• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS

A. Analisis Struktural

Unsur struktural yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah alur, penokohan, dan latar sebagai aspek formal struktural, serta tema dan amanat sebagai aspek tematis. Dan unsur-unsur inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini.

1. Alur

Naskah lakon Aum ini menggunakan alur maju, yaitu dimulai dari awal cerita,

terus maju menuju peristiwa-peristiwa berikutnya, sampai peristiwa itu berakhir.

Adapun gambaran secara jelas alur pada naskah lakon Aum ini adalah sebagai berikut.

a. Permulaan

Naskah lakon ini dimulai dengan penggambaran waktu subuh, tampak seorang hansip yang masih segar datang untuk menggantikan temannya yang semalam suntuk telah berjaga-jaga dirumah Bupati. Kemudian hansip yang tertidur itu bangun karena merasa diganggu. Ketika terbangaun ia terperanjat karena mendapati bahwa senjatanya tidak lagi berada ditempatnya. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Hansip I : Hansip apa ini.

Hansi II : Mana senjata gue, mana senjata gue.

Hansip I : Wong disuruh jaga malah ngorok. Aduuuuh.

commit to user

Hansip I : Payahlah kalau begini. Enak malingnya. Bangun, bangun, pulang sana, ngapain disini. Kalau pak Bupati tahubodigar-bodigar begini, rusak deh nama baik kita.

Hansip I : Lho wong senjatanya disini lho kemaren, masih nyantel dipinggang. Mana ya?( Putu Wijaya, 1993 : 2)

Cerita kemudian menuju pada perbincangan antara hansip dengan orang-orang udik yang datang ingin menghadap bapak Bupati. Perbincangan pertama dimulai dari orang udik yang datang ingin mengembalikan senjata yang baru saja dipakai untuk ngupas ketupat. Senjata itu diambil dari hansip yang semalam tertidur. Kemudian muncul beberapa wanita dan orang tua, kedua hansip itu terlibat perbincangan dengan mereka yang ingin bertemu dengan Bupati. Kedua hansip itu berusaha menghalangi mereka yang ingin bertemu dengan pak Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Orang udik : Kami hanya ingin bertemu dengan Bapak, jangan pukul kami.

Hansip I : Dul sini Dul. Matamu itu sih yang bikin mereka curiga. BEBERAPA WANITA DENGAN TAKUT-TAKUT MAJU.

Wanita I : Jangan pukul kami pak.

Wanita II : Kami hanya ingin bertemu dengan Pak Bupati.

WanitaIII : Sejak kapan Bapak tidak boleh ditemui, tidak ada begitu bukan? Lantas kenapa kawan kami ditembak?( Putu Wijaya, 1993 : 8)

Berangkat dari peristiwa ini alur semakin maju dengan bertemunya orang-orang udik dan Bupati yang tanpa disengaja karena Pak Bupati sedang lari-lari pagi. Kemudian hansip dan orang-orang udik mengikuti Bupati yang sedang lari-lari. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

TERDENGAR SUARA BUPATI BERTERIAK. Haaaaah, DEKAT SEKALI

Hansip I : (YANG DITENDANG) Kenapa pakai acara nendang?

(MENDENGAR BUPATI TERIAK haaaah, DIA

LANGSUNG IKUT) Haaah!

Bupati : Memang betul (LARI-LARI KECIL MASUK) Rupanya memang harus pakai haaaah (BERTERIAK) Haaaah! Haaaaaaah! Begitu ya.

Hansip I : Haaah! Bupati : Haaah!

Orang-orang udik : Haaah!

Bupati : Jadi sekaligus kotoran keluar. Pinter juga.

(BERLARI-LARI DISEKITAR ITU) Hah! Tapi lama-lama jadi cepat lapar.( Putu Wijaya, 1993 : 13)

b. Pertikaian

Peristiwa terus maju, sampai mengalami pertikaian setelah kedatangan Kepala keluarga yang bertemu dengan pak Bupati secara langsung. Kepala keluarga dan Bupati sama-sama terkejut karena ternyata kedatangan orang-orang udik yang sudah sejak tadi malam tidak diberitahukan hansip kepada Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Bupati : Saya minta maaf, apakah saudara-saudara semua ini

ingin bertemu dengan saya?

Kep keluarga : Kami juga minta maaf, Bapak ini Pak Bupati?

Bupati : Betul. Saya Bupati. Saya baru tahu Ibu dan keluarga

ibu sudah menunggu dari kemarin.

Kep keluarga : Jadi tidak dikabarkan kepada Bapak, kami mau menghadap?

Bupati : Tidak.

Kep keluarga : Bapak Bohong!( Putu Wijaya, 1993 : 17)

Situasi sedikit mereda setelah ada perbincangan langsung antara Kepala keluarga dan Bupati. Baru sebentar saja keadaan sudah kembali tak

commit to user

menentu karena salah satu orang udik dan wanita melaporkan bahwa mereka tadi dipukul dan mau ditembak oleh hansip. Kemudian Bupati mencoba menghukum kedua hansip itu. Kepala keluarga merasa tersinggung karena hansip berkata pada Bupati bahwa orang-orang udik ini jangan dikasih hati. Seperti pada nukilan berikut.

Hansip : (BERBISIK) Orang-orang ini jangan terlalu dikasih

hati Pak, nanti ngelonjak.

Wanita : Kami tidak minta dikasih hati. Tidak kan Bu?

Kep keluarga : Dikasih hati apa? Kami datang bukan untuk mengemis. Kami juga tidak perlu ditolong karena maksud kami bukan itu. Kami Cuma minta dijawab.

Bupati : Dijawab bagaimana, pertanyaan saja dari tadi belum

keluar. Ini kok seperti teka-teki silang. Praktis sedikit. Kep keluarga : Sebentar, sebentar. Saya memang sengaja dari tadi

mengulur-ulur karena sengaja, agar Bapak

memperhatikan dengan sungguh-sungguh pertanyaan kami. Sekarang sudah waktunya untuk berkata terus terang.

Bupati : Memang, sejak tadi seharusnya sudah terus

terang.(Putu Wijaya, 1993 : 22)

Kepala keluarga merasa bahwa Bupati harus lebih memperhatikan apa yang dialami oleh orang-orang udik dan memperhatikan pertanyaan yang akan ditanyakan. Namun Bupati merasa bahwa Kepala keluarga hanya mengulur-ulur waktu saja tanpa langsung terus terang mengatakan apa yang seharusnya dikatakan.

Pertikaian terus terjadi antara Buapti, Kepala keluarga, Orang-orang udik dan hansip yang ada disitu. Kepala keluarga yang mewakili orang-orang udik meminta jawaban atas apa yang telah mereka alami selama ini. Namun

Bupati bingung mau menanggapi karena merasa dari tadi belum ada pertanyaan yang diajukan.

c. Perumitan

Ketegangan-ketegangan mulai terjadi dan persoalan mulai merumit dan gawat ketika muncul Ucok memimpin doa bersama orang-orang udik. Keadaan yang semakin merumit ini dimulai ketika Ucok berdoa mengucapkan kata-kata yang mengatakan bahwa keadaan di udik kian lama semakin ganjil, tak menentu dan tak pernah ujung jawaban dari permasalahan mereka. Kondisi psikologis, batin, dan fisik Ucok yang sudah tidak tahan menahan beban hidup yang menembas alam pikiran inilah yang kemudian memaksa Ucok untuk melakukan bunuh diri. Seperti terdapat dalam nukilan berikut.

Ucok : Maafkan segala usaha kami ini. Kami bersumpah tidak ada dorongan lain yang mendesak kami untuk melakukan semua ini kecuali untuk mendapatkan penjelasan, sehingga kami tidak bimbang lagi melanjutkan kehidupan sehari-hari. Dan kini setelah menempuh perjalanan yang panjang sekali, kita sampai pada hari penentuan, untuk memutuskan apa selanjutnya yang

masih bisa dikerjakan. Kami……. Ah! (MEMBANTING

SESUATU) Aku sudah muak melakukan ini semua. Hasilnya akan sama saja, sama saja, tidak ada yang bisa menjawab. Hentikan! Hentikan sekarang, aku tidak kuat lagi, aku sudah, aku berangkat lebih dulu.(Putu Wijaya, 1993 : 23)

Situasi semakin merumit ketika Mawar mencoba membantu kepala keluarga untuk meminjam baju dari para wanita, tetapi mereka tidak mengijinkan bajunya untuk dipinjam. Akhirnya mereka meminjam baju dari Bupati dan hansip-hansipnya. Dalam keadaan seperti itu para wanita dan orang-orang udik sempat melakukan tari-tarian dengan musik disco yang

commit to user

kemudian amarah yang muncul dari tekanan batin yang dirasakan Ucok kembali meluap-luap dan melampiaskan amarahnya dan kemudian terjadi perdebatan antara Ucok dan Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut ini.

Ucok : Apa jawaban Bapak. Berikan kami jawaban. Hansip : Jawab Pak.

Bupati : Jawaban apa, apa yang harus dijawab?

Ucok : Pertanyaan begitu banyak, mana jawabannya, sekarang! Nanti terlambat.

Bupati : Lho pertanyaan apa? (KEPADA KEPALA KELUARGA) He, apa mereka sudah bertanya tadi?(Putu Wijaya, 1993 : 27) Semakin lama keadaan semakin merumit karena Bupati tidak paham dengan apa yang telah disampaikan oleh orang udik. Padahal orang-orang udik ini menunggu jawaban dari pemecahan persoalan yang mereka alami. Karena tak tahan dan tak puas dengan Bupati yang tidak memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dan Bupati hanya asal menjawab saja, kemudian kepala keluarga ikut melontarkan apa yang dirasakannya selama ini. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Kep keluarga : Sudah. Ya saya tahu, sudah semua. Kalau mereka mengerti dan bisa menjawab kami tidak akan menempuh ribuan kilometer kemari.

Hansip I : Lah ribuan lagi.

Hansip II : Orang dusun sebelah saja ngakunya ratusan kilometer.

Bupati : (MENGGAMIT KEDUA HANSIP DAN

MENDORONGNYA JAUH) Kamu pikir saja dulu, ini urusan jabatan. O jadi sudah, sudah?

Kep keluarga : Kami sudah bertanya sesudah mencoba mengerti tapi tak habis-habis mengerti. Dan kami mencari orang-orang yang pantas untuk ditanyai karena kami yakin makin lama makin banyak yang tidak bisa kami jawab sendiri yang memerlukan ahli-ahli. Seperti tukang tahu, tukang gado-gado, tukang liastrik, dukun, mantra, guru sekolah, bahkan juga camat dan dokter. Seperti Bapak, kami juga membuka hati kami lebar-lebar sampai robek, karena ingin penjelasan. Tapi apa? Apa yang

terjadi? Apa yang terjadi selama ini? Setelah duit kami, rumah kami, harta kami ludes sampai kesawah dan tabungan kami habis. Apa makna semua ini? Ini terlalu berat buat kami! Dan kenapa hanya kami, kami yang dicecer? (MENGGAPAI SAKIT).( Putu Wijaya, 1993 : 31)

Setelah keadaan menjadi semakin rumit dan Kepala keluarga sakit kemudian muncul Mantri yang didaerah udik bertugas seperti seorang dokter. Terjadi perbincangan yang cukup menarik antara Bupati dan Mantri tentang berbagai permasalahan yang terjadi di udik. Tapi lama kelamaan Mantri juga merasakan bahwa ternyata ada jarak yang begitu lebar antara Bupati dengan warganya. Padahal seharusnya antara pemimpin dan rakyatnya harus bisa bersatu padu dan berdiri bersama berdampingan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Seperti nukilan berikut.

Bupati : Simanakitu Bak eh maaf, maaf. Pertanyaan yang

mana?

Kep keluarga : Pertanyaan yang mana? Pertanyaan Bapak hanya membuat hati saya tambah berdarah.

Mantri : (SEMBARI MENANGIS) Jadi anda juga cuma

sebegitu saja? Apa yang menyebabkan anda sudah berdiri sebegitu tinggi. Begitu tinggi sehingga kalau kita bicara saya harus mengangkat muka dan menjinjitkan kata-kata saya? Siapa yang sudah menempatkan kamu dalam posisi ujung tombak kami, sementara kami tetap kelaparan dan tak bisa menatap ujung hidungmu yang tak pasti arahnya itu. Kamu semua sama saja. Kamu hanya tembok-tembok penghalang yang menghalangi kami mengalir deras ke sumber kami yang tertinggi dimana ada jawaban. Kamu bending kami, kamu haling-halangi kamidengan segala pelayanan kamu yang manis sambil membunh kami

perlahan-lahan di tengah jalan seperti….

commit to user

d. Puncak

Peristiwa dalam naskah lakon Aum ini mengalami puncaknya dimulai

dari konflik antara Bupati dan Kepala keluarga. Konflik antara Bupati dan Kepala keluarga terjadi karena kepala keluarga mendesak dengan berbagai pertanyaan dari permasalahan ketidaklaziman yang dialami warganya. Konflik pertama dimulai dari ketidaktahuan Bupati terhadap apa yang selama ini dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Padahal mereka sudah menghadap dan berada dihadapan Bupati, tetapi Bupati tetap saja tidak memperhatikan apa yang terjadi. Seperti nukilan dibawah ini.

Kep keluarga : Dulu. Dulu bertahun-tahun yang lalu ini memang salah satu dari pertanyaan kami yang nomor sekian. Dulu Pak. Sebagian bukan pertanyaan lagi, meskipun bagi Bapak memang pertanyaan. Ini hanya salah satu contoh saja bagaimana luka dalam batin kami karena terbawa setiap hari dan dikalahkan oleh luka-luka baru menjadi bagian dari perlengkapan kami yang sengaja kami lupa-lupakan. Pertanyaa ini sudah terlalu besar dan menutup mata kami semua, bagaimana mungkin kami memandangya lagi. Mata Bapak masih terbuka. Mata bapak-bapak hansip itu juga sebetulnya masih terbuka, tapi saya lihat dari tadi tak seorangpun yang benar-benar melihat apa sebenarnya yang ada disini. Yang ada pada lelaki-lelaki kami disini. Perhatikan perut mereka semuanya! (MEMERINTAH) Buka perut kamu semua.( Putu Wijaya, 1993 : 37)

Kepala keluarga merasa bahwa Bupati dan hansip-hansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang dialami oleh lelaki yang ada di udik. Para lelaki semuanya hamil dan itu merupakan bagian dari sifat kepahlawanan mereka terhadap keluarga. Hal itu merupakan pertanyaan yang ada sejak dulu dan selalu bertambah oleh luka-luka baru yang muncul seiring dari tidak

perhatiannya penguasa terhadap apa yang dialami oleh rakyatnya. Tetapi hal itu tetap menjadi sebuah pertanyaan bagi Bupati.

Kepala keluarga datang kepada Bupati hanya untuk meminta perlindungan dan jawaban pemecahan masalah dari persoalan yang selama ini semakin menjejali orang-orang udik. Kepala keluarga semakin menjejali dengan berbagai pertanyaan dan mengatakan bahwa banyak beribu-ribu orang pemimpin hanya asal menjawab saja semua keluhan yang diutarakan oleh rakyatnya tanpa memahami betul apa pangkal dari persoalan yang ada. Seperti nukilan berikut.

Kep keluarga : Saya datang kemari seperti mereka juga, meminta perlindungan.

Bupati : Itu memang sudah pekerjaan saya, jangan khawatir.

Kep keluarga: Dan Bapak sudah menjawab apa yang mereka tanyakan, karena Bapak terpaksa harus menjawab demi jawaban Bapak.

Bupati : Tidak.

Kep keluarga : Pasti. Saya kenal beribu-ribu orang seperti Bapak dan semuanya sama.

Bupati : Tidak keliru.

Kep keluarga :Jangan bohong! Saya tahu semua!(Putu Wijaya, 1993 38)

Dimulai dari peristiwa-peristiwa inilah keadaan memuncak karena Bupati merasa diremehkan dan disamakan dengan para pemimpin yang lain yang hanya menjawab berbagai persoalan yang dialami rakyatnya dengan asal jawaban saja. Bupati menjadi marah dengan ucapan Kepala keluarga diatas dan keadaanpun menjadi semakin memuncak. Berbagai desakan pengaduan yang tidak bisa dijawab oleh Bupati menyebabkan ia menuduh balik bahwa

commit to user

Kepala keluarga telah berusaha merusak metabolisme iklim yang sudah terbangun. Seperti nukilan berikut.

Bupati : Aku belum menjawab! Jangan disangka setiap mulut ini terbuka sudah menjawab. Dan jangan mengira setiap orang harus mengikuti logika yang sudah kamu bangun dengan penuh prasangka sejak sebelum matamu melotot disini. Kamu sudah keliru tai kucing! Sekarang aku marah. Aku Bupati disini, aku akan jawab sekarang dengan terus terang bukan sebagai Bupati, tetapi sebagai manusia persis seperti kamu. Apa gunanya aku lari pagi ha-hu-ha-hu setiap hari tiga ratus putaran kalau bukan untuk mengamat-amati dan menyadarkan diriku bahwa aku berdarah, berkulit yang sama ringkihnya dengan kamu. Dengan kamu tai kucing!(Putu Wijaya, 1993 : 39)

Peristiwa ini membuat keadaan semakin tambah memuncak karena Kepala keluarga terus saja mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang semakin menyudutkan Bupati. Bupati dan hansip-hansipnya semakin merasa kebingungan dengan berbagai pertanyaan yang terus saja keluar dari Kepala keluarga yang memimpin rombongan orang-orang udik. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang-orang udik ini sangat banyak dan kian hari klian bertambah, tetapi Bupati menganggap bahwa itu hanyalah persoalan biasa yang dilebih-lebihkan oleh Kepala keluarga.

Satu demi satu orang-orang udik mulai berteriak-teriak menyuarakan apa yang selama ini mereka alami. Peristiwa itu dimulai dari Mawar yang sudah tidak kuat menahan sakit dan penderitaan yang selama ini ia alami. Seperti nukilan berikut.

Mawar : (IA MEMELUK BUNGKUSAN PUTIH ITU) Apa ini Yang Mulia, apa yang Kau titipkan dari makhluk ini di antara kampung kami yang damai, melebihi karunia-Mu yang lain-lain diantara lambaian daun nyiur dan gosokan lalang dan

bunyi kodok setiap malam ditengah sawah. Kemana arah-Mu bergerak sekarang memutar ciptaan-Mu yang tetap milik-Mu dari dulu sampai sekarang. Beri kami penjelasan! (MEMELUK BUNGKUSAN DAN MENCAKAR-CAKAR). (Putu Wijaya, 1993 : 44)

Ucok merasakan bahwa ia sudah tidak kuat menahan beban yang selama ini ia alami. Ia ingin segera menghadap kepada Tuhan dan menyampaikan secara langsung apa yang ia alami selama ini. Seperti nukilan berikut.

Ucok : Bunuh kami semua sekrang kalau kau tak mau membuka misteri yang kau tebarkan sepanjang jalan yang bercabang berliku-liku sepanjang hidup kami yang kumuh dan mengejek makin keras setiap hari. Bendera kami melambai diatas kuburan yang melebar didesa yang tandus dan penuh dengan anak-anak yang membuka moncongnya sebagai setan yang putus asa. Kalau akhirnya Kau akan memasukkan kami kedalam got mapet supaya kami menghirup bau kami sendiri, sudah cukup, sudah lebih dari cukup, bunuh kami sekarang!(Putu Wijaya, 1993 : 44)

Salah satu dari orang udik juga merasakan malu terhadap apa yang ia alami selama ini. Ia merasa malu terhadap anak-anaknya dan semua orang karena alat kelaminnya lama-kelamaan berubah menjadi bencong dan ia tak lagi punya malu tetapi memiliki nafsu seperti kebo. Ia juga ingin segera mengakhiri hidupnya. Seperti nukilan berikut.

Orang udik : Aduh biungggggggg, sakitttttttt. Keburaman yang

sakit, pertanyaan-pertanyaan yang menggepengkan dan merusak tapi merayap perlahan-lahan seperti ingin menonton gigiku copot satu-satu, menyaksikan dengan cekikikan alat kelaminku berubah menjadi bencong dari hari kehari sehingga anak-anakku sendiri jijik melihat kehadiranku yang mereka anggap tak bermalu tapi bernafsu seperti kebo, memaksakan zaman menerima bulu-bulu dan bau badanku yang mengotori udara

commit to user

Pada peristiwa ini terjadi ketegangan yang luar biasa karena setiap orang udik mulai dari mawar sampai salah satu dari orang udik ingin segera mengakhiri hidupnya dan menanyakan langsung kepada Tuhan yang maha kuasa tentang perihal yang mereka alami selama ini.

e. Peleraian

Peristiwa menginjak pada peleraian setelah semua orang berteriak-teriak tak karuan meneriakkan apa yang selama ini mereka alami. Kemudian terdengar bunyi gong dan suasana menjadi sunyi senyap. Kemudian Kepala keluarga mengatakan kepada Bupati bahwa ia sudah tidak bisa lagi menguasai mereka. Seperti terlihat pada nukilan berikut.

TERDENGAR BUNYI GONG, SEMUA JADI SUNYI

Kep keluarga : Bapak Bupati yang saya hormati, mohon ampun beribu-ribu ampun, saya tak bisa lagi menguasai mereka.

Hansip II : Pak Bupati tak ada disini.

Kep keluarga : Sama saja ada atau tidak ada harus bicara dan menjawabnya tak perlu lagi dari Bapak. Aku memimpin mereka bertahun-tahun. Aku bujuk mereka untuk menempuh jalur yang sudah kita setujui bersama ini. Meskipun dengan hati tertekan mereka sudah sampai kemari didepan Bapak. (Putu Wijaya, 1993 : 46)

Walaupun hansip mengatakan bahwa Bupati tidak ada, tetapi tetap saja Kepala keluarga berbicara kepada Bupati bahwa mereka telah berusaha menyelesaikan persoalan yang mereka alami. Mereka juga telah menyampaikannya kepada Bupati. Tetapi mereka semua ingin segera mengakhiri hidup mereka untuk menghadap dan menyampaikan secara

langsung kepada Tuhan tentang perihal yang mereka alami selama ini. Seperti terlihat pada nukilanberikut.

Hansip II : Tidak ada Bapak disini.

Kep keluarga : Di depan Bapak. Dan Bapak lihat sendiri bagaimana mereka telah berusaha, kami telah berusaha dan aku

telah bekerja matia-matian. Jadi jangan nanti

mengatakan kami tidak berusaha. Sekarang ijinkan kami menempuh jalan kami sendiri langsung kehadapan-Nya menanyakan ini semua.( Putu Wijaya, 1993 : 46)

f. Akhir

Peristiwa ini berakhir ketika Kepala keluarga mulai melakukan sembahyang menghadap kepada Tuhan dan mengungkapkan semua yang telah dialami dan semua orang udik yang dipimpinnya. Kepala keluarga dan orang-orang udik yang ia pimpin bertekad untuk menghadap langsung kepada Tuhan untuk menanyakan perihal yang telah mereka alami selama ini. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Kep keluarga : (MELAKUKAN SEMBAHYANG MENURUT AGAMANYA) Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Pencipta kami, Yang Maha Agung Yang selalu kami Mulyakan, Tuhan kami Yang Maha Esa kami sujud di kaki-Mu dan mohon maaf serta ampunan-Mu. Kami berdiri disini dengan sisa-sisa kekuatan kami dan menggapai-Mu dengan lidah kami yang sudah berkarat. Barangkali kata-kata kami tak ada tenaganya lagi karena kami sebenarnya hamper lumpuh disini ditindas oleh penyerahan kami kepada-Mu, sedikitpun kami tidak pernah berpaling dari-Mu, karena dimana saja selalu kami dengar detak-Mu mengikuti waktu bergulir. Namun itu semua tidak pula melumpuhkan hasrat kami untuk bertanya hasrat yang mestinya juga merupakan karunia-Mu kepada kami. Ribuan, jutaan, bermilyar-milyar pertanyaan dalam bongkah kecil dan paket-paket raksasa telah

commit to user

Tak satupun yang benar-benar telah terjawab. Dokter-dokter kami, professor kami, para cendekiawan, pemimpin-pemimpin redaksi, tokoh-tokoh masyarakat, para pejabat, bahkan juga orang-orang pinter kami yang arif dan bijaksana telah mencoba menjelaskan dengan segala upaya mulut mereka. Tapi semua itu ternyata belum memuaskan. Itulah sebabnya hari ini bagaikan orang murtad, bagai pemberontak dan pembangkang aku langsung mengetuk gerbang-Mu dan menanyakan langsung: Satu, Kenapa kelebatan sinar-Mu tidak sama besarnya dihati kami sehingga kami berkelahi sepanjang zaman. Dua. Dua a- Apa maksudmu yang

Dokumen terkait