• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS

B. Analisis sosiologi Sastra

Problem-problem Sosial dalam Naskah Lakon Aumkarya

Putu Wijaya

Kaum marginal adalah bagian dari masyarakat yang dianggap memiliki kekurangan secara fisik, sosial, ataupun ekonomi, dan keberadaannya cenderung dipandang dengan sebelah mata. Di negara Indonesia masih banyak penduduk yang belum bisa merasakan kemerdekaan sebagai warga negara Indonesia, akibat dari faktor keterasingan dan termarginalisasi. Dalam kehidupan sehari-hari kaum marginal merupakan warga yang terabaikan kepentingannya. Di antara mereka bahkan diperas tenaga dan masa depannya tanpa diimbangi imbalan penghasilan yang sepadan.

Kelompok masyarakat marginal tidak hanya terjadi di daerah terpencil atau pinggiran, tetapi juga muncul di perkotaan karena adanya kesenjangan sosial yang ada di kelompok masyarakat perkotaan. Kesenjangan ini muncul karena adanya

diskriminasi ekonomi dan politik di antara kelompok masyarakat yang hidup di perkotaan.

Terpinggirkannya sebuah daerah atau kelompok masyarakat merupakan salah satu faktor munculnya permasalahan-permasalahan sosial. Kehidupan perkotaan dengan segala aspek dan dinamikanya, oleh sebagian masyarakat seringkali dianggap sebagai cermin dari sebuah dunia yang penuh impian, yakni dunia di mana kehidupan seseorang dimungkinkan untuk dapat dengan mudah memiliki tingkat penghidupan yang lebih layak. Anggapan seperti itu, terutama dimiliki oleh masyarakat dengan latar belakang pengetahuan dan wawasan hidup yang terbatas. Masyarakat desa yang dalam hal informasi lebih terbelakang dibanding masyarakat kota, seringkali diidentifikasikan sebagai masyarakat yang memiliki anggapan demikian itu. Hal ini dibuktikan dengan derasnya proses mobilisasi yang dilakukan masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi). Terjadinya proses mobilisasi tersebut pada akhirnya akan menciptakan suatu kondisi sosial yang mengarah pada terciptanya problem masyarakat, misalnya kepadatan penduduk, sempitnya lahan pekerjaan dan pemukiman, kriminalitas, serta problem-problem lain yang memberi pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat, terutama kehidupan sosial masyarakat perkotaan yang menjadi objek berlangsungnya proses urbanisasi tersebut.

Secara sosiologis, latar belakang yang mengungkapkan ciri-ciri kaum marginal sebagai suatu bentuk masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat yang dipenuhi dengan jumlah pengangguran dan tenaga produktif yang tidak memiliki

commit to user

akhirnya akan memicu timbulnya suatu kesenjangan sosial yang berpotensi memunculkan gangguan terhadap stabilitas masyarakat yang ideal. Yakni masyarakat yang aman serta tertib secara hukum, makmur, dan berkeadilan.

Dengan mempelajari segala masalah-masalah sosial kehidupan, kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya masing-masing. Kecenderungan kaum marginal untuk mengalami suatu gangguan dan bahkan menjadi faktor pemicu rusaknya stabilitas kehidupan dalam masyarakat, ditampilkan dalam naskah lakon

Aum. Seperti, kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Tokoh utama

dalam naskah lakon tersebut, yaitu Bupati, Kepala keluarga, dan Ucok. Bupati merupakan cerminan dari penguasa, sedangkan Kepala keluarga dan Ucok merupakan cerminan dari masyarakat kalangan bawah yang berusaha untuk menyampaikan permasalahan yang mereka alami. Namun kenyataannya mereka tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan sesuai dengn harapa mereka. Segala macam peraturan yang dijalankan oleh oknum-oknum aparat dan penguasa pada akhirnya membuat rombongan orang-orng Udik berperilaku menyimpang dan penuh dengan ancaman untuk bunuh diri dan menanyakan langsung permasalahan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal

itulah yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya dalam naskah lakon Aum ini.

Berdasarkan uraian diatas, dalam kesempatan ini penulis akan menganalisis

khususnya yang menyoroti masalah kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan.

a. Kekuasaan.

Dalam dunia politik banyak orang saling berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan. Berbagai cara mereka gunakan untuk dapat menduduki kursi kekuasaan. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan mengobral janji-janji yang menggiurkan kepada rakyat. Tetapi ketika tampuk jabatan kepemimpinan sudah didapatkan, kebanyakan mereka melupakan rakyat dan janji-janjinya. Dengan memperoleh kekuasaan itu orang yang berkuasa dapat menentukan kebijakan-kebijakan apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan.

Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan kalau para penguasa lebih berorientasi kepada kepentingan untuk lebih berkuasa daripada memikirkan kepentingan rakyat. Para penguasa lebih berperan sebagai alat untuk melegitimasikan kekuasaan pemerintah ketimbang memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat terutama yang menyangkut nasib rakyat kecil jarang menjadi agenda pembahasan para penguasa tersebut.

Penguasa jarang sekali memperhatikan setiap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Ketika rakyat berusaha untuk mengadukan setiap

commit to user

permasalahan yang mereka alami, para pemimpin kebingungan karena mereka tidak pernah memperhatikan kejadian yang terjadi di masyarakat.

Putu Wijaya berusaha mengungkap tentang penguasa yang tidak memperhatikan keadaan yang dialami oleh rakyatnya.

Wanita : Kami tidak minta dikasih hati. Tidak kan Bu?

Kep keluarga : Dikasih hati apa? Kami datang bukan untuk mengemis. Kami juga tidak perlu ditolong karena maksud kami bukan itu. Kami cuma minta dijawab.

Bupati : Dijawab bagaimana, pertanyaannya saja dari tadi

belum keluar. Ini kok seperti teka-teki silang. Praktis sedikit.

Kep keluarga : Sebentar, sebentar. Saya memang sengaja dari tadi

mengulur-ulur karena sengaja, agar bapak

memperhatikan sungguh-sungguh pertanyaan kami. Sekarang sudah waktunya untuk berkata terus terang. (Putu Wijaya, 1992: 22)

Bupati langsung berhadapan dengan Kepala keluarga yang merupakan pimpinan dari rombongan orang-orang udik yang datang untuk meminta penjelasan dari permasalahan yang mereka alami selama ini merasa kebingungan. Hal itu dikarenakan Bupati menganggap bahwa Kepala keluarga berusaha mengulur-ulur waktu agar bupati memperhatikan dengan sungguh- sungguh setiap pertanyaan yang akan ditanyakan oleh rombongan orang-orang udik itu. Hal itu dilakukan oleh Kepala keluarga dengan maksud supaya bupati sebagai penguasa memperhatikan denagn seksama kejadian yang dialami oleh rakyatnya. Dalam kenyataannya Bupati kebingungan, padahal seharusnya sebagai pemimpin ia harus tahu apa yang akan dilakukan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang tengah dialami oleh

rakyatnya. Apa yang dilakukan oleh Kepala keluarga merupakan pengaduan dari rakyat kepada pemimpinnya, karena rakyat selama ini sudah sangat menderita karena para penguasa tidak memperhatikan kejadian apa saja yang terjadi dimasyarakat.

Jeritan ketertindasan kaum bawah tersebut dilukiskan oleh Putu Wijaya dalam naskah nukilan berikut ini.

Ucok : Kekuasaan yang menghimpit kita, sudah tidak mau lagi memberikan jawaban darimana asalnya kenapa dia datang dan apa tujuannya. Kita terpaku terus ditembok yang rapuh, bergerak sedikit seluruh alam ikut bergetar dan batu-batu yang keras makin banyak berjatuhan melukai tubuh kita yang bukan milik kita lagi. Seluruh umat manusia menjadi mayat-mayat berjalan dan didalam kuburan yang besar ini kejujuran akan menjadi senjata-senjata yang membunuh diri kita sendiri. Tinggalkan, tinggalkan balon yang penuh baksil ini. Tak ada harapan, tak ada sedikitpun harapan, tinggal hanya kerak-

kerak…….. (MENYANYIKAN SESUATU) Ibuuuuuuuuu, ibu

pertiwi tolonglah kami buka kembali rahimmu, Bapak Bupatiiiiiiiiiii! (Putu Wijaya, 1992: 27)

Dari dialog yang diucapkan oleh tokoh Ucok yang merupakan salah satu dari orang udik tersebut menggambarkan bahwa keberadaan kaum bawah sudah tidak lagi dianggap. Mereka hanya ditindas oleh penguasa dan tidak boleh menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap mereka. Ucok merasa bahwa kekuasaan yang ada semakin lama semakin menghimpit tanpa tahu asal dan tujuan dari kekuasaan yang ada. Apa yang dilakukan selalu terbentur dengan kekuasaan dan tidak bisa berbicara mengenai kenyataan yang ada. Dalam dialog itu terlihat bahwa sudah tidak ada harapan lagi dalam

commit to user

hidup mereka, karena dalam kenyataannya ia tidak bisa berbuat sesuai dengan haknya.

Kesalahan lain yang dimiliki penguasa adalah mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dikalangan masyarakat bawah. Penguasa hanya menikmati kekuasaan mereka tanpa sedikitpun memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat. Sehingga ketika masyarakat kalangan kaum bawah menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka membuat para pemimpin tergagap-gagap dan tidak tahu harus bagaimana.

Oleh Putu Wijaya keacuhan pemimpin terhadap apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat juga digambarkan sebagai berikut:

Hansip : Ya bapak Bupati disini Bupati : Hus ikut mereng kamu! Hansip : Maaf latah Pak.

Ucok : Apa jawaban Bapak. Berikan kami jawaban. Hansip : Jawab Pak.

Bupati : Jawaban apa, apa yang harus dijawab?

Ucok : Pertanyaan begitu banyak, mana jawabannya. Sekarang! Nanti terlambat.

Bupati : Lho pertanyaan apa? (KEPADA KEPALA KELUARGA) He apa mereka sudah bertanya tadi?

Hansip : Pak tak usah didengar Pak, kalau sudah begini coret saja. Bupati : Sungguh mati langsung akan saya jawab kalau saja ada, kalau

memang ada. Saya sudah cukup terbuka malah begitu lebar. Apa masih kurang?

Hansip : sampai robek-robek bagini jangan dilebarin lagi Pak. Ucok : Kamu hanya membisu!

Bupati : Lho tai kucing!

Ucok : Tai kucing bukan jawaban.

Bupati : Astaghfirullah. (Putu Wijaya, 1992: 28)

Ketika ucok berhadapan langsung dengan Bupati dan meminta jawaban dari semua pertanyaan yang telah ada, Bupati kebingungan dan tidak tahu maksud dari semua pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh orang-orang udik. Karena sudah merasa kebingungan, Bupati malah bertanya kepada kedua hansip yang bertugas menjaga rumahnya apakah orang-orang udik tadi sudah bertanya kapadanya. Kedua hansip yang ditanya Bupati juga kebingungan dan akhirnya Bupati menjawab dengan asal. Jawaban asal dari Bupati semakin membuat Ucok marah.

Dari cakapan-cakapan diatas tampak bahwa pemimpin sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi di dalam masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan disini pemimpin yang digambarkan sebagai Bupati merasa kebingungan menghadapi orang yang menuntut pertanggung jawaban dari apa yang telah terjadi dimasyarakat.

Ucok : Kami tidak ingin dihibur, kami ingin dijawab. Ternyata kamu sama saja dengan yang lain-lain. Tak pernah menjawab, hanya bertanya-tanya seperti kami, tak pernah mengerti ada orang bertanya, tak pernah mendengar, tak pernah kamu pakai kuping, kupingmu yang dua dikiri dan kanan kepalamu, kuping diatas kepala hansip-hansipmu, kuping dikepala istrimu, kuping diatas meja teleponmu, kuping diatas kaki tanganmu,

commit to user

kuping-kuping disekitarmu ternyata palsu! (Putu Wijaya, 1992: 28)

Secara jelas cakapan-cakapan tersebut memperjelas bahwa keberadaan masyarakat kalangan bawah tidak pernah diperhatikan oleh penguasa. Ketika kaum masyarakat kalangan bawah menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka para penguasa tergagap-gagap dalam menjawab. Keadaan itu membuat Ucok marah dan merasa bahwa pertaanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada Bupati selalu tidak dijawab dengan semestinya. Sehingga Ucok semakin marah dengan mengatakan bahwa ternyata telinga yang dimiliki oleh Bupati dan orang-orang disekitarnya ternyata palsu, karena telinga yang mereka miliki tidak dapat mendengarkan jeritan yang dialami oleh orang-orang udik yang sedang berada dihadapannya. Bupati dan orang- orang yang berada disekitarnya selalu kebingungan dan tergagap-gagap dengan semua pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang udik. Padahal pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang udik jelas menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat.

Dalam naskah lakon Aum ini Putu Wijaya juga menyinggung tentang

tidak bersatunya antara pemimpin dan rakyatnya. Hal itu digambarkan oleh Putu Wijaya sebagai berikut.

Bupati : Mastakus eritus ma, sikola Bak? Sikola Bak? Bak?

Kepala keluarga: Terima kasih Bapak Bupati. Bapak seorang yang bijaksana dan baik. Tapi kebaikan saja tidak cukup. Inilah persoalannya. Inilah pertanyaan kami yang kedua.

Bupati : Siamanakitu Bak eh maaf, maaf. Pertanyaan yang mana?

Kepala keluarga: Pertanyaan yang mana? Pertanyaan Bapak hanya menambah hati saya tambah berdarah. (Putu Wijaya, 1992: 33)

Bupati selalu saja kebingungan ketika orang-orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga mulai mengajukan pertanyaan satu persatu. Seperti yang terdapat dalam nukilan diatas ketika Bupati selesai berbincang dengan Mantri dan beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh mantri baik itu secara langsung ataupun tidak. Setelah selesai berbincang dengan Mantri kemudian kepala keluarga menyela dan menjelaskan tentang apa yang disampaikan oleh Mantri merupakan salah satu dari beberapa pertanyaan yang selama ini ingin mereka tanyakan. Mendapatkan penjelasan dari kepala keluarga, Bupati tergagap-gagap dan kebingungan. Apa yang dikira Bupati bahwa Mantri hanya bergurau ternyata merupakan sebuah persoalan yang ingin disampaikan. Terlihat jelas dalam nukilan diatas bahwa ternyata Bupati sama sekali tidak memperhatikan apa yang menjadi persoalan orang-orang udik.

Tidak perhatiannya Bupati terhadap persoalan-persoalan yang dirasakan oleh masyarakat dan adanya jarak antara Bupati dan masyarakat dapat dilihat dalam dialog Mantri dibawah ini:

Mantri : (SEMBARI MENANGIS) Jadi anda juga Cuma sebegitu saja? Apa yang menyebabkan anda sudah berdiri sebegitu tinggi. Begitu tinggi sehingga kalau kita bicara saya harus mengangkat muka dan menjinjitkan kata-kata saya? Siapa yang sudah menempatkan kamu dalam posisi ujung tombak kami, sementara kami tetap kelaparan dan tidak bisa menatatp ujung

commit to user

Kamu hanya tembok-tembok penghalang yang menghalani kami mengalir deras ke sumber kami yang tertinggi dimana ada jawaban. Kamu bending kami, kamu halang-halangi kami dengan segala pelayanan kamu yang manis sambil membunuh

kami perlahan-lahan ditengah jalan seperti…. (Putu Wijaya,

1992: 33)

Melalui tokoh mantri, Putu Wijaya berusaha mengkritik para pemimpin yang ada. Bahwasanya pemimpin dan rakyatnya harus bersatu padu. Pemimpin harus meninjau dan memperhatikan rakyatnya, pemimpin harus tahu kondisi sebenarnya yang dialami oleh rakyatnya. Pemimpin yang ada harus tanggap dan bertindak terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat, jangan malah menjadi penghalang dan timbul sekat antara rakyat dan para pelaku pemerintahan.

Jarak yang sangat jauh antara pemimpin dengan rakyatnya akan semakin membuat pemimpin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan dialami oleh rakyatnya. Pemimpin baru tahu kalau rakyat sudah sangat menderita dan mengadukan permasalahan yang dialami. Dalam naskah lakon

Aum ini digambarkan bahwa Bupati sebagai pemimpin tidak tahu apa yang

sebenarnya dialami oleh rakyatnya, walaupun apa yang dialami oleh rakyatnya sudah berada didepan mata, tetapi Bupati dan para hansipya sama sekali tidak memperhatikan dengan seksama. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut.

Kep keluarga : Dulu. Dulu bertahun-tahun yang lalu ini memang salah satu pertanyaan kami yang nomer sekian. Dulu Pak. Sekarang bukan pertanyaan lagi, meski[un bagi Bapak memang pertanyaan. Ini hanya salah satu contoh

saja bagaimana luka dalam batin kami karena terbawa setiap hari dan dikalahkan oleh luka-luka baru menjadi bagian dari perlengkapan kami yang sengaja kami lupa- lupakan. Pertanyaa ini sudah terlalu besar dan menutup

mata kami semua, bagaimana mungkin kami

memandangya lagi. Mata Bapak masih terbuka. Mata bapak-bapak hansip itu juga sebetulnya masih terbuka, tapi saya lihat dari tadi tak seorangpun yang benar- benar melihat apa sebenarnya yang ada disini. Yang ada pada lelaki-lelaki kami disini. Perhatikan perut mereka semuanya! (MEMERINTAH) Buka perut kamu semua. (Putu Wijaya, 1992: 37)

Dari nukilan diatas dapat dilihat bagaimana Bupati dan hansip- hansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang sebenarnya dialami oleh orang-orang udik yang menghadap dan sudah ada didepan mereka. Bupati dan kedua hansipnya yang dari tadi menghadapi rombongan orang udik untuk menghadap tidak memperhatikan kalau para lelaki yang ada di udik semuanya hamil. Padahal apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik merupakan salah satu dari pertanyaan yang ingin mereka sampaikan, pertanyaan yang saduah sejak sangat lama mereka pendam. Kenyataannya pada saat menghadap kepada bapak Bupati dan sudah berhadapan lama, bupati dan para hansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Hal tersebut membuat marah kepala keluarga dan memaki Bupati dan hansip-hansipnya bahwa mereka sama sekali tidak melihat dan memperhatikan apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Dengan begitu dapat difahami secara jelas bahwa para pemimpin sama sekali tidak memperhatikan keadaan yang dialami oleh rakyatnya. Itu merupakan salah satu dari permasalahan yang dialami oleh rombongan orang udik. Kepala

commit to user

keluarga merasa kecewa karena dari tadi Bupati sebagai pemimpin tidak memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi pada rombongan orang udik.

Kep keluarga : Ini juga bagian dari pertanyaan kami yang belum dijawab. (IA MENDEKAT DAN MEMBARUT TUBUHU ORANG TUA ITU) Kami tidak ingin menuduh siapa-siapa apalagi menuntut sesuatu, kami hanya ingin mendapat pengertian atas semua ini. (MEMANDANG KEPALA YANG MELAYANG ITU) kemari turun, jangan gentayangan lagi, belum waktunya kita pergi, pertanyaan ini masih tinggal dua langkah lagi untuk kita pikul. Kemari-kemari, jangan membuat hatiku tambah berdarah lagi. (Putu Wijaya, 1992:44)

Dari pokok permasalahan yang dihadapi oleh rombongan orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga, sebenarnya mereka sebagai rakyat biasa hanya ingin mendapatkan perhatian yang sama dari Bupati yang merupakan seorang pemimpin. Kepala keluarga mengingatkan bahwa semua rakyat punya hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dari pemimpin. Pemimpin dipilih oleh rakyat dan diharapkan dapat menjadi pimpinan yang mengerti dan memahami apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Sebagai pemimpin juga harus bisa menjadi panutan rakyatnya. Mau mengerti penderitaan yang dialamioleh rakyatnya dan diharapkan bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh rakyatnya.

b. Penindasan.

Naskah lakon Aum karya Putu Wijaya juga menampilkan masalah

kritikan terhadap penindasan yang ada di Negara ini dalam alur cerita yang dialami oleh tokohnya yaitu orang-orang udik. Karena kaum bawah tidak

mendapatkan perhatian dari pemerintah yang ada dan mereka hanya dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan malah seringkali mereka ditindas. Karena terus-terusan ditindas akhirnya banyak terjadi demonstrasi dan protes-protes yang sangat keras dari masyarakat. Hal itulah yang dialami oleh orang-orang udik dan mempengaruhi kehidupan mereka dalam menyuarakan jeritan ketertindasan kaum bawah.

Salah satu penindasan kepada orang-orang udik dalam naskah lakon

Aum ini dilakukan oleh oknum aparat yang bertugas menjaga kediaman

Bupati, yaitu hansip. Bentuk penindasan yang dilakukan hansip adalah bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang udik yang mau menghadap dan bertemu langsung dengan Bupati. Hansip menyalahgunakan alat Negara yang disandangnya untuk bertugas. Sragam dinas dan belati yang dipakai dan dibawa hansip sebagai identitas dan untuk menjaga keamanan Bupati digunakan oleh hansip seenaknya sendiri dan bukan digunakan sebagaimana mestinya. Seragam dan belati yang merupakan fasilitas dari Negara digunakan untuk menakut-nakuti orang udik yang mau menghadap Bupati untuk menyampaikan permasalahan yang mereka alami. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut.

Hansip : Bung. Orang besar itu urusannya banyak. Dan bukan

soal-soal upil saja.

Orang udik :(TERTAWA) Ngurus Negara ya?

Hansip : (KEPADA KAWANNYA) Lama-lama aku bunuh

commit to user

Orang udik : Oh saya Cuma tetangganya. Yang berkepentingan itu,

itu disana semua. Saya hanya penunjuk jalan.

Hansip : Saya Tanya bung darimana?

Orangudik : Saya tidak ikut pak.

Hansip : Saya tidak peduli. Tapi anda darimana?

Orang udik : (GUGUP) Betul saya tidak ikut pak.

Hansip : Darimana?

Orang udik :(GUGUP) Saya tidak tahu. (Putu Wijaya, 1992: 3)

Orang udik merupakan gambaran dari masyarakat kalangan bawah yang sering ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Hansip menanyakan tentang asal-usul orang udik dengan nada yang keras dan mengancam, sehingga orang udik yang ditanyai menjadi gugup dan ketakutan karena cara bertanya hansip dengan nada yang keras. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut.

Hansip : Sebentar. Bung (MENUNJUK KE PISAUNYA) Tahu

apa ini?

Orang udik : Saya salah Pak. Saya minta ampun.

Hansip : Nanti dulu. Tahu ini apa?

Orang udik : Belati Pak.

Hansip : Dan ini (MENUNJUK PADA PANGKATNYA) Apa

ini? (MENARIK LENGAN KAWANNYA DAN MENUNJUK TANDA PANGKAT) Apa ini?

Hansip : He, kamu mau apa?

Hansip : Diam semprul! Kami ini Hansip, kami ditugaskan

menjaga Bapak dengan resmi. Kalau kami melakukan sesuatu dengan pisau ini apa saja kek, artinya juga resmi. Paham? (Putu Wijaya, 1992: 4)

Dari nukilan cakapan diatas dapat dilihat bagaimana aparat yang ada

dalam naskah lakon Aum ini adalah hansip sudah menyalahgunakan fasilitas

Negara yaitu seragam dan belati. Fasilitas tersebut seharusnya digunakan secara tepat yaitu untuk bertugas menjaga keamanan rumah Bupati. Oleh hansip-hansip dalam naskah lakon ini fasilitas tersebut digunakan bukan untuk menjalankan tugas yang semestinya dijalankan, tetapi digunakan untuk menakut-nakuti dan mengusir orang-orang udik yang mau menghadap dan bertemu langsung dengan Bupati untuk menanyakan langsung perihal yang

Dokumen terkait