bersama alam. Transformasi pesantren diarahkan mampu mengembangkan kelembagaan pengelola pangan yang berbasis nilai, ekologis dan keshalehan sosial. Akhirnya, setelah melakukan transformasi, lembaga tadi dapat menjadi kekuatan utuh mewujudkan keberlanjutan pangan.

Keberlanjutan pangan mengandung makna kondisi yang menggambarkan seluruh sumber daya (SDA, SDM, fisik) pendukung pangan yang dimiliki pesantren tidak berkurang, sehingga masyarakat dapat mendapatkan manfaatnya sepanjang waktu dan konsumsinya tidak menurun sepanjang waktu. Keberlanjutan tersebut mencakup dimensi waktu dan interaksi antar aspek (Fauzy 2006). Keberlanjutan pangan juga mencakup kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan. Kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan intepretasi dari keberlanjutan SDM pertanian. Ketahanan pangan merupakan perwujudan dari keberlanjutan faktor-faktor pendukung produksi pangan.

Perumusan Masalah

Ketidakberhasilan SDM dan kelembagaan yang terlibat pada sektor pertanian di perdesaan ini dapat menyebabkan pudarnya aktivitas pertanian yang berdampak pada krisis pangan. Sementara itu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan budaya pertaniannya secara turun menurun. Dengan demikian, sangat dibutuhkan suatu institusi yang ditopang oleh SDM berkualitas yang mampu mempertahankan dan melestarikan budaya pertanian. Tujuannya agar penyediaan pangan tetap berlanjut selama manusia hidup di bumi. Pesantren menjadi pilihan alternatif pada saat kelembagaan yang bergerak di sektor pertanian belum tangguh menjalankan peran dan fungsinya.

(26)

Pesantren dalam melaksanakan kegiatan agribisnisnya dapat berupa pengelolaan usahatani tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura, perikanan dan peternakan, serta dapat mengikutsertakan beberapa santrinya yang dianggap mampu untuk ikut mengelola kegiatan agribisnis. Manfaatnya bagi para santri, selain mendapatkan ilmu yang berharga mengenai usaha pertanian untuk bekal masa depannya juga para santri tersebut dibebaskan dari biaya pendidikan bahkan menerima uang saku (Hadi 2000).

Pesantren merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kiai dibantu ustaz, berdomisili bersama santri dengan masjid sebagai pusat aktivitas belajar mengajar, serta pondok (asrama) sebagai tempat tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga (Mastuhu 1994; Duff & Bull 2011). Nilai dan norma agama yang dimiliki pesantren menjadi bagian penting dalam pembangunan masyarakat dan umumnya berada di perdesaan (Supardi 1994; Duff & Bull 2011). Pesantren juga didukung oleh SDA, seperti lahan dan air, prasana dan sarana; nilai-nilai religi dan spiritual yang mendasari aktivitas sehari-hari serta SDM termasuk kepemimpinan. Nilai kemandirian, kesederhanaan, dan kebersamaan diwujudkan secara nyata dalam pemenuhan kebutuhan pangan pesantren melalui tradisi bercocok tanam dan berternak. Akan tetapi, tradisi pertanian ini mulai menipis sejalan dengan semakin lajunya pembangunan, terutama jika belum dikelola dengan maksimal.

Persoalan yang dihadapi pesantren yang memiliki kegiatan pertanian ternyata tidak sederhana, ditinjau dari berbagai aspek diantaranya bio-fisik, struktural dan kultural. Pesantren menghadapi 3 persoalan: SDA, sistem nilai, dan organisasi. Tersedianya potensi baik SDM maupun SDA-nya belum ditunjang oleh daya dukung perilaku manajemen agribisnis yang andal (Isnawati 2007). Pemanfaatan SDA pesantren contoh dihadapkan pada status kepemilikan lahan yang belum kuat (masih milik pengelola atau pengurus pesantren). Terkait fungsinya terdapat persoalan manajemen tradisional yang belum profesional dan rasional (Pranadji 2011). Nurkhamidi (2010) melihat penyebabnya karena kreativitas pengelola yang rendah, tidak ada komunikasi terhadap persoalan pesantren, belum ada kemitraan, serta program pemerintah yang belum berjalan. Pesantren juga menghadapi persoalan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kelangsungan aktivitas serta masyarakat sekitarnya. Selain itu, pola pangan utama di pesantren kurang variatif dan gizi kurang seimbang (Hermina et al. 1996). Menghadapi kondisi demikian, pesantren tidak dapat berjalan sendiri, apalagi peran strategisnya menjadi pendorong para pihak untuk bersinergi dalam kekuatan dan kemandiriannya agar tercapai keberlanjutan pangan di pesantren dengan harmonis.

(27)

Dengan pendekatan kesisteman yang merupakan meta-konsep atau meta-disiplin dari keseluruhan disiplin ilmu dapat dipadukan untuk mencapai tujuan (Gigh 1993; Carvayal 1992). Berpikir sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, sehingga kompleksitas persoalan yang ada dapat diformulasikan dalam suatu kerangka pikir baru untuk mencapai tujuan dari perubahan. Proses mentransformasikan potensi pesantren menjadi pesantren sebagai agen pemberdayaan umat dilakukan dengan menggabungkan SDM pesantren dengan alam pertanian. Selanjutnya diperlukan upaya-upaya strategis untuk menghasilkan SDM andal, yang responsif terhadap perkembangan jaman, tuntuntan kebutuhan serta persoalan sosial budaya di tengah-tengah masyarakat.

Permasalahan yang akan diuraikan dalam penelitian ini antara lain menyangkut indikator, elemen, dan hal-hal yang terkait dengan pengembangan pesantren secara ideal untuk menghasilkan pangan sebagai produk aktivitas pertanian. Keberlanjutan pangan menjadi salah satu implementasi konsep pembangunan berkelanjutan yang dibangun berdasarkan pilar ekonomi, sosial, dan ekologi juga aspek budaya dan etika.

Untuk lebih mengarahkan penelitian dalam merancang model transformasi pesantren mencapai keberlanjutan pangan dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Nilai-nilai positif apa saja yang diterapkan dan dapat dikembangkan pada setiap aktivitas pesantren?

(2) Bagaimana pesantren menjalankan aktivitas pertaniannya?

(3) Bagaimana proses perubahan pesantren untuk memperkuat sistem pertanian dengan menerapkan keunggulan-keunggulannya?

(4) Bagaimana pesantren dapat menjadi agent of change secara holistik dengan strategi terarah untuk mewujudkan keberlanjutan pangan?

Alur pikir permasalahan penelitian secara ringkas ditampilkan pada Gambar 1.

(28)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model transformasi pesantren dan strategi implementasinya berbasis nilai spiritual, ekologis, dan keshalihan sosial untuk mewujudkan keberlanjutan pangan. Tujuan penelitian tersebut dijabarkan dalam rincian sebagai berikut:

(1). Menganalisis keragaan pesantren ditinjau dari aspek manajemen, SDM dan tradisi guna merespon kondisi pertanian dan lingkungan di era global

(2). Menganalisis sistem pertanian yang dilakukan pesantren saat ini

(3). Menganalisis kompleksitas perubahan pesantren terhadap unsur kelembagaan, sumber daya manusia serta nilai universal pesantren dalam mewujudkan keberlanjutan pangan

(4). Merancang model transformasi pesantren yang mampu menjadi agen of change

secara holistik dengan strategi yang terarah untuk mewujudkan keberlanjutan pangan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

(1). Memberikan pemahaman kepada stakeholders pentingnya membangun, memperkuat dan mengembangkan lembaga sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat terutama pesantren dalam bersama-sama mewujudkan keberlanjutan pangan;

(2). Memberikan masukan kepada stakeholders tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan, penguatan dan pengembangan pesantren untuk mampu menjadi lembaga yang mandiri;

(3). Merekomendasikan model pesantren yang mampu berfungsi sebagai agent of change dengan menerapkan prinsip-prinsip tradisi pesantren dalam pembangunan pertanian, khususnya untuk mewujudkan suatu kondisi berkelanjutan pangan; dan (4). Mengembangkan keilmuwan di bidang lingkungan hidup dalam kerangka

pembangunan pertanian berkelanjutan.

Kebaruan Penelitian

Penelitian dengan obyek pesantren sebagai lembaga pendidikan telah dilakukan di berbagai Institut Agama Islam, perguruan tinggi kependidikan maupun lembaga-lembaga penelitian pendidikan tinggi dan kementerian. Namun penelitian pesantren sebagai suatu entitas atau komunitas relatif belum digali lebih mendalam. Keungulan pesantren sebagai sebuah lembaga dengan nilai spiritual yang tinggi juga belum menjadi perhatian pihak-pihak terkait. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mentransformasikan sumber daya pesantren secara keseluruhan untuk mendukung pembangunan pertanian.

(29)

Oleh karena itu, menggunakan pendekatan sistem dan logical thinking process dalam penelitian ini serta penerapan proses perubahan pesantren dengan konsep Transformasi 4R, dapat diperoleh kebaruan, yaitu proses transformasi pesantren dengan memadukan sistem pesantren dan sistem pertanian yang diintegrasi dalam dimensi biofisik, struktural dan kultural untuk mewujudkan keberlanjutan pangan. Kunci transformasi berdasarkan nilai-nilai spiritual untuk mewujudkan pesantren dengan karakter mandiri, adil dan ekologis yang menghasilkan etos kerja tinggi. Ini menunjukkan bentuk totalitas ibadah dan peran nyata pesantren dalam membangun peradaban Islami serta mewujudkan keberlanjutan pangan.

(30)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Pesantren

Pengertian pesantren

Pesantren merupakan lembaga dan wahana pendidikan agama sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji” ilmu agama Islam. Pesantren sebagai lembaga tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Madjid 1997) sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13-17 M, dan di Jawa pada abad ke 15-16 M (Mastuhu 1994). Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kiai dan dibantu oleh ustaz yang berdomisili bersama-sama santri dengan masjid sebagai pusat aktivitas belajar mengajar, serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga (Mastuhu 1994, Dhofier 2011). Secara sederhana pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam berasrama, dimana masjid menjadi pusat kegiatan dan kiai sebagai figur sentral. Pembahasan mengenai pesantren tidak hanya hitam dan putih sebuah lembaga pendidikan, tetapi juga membahas akar filosofi pesantren, roh jihadnya, keilmuan, lingkunga, sistem pendidikan, manajemen SDM, sampai kemandiriannya (Okky 2013).

Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat imbuhan “pe” dan akhiran “an” yang tertulis “pesantrian” dan untuk memudahkan penyebutannya diucapkan “pesantren”. Santri berasal dari kata “sastri” (bahasa Hindu) artinya “ahli kitab suci agama

Hindu” dengan asimilasi bahasa ke-Indonesiaan dan untuk membedakan pengertiannya maka dikatakanlah “santri” artinya “ahli kitab suci agama Islam” yang secara terminologis adalah “orang yang fokus belajar tentang ilmu pengetahuan agama Islam” (Mastuhu 1994, Depag 2004). Orang yang fokus belajar, dia harus konsen sehingga santri mutlak memiliki pondok, mesjid, dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual. Inilah ciri khas pesantren sekaligus membedakan-nya dengan lembaga pendidikan Islam lainnya.

Terlepas dari asal kata pesantren, yang jelas ciri-ciri umum keseluruhan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, sebagai warisan budaya bangsa yang terus berkembang. Bahkan pada saat memasuki millennium ketiga ini menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia (Dhofier 2011).

Mastuhu (1994) menyebutkan belum ada rumusan secara tertulis mengenai pesantren. Dari hasil penelitiannya terhadap 6 pesantren, Mastuhu merumuskan bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhitmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, menjadi pelayan masyarakat yang mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, meyebarkan agama atau menegakkan Islam dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia (Mastuhu 1994).

Elemen-elemen pesantren

(31)

sumber belajar (kitab, buku, cara belajar yang mencakup metode bandongan, sorongan, halaqah, dan menghafal), dan evaluasi belajar mengajar (Mastuhu 1994; Dhofier 2011).

Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pesantren. Kiai seringkali sebagai pendiri pesantren. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan pesantren semata-mata tergantung pada kemampuan pribadi sang kiai. Kebanyakan kiai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil dimana kiai sebagai sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority). Tidak seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kiai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kiai lain yang lebih besar pengaruhnya. Meskipun kebanyakan kiai tinggal di perdesaan, namun mereka dianggap dan menganggap diri memiliki posisi atau kedudukan yang menonjol baik tingkat lokal maupun nasional. Dengan demikian, mereka merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga soal-soal politik (Dhofier 2011).

Untuk menjadi seorang kiai, seorang calon harus berusaha keras melalui jenjang bertahap. Pertama, ia biasanya merupakan anggota keluarga kiai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berbagai pesantren, kiai pembimbingnya yang terakhir akan melatih mendirikan pesantrenya sendiri. Campur tangan kiai biasanya lebih banyak lagi, antara lain calon kiai dicarikan jodoh, dan diberikan didikan istimewa agar menggunakan waktu terakhirnya di pesantren khusus untuk mengembangkan bakat kepemimpinannya. Masyarakat biasanya mengharap seorang kiai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, kiai akan semakin dikagumi.

Menurut tradisi, santri terdiri atas 2 golongan, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim merupakan murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri kalong adalah murid yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Dhofier (2011) menguraikan alasan seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren karena berbagai alasan, antara lain: ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren; ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal; serta ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kegiatan sehari-hari di rumah keluarganya.

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Para kiai menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, menanamkan kedisiplinan santri, terutama dalam praktek sholat 5 waktu, khutbah, sholat Jumat dan pengajaran kitab-kitab klasik (Dhofier 2011). Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya diawali dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya.

(32)

(1). Kemasyuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuan tentang Islam menarik santri-santri dari berbagai wilayah untuk datang dan menetap di dekat kediaman kiai dalam waktu yang lama

(2). Hampir semua pesantren berlokasi di perdesaan, yang tidak tersedia bangunan kost-kostan untuk menampung santri

(3). Ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, santri menganggap seorang kiai sebagai bapaknya sendiri, sedang kiai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.

Pentingnya pondok tergantung kepada jumlah santri yang menetap. Bagi pesantren besar, pondok terdiri atas beberapa blok tempat tinggal yang terorganisir ke dalam kelompok bagian. Santri tidak diijinkan untuk tinggal di luar komplek pesantren kecuali bagi santri yang berasal dari lingkungan sekitar. Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana.

Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Sekarang, kitab-kitab klasik yang diajarkan pesantren digolongkan ke dalam 8 kelompok jenis pengetahuan: (1) nahwu (syntax) dan shorof (morfologi); (2) fiqh; (3) usul fiqh; (4) hadist; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf dan etika; serta (8) cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal. Semuanya digolongkan ke dalam 3 tingkatan, yaitu kitab dasar, tingkat menengah dan tingkat tinggi (Dhofier 2011).

Nilai-nilai yang mendasari pesantren dapat digolongkan menjadi 2 kelompok: (1) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, bercorak fikih-susfistik, berorientasi pada kehidupan ukhrawi; dan (2) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari menurut hukum agama. Kedua kelompok ini memiliki hubungan vertikal. Kelompok pertama superior di atas kelompok nilai kedua, dan nilai kedua tidak boleh bertentangan dengan kelompok nilai pertama. Dalam hal ini, kiai menjaga kelompok nilai pertama, sedangkan ustaz dan santri menjaga kelompok nilai kedua. Hal inilah yang menjadi alasan kiai memiliki kekuasaan mutlak di pesantren (Mastuhu 1994).

Karakter Pesantren

Pesantren menganut sistem pendekatan holistik, artinya para pengasuh pesantren memandang bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari. Bagi warga pesantren, belajar di pesantren tidak mengenal hitungan waktu. Dalam pandangan mereka, setiap peristiwa yang terjadi merupakan bagian dari keseluruhan dan selalu berhubungan satu dengan yang lainnya dan akhirnya pasti bertemu pada kebenaran Tuhan (Mastuhu 1994).

Sejak awal berdirinya, filosofi pesantren adalah medan perang, medan pelatihan dan pencetak generasi pejuang bukan sebuah kenikmatan apalagi fasilitas duniawi. Kiai tidak memungut biaya pendidikan bahkan awalnya kiailah yang menghidupi santri. Kiai tidak pernah memanggil santrinya untuk datang, tidak pernah menawarkan fasilitas pesantren. Sebagaimana diuraikan oleh Okky (2013):

(33)

rumah kiai pun tidak mencukupi lagi untuk menampung mereka. Untuk itu atas inisiatif para santri sendiri, mereka mendirikan pemodokan di sekitar rumah kiai sebagai fasilitas pendidikan mereka sendiri.”

Dhofier (2011) menjelaskan bahwa banyak bukti menunjukkan perjuangan keras kiai dari bawah untuk mengembangkan pesantrennya, dan hanya kemudian mereka menjadi kaya. Dengan kata lain, proses atau jalan bagi pesantren untuk dapat memiliki sumber-sumber kekayaan yang cukup tidak hanya satu. Okky (2013) menambahkan kiai tidak akan pernah hanya memikirkan dunia. Akan tetapi kiai boleh saja kaya dengan syarat pesantren yang dikelolanya lebih kaya lagi untuk memajukan umat. Sebab fungsi pesantren adalah lembaga “mundzirul qaum” (pemberi peringatan kepada kaumnya). Fasilitas diberikan

setelah adanya kuantitas yang berkualitas. Dengan begitu untuk mendukung kehidupannya menurut Okky (20113), pesantren boleh mempunyai unit usaha ekonomi. Pesantren harus memiliki koperasi, punya perkebunan, lahan pertanian, peternakan, ataupun basis-basis ekonomi lainnya. Tapi semua itu bukan untuk kepentingan kiai pribadi melainkan untuk kemandirian pesantren.

Etik ekonomi para kiai meyakini bahwa kekayaan semata-mata milik Allah, yang dipegang oleh manusia itu adalah sebagai “amanat” (titipan) dari Allah. Kekayaan hanya boleh dibelanjakan hanya untuk kepentingan keagamaan. Dengan demikian para kiai beranggapan bahwa kekayaan tidak boleh dibelanjakan semata-mata hanya untuk kepuasan fisik (Dhofier 2013).

Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama dan tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Fikih adalah ilmu umum, karena dengan itu seharusnya santri bermuammallah. Matematika juga ilmu agama, karena dengan itu manusia tahu perhitungan tahun untuk penentuan waktu ibadah.

Sesuai dengan tujuan pesantren dan pendekatan holistik yang digunakan, serta fungsinya sebagai lembaga pendidikan, sosial dan agama, pesantren menganut prinsip-prinsip sebagai berikut (Mastuhu 1994):

(1) Theocentric, prinsip yang berpadangan bahwa semua kejadian berasal,

berproses, dan kembali kepada kebenaran Tuhan, semua kegiatan dan aktivitas merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan;

(2) Sukarela dan mengabdi, semua kegiatan sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga penyelengaraan pesantren dilaksanakan secara sukarela dan mengabdi kepada sesama dalam rangka mengabdi kepada Tuhan;

(3) Kearifan, bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama;

(4) Kesederhanaan, identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional dan tidak tinggi hati, dalam kehidupan sehari-hari sederhana dalam bertutur kata dan wajar dalam penampilan;

(5) Kolektivitas, menekankan kebersamaan dari pada individual, dengan memegang nilai: dalam hal hak orang mendahulukan kepentingan orang lain, dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain, dalam hal memutuskan pilihan orang harus memelihara hal-hal yang baik yang telah ada dan mengembangkan hal-hal baru yang baik;

(34)

(7) Kebebasan terpimpin, berpijak pada ajaran bahwa semua mahluk pada ahkirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan sunnatullah, masing-masing manusia dilahirkan menurut fitrahnya dan masing-masing individu memiliki kecenderungannya sendiri-sendiri, namun mereka juga memiliki keterbatasan baik kultural maupun struktural. Oleh karena itu pesantren memberlakukan kebebasan dan keterikatan sebagai hal kodrati yang harus diterima dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya dalam kehidupan;

(8) Mandiri, mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya sendiri, namun tidak bertentangan dengan prinsip kolektivitas sebab ajarannya adalah saling menolong dan bekerjasama;

(9) Pesantren tempat mencari ilmu dan mengabdi, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, berpikir dalam kerangka keagamaan (semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama);

(10)Tanpa ijazah, keberhasilan bukan ditandai oleh ijazah tetapi dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat umum dan direstui oleh kiai;

(11)Restu kiai, melakukan hal-hal yang berkenan di hadapan kiai.

Konsep Transformasi

Transformasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan ke arah lebih baik. Transformasi sering diartikan adanya perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas. Adapun kata transformasi berasal dari dua kata dasar, ‘trans dan form.’ Trans berarti

melintasi (across), atau melampaui (beyond). Kata form berarti bentuk. Karena itu transformasi mengandung makna perpindahan, dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain yang melampaui perubahan rupa fisik luar saja.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), transformasi adalah sebuah kata benda yang berarti perubahan rupa baik dalam bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya. Transformasi dalam bentuk kata kerja menjadi mentransformasikan, yang berarti mengubah rupa, bentuk (sifat, fungsi, dan sebagainya) dan juga berarti mengalihkan. Pengertian sama dijelaskan oleh kamus Advanced English-Indonesian Dictionary (1988) menjelaskan yang dimaksud transformation adalah perubahan bentuk dan dalam bentuk kata kerja mengubah bentuk. Selanjutnya, Oxford Learner’s Pocket Dictionary (1995) menyebutkan transform sebagai kata kerja adalah ”change completely the appearance or the character of”. Berarti perubahan bentuk penampilan atau karakter secara total.

Transformasi mengandung makna, perubahan bentuk yang lebih dari, atau melampaui perubahan bungkus luar saja.

Transformasi dalam ensiklopedi umum merupakan istilah ilmu eksakta yang kemudian diintrodusir ke dalam ilmu sosial dan humaniora, yang memiliki maksud perubahan bentuk dan secara lebih rinci memiliki arti perubahan fisik maupun nonfisik (bentuk, rupa, sifat, dan sebagainya). Istilah transformasi jika tanpa dikaitkan dengan sesuatu yang lain menurut Gunawan sebagaimana dikutip oleh Amin (1993), merupakan upaya pengalihan dari sebuah bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses, transformasi merupakan tahapan, atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna perubahan. Pemakaian kata transformasi menjelaskan perubahan yang bertahap dan terarah tetapi tidak radikal.

(35)

Proses reproduksi adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya dalam kehidupan sehari-hari meliputi; material (kebendaan, teknologi), immaterial (non-benda, adat, norma, nilai-nilai). Sementara proses transformasi adalah suatu proses penciptaan suatu hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Salim menjelaskan yang berubah adalah apek budaya yang sifatnya material sedangkan sifatnya immaterial sulit sekali diadakan perubahan.

Perubahan selalu terjadi, disadari atau tidak. Begitu pula halnya dengan organisasi. Organisasi hanya dapat bertahan jika dapat melakukan perubahan. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu organisasi tergantung pada sejauhmana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Pada dasarnya semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi dengan tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins 2003). Sobirin (2005) menyatakan ada 2 faktor yang mendorong terjadinya perubahan, yaitu faktor ekstern seperti perubahan teknologi dan semakin terintegrasinya ekonomi internasional serta faktor intern organisasi yang mencakup dua hal pokok yaitu (1) perubahan perangkat keras organisasi (hard system tools) atau yang biasa disebut dengan perubahan struktural, yang meliputi perubahan strategi, stuktur organisasi dan sistem serta (2) Perubahan perangkat lunak organisasi (soft system tools) atau perubahan kultural yang meliputi perubahan perilaku manusia dalam organisasi, kebijakan sumber daya manusia dan budaya organisasi. Setiap perubahan tidak bisa hanya memilih salah satu aspek struktural atau kultural saja sebagai variabel yang harus diubah, tetapi kedua aspek tersebut harus dikelola secara bersama-sama agar hasilnya optimal.

Proses transformasi

Konsep transformasi yang ditulis oleh Gouillert & Kelly (1995) bahwa model transformasi organisasi dieksplorasikan melalui pendekatan pada 4 kategori yang disebut dengan 4 R (Gambar 2), yaitu :

(1) Reframing, pada kategori ini akan terlihat terjadinya pergeseran konsep dalam hal pencapaian tujuan. Hal ini karena sering terjadi bahwa organisasi terhalang oleh pola pikir (mind set) yang membuat organisasi kehilangan kemampuan untuk mengembangkan mental model, dengan reframing diharapkan akan membuka pola pikir baru untuk pencapaian tujuan organisasi.

(2) Restructure, kategori ini sangat terkait dengan bentuk organisasi dan tingkat kompetisi sehingga akan tercipta bentuk organisasi yang diharapkan.

(3) Revitalization, kategori ini lebih merupakan sebuah usaha untuk mendorong pertumbuhan dari seluruh komponen organisasi dan tentu saja dengan pertimbangan kemampuan bersaing untuk mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.

(36)

Gambar 2. Siklus proses transformasi Sumber: Gouillert & Kelly (1995); Collin & Poras (1996)

Keberlanjutan Pangan

(37)

Menurut United Kingdom pangan yang berkelanjutan mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi dan terdiri dari 8 prinsip yang saling terkait, yaitu: (1) lokal dan musiman; (2) organik dan pertanian berkelanjutan; (3) kurangi makanan yang berasal dari hewan dan memaksimalkan standar kesejahteraan; (4) jenis ikan yang diidentifikasi beresiko; (5) produk fair-trade-bersertifikat; (6) mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan; (7) Demokrasi pangan; dan (8) pengurangan limbah dan kemasan.

Pangan dan pertanian berkelanjutan sebagai salah satu sistem yang mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah; melindungi dan meningkatkan ketersediaan dan kualitas air; melindungi keanekaragaman hayati; petani, buruh tani, dan semua aktor lainnya dalam rantai nilai memiliki pendapatan layak huni; makanan yang dimakan terjangkau dan meningkatkan kesehatan; bisnis yang berkelanjutan dapat berkembang; dan aliran energi dan pembuangan limbah, termasuk emisi gas rumah kaca, berada dalam kapasitas bumi untuk menyerap selamanya.

Sistem pangan yang berkelanjutan menurut USDA, menyatukan imperatif ekologi, sosial dan ekonomi, dan didasarkan pada hirarki tujuan dengan ciri-ciri: akses yang adil ke produk lokal dan tepat pada waktunya; akses terhadap produk lokal dan organik baik di pasar lokal dan supermarket; akses petani lokal ke pasar yang berbeda sepanjang tahun; memperkaya keanekaragaman hayati di semua tingkatan; mengurangi emisi gas rumah kaca; berkomitmen untuk perlakuan yang manusiawi dan mengurangi kesakitan semua hewan selama perlakuan; integrasi ke restoran, rumah sakit, sekolah dan lembaga-lembaga publik lokal.

Menurut British Commission on Sustainable Development (2003), sistem pangan berkelanjutan memiliki ciri antara lain: (1) menghasilkan produk aman dan sehat dalam menanggapi tuntutan pasar, dan memastikan bahwa semua para konsumen memiliki akses ke makanan bergizi, dan informasi yang akurat tentang produk makanan; (2) mendukung kelangsungan hidup dan keragaman ekonomi dan masyarakat pedesaan dan perkotaan; (3) mengaktifkan penghidupan yang layak bersumber dari pengelolaan lahan yang berkelanjutan, baik melalui pasar dan melalui pembayaran manfaat publik; (4) menghormati dan beroperasi dalam batas-batas biologis sumber daya alam (terutama tanah, air dan keanekaragaman hayati); (5) secara konsisten mencapai standar tinggi kinerja lingkungan dengan mengurangi konsumsi energi, meminimalkan input sumber daya, dan menggunakan energi terbarukan sedapat mungkin; (6) memastikan lingkungan kerja yang aman, higienis dan kesejahteraan sosial yang tinggi serta pelatihan untuk semua karyawan yang terlibat dalam rantai pangan; (7) secara konsisten mencapai standar tinggi kesehatan dan kesejahteraan hewan; (8) mempertahankan sumber daya yang tersedia untuk pertumbuhan pangan dan memasok manfaat umum lainnya.

Istilah terkait keberlanjutan pangan

Paradigma kedaulatan pangan atau food sovereignty muncul sebagai respon balik (counter) atas ketidakberhasilan konsepsi kebijakan ketahanan pangan atau food security. Penggagas kedaulatan pangan berupaya mengembalikan konsep modernisasi menjadi hal-hal yang bersifat back to basic dan back to nature dengan memprioritaskan produksi untuk pemenuhan dan keberkanjutan pangan local dan pasar local. Secara umum, kelompok la Via Campesina mengartikan kedaulatan pangan, yaitu: “the right of peoples to healthy ang culturallu appropriate food produced throught ecologically sound and sustainable methods, and their right to define their own food and agriculture systems. It puts the aspirations and needs of those who produce, distribute and consume food at the heart of

Gambar

Gambar 2.  Siklus proses transformasi
Gambar 3. Proses pembelajaran soft systems methodology
Tabel 1. Aspek pembelajaran deduktif dan induktif
Tabel 2. Keterkaitan antar sub-elemen pada teknik ISM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kedua , dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga, karakteristik kepala pesantren (mudir) dan jajaran ustadz berperan besar dalam

Untuk mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani. Pencapaian tersebut dapat terlaksana bila didukung juga

‘‘Struktur pembagian kebijakan dengan para implementor yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan beras BULOG untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah kerja

KAPASITAS PEREMPUAN TANI UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DALAM.. MENGHADAPI ERA GLOBALISASI DI

Penelitian dengan judul : “Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan :

Pondok Pesantren dan atau yang semisal (dayah, Surau, madrasah) adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara yang telah berperan aktif sebagai salah satu pusat

Menjaga kedaulatan ketahanan pangan adalah hal yang sangat penting dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs, terutama SDGs nomor 2 yang bertujuan untuk Mengakhiri

PERAN KIAI DALAM MEWUJUDKAN SIKAP TOLERANSI SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL AMIEN KOTA KEDIRI SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama