• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Penduduk yang bermukim di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi sebagian besar merupakan masyarakat lokal etnik Kaili dengan dialek Unde. Oleh karena itu maka tatanan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat di wilayah ini adalah tatanan sosial budaya masyarakat Kaili yang sangat menghargai hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, dalam pandangan masyarakat, tidak hanya sekedar hubungan fungsional semata, dimana alam berfungsi memberikan kehidupan bagi manusia, tetapi memiliki hubungan yang sangat luas mencakup aspek sosial budaya dan religiusitas (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Hubungan-hubungan yang diyakini oleh masyarakat dengan alam sekitarnya biasanya diimplementasikan kedalam sikap keseharian mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Dalam hal ini, sebagian masyarakat di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi (sebagaimana masyarakat

Kaili pada umumnya) menerapkan hal tersebut kedalam pola pemanfaatan lahan dengan berbagai kepentingannya. Pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel berikut.

Tabel 24. Pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Kaili di Tanjung Karang Pusentasi

Pola pemanfaatan

dan kepemilikan Deskripsi Vegetasi Pemanfaatan

Ngapa (Perorangan dan komunal) Wilayah yang diperuntukan bagi pemukiman. Tanaman buah, sayuran, dan tanaman obat. Perumahan dan prasarana masyarakat. Pampa (Perorangan)

Lahan kebun atau ladang yang ditanami tanaman berumur pendek. Umbi-umbian, jagung, tanaman sayuran, dan tanaman obat. Subsisten, sebagai penyanggah kehidupan sebelum talua berproduksi. Talua (Perorangan)

Lahan kebun yang ditanami tanaman yang berumur panjang.

Kelapa, cokelat, kopi, tanaman jangka panjang lainnya, dan padi ladang (umur pada ladang ± 6-7 bulan). Kebutuhan jangka panjang, termasuk kebutuhan pangan tahunan. Ova (Perorangan dan komunal)

Lahan hutan bekas kebun yang telah mengalami masa bera.

Tanaman keras terutama buah- buahan, tanaman kayu, dan belukar.

Cadangan lahan dan produksi buah- buahan lokal.

Pangale

(Komunal)

Hutan yang pernah dimanfaatkan atau dikelola tetapi telah pulih kembali.

Tanaman kayu, rotan, dan berbagai jenis lainnya

Produksi rotan, tanaman obat, dan perburuan satwa

Olo

(Adat)

Wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola

Tanaman kayu dan berbagai vegetasi lainnya

Sumber mata air dan perlindungan alam.

Pola pemanfaatan lahan masyarakat di kawasan ini, merupakan pola pemanfaatan tradisional yang yang sudah digunakan oleh masyarakat sejak lama. Meskipun aturan tentang pemilikan lahan telah diatur oleh pemerintah melalui kebijakannya, namun dalam beberapa hal seperti yang dikemukakan pada tabel diatas pola pemanfaatannya masih diatur oleh kesepakatan masyarakat, terutamam yang berkaitan dengan lahan yang dikelola secara komunal dan adat. Melalui diskusi kelompok dikemukakan bahwa sebagai besar lahan yang dimiliki secara perorangan oleh masyarakat lokal saat ini adalah lahan yang diwariskan

secara adat kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Lahan komunal merupakan lahan yang dimiliki secara kelompok dan dimanfaatkan serta diatur penggunaannya oleh kelompok. Pengelolaan secara kelompok ini dikenal dengan sebutan nosialampale. Sementara itu, kepemilikan lahan secara adat dilakukan untuk mengatur penggunaan lahan agar kepentingan masyarakat dan kepentingan pelestarian alam dapat berjalan seimbang.

Kegiatan pelestarian alam dilakukan oleh masyarakat selain untuk kepentingan cadangan untuk kebutuhan masa depan juga ditujukan untuk melindungi tata air bagi suatu lokasi tertentu. Pada beberapa desa di Kecamatan Banawa, termasuk di kawasan ini, terdapat lokasi yang dilindungi oleh masyarakat melalui mekanisme adat. Suatu lokasi tertentu yang dilindungi selain dikeramatkan juga dikuti oleh aturan-aturan tertentu yang mengikat dan harus ditaati oleh masyarakat. Resiko yang akan ditanggung bila melanggar, disamping sanksi adat yang diberikan juga diyakini akan menyebabkan bencana berupa gangguan hama tanaman, banjir, hilangnya sumber air, dan dapat pula menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang menimpa masyarakat.

Keseimbangan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam ini, selain di aktualisasikan dalam pola pemanfaatan lahan, juga dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan lahan pertanian. Kegiatan pertanian dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan umumnya berlaku pada masyarakat lainnya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Kaili di kawasan ini, proses pengelolaan lahan pertanian dilakukan dengan menggabungkan teknik pertanian dan prosesi adat yang dianut dan diyakini manfaatnya oleh masyarakat. Mekanisme pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 25.

Tabel 25. Tatacara masyarakat dalam pengelolaan usahatani. Tahap

pengelolaan

Kegiatan Deskripsi

Penyiapan lahan Nompepoyu Penentuan lokasi usahatani yang tepat agar selaras dengan kepentingan alam. Kegiatan dimulai dengan upacara adat.

Nontalu Pemarasan lokasi dilakukan dengan mengikuti

aturan yang telah disepakati secara adat oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan jenis dan ukuran tanaman tertentu yang tidak boleh ditebang.

Penanaman Notuja Kegiatan penanaman benih tanaman yang akan diusahakan.

Pemeliharaan tanaman

Nomperava Pembersihan gulma yang terdapat pada lahan

usahatani. Panen dan paska

panen

Nokato /nompui

Kegiatan pemanenan hasil usaha tani. Istilah

nokato diperuntukan bagi panen padi,

sedangkan nompui untuk tanaman jagung dan buah-buahan.

Novunja Kegiatan adat/spiritual sebagai tanda

kesyukuran atas berhasilnya kegiatan usahatani. Kelembagaan Nosialampale Sistim usaha bersama yang dilakukan dalam mengelola lahan usahatani. Nosialampale

berarti bergandengan tangan.

Sobo - Pemangku adat (totua nu’ada) yang diangkat

sebagai pemimpin petani melalui musyawarah adat.

- Sangat memahami kondisi alam dan memiliki pengetahuan bertani yang baik. Berperan sebagai pengambil keputusan terhadap semua proses dalam kegiatan usahatani.

Kegiatan nompepoyu merupakan tahapan yang paling menentukan dalam proses pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat karena pada tahapan ini mereka menentukan lokasi lahan usahatani yang dapat diusahakan. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang sobo yang akan melakukan dialog (nogane) dengan alam agar dapat diberi petunjuk lokasi usahatani yang tepat sehingga tidak berakibat bagi rusaknya alam. Proses tersebut akan menghasilkan keputusan diizinkan atau tidaknya lokasi yang direncanakan dikelola sebagai lahan usahatani. Bila keputusan akhir menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak

dapat dikelola maka masyarakat yang akan membuka lahan harus mencari lokasi lain yang tepat. Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi oleh sobo

merupakan perpaduan antara pertimbangan-pertimbangan topografi, ekologi, dan metafisik.

Demikian pula dengan tahapan-tahapan selanjutnya seperti pengolahan lahan, penanaman, panen dan kegiatan paska panen. Penentuan waktu dimulainya pengolahan lahan dan penanaman ditentukan berdasarkan tanda- tanda alam. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut, terutama nompepoyu, notuja, dan nokato/nompui selalu didahului dengan kegiatan ritual yang dipimpin oleh sobo dengan disertai semacam dialog dengan alam yang oleh masyarakat disebut dengan nogane. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong yang disebut nosialampale.

Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang terdapat di laut, masyarakat di kawasan ini juga memiliki pengetahuan dan kearifan tertentu agar potensi tersebut dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya adalah waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan berdasarkan tanda-tanda alam seperti perbintangan, kondisi permukaan air laut, dan kondisi pasang surutnya air laut, serta pengetahuan tentang habitat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya jenis-jenis ikan tertentu.

Masyarakat yang terdapat di kawasan ini menyebut lokasi yang menjadi habitat dari ikan-ikan tersebut berdasarkan jenis ikan yang dominan di lokasi tersebut. Sebagai contoh misalnya, pasi pogo yang merupakan habitat tempat berkembangnya sejenis ikan karang yang mereka sebut dengan bau pogo. Dalam bahasa Kaili, pasi berarti gugusan terumbu karang, sedangkan bau berarti ikan. Pengetahuan mereka tentang keadaan ini juga termasuk kapan waktu yang tepat untuk dilakukan penangkapan agar supaya potensi yang terdapat pada lokasi tersebut punah. Oleh karena itu dalam menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut maka masyarakat Kaili memiliki kearifan tertentu yang disebut ombo.

Tabel 26. Kearifan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya laut.

Aspek Kegiatan Deskripsi

Sistim pengelolaan sumberdaya

Ombo Aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk tidak

memanfaatkan hasil alam tertentu dalam batas waktu yang ditentukan bersama oleh masyarakat. Untuk daerah tangkapan ikan seperti pada suatu gugusan karang, waktu jeda tersebut bermanfaat untuk memulihkan populasi ikan dan perbaikan terumbu karang.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan

Panambe Kegiatan yang dilakukan untuk memancing ikan

dengan menggunakan perahu dan melemparkan umpan yang terdapat di pancing kemudian menariknya secara perlahan untuk mengundang perhatian ikan dan menangkap umpan yang terkait di pancing tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah 3 – 5 orang.

Maninti Kegiatan memanfaatkan sumberdaya laut yang

terdapat pada tepi pantai hingga gugusan karang saat air laut berada pada surut terendah dengan menggunakan tombak bermata kecil, parang, dan jaring tangkap yang mirip jaring kupu-kupu.

Adat/spiritual Nompaura Posesi adat yang dilakukan sekali setahun yang dilakukan sebagai tanda syukur serta memberi peringatan kepada masyarakat agar memanfaatkan potensi alam dengan sebaik-baiknya tanpa melakukan perusakan.

Kearifan lokal yang dihasilkan dari pengetahuan mereka tentang sumberdaya laut tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk kepentingan pengelolaan pariwisata. Ombo sebagai sebuah sistim pengelolaan terumbu karang untuk menjaga kelestariannya tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tetapi juga sangat bermanfaat untuk pariwisata sebagai salahsatu daya tarik yang dimiliki oleh kawasan ini. Disamping itu, kegiatan perikanan yang dilakukan oleh nelayan seharusnya juga dapat memperoleh manfaat dari dikembangkannya pariwisata di kawasan ini. Manfaat yang didapatkan tidak hanya bersumber dari penjualan hasil tangkapan ikan nelayan kepada wisatawan yang berkunjung tetapi juga melalui keikutsertaan wisatawan pada aktifitas yang dilakukan oleh nelayan. Salahsatu peluang untuk hal tersebut adalah menjadikan kegiatan panambe

Menurut informasi yang dikemukakan oleh masyarakat pernah terjadi secara spontan wisatawan meminta untuk diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, dan ini menurut mereka merupakan sebuah kebanggaan dimana orang luar memberikan apresiasi terhadap aktifitas yang mereka lakukan. Dengan demikian maka aktifitas masyarakat ini dapat dikembangkan menjadi salahsatu daya tarik wisata yang juga bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat serta mendorong mereka melindungi sumberdaya yang menjadi tempat dilakukannya aktifitas tersebut.

Disamping pengetahuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam seperti yang dikemukakan dimuka, masyarakat juga memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk budaya baik yang berbentuk benda budaya maupun seni musik dan tari. Berbagai bentuk produk budaya masyarakat di kawasan wisata ini disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kerajinan. Kegiatan Jenis produk

(Nama lokal) Deskripsi

Menenun (Nontanu)

Buya Sabe Suatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat Kaili

yang dituangkan kedalam bentuk pembuatan kain sarung dari benang sutera dengan berbagai motif. Pembuatan

alat-alat rumahtangga

Sindu Sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa

dengan menggunakan kayu sebagai tangkainya.

Bobo Alat penyimpan air yang terbuat dari tempurung

kelapa bulat yang telah dikeluarkan dagingnya.

Pemanjo Belahan tempurung kelapa yang berbentuk

mangkok sebagai tempat cuci tangan. Bentuk yang seperti ini kadang juga digunakan oleh masyarakat sebagai tempat hidangan sayur.

Suge Sendok nasi yang terbuat dari bahan kayu yang

terdapat disekitar desa.

Salahsatu produk budaya masyarakat di wilayah ini yang saat ini telah memiliki nilai ekonomi adalah pembuatan sarung Donggala yang diproduksi dengan menggunakan alat tenun tangan. Pembuatan sarung ini merupakan keterampilan yang telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat di wilayah ini serta pada masyarakat Kaili di beberapa wilayah lainnya. Pada

masyarakat Kaili, kegiatan ini biasa disebut dengan kegiatan nontanu yang dalam bahasa Indonesia berarti menenun.

Nontanu adalah kegiatan membuat kain sarung yang juga merupakan salahsatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat lokal Kaili yang yang dituangkan kedalam kain sarung yang ditenun secara manual dengan menggunakan alat tenun tangan. Kegiatan masyarakat ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu, meskipun tidak diperoleh informasi yang menyatakan sejak kapan kegiatan ini dilakukan, dan merupakan keterampilan dan aktifitas yang dilakukan oleh seorang gadis disamping aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan di rumah. Meskipun dahulu produksi sarung ini bukan untuk kepentingan ekonomi tetapi hanya merupakan aktifitas yang berorientasi sosial dan budaya, namun saat ini telah menjadi sebuah kegiatan yang memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Gambar 7. Kegiatan nontanu yang dilakukan oleh seorang gadis di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. (Foto : Yayasan BEST)

Masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi juga memiliki keterampilan untuk menghasilkan barang-barang kerajinan yang berasal dari kayu, tempurung, dan bambu yang terdapat di kawasan ini, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Produk kerajian tersebut biasanya berupa barang-barang rumahtangga seperti sendok masak, serta alat makan dan minum. Namun demikian barang-barang tersebut sudah jarang dibuat karena

tergeser oleh produk-produk industri. Peluang yang dapat dilakukan adalah menjadikan barang-barang tersebut sebagai cinderamata yang dapat dibeli oleh wisatawan serta dapat dijadikan sebagai perlengkapan makan bagi wisatawan.

Selain produk budaya yang berupa barang kerajian tersebut, di wilayah ini juga masih terdapat berbagai produk kesenian seperti seni tari dan musik. Kegiatan seni tari yang masih dimiliki oleh masyarakat dan merupakan tarian yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan adalah tari

Pontanu, Peulucinde dan Pomonte. Produk-produk kesenian tersebut dikemukakan pada Tabel 28.

Tabel 28. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kesenian. Kegiatan Jenis

(Nama lokal) Deskripsi

Tari Pomonte Tarian yang menggambarkan proses pemanenan padi yang dilakukan oleh beberapa orang baik pria maupun wanita, yang dipimpin oleh seorang tadulako.

Pontanu Tarian yang menggambarkan proses pembuatan sarung.

Peulucinde Tarian penyambutan tamu yang dilakukan oleh tiga orang

wanita.

Meaju Suatu prosesi penyambutan tamu-tamu penting, biasanya

dilakukan pada saat tamu masih berada di batas desa atau arena suatu kegiatan.

Musik Kakula Seni musik yang menggunakan kulintang dan gong yang terbuat dari kuningan, dan gendang, dan biasanya dimainkan pada acara-acara tertentu.

Dadendate Dadendate berarti nyanyian panjang, diiringi oleh alat musik berupa suling. Dilakukan menjelang kepergian seseorang ke perantauan yang berisi pesan-pesan moral. Saat ini dadendate telah digunakan pula sebagai media penyampaian pesan-pesan lingkungan.

Tari Pomonte merupakan tarian yang menggambarkan tentang proses pemanenan padi yang ditarikan oleh beberapa orang baik wanita maupun pria, yang didalamnya menggambarkan tentang peran seorang pemimpin atau

Tadulako didalam melakukan sebuah kerja kelompok. Tari Pontanu merupakan tarian yang dilakukan oleh beberapa gadis yang menggambarkan tentang proses pembuatan sarung Donggala. Sedangkan tari Peulucinde adalah tarian yang dilakukan untuk menyambut kedatangan tamu dan ditarikan pula oleh beberapa orang gadis.

Kegiatan budaya lainnya yang masih dijumpai adalah Meaju yang merupakan sebuat prosesi penerimaan tamu secara resmi. Kegiatan dilakukan oleh sekelompok pria dengan menggunakan pakaian tertentu dan menggunakan tombak yang melakukan arak-arakan dari tempat diterimanya tamu hingga ke tempat dilakukannya suatu acara tertentu. Meaju ini biasa dilakukan pada saat menjemput kedatangan tamu-tamu penting yang datang ke daerah ini.

Seni musik tradisional yang masih terdapat pada masyarakat Kaili yang bermukim di wilayah ini adalah Kakula dan Dadendate. Kakula merupakan seni musik yang dapat dimainkan tanpa atau mengiringi seorang penyanyi. Kegiatan seni ini biasa dilakukan pada saat beberapa hari sebelum hingga menjelang pesta pernikahan (tanpa penyanyi), serta pada acara-acara tertentu lainnya dengan menggunakan penyanyi. Sedangkan dadendate (nyanyian panjang) merupakan sebuah jenis kesenian yang biasanya dilakukan menjelang kepergiaan seseorang ke perantauan dan berisi pesan-pesan moral tertentu, dinyanyikan oleh seseoang dengan diiringi oleh oleh beberapa alat musik tertentu. Selain digunakan untuk mengantar kepergian seseorang saat ini dadendate telah digunakan pula untuk menyampaikan pesan-pesan lingkungan kepada masyarakat.

5.4. Konsep Pemerintah dan Pihak Lainnya Dalam Pengelolaan Pariwisata