• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat

5.5. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentas

5.5.2. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Untuk menentukan alternatif prioritas strategi yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, dilakukan penghitungan nilai dari masing-masing strategi dengan menjumlahkan nilai masing-masing faktor yang saling berinteraksi. Urutan prioritas strategi ditentukan oleh besarnya nilai hasil penjumlahan antar faktor yang berintegrasi dan disusun berdasarkan besarnya nilai masing-masing strategi tersebut. Nilai interaksi antar faktor tersebut dikemukakan pada matriks berikut. Faktor internal Faktor eksternal Kekuatan (S) (13,50) Kelemahan (W) (14,50) Peluang (O) (13,25) Strategi S-O (26,75) Strategi W-O (27,75) Ancaman (T) (13,00) Strategi S-T (26,50) Strategi W-T (27,50)

Gambar 8. Matriks nilai strategi SWOT dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai interaksi antar faktor yang dikemukakan pada diatas diperoleh urutan prioritas strategi yaitu strategi W-O (27,75), strategi W-T (27,50), strategi S-O (26,75), dan strategi S-T (26,50). Mengacu pada nilai masing-masing strategi tersebut, maka dapat disusun strategi- strategi pengelolaan sebagai berikut :

1. Strategi W-O meliputi :

a. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan organisasi sosial yang dimilikinya.

b. Membangun mekanisme penyediaan modal usaha bagi masyarakat lokal yang mengikutsertakan semua pihak.

c. Mengembangkan jaringan kerjasama yang setara antara kelompok- kelompok atau organisasi masyarakat lokal dengan pemerintah, swasta, dam lembaga swadaya masyarakat.

2. Strategi W-T meliputi :

a. Menyiapkan peraturan dan mekanisme keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

b. Penguatan organisasi dan kelembagaan yang terdapat pada masyarakat lokal.

c. Membangun sistim pengelolaan yang memungkinkan masyarakat sebagai pemilik saham dari usaha pariwisata yang dikembangkan.

3. Strategi S-O meliputi :

a. Pengelolaan potensi pariwisata yang beragam di kawasan wisata ini dilakukan secara bersama oleh semua pihak dimana masyarakat lokal mengambil peran dalam pengambilan keputusan.

b. Mengintegrasikan modal sosial masyarakat (budaya dan kearifan lokal) dengan program pemerintah.

c. Pengembangan kemampuan masyarakat dalam melakukan assessment terhadap potensi lokal yang dimilikinya.

4. Strategi S-T meliputi :

a. Mensinkronisasikan modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan kemampuan modal yang dimiliki oleh stakeholder lainnya.

b. Membangun sistim perencanaan pengembangan pariwisata yang memungkinkan terpeliharanya hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya.

c. Mengembangkan prinsip pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan. Bila ditelaah secara lebih seksama faktor-faktor strategis tersebut, secara garis besar mencakup beberapa isu penting yang perlu mendapatkan perhatian yaitu :

Pertama, pengembangan kapasitas masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas masyarakat akan mencakup pengetahuan dan keterampilan, permodalan, dan pengembangan jaringan. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan sebuah proses yang memungkinkan masyarakat dapat berperan lebih baik didalamnya. Pengembangan kapasitas merupakan serangkaian aktifitas dimana individu, kelompok, dan organisasi didalam masyarakat meningkatkan kemampuan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Kapasitas dalam hal ini menyangkut kepedulian, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri masyarakat (Raik, 2002). Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengukur potensi, nilai, dan prioritas mereka serta dapat mengorganisir diri (William, 1995 dalam Syahyuti, 2005) untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan potensi sumberdaya yang terdapat di lingkungannya.

Pengembangan kapasitas stakeholder lainnya dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami kepentingan- kepentingan masyarakat lokal dan mengakomodasikannya kedalam aktifitas usaha pengembangan pariwisata yang dilakukan. Pengembangan kapasitas seperti yang dikemukakan tersebut, tidak ditujukan untuk menafikan peran pihak lain diluar masyarakat lokal seperti pemerintah, swasta, dan berbagai kelompok lainnya, yang notabene memiliki kemampuan jaringan dan permodalan yang lebih baik, tetapi sebagai upaya untuk membangun kemampuan masyarakat

lokal dan stakeholdre lainnya dalam melakukan kerjasama serta mampu melakukan proses pengambilan keputusan bersama yang setara dan saling menguntungkan. Dengan demikian, proses tersebut juga akan memberikan kemampuan bagi masyarakat dalam mengembangkan jaringan kerjasamanya dengan berbagai pihak.

Pendekatan seperti ini telah dikembangkan dalam kegiatan pariwisata berbasis masyarakat yang dilakukan di beberapa Taman Nasional di Indonesia. Salahsatunya adalah yang dilakukan di Taman Nasional Rinjani, dimana masyarakat lokal dengan stakeholder lainnya melakukan perencanaan dan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat secara bersama-sama (APEIS- RISPO, 2003a). Selain di Taman Nasional Rinjani, kegiatan tersebut telah pula dilakukan oleh berbagai lembaga dan masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (APEIS-RISPO, 2003b). Keadaan ini akan memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun usaha bersama dengan pihak lain ataupun mendapatkan suntikan modal karena perencanaan usaha yang dilakukan didasarkan pada proses perencanaan yang matang.

Kedua, inventarisasi ataupun penggalian kembali potensi sumberdaya pariwisata baik yang bersumber dari potensi alam (termasuk didalamnya aktifitas produksi masyarakat) maupun potensi sosial budaya. Inventarisasi merupakan suatu bagian dari proses pengelolaan yang akan menentukan strategi yang dapat digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Flyman (2002) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat harus didasarkan pada pemahaman mereka tentang sumberdaya yang tersedia agar dapat menjamin kebutuhan mereka secara berkelanjutan. Inventarisasi ini juga merupakan suatu bentuk proses pembelajaran bagi masyarakat lokal dalam mempersiapkan dan memproduksi atraksi wisata. Kemampuan masyarakat lokal dalam memetakan potensi sumberdaya pariwisata yang terdapat di lingkungannya adalah modal yang sangat penting dalam mendukung keterlibatan mereka pada semua tahapan pengelolaan (Garrod, 2003). Hal ini akan memeberikan kemampuan kepada masyarakat untuk dapat

memetakan potensi yang mereka miliki termasuk kekurangan dan kelebihan yang terdapat didalamnya.

Ketiga, pengembangan kemampuan permodalan dan pengelolaan usaha masyarakat lokal. Hal ini merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi seperti yang dialami oleh kebanyakan masyarakat di desa-desa pantai yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan memiliki kemampuan modal yang sangat terbatas. Upaya yang dilakukan dalam mengembangkan kemampuan masyarakat lokal dalam pengelolaan usaha pariwisata serta seberapa besar manfaat yang diperolehnya tergantung pada beberapa faktor penting seperti jenis wisata yang dikembangkan, regulasi dalam perncanaan pengembangan, kepemilikan lahan, dan akses masyarakat terhadap permodalan (Ashley et al, 2000).

Keempat, pengembangan jaringan dan kemitraan yang memungkinkan masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata yang berlangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat lokal diantaranya informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang dapat dikembangkan dalam menunjang kegiatan pariwisata, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pariwisata, dan kemungkinan dikembangkannya kegiatan usaha bersama dengan stakeholder lainnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat lokal meskipun memiliki modal usaha yang terbatas tetapi memiliki asset sumberdaya alam dan budaya.

Pengambilan keputusan yang meskipun dilakukan untuk kepentingan lokal yang menyangkut pengembangan masyarakat dan wilayah tertentu sangat berkaitan dengan berbagai kepentingan yang lebih luas. Oleh karenanya, untuk mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini dibutuhkan jaringan kerjasama dan kemitraan antara berbagai stakeholder terkait. Pendekatan tersebut dapat membangun tanggungjawab bersama dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi serta evaluasi kegiatan (International Council on Local Environmental Initiative, 1999).

Kelima, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Salahsatu kelemahan yang terdapat dalam upaya membangun pariwisata di daerah saat ini adalah lemahnya

kebijakan pariwisata daerah (Nirwandar, 2006). Kelemahan kebijakan ini tidak hanya menyangkut strategi daerah untuk mengembangkan sektor pariwisatanya, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana sebaiknya mekanisme yang ditempuh agar semua komponen yang terkait didalam sektor tersebut dapat berperan didalamnya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme peran berbagai pihak, terutama masyarakat lokal sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai pengalaman, masyarakat lokal selalu terpinggirkan oleh pesatnya perkembangan pariwisata.

Keadaan diatas merupakan akibat dari kebijakan dan perencanaan yang berkaitan dengan pariwisata secara umum tidak memenuhi harapan masyarakat lokal yang disebabkan oleh isi/kandungan kebijakan tersebut tidak memenuhi kepentingan masyarakat ataupun ada tetapi tidak dapat dilaksanakan (Liu dan Wall, 2006). Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, meskipun pemerintah daerah telah menetapkan pariwisata dikembangkan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat (Disparsenibud Donggala, 2002 dan 2003) namun belum memiliki mekanisme yang jelas. Hal ini sangat diperlukan agar semua pihak dapat mengembangkan perannya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki. Salahsatu contoh, misalnya, untuk menjamin pemasaran produksi (pertanian, peternakan, dan perikanan) masyarakat maka ditetapkan untuk menyediakan konsumsi bagi wisatawan yang bersumber dari produksi atau sumberdaya lokal (Garrod et al, 2006).

Keenam, membangun sistim pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, baik dari aspek lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian lingkungan tidak saja ditujukan bagi terpeliharanya potensi sumberdaya secara berkelanjutan tetapi juga disebabkan karena permintaan pasar pariwisata yang besar terhadap aspek ini. Berkaitan dengan itu, Damanik dan Weber (2006) mengemukakan bahwa aspek lingkungan yang alamiah menjadi incaran sebagian besar wisatawan global, mulai dari Amerika Utara sampai Eropa. Selanjutnya dikemukakan pula, tiga dari setiap empat orang wisatawan Amerika Serikat pada tahun 2003

memandang penting bahwa perjalanan mereka dapat menikmati kondisi alam yang masih baik.

Demikian pula dengan aspek lingkungan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek lingkungan secara keseluruhan (Soetaryono, 2002 dalam Purba, 2002). Pertimbangan aspek lingkungan sosial memiliki kepentingan yang luas karena hal ini akan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat termasuk pengaruhnya terhadap lingkungan alam. Berbagai kasus memberikan contah bahwa ketidakserasian dan keseimbangan aspek sosial memberikan pengaruh pada upaya untuk melestarikan potensi sumberdaya alam. Selain itu, perhatian terhadap aspek ini juga berkaitan dengan keinginan pasar pariwisata dimana daya tarik budaya, kondisi sosial, dan politik lokal dijadikan bahan pertimbangan bagi wisatawan dalam memilih lokasi kunjungan (Damanik dan Weber, 2006).

5.5.3. Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung