• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Deskripsi Lokasi Penelitian

5.7 Analisis Sosial Forestri Dalam Perspektif Sosioekologi

Kali ini yang menjadi pembahasan pada subbab ini adalah bagaimana menganalisis sosial forestry dari sudut pandang sosioekologi. Alat analisis yang digunakan adalah dengan meminjam model dari Duncan (1959) dengan sistem POET Variabel. Sistem tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Organisasi Sosial (O)

Lingkungan (E) Teknologi (T)

Penduduk (P)

Gambar diatas memunculkan empat variabel yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Salah satu variabel tidak bisa berdiri sendiri dalam menganalisis sesuatu. Duncan (1959) menciptakan model ini untuk dijadikan alat dalam menganalisis sosial forestri di suatu Negara, karena penerapan konsep sosial forestri di setiap negara berbeda-beda. Perbedaan ini tergantung kepada tipe masyarakatnya karena penerapan sosial forestri harus melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Model ini juga sudah banyak dibahas oleh beberapa penulis seperti Murdock (1979) dan Poston dkk (1984) (Awang, 2004: 68). Untuk menganalisis sosial forestri , maka model diatas harus diurai satu persatu sebagai berikut :

Penduduk (P)

Variabel penduduk memang tidak pernah terlepas dari berbagai macam penelitian untuk dijadikan analisis. Di dalam bukunya Awang (2004) menjelaskan bahwa unsur penduduk sangat menentukan apakah sosial forestri bisa diterapkan atau tidak di masyarakat. Berangkat dari beberapa anggapan bahwa di Negara-Negara berkembang sangat identik dengan jumlah penduduk yang tinggi sehingga akan

mempengaruhi keberlanjutan sektor kehutanan. Rusaknya hutan yang terjadi di negara- negara berkembang juga karena tingginya penggunaan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, seperti pemilikan lahan untuk tempat tinggal tetapi tidak sesuai dengan prosedural sehingga hutan mengalami degradasi secara perlahan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pekan Bahorok, perilaku masyarakat tidak seperti anggapan diatas. Masyarakat sudah lama bersahabat dengan alam yang hidup berdampingan dengan mereka sampai sekarang ini. Masyarakat menganggap kalau hutan memberikan beberapa manfaat seperti tersedianya bibit pohon Gaharu yang sudah dikembangkan oleh Kemagahan, aliran sungai yang mampu memberikan macam manfaat, sektor wisata, udara yang masih terjaga, dan lain-lain. Untuk kasus-kasus yang dapat merusak kelestarian hutan hampir tidak pernah dijumpai seperti penebangan liar, pembakaran hutan, pencurian satwa, dan lain-lain. Apalagi status hutan tersebut sebagai Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memiliki aturan tegas jika kondisinya mengalami kerusakan yang disebabkan oleh anggota masyarakat tertentu dan akan diberikan sanksi hukum yang tegas.

Organisasi (O)

Organisasi pada model ini merupakan mekanisme adaptasi melalui sejumlah orang dan dapat menanggulangi lingkungannya atau perubahan sosial lainnya (Awang, 2004: 69). Sejumlah orang disini dimaksudkan adalah kumpulan anggota masyarakat yang mencoba untuk membentuk suatu wadah yang salah satu tujuannya adalah untuk melakukan perubahan terhadap pelestarian alam. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Pekan Bahorok yang membentuk suatu kelompok kecil yang

salah satu tujuan dari pendirian kelompok itu adalah pelestarian sumber daya hutan seperti pembudidayaan pohon gaharu sekaligus mampu menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat setempat.

Menurut Berry dan Kasarda (1977), bahwa organisasi merupakan seluruh jaringan yang mempunyai hubungan simbiotik dan komensalistik, yang memungkinkan penduduk melestarikan sendiri lingkungan mereka (Awang, 2004: 69). Kemagahan yang dibentuk juga berdasarkan inisiatif dari salah satu anggota masyarakat asli dari Kelurahan Pekan Bahorok yang menginginkan adanya perubahan di daerahnya. Perubahan yang ingin diciptakan juga bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan mengajak masyarakat bersama-sama untuk melakukan perubahan tersebut khususnya di bidang pelestarian sumber daya hutan. Masyarakat juga menganggap jika hutan sengaja dirusak maka beberapa kehidupan yang ada didalamnya akan ikut mengalami kerusakan juga. Akibat kerusakan itu juga akan membawa dampak yang buruk bagi masyarakat seperti banjir bandang, rusaknya iklim, dan lain-lain.

Lingkungan (E)

Disini unsur lingkungan memiliki peran sentral dalam kerangka pemikiran ini. Lampard (1965) menggambarkan lingkungan termasuk semua kekuatan luar dimana seorang penduduk mungkin akan mempengaruhi penggunaan sumber material lainnya (Awang, 2004: 70). Jika dikaitkan dengan Kemagahan, maka ketua kelompok sebagai salah seorang penduduk yang ada di Kelurahan Pekan Bahorok mencoba untuk merespon kekuatan-kekuatan luar dirinya untuk memanfaatkan sumber materi, dalam hal ini adalah pembudidayaan pohon gaharu.

Untuk menjalankan respon-respon tersebut, Bapak Iyek mencoba membentuk suatu kelompok untuk mengkoordinir masyarakat yang mau bergabung dan memiliki tujuan dan kepentingan bersama yaitu menambah pendapatan baru sekaligus pelestarian sumber daya hutan lokal. Kelompok yang dibentuk ini juga merupakan terkait dengan unsur organisasi diatas dan memiliki hubungan resiprositas. Hubungan itu ditunjukkan dengan dibentuknya Kelompok Masyarakat Gaharu, maka sumber daya hutan semakin terjaga keberadaanya karena salah satu tujuan dari KEMAGAHAN adalah pelestarian sumber daya hutan.

Teknologi (T)

Teknologi bukan lagi barang baru yang didengar di dunia ini. Penerapan teknologi dalam setiap aspek kehidupan sangat dibutuhkan. Penggunaan teknologi mutakhir di dalam aspek kehidupan akan membantu beberapa pekerjaan manusia menjadi lebih efisien dan mampu meningkatkan kinerja. Kaitannya dengan sosial forestri khususnya dalam sistem pengelolaan hutan adalah dibutuhkan model teknologi mutakhir untuk mendukung itu semua, sehingga segala upaya yang dilakukan menghasilkan hasil yang maksimal.

Di dalam Kemagahan, penerapan teknologi juga menjadi suatu hal yang penting. Teknologi yang digunakan juga bukan teknologi yang sederhana seperti penggunaan alat-alat tradisional di dalamnnya. Untuk menghasilkan gubal dari dalam pohon gaharu, maka harus dilakukan penyuntikan dengan menggunakan alat inokulasi yang sudah terspesialisasikan. Alat ini berupa bor listrik yang digunakan untuk membuat lubang di batang pohon gaharu, kemudian alat penyuntik untuk menyuntikkan jamur ke batang pohon gaharu. Jamur yang digunakan bukan jamur biasa, melainkan jamur yang

disediakan oleh pihak peneliti yang dikhususkan untuk gaharu. Biasanya KEMAGAHAN bekerja sama dengan IPB Bogor untuk menghasilkan jamur.

Pengganti alat ini juga tidak bisa digantikan dengan alat-alat sederhana yang menggunakan teknologi lokal. Biasanya kelompok-kelompok lokal yang mengelola sumber daya di daerah mereka memiliki teknologi lokal dan tidak menggunakan teknologi dari luar daerah. Seperti penangkapan kepiting batu yang ada di percut, masyarakat masih menggunakan teknologi sederhana seperti bubungan untuk menangkap kepiting batu. Bagi KEMAGAHAN sendiri, teknologi yang digunakan ada dua yaitu sederhana dan canggih. Teknologi sederhana digunakan pada proses pembibitan yang hanya mengandalkan pot kecil, pisau/parang, selang, air, terpal plastik, dan bibit gaharu. Untuk proses inokulasi alat yang digunakan seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Dari keempat unsur diatas, semuanya saling memiliki ketergantungan antara satu unsur dengan unsur lainnya. Jika salah satu unsur lainnya tidak ikut dalam pembahasan, maka model ini seakan pincang dan tidak maksimal. Diawali dengan hubungan antara P ke E (population to environment). Seperti yang sudah dibahas diatas, bahwa masyarakat mampu merubah lingkungannya sendiri ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di suatu daerah akan menghasilkan tekanan langsung pada pemanfaatan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,misalnya kebutuhan pokok, tempat tinggal, dan lain-lain.

Beberapa praktik kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan, pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan tersebut juga berbeda-beda. Persepsi masyarakat terhadap hutan terkadang juga berbeda-beda dan ini yang menjadi permasalahan di

dalam pelestarian hutan. Terkadang masyarakat mendefenisikan hutan itu adalah kumpulan tumbuh-tumbuhan yang berbentuk rimba dan tidak pernah dijamah oleh manusia. Sementara tipe-tipe hutan seperti hutan rakyat adalah hutan yang ditanami oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu, masyarakat juga tidak tahu pentingnya konservasi bagi tanah dan tumbuhan sehingga sering sekali hutan mengalami kehilangan areal tegakan atau menjadi lahan kosong. Dengan adanya perbedaan persepsi ini maka ada juga konsekuensi yang ditimbulkan yaitu erosi tanah, banjir, kekeringan, menurunnya produksi pertanian, kekurangan kayu bakar, polusi, hingga peningkatan emisi gas kaca. Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Kelurahan Pekan Bahorok, masyarakat tetap menjaga utuh kelestarian hutan yang ada di sekitar mereka walaupun perbedaan persepsi itu masih muncul di masyarakat.

Setelah membahas hubungan antara penduduk dengan lingkungan, maka akan dilanjutkan dengan hubungan antara O ke T (organization to technology). Disini organisasi dituntut untuk lebih aktif lagi dalam mendukung proses pembangunan hutan. Organisasi yang berperan juga dituntut untuk menekankan perhatian mereka terhadap penggunaan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut bisa berupa Dinas Kehutanan setempat, lembaga-lembaga penelitian, hingga peranan lembaga-lembaga lokal. Hasil-hasil yang bisa didapatkan dari lembaga- lembaga tersebut adalah Dinas Kehutanan mampu memberikan program-program penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan, lembaga-lembaga penelitian mampu memberikan praktik konservasi tanah dan air secara efektif, teknik baru agroforestri, pengembangan beberapa spesies cepat tumbuh, keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, pengetahuan tentang kelembagaan,dan lain-lain.

Hasil-hasil diatas juga seharusnya mampu mencapai lembaga-lembaga lokal yang dibentuk oleh kemandirian masyarakat sehingga lembaga lokal mampu meresap hasil tersebut dan mampu diaplikasikan ke masyarakat. Setelah masyarakat mampu menyerap hasil-hasil tersebut, masyarakat akan memiliki pengetahuan-pengetahuan tentang pembangunan hutan yang mampu merubah pola pikir dan menciptakan perubahan bagi lingkungannya juga. Hubungan ini bisa dimunculkan sebagai berikut O ke T ke P ke E. Hal seperti ini juga mampu menghasilkan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar hutan khususnya petani hutan. Mereka bisa mendirikan lembaga lokal yang bergerak pada pembudidayaan tanaman hutan dan produk-produk itu bisa menciptakan pangsa pasar yang tinggi. Dengan adanya jaminan pasar tersebut, masyarakat bisa merasakan dampaknya berupa sumber pendapatan baru bagi mereka dan itu ada pada Kemagahan.