• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan parawisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karangpusentasi Donggala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan parawisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karangpusentasi Donggala"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Abdulbasir Languha

(3)

Beach Tourism Area of Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Under Supervision of ANI MARDIASTUTI and E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Beach tourism area in Tanjung Karang Pusentasi is one of tourism area in the Donggala District, which has diversity and interesting tourism objects. Because of this diversity, the Government of Donggala District has defined the area to become the important area for tourism development. This tourism area is located at the end of the Palu Bay and is directly toward the Makassar Strait, in Tovale, Limboro, Boneoge, and Labuan Bajo villages. To develop this important tourism area, a lot of researches need to be conducted. The objective of this research is to study and develop community based tourism concept, based on: (1) community perception on tourism activity and their expectation of involvement in developing this sector; (2) traditional/local wisdom particularly on natural resources management that can be used as a basis for a community based tourism management; and (3) government concept and other stakeholder views related with community based tourism management.

This research indicated that local community has a positive view/perception on the tourism activity. This is indicated by most of community (61.43%) stated that tourism sector has provided benefits to them. Local community has indicated that they are interested to fully involved in the planning, managing and evaluating tourism activity in their area. Local community has their local wisdom in the natural resources management for agriculture and fishery uses, such as site selection for agriculture (nompepoyu), and having break period in the natural resources management (ombo). Additionally, there are some traditional/cultural activities/products that potentially can be used as tourism attractions. Government policy supports in the implementation of community based tourism management will be the main factor to develop this initiative and to integrate tourism as part of community activities. The development of this sector should be based on community interests and approaches. Private sectors stated that their involvement in this sector is by recruiting local community in their business, as well as encouraging local community to protect their natural resources. Meanwhile, community group and non-government organization views that there is a need on cooperative-management between stakeholders in this tourism area.

This research has recommended that there is a need to increase local community capacity and their organization, as well as preparation of regulation and clear mechanism in the community involvement and other stakeholders in the tourism management in Tanjung Karang Pusentasi.

(4)

ABDULBASIR LANGUHA. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi merupakan salahsatu kawasan wisata yang terdapat di Kabupaten Donggala dan memiliki keragaman obyek dan daya tarik wisata. Karena keragaman potensi tersebut, pemerintah daerah menjadikan kawasan wisata ini sebagai salahsatu kawasan unggulan. Kawasan wisata ini terletak di ujung Teluk Palu dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang meliputi wilayah desa Tovale, desa Limboro, kelurahan Boneoge, dan kelurahan Labuan Bajo. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan : (1) pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut, (2) kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, dan (3) konsep pemerintah serta pandangan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

(5)

masyarakat dan pihak lainnya dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi

(6)

TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : ABDULBASIR LANGUHA

NIM : P 052020131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan

Dr. Drh. Hasim, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(8)

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

(10)

Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2007 ini adalah pengelolaan pariwisata dengan judul

“Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala”.

Selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari peran kedua pembimbing, masing-masing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti selaku ketua komisi pembimbing beserta Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan saran selama proses penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa mungkin saja masih terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Berkaitan dengan itu, maka segala hal yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut merupakan kekeliruan penulis dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.

Peran masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus organisasi masyarakat, dan aparat desa/kelurahan di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi dalam mensukseskan kegiatan penelitian yang penulis lakukan sangatlah besar. Demikian pula dengan aparat pemerintah Kecamatan Banawa dan Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala, pengusaha pariwisata dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah mendukung penulis dalam memberikan dukugan berupa

data dan informasi yang disampaikan ketika wawancara dilakukan. Penulis berharap upaya yang telah mereka lakukan bersama penulis dalam mendiskusikan

masalah pariwisata di wilayah ini dapat memberikan dorongan dan nilai tambah bagi upaya pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien

Bogor, Agustus 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 18 Oktober 1958 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari Ayah D. Languha dan Ibu Hanisa (Almarhumah).

Menamatkan pendidikan masing-masing, Sekolah Dasar pada tahun 1970 di SDN No. 1 Donggala, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1973 di SMP Negeri 1 Donggala dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1976 di SMA Negeri Donggala. Jenjang pendidikan Strata 1 diselesaikan pada Tahun 1987 pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.

Sejak tahun 1990, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Penulis memiliki seorang isteri bernama Nuraeni dan tiga orang putra-putri masing-masing Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa.

(12)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu

Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala ni’mat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor.

Upaya yang penulis lakukan hingga saat ini, tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bimbingan dan do’a dari orang tua penulis masing-masing Ayahanda D. Languha dan Ibunda Hanisa (almarhumah). Semoga jerih payah dan kasih sayang yang diberikannya kepada penulis dapat menempatkan mereka pada posisi yang terhormat disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan selesainya penulisan penulisan tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sangat tinggi kepada kedua pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran selama proses penyelesaian ini. Kedua pembimbing tersebut masing-masing:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan

2. Ibu Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Disamping itu, ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian tesis penulis yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2008. Tiada sesuatu

yang dapat penulis berikan kepada mereka bertiga kecuali do’a yang penulis

panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga amal baik mereka mendapatkan ridha dari Allah SWT dan diberikan kelapangan dalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya.

(13)
(14)

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Donggala merupakan salahsatu wilayah yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 10.472 km² yang terdiri atas 16 wilayah kecamatan. Daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sudah dikenal hingga mancanegara seperti Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Laut Pulau Pasoso, dan Pantai Tanjung Karang. Disamping lokasi-lokasi tersebut, daerah ini juga memiliki potensi lokasi wisata lainnya yang secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Air Terjun Loli, Air Terjun Vera, Air Panas Mantikole, Pantai Parimpi, Pantai Pusentasi, Danau Talaga, dan Danau Rano.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Donggala menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor unggulan disamping pertanian, perkebunan, dan perikanan (Pemda Kabupaten Donggala, 2005). Rencana tata ruang Kabupaten Donggala tahun 1999-2009 menetapkan lokasi-lokasi tersebut sebagai kawasan pengembangan pariwisata. Penetapan tersebut didasarkan pada

minat masyarakat untuk berkunjung juga disebabkan lokasi-lokasi tersebut memiliki pemandangan alam yang indah, potensi budaya yang dimiliki oleh

masyarakat sekitarnya, dan potensi flora dan fauna yang dimilikinya (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999).

Salahsatu lokasi tujuan wisata di Kabupaten Donggala yang saat ini sedang berkembang adalah Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang dan Pusentasi yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa. Kegiatan pariwisata di kawasaan pantai ini telah berlangsung sejak lama, dan secara tradisional merupakan lokasi wisata masyarakat Donggala dan sekitarnya, termasuk yang berasal dari Kota Palu. Karena potensi alam yang dimiliki, maka saat ini lokasi tersebut telah dikelola oleh pemerintah dan swasta serta dijadikan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang cukup dikenal terutama yang berasal dari Eropa.

(15)

pembangunan pariwisata, yaitu meningkatkan peran aktif masyarakat di dalam mengelola dan mengembangkan kegiatan pariwisata (Disparsenibud Donggala, 2002). Kebijakan ini memang sangat beralasan karena pada dasarnya kawasan yang dikembangkan menjadi obyek wisata tersebut merupakan wilayah usaha masyarakat setempat yang dilakukan dengan berbagai aktifitas seperti perikanan, pertanian dan peternakan. Disamping itu pada kawasan ini juga terdapat kegiatan industri rumah tangga penduduk setempat berupa pembuatan sarung tenun Donggala, yang merupakan ciri khas sarung tenunan lokal Sulawesi Tengah serta potensi sosial budaya masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi produk-produk wisata. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang telah dilakukan pada lokasi wisata Tanjungkarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum terlibat langsung pada kegiatan pengelolaan pariwisata (Agusniatih, 2002).

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha untuk menggali dan mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, terutama yang berkaitan dengan

aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, konsep dan kebijakan pemerintah serta keterlibatan pihak lain diluar masyarakat dan pemerintah seperti pihak

swasta yang bergerak di bidang pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat. Studi ini beranjak dari asumsi bahwa berbagai persoalan yang timbul dari suatu pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pariwisata, disebabkan tidak dilibatkannya masyarakat berdasarkan kepentingan dan potensi sosial budaya yang dimilikinya. Padahal, menurut Huguinen (2000) masyarakat memiliki pengalaman empirik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang terdapat disekitar lingkungan kehidupannya. Pengetahuan tersebut kemudian, menurut Flyman (2002) membentuk sistim pengelolaan oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupannya.

(16)

meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002).

Akibat positif dari pembangunan pariwisata tersebut ternyata juga menghasilkan berbagai akibat negatif yang berkaitan dengan aspek sosio-kultural dan lingkungan pada banyak lokasi tujuan wisata, terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata dapat berupa peningkatan harga lahan, degradasi budaya dan akulturasi, masuknya spesies asing ke dalam flora dan fauna lokal, kerusakan lokasi warisan budaya, kerusakan terumbu karang, sampai pada pencemaran akibat pembuangan sampah dan kotoran pada lokasi tujuan wisata yang terkenal dan padat pengunjung (Sashidaran et al., 2002). Keadaan tersebut hanya merupakan beberapa akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Akibat lainnya yang sangat penting terutama bagi kelestarian potensi sumber daya alam yang menjadi salahsatu daya tarik wisata adalah perebutan atau konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh berbagai pihak

seperti masyarakat lokal, pihak swasta yang berasal dari luar dan pemerintah.

Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik

(17)

1.2. Rumusan Masalah

Penerapan konsep pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu alternatif untuk mengatasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh konsep tersebut mendapat dukungan dari kondisi sosio-kultural masyarakat setempat, kebijakan pemerintah dan keterlibatan pihak lain seperti swasta dan LSM yang berkepentingan terhadap kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang diangkat

didalam penelitian ini adalah ” bagaimana bentuk pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat yang dapat dikembangkan ”, yang dibagi menjadi beberapa pertanyaan dan diharapkan dapat mendukung ditemukannya jawaban bagi pertanyaan pokok tersebut, sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Sejauhmana masyarakat masih memiliki kelembagaan (pranata) sosial, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaaan sumber dayaalam yang

dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat.

3. Bagaimana pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal memandang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kegiatan pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia saat ini telah semakin berkembang. Perkembangan ini melibatkan semua komponen yang terdapat didalam suatu masyarakat, baik masyarakat lokal maupun individu ataupun kelompok usahawan/swasta yang berasal dari luar suatu wilayah tertentu, termasuk pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan pembangunan.

(18)

dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada kenyataannya disamping memberikan manfaat, kegiatan pariwisata juga memberikan akibat yang negatif terutama bagi masyarakat yang terdapat di sekitar wilayah/lokasi kegiatan pariwisata. Dengan kata lain, bahwa perkembangan kegiatan pariwisata di suatu wilayah/lokasi belum tentu dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal, yang disebabkan oleh konsep atau sistim pengelolaan yang belum memberikan peluang bagi semua pihak untuk mengambil peran dan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, suatu konsep yang memberikan kesempatan kepada semua pihak terutama masyarakat lokal, telah ditawarkan dan dikembangkan pada berbagai tempat didunia, yang disebut dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Menurut Harris dan Vogel (2004) konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sebuah pendekatan pengelolaan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan-keputusan pengelolaan. Konsep tersebut dikembangkan berdasarkan pada persepsi masyarakat terhadap

usaha yang akan dikembangkan. Peran masyarakat tersebut tidak terlepas dari interaksinya dengan pemerintah dan pihak lain yang berasal dari luar. Disamping

itu potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya menjadi modal bagi pengembangan konsep tersebut.

(19)

Pemerintah Masyarakat lokal Pengusaha wisata

Pengelolaan pariwisata berbasis

masyarakat Potensi sumberdaya

alam dan sosial budaya masyarakat

Konsep dan kebijakan pemerintah

Persepsi, harapan, dan potensi masyarakat

Persepsi/pandangan pengusaha dan LSM

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan

konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan :

1. Pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

(20)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan perencana lainnya dalam melakukan perencanaan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. 2. Sebagai sumber informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu

(21)

Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan sementara seseorang ke tempat lain dari tempat tinggal dan tempat kerjanya serta melakukan berbagai kegiatan selama berada ditempat tujuan dan memperoleh kemudahan dalam penyediaan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Mathieson dan Wall, 1992).

Burkart dan Medik (1981) dalam Ross (1998) menggambarkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh para wisatawan dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengadakan perjalanan ke dan tinggal diberbagai tempat tujuan.

2. Tempat yang dituju dalam kegiatan tersebut berbeda dari tempat tinggal dan tempat kerjanya sehari-hari. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja ditempat tujuan wisatawan.

3. Orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut (wisatawan) bermaksud pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan. Karena itu perjalanannya bersifat sementara dan berjangka pendek.

4. Perjalanan dilakukan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap ditempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah.

Spillane (1987) memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu perjalanan dari satu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Disamping itu, menurut Cooper et al., (1999) kegiatan

pariwisata memiliki suatu kelebihan dimana “konsumsi dilakukan di tempat dan

pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga dengan demikian wisatawan

yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya.

(22)

memberi makna yang luas. Oleh karenanya kegiatan pariwisata juga memiliki dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan dan berbagai interaksi antara berbagai aspek kehidupan manusia. Berkaitan hal ini, Pendit (2003) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan sebuah industri yang didalamnya terdapat setidaknya sepuluh unsur pokok yaitu politik/kebijakan pemerintah, perasaan ingin tahu yang melahirkan keinginan untuk berwisata, sifat ramah tamah, aksesibilitas, akomodasi, transportasi, harga, publisitas dan promosi, dan kesempatan berbelanja bagi wisatawan.

Secara garis besar, pariwisata dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu pariwisata alam dan pariwisata budaya. Pariwisata alam atau nature tourism atau nature-based tourism adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung tergantung pada sumber daya alam yang belum berkembang/dikembangkan, termasuk pemandangan, topografi, perairan, tumbuhan dan hewan liar (World Conservation Union, 1996 dalam Tribuwani, 2002). Selanjutnya Raharjo (2000) dalam Winarso (2004) mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam memiliki prinsip-prinsip yaitu kontak dengan alam, pengalaman yang bermanfaat secara

pribadi maupun sosial, bukan merupakan mass tourism, mencari tantangan fisik dan mental, interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat, adaptif

terhadap kondisi akomodasi pedesaan, toleran terhadap ketidaknyamanan, partisipasi aktif, dan lebih mengutamakan pengalaman dibanding kenyamanan.

Berdasarkan hal tersebut, maka secara prinsip pariwisata alam tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan pariwisata budaya. Meskipun demikian, wisata budaya dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perjalanan yang semata-mata hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya disuatu tempat tertentu (McKercher, 2002 dalam Suranti, 2005).

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat

(23)

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan penguatan masyarakat lokal serta dalam rangka perlindungan terhadap sumberdaya alam.

Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat tergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan hal tersebut dapat berlangsung bila ada manfaat yang nyata diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut (Adhikari, 2001). Hal ini berarti bahwa masyarakat harus memiliki tanggungjawab yang penuh dan otonomi terhadap perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Uphoff, 2002)

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan tidak hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan institusi lokal (Rasmussen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001). Keterlibatan masyarakat dan institusi lokal diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan dan terbentuknya konsensus yang berkaitan dengan keadaan lingkungan saat itu (Innes, 1996; Selman, 2001). Selanjutnya, keberhasilan pendekatan partisipasi lokal akan

sangat ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat, struktur masyarakat dan hubungan antar

individu yang terbangun didalam masyarakat tersebut (Selman, 2001).

Konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat seringkali diasosiasikan dengan berbagai istilah yang berkaitan seperti pengelolaan sumberdaya masyarakat (community resource management), pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (community-based coastal resource management), kehutanan masyarakat (community forestry), co-management (Carr et al., 1998), collaborative management (Allmendinger, 2002).

(24)

2.3. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat adalah pariwisata yang secara de facto direncanakan dan dikelola oleh suatu kelompok individu/rumahtangga yang terdiri dari masyarakat sebagai suatu kelompok usaha komunal. Kegiatan tersebut dapat pula dikelola oleh suatu perusahaan swasta dimana agenda kegiatannya disusun oleh masyarakat (Sharma, 1998b dalam Godde, 1998). Selanjutnya, Ngece (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat bila masyarakat lokal memiliki kontrol yang kuat dan terlibat didalam kegiatan pariwisata dimana sebagian besar, jika tidak keseluruhan, manfaatnya dapat tinggal dan diperoleh masyarakat.

Beberapa alasan yang mendasari betapa pentingnya posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, seperti yang dikemukakan oleh Godde (1998) sebagai berikut :

Pertama ; adanya peningkatan demand akan wisata terhdap sumber-sumber alam yang terdapat dilingkungan pada umumnya menunjukan adanya tekanan yang besar terhadap peran pengelolaan oleh masyarakat,

Kedua ; kegiatan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat,

Ketiga ; pariwisata berbasis masyarakat dapat memenuhi keinginan kita akan adanya suatu identitas budaya masyarakat yang diharapkan dapat menghambat akibat negatif dari pariwisata.

Keempat ; pariwisata berbasis masyarakat juga dapat menciptakan suatu struktur perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan pariwisata yang efektif serta untuk memudahkan dalam menentukan skala aktifitas ekonomi yang tepat.

(25)

berperan sebagai pemimpin dalam perencanaan, pengelolaan dan pemilik dari kegiatan wisata tersebut.

Beberapa ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Harris dan Vogel (2004) adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan pariwisata dijalankan dan berdasarkan persetujuan masyarakat lokal. Berkaitan hal ini, masyarakat lokal harus berpatisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan wisata.

2. Diutamakan pelibatan masyarakat daripada pelibatan individu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelibatan secara individu akan lebih memungkinkan terjadinya gangguan sosial.

3. Adanya pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat lokal. Idealnya hal ini juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan sosial masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan.

4. Menghormati budaya tradisional dan struktur sosial setempat serta dilakukan dengan ramah lingkungan.

2.4. Pengembangan Masyarakat

Masyarakat adalah suatu kata yang memiliki berbagai macam makna dan penggunaan. Pada umumnya, masyarakat dipandang sebagai kumpulan

orang-orang yang bermukim di suatu tempat tertentu, atau suatu populasi yang memiliki suatu karakter yang sama (Nisbet, 1969 dalam Doe dan Khan, 2004). Namun demikian, Reid (1999) dalam USDA (2005) mengemukakan bahwa masyarakat dapat pula didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya bersama, bahasa, dan kepercayaan ataupun kepentingan bersama (yang sering disebut sebagai communities of interest). Selanjutnya Agrawal dan Gibson (1999) mengemukakan bahwa masyarakat terbentuk dari suatu unit spasial yang kecil, memiliki struktur sosial yang homogen, dan memiliki kepentingan bersama serta norma yang sama.

(26)

hidup masyarakat dalam segala aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya). Upaya pengembangan masyarakat tersebut menurut Robert D. Putnam (Frank dan Smith , 2005) dibangun berdasarkan atas empat sumberdaya yang penting yaitu modal sosial, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan finansial.

Pengembangan masyarakat diyakini sebagai suatu proses pembangunan yang lebih bersifat partisipatif dan pemecahan masalah dilakukan secara bersama-sama (cooperative) oleh semua pihak yang berkepentingan (Fuller dan Reid, 1998 dalam Pinel, 1999). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas pengembangan masyarakat merupakan upaya yang sangat tepat dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat, terutama masyarakat lokal yang masih memiliki berbagai keterbatasan.

2.5. Persepsi dan Partisipasi

Persepsi pada umumnya menjadi dasar bagi sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat. Adiputro (1999) mengemukakan bahwa persepsi merupakan pendapat, sikap dan prilaku yang bersifat pribadi dan subyektif yang mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri manusia.

Menurut Sarwono (2002) persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut

adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Bagaimana persepsi sesorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi atau seberapa jauh terdapat hubungan-hubungan antara keduanya.

(27)

persepsi, dan 5) Ciri kepribadian misalnya watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi sesorang.

Partisipasi secara sederhana memiliki arti peran serta seseorang atau sekelompok orang ataupun sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan tersebut (Sumardjo, 2003). Sedangkan Sastroepoetro, (1988) dalam Illahi, (1998)menyatakan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab terhadap kepentingan untuk mencapai tujuan.

Partisipasi masyarakat akan memiliki nilai bagi pembangunan bila masyarakat memahami arti dan tujuan partisipasi mereka. Oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan mengandung unsur edukasi. Partisipasi merupakan kegiatan yang bersifat sukarela yaitu adanya kebebasan dan keinginan yang dilandasi oleh kesadaran individu atau masyarakat untuk terlibat dan ikut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat memiliki tingkatan yang beragam mulai dari sekedar memperoleh informasi hingga terbangunnya inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pada Tabel 1

dikemukakan tingkat/level partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994).

Tabel 1. Tingkatan/level partisipasi masyarakat

Tipologi Komponen dari masing-masing tipe

Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi karena diberitahu apa yang akan dan telah terjadi. Pengarahan dilakukan oleh penguasa ataupun pejabat proyek, respon masyarakat tidak menjadi pertimbangan. Informasi yang diberikan adalah milik para profesional dari luar masyarakat setempat.

Partisipasi dalam memberikan informasi

Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dari luar maupun manager proyek dengan menggunakan kuesioner, survei, ataupun pendekatan sejenis. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi proses, karena hasil penelitian ataupun desain proyek tidak diberitahukan atau dicek kebenarannya.

Partisipasi dengan konsultasi

Masyarakat berpartisipasi dengan cara diminta pendapatnya, dan agen dari luar mendengarkan pandangan masyarakat tersebut. Agen dari luar mendefinisikan masalah dan cara

penyelesaiannya, serta dapat mengubahnya setelah

(28)

Partisipasi untuk insentif material

Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan sarana, tenaga kerja dengan imbalan seperti makanan, uang, atau insentif material lainnya. Masyarakat setempat terlibat dalam kegiatan itu tetapi tidak terlibat didalam proses belajar. Partisipasi tersebut biasanya akan berhenti dengan selesainya proyek.

Partisipasi fungsional

Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yang berhubungan dengan proyek. Inisiatif proyek dapat berasal dari luar masyarakat. Keterlibatan mereka biasanya tidak sejak awal atau tahap perencanaan, namun baru mulai setelah keputusan utama diambil. Pada partisipasi jenis ini, kelompok yang terbentuk cenderung tergantung pada inisiatif eksternal dan fasilitator, tetapi juga bisa menjadi mandiri.

Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, yang kemudian diikuti dengan rencana aksi dan pembentukan kelompok lokal atau memperkuat yang telah ada. Cara ini cenderung dilaksanakan melibatkan banyak pihak dengan metode interdisipliner, yang mencari berbagai perspektif dan menggunakan proses belajar terstruktur ataupun sistematis. Kelompok ini mengontrol pengambilan keputusan lokal, dan juga orang (lokal) memiliki kepedulian dalam pengelolaan program.

Mobilisasi diri sendiri/Mandiri

Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif yang bebas dari institusi eksternal untuk membuat perubahan. Mobilisasi mandiri dan kegiatan bersama dilakukan untuk mengubah keadaan dan pembaharuan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan.

(29)

Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Kecamatan Banawa adalah salahsatu dari 19 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala. Wilayah ini membentang di sepanjang pesisir pantai mulai dari bagian barat Teluk Palu hingga Selat Makassar yang membentang dari arah utara ke selatan dengan panjang pantai ± 35 kilometer.

Kecamatan Banawa, yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Donggala, terletak antara 0°9´-0°1´ LS dan 119°34´-119°10´ BT dengan batas fisik wilayah yaitu :

- Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Palu,

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan, - Sebelah timur berbatasan dengan Kota Palu, dan

- Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Kecamatan Banawa memiliki luas 213,39 km², yang terdiri dari 17 desa dan kelurahan. Semua desa dan kelurahan dapat dilalui dengan kendaraan roda empat, sehingga mempermudah hubungan antara satu desa/kelurahan ke ibukota kecamatan dan dengan desa/kelurahan lainnya.

(30)

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2. Iklim dan Curah hujan

Sebagaimana dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Donggala memiliki dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Musim panas terjadi antara bulan April sampai September, sedangkan musim hujan pada bulan Oktober sampai Maret.

Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu pada tahun

2005 bahwa suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juli (34,0° C) dan suhu udara maksimum terendah terjadi pada bulan Nopember (31,6° C).

Sementara suhu rata-rata minimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 23,8° C, sedangkan suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Juni yang mencapai 22,1° C (Badan Meteorologi dan Geofisika Palu, 2006).

Kelembaban udara yang tercatat pada stasiun yang sama berkisar antara 73 – 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Pebruari yang mencapai 82 persen, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi

(31)

pada bulan Juli dan Agustus yaitu 73 persen. Curah hujan pada tahun 2005 yaitu antara 27-281 mm perbulan atau rata-rata 148,08 mm perbulan, sementara jumlah hari hujan berkisar anatara 4-13 hari perbulan atau rata-rata 8,25 hari perbulan. Penyinaran matahari rata-rata 69%, dan penguapan rata-rata 6,14 mm/hari.

Tabel 2. Keadaan curah hujan di Kecamatan Banawa tahun 2006

Lokasi pengukuran Bulan Hari hujan Curah hujan (mm)

Banawa Januari 12 281

Pebruari 8 125

Maret 11 200

April 9 183

Mei 7 265

Juni 5 81

Juli 13 177

Agustus 4 27

September 6 35

Oktober 4 29

Nopember 11 202

Desember 9 172

Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.3. Kondisi hidrologi

Secara umum, keadaan hidrologi di Kecamatan Banawa sama dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Donggala. Di Kecamatan Banawa terdapat

beberapa buah sungai yang keadaan airnya sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya curah hujan. Sungai-sungai tersebut masing-masing terdapat di Desa Loli Oge, Loli Tasiburi, Kabonga Besar, Limboro dan Tovale, serta satu buah

sungai yang membelah kota Donggala.

(32)

3.4. Geologi dan Topografi

Kawasan Kecamatan Banawa merupakan bagian dari wilayah Dataran Bambamua-Tanah Mea, yang secara geologi terdiri dari endapan-endapan pantai dan alluvial baru yang berasal dari sedimen yang lebih tua. Tanahnya bertekstur sedang dengan drainase dari lambat sampai agak baik. Topografi dari datar sampai bergelombang. Dataran-dataran yang lebih sempit/kecil terdapat di wilayah pesisir pantai.

Kawasan pesisir kecamatan Banawa merupakan dataran yang berbatasan dengan laut, dengan ketinggian antara 0 - 100 meter dari permukaaan laut. Topografi relatif sedang dengan kemiringan tanah 2 – 15 %. Disepanjang pantai membentang pasir putih dan rataan terumbu karang (reef flat), yang merupakan habitat beberapa jenis ikan karang (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, 2003). Keadaan topografi wilayah di kawsan wisata Tanjung Karang Pusentasi tersebut dikemukakan pada Tabel berikut.

Tabel 3. Luas wilayah dan keadaan topografi di wilayah penelitian

Desa/Kelurahan Luas (km²)

Bentuk permukaan tanah (%) Ketinggian dari permukaan laut (meter) Dataran Perbukitan Pegunungan

Boneoge 5,50 40 60 - 0 – 250

Labuan Bajo 5,50 50 50 - 0 – 250

Limboro 23,46 60 40 - 0 – 200

Sumber: Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.5. Tipologi dan Ekosistem Pantai

Kawasan pantai Tanjung Karang - Pusentasi sebagian didominasi oleh jenis batuan lepas (rawan longsor) dan karang pantai seperti yang terdapat pada bagian ujung selatan Boneoge sampai Dusun Kaluku, Limboro, sedangkan pantai yang landai dan berpasir sebagian besar terdapat pada bagian tengah hingga utara Desa Boneoge dan Tanjung Karang.

(33)

Boneoge. Di kawasan ini, khususnya di Boneoge dan Dusun Kaluku (Limboro) sebagian ditumbuhi oleh lamun dari jenis Enhallus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Syringgoinium sp. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah (2003) pada beberapa tempat telah terjadi kerusakan karang yang disebabkan oleh aktifitas manusia berupa pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potasium. Disamping itu kerusakan yang terjadi juga disebabkan oleh organisme pemangsanya yaitu bintang laut bermahkota duri atau Acanthaster plancii. Elang Perut Putih (Haliaeetus leucogaster), dan Nuri atau Betet kelapa punggung biru (Tanygnathus sumatranus). Sedangkan jenis fauna yang lainnya adalah

Biawak (Varanus sp.), Musang Sulawesi (Macrogalidea Musschenbroeki), dan Penyu (Celonia sp.) (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah, 2003).

3.6. Sosial Ekonomi dan Budaya

3.6.1. Penduduk

Secara keseluruhan penduduk yang mendiami kelurahan dan desa di kawasan wisata ini berjumlah 1424 KK atau 6799 jiwa. Jumlah penduduk pada masing-masing kelurahan/desa diwilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata per rumah tangga

(34)

Jika dilihat jumlah penduduk sebanyak 6.799 jiwa dan dibandingkan dengan luas wilayah (37,94 km²), secara geografis kepadatan penduduk pada kawasan ini adalah 179,20 jiwa per km². Penduduk yang bermukim di wilayah ini memiliki mata pencaharian yang beragam, tetapi sebagaian besar diantara mereka bekerja sebagai nelayan. Gambaran tentang keragaman mata pencaharian penduduk disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Mata pencaharian penduduk di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi

Desa/Kelurahan

Mata pencaharian

Petani Peternak Nelayan Dagang Buruh dan lainnya

Limboro 177 6 5 25 110

Labuan Bajo 21 5 195 45 400

Boneoge 125 10 132 12 247

Jumlah 323 21 332 82 757

Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Bila dilihat pada tabel tersebut, sebagian besar masyarakat di kawasan ini menggantungkan hidupnya sebagai buruh dan lainnya yang terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai buruh baik di pelabuhan Donggala maupun sebagai buruh bangunan, pegawai negeri, sopir, serta beberapa kegiatan jasa baik sebagai sopir angkutan maupun sebagai ojek. Namun jika dicermati maka pekerjaan sebagai nelayan menempati posisi yang tertinggi disusul oleh pekerjaan sebagai petani, dan peternak.

(35)

3.6.2. Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan dan kesehatan merupakan prasyarat bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, disamping aspek-aspek yang lainnya. Di wilayah ini, fasilitas pendidikan dan kesehatan terdapat pada semua desa dan kelurahan meskipun tingkatnya disesuaikan dengan kondisi dan status wilayahnya. Keadaan sarana pendidikan dan kesehatan di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Sarana pendidikan dan kesehatan di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi

Desa/Kelurahan

Tingkat pendidikan Sarana kesehatan

TK SD SLTP SMA Pustu/

Polindes Pos KB

Limboro 1 1 1 - 1 1

Labuan Bajo 2 4 - - 1 1

Boneoge 1 2 1 - 1 1

Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

Bila dilihat dari sarana pendidikan yang ada maka peluang masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sampai pada tingkat menengah cukup besar. Dengan demikian, sebagian penduduk di wilayah ini setidaknya memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan sekolah lanjutan pertama dan selanjutan tingkat atas. Keadaan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan rinci karena saat ini tidak tersedia data yang menerangkan tentang tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan baik pada ketiga desa/kelurahan di kawasan wisata ini maupu Kecamatan Banawa secara keseluruhan.

Sedangkan yang berkaitan dengan sarana kesehatan, yang tersedia baru berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) masing-masing di desa Limboro, kelurahan Labuan Bajo dan Boneoge. Hal ini dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh (hanya sekitar 3 – 9 km) dari Kota Donggala yang memiliki sarana kesehatan yang lebih lengkap, sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk menjangkau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun demikian, jika dilihat dari kepentingan wilayah ini sebagai suatu kawasan wisata yang banyak

(36)

3.6.3. Kelompok Etnis

Masyarakat yang bermukim di wilayah Kecamatan Banawa terdiri dari berbagai etnis, meskipun didominasi oleh Suku Kaili sebagai kelompok etnis asli. Kelompok etnik lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah Bugis, Jawa, Minahasa, dan kelompok etnik lainnya meskipun dalam jumlah yang kecil. Kehidupan antara etnis berlangsung rukun dan damai, dan terjalin interaksi yang baik antar mereka.

Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam pemerintahan, komunikasi antar etnis, pendidikan, dan bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa daerah biasanya hanya digunakan untuk berkomunikasi secara internal pada masing-masing kelompok etnis.

3.7. Kegiatan Pariwisata di Kecamatan Banawa

Kegiatan kepariwisataan di wilayah ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama sebelum pemerintah menetapkannya sebagai salahsatu sektor prioritas. Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa memiliki beberapa lokasi wisata yang dikenal dan merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh

masyarakat baik yang bermukim di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu dan sekitarnya. Lokasi wisata tersebut diantaranya Pemandian Loli yang terletak di

Desa Loli Oge, Air terjun Loto yang terletak di Desa Loli Tasiburi, pantai pasir putih Tanjung Karang yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Pantai Pasir Putih Boneoge di Kelurahan Boneoge, Pantai Pasir Putih Kaluku yang terletak di Dusun Kaluku Desa Limboro, dan Pantai Pusentasi di Desa Tovale.

(37)

di Kabupaten Donggala, yang selanjutnya berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 2001 berubah menjadi Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud Donggala, 2002).

Pada Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi terdapat beberapa lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu Tanjung Karang, Boneoge, Kaluku, dan Pusentasi. Tanjung Karang merupakan lokasi yang merupakan sebuah tanjung diujung Teluk Palu dimana salahsatu sisi pantainya menghadap ke teluk sementara sisi yang lainnya menghadap ke Selat Makassar. Lokasi ini memiliki pantai pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang yang dekat dari pantai. Hal ini menyebabkan Tanjung Karang menjadi lokasi yang paling dikenal dan disukai oleh wisatawan dibanding lokasi lainnya di kawasan ini. Berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh pengelola pintu masuk, lokasi ini dikunjungi oleh sekitar 200 – 700 orang wisatawan lokal setiap minggu (dihitung berdasarkan jumlah karcis pintu masuk yang terjual). Disamping wisatawan lokal yang biasanya berkunjung pada setiap hari Minggu, terutama minggu pertama dan kedua, lokasi ini juga banyak dikunjunhg oleh

wisatawan mancanegara.

Gambar 3. Lokasi wisata Tanjung Karang dilihat dari salahsatu sisi

Lokasi Wisata Boneoge yang terletak sekitar 1 kilometer sebelah barat Tanjung Karang merupakan sebuah kelurahan yang memanjang dari arah timur

(38)

pada saat pasang, kecuali pada ujung bagian barat dimana terdapat pondok peristrahatan/penginapan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten Donggala. Dibandingkan dengan Tanjung Karang, lokasi ini agak jarang dikunjungi oleh wisatawan. Meskipun demikian, wisatawan lokal yang berkunjung ke Tanjung Karang sering melanjutkan perjalanan ke Boneoge untuk membeli ikan segar yang dijual oleh nelayan yang baru tiba melaut.

Gambar 4. Sebagian Pantai Boneoge yang belum terurus (kiri), dan sumur laut yang terdapat di Lokasi Pusentasi (kanan).

(39)

dari Palu, namun karena pengelolaan yang kurang baik lokasi ini sangat jarang dikunjungi.

Lokasi yang terakhir adalah Pusentasi yang berjarang sekitar 500 meter dari Kaluku. Di lokasi ini terdapat sebuah sumur air laut yang terletak ± 75 meter dari bibir pantai yang oleh masyarakat disebut dengan pusentasi atau pusat laut. Pusentasi merupakan lokasi yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala dan sering dijadikan sebagai lokasi festival budaya yang dilakukan oleh pemerintah. Di lokasi ini terdapat beberapa bangunan sebagai tempat peristrahatan bagi pengunjung dan sering pula digunakan sebagai ruang pameran dan berbagai aktifitas lainnya. Setiap minggu lokasi ini ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal baik yang berasal dari Kota Palu maupun Donggala, tetapi tidak diperoleh catatan tentang jumlah pengunjung yang mendatangi lokasi ini.

Berkaitan dengan potensi pariwisata baik alam maupun budaya yang tersedia, pemerintah daerah Kabupaten Donggala menjadikan lokasi-lokasi yang terdapat di kawasan ini sebagai bagian dari prioritas pengembangan pariwisata

(Bappeda Kabupaten Donggala, 1999). Berdasarkan rencana strategi pengembangan kepariwisataan Kabupaten Donggala, aspek-aspek yang perlu

mendapat perhatian adalah dalam hal pengembangan produk yang khas dan memiliki daya tarik, promosi, peningkatan keterampilan pengelola, dan pengembangan kelembagaan (Disparsenibud Donggala, 2002).

3.8. Tipologi wisatawan

(40)

Selandia Baru 3 orang, Ukraina 2 orang, serta Belgia, Italia, dan Thailand masing-masing 1 orang, dengan waktu tinggal selama 5 – 21 hari.

Sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung merupakan wisatawan yang melakukan perjalanan dengan inisiatif sendiri karena telah mengetahui informasi tentang lokasi ini melalui informasi perorangan. Berdasarkan wawancara dengan pemilik dan pengelola salahsatu cottage, seorang yang berkebangsaan Jerman, bahwa informasi tentang lokasi wisata Tanjung Karang beredar melalui kawan-kawan dan keluarga beliau yang pernah berkunjung ke lokasi ini. Sementara itu, wisatawan yang berkunjung sebagian besar merupakan wisatawan yang berasal dari kelas menengah. Meskipun demikian, tidak diperoleh data yang lengkap tentang tipologi wisatawan secara rinci baik pada lokasi wisata maupun pada instansi pemerintah di daerah ini.

Wisatawan lokal yang berkunjung terutama berasal dari kota Palu yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri dan swasta yang berkunjung secara perorangan maupun berkelompok. Mereka memanfaatkan hari-hari libur untuk berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kawasan Tanjung Karang

Pusentasi. Diantaranya ada pula yang menggunakan sarana penginapan/cottage baik yang disediakan oleh pemerintah, pengusaha wisata, maupun masyarakat

(41)

mempelajari kemungkinan dikembangkannya pariwisata yang berbasis masyarakat di wilakayah Kecamatan Banawa, khususnya di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi yang lengkap berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka digunakan pendekatan triangulasi (Decrop, 1999 ; Oppermann, 2000), sebagai sebuah pendekatan untuk memahami atau menjawab suatu masalah dengan menggunakan lebih dari satu sumber dan cara pengumpulan data.

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang-Pusentasi Donggala yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala dan mencakup 3 (tiga) desa/kelurahan yaitu Kelurahan Labuanbajo, Desa Boneoge, dan Limboro. Penelitian di lapangan selama 3 (tiga) bulan, dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2007.

4.2. Metode Penelitian

4.2.1. Penentuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling)

(42)

Tabel 7. Penyebaran responden pada berbagai kelompok Kelompok

responden

Aktifitas/Bidang Kegiatan Jumlah informan

Masyarakat lokal Nelayan 27

Peteni/peternak 15

Pengusaha Pemilik Penginapan/Cottage 3

Biro perjalanan 1

Pemerintah Pemda/Bupati 1

Dinas Pariwisata 1

Camat 1

Lurah dan Kepala Desa 3

LSM/KSM LSM yang berasal dari Donggala,

dan LSM lokal (POKDARWIS) 2

Penggalian data secara partisipatif dengan menggunakan teknik PRA melibatkan tokoh masyarakat, kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, kelembagaan adat serta kelompok wanita dan pemuda serta kelompok sadar wisata yang terdapat di lokasi penelitian.

4.2.2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder (Tabel 8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi, wawancara, penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal) (Campbell, 2002 ; Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998), dan diskusi kelompok terfokus (Danim, 2002; Mikkelsen, 2001 ; Trigg dan Roy, 2007). Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi

atraksi wisata yang berpeluang untuk dikembangkan. Potensi tersebut dapat berupa potensi alam maupun potensi sosial budaya masyarakat setempat.

Sedangkan wawancara dilakukan untuk untuk mengetahui persepsi dan keinginan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat.

(43)

1. Diagram Venn, yang merupakan diagram yang terdiri dari beberapa lingkaran dengan berbagai ukuran yang berbeda, yang satu dengan lainnya saling berhubungan secara simbolis. Diagram ini ditujukan untuk melihat peran berbagai institusi dalam pengelolaan pariwisata di lokasi penelitian.

2. Matriks analisis stakeholder, yang digunakan untuk memetakan pihak-pihak yang berperan dan memiliki kepentingan terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.

3. Pemetaan yang terdiri atas pemetaan aktifitas masyarakat dan pembuatan sketsa lokasi yang menggambarkan tentang penggunaan ruang pada lokasi wisata oleh berbagai stakeholder yang ada.

Diskusi kelompok terfokus, dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri atas 10 – 12 orang dengan panduan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Data sekunder diperoleh dengan menghimpun informasi dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Kantor Statistik, serta dokumen-dokumen yang

terdapat pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.

Tabel 8. Jenis data yang akan dikumpulkan

Jenis data Aspek Sumber data Metode

Data Primer

Persepsi, partisipasi dan harapan masyarakat.

Masyarakat lokal Wawancara, FGD Potensi Masyarakat : Kegiatan

(44)

4.2.3. Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya diklasifikasi menurut jenisnya dengan menggunakan peralatan berupa matriks, tabulasi, dan format (Miles dan Huberman, 1992). Untuk mendukung proses analisis maka data-data tersebut diklasifikasi dan dikelompokan kedalam suatu satuan (unit) tertentu (Denscombe, 1998) terutama untuk mengorganisasikan data-data tentang pengertian, pandangan/persepsi, sikap dan tindakan ; serta dengan melakukan perbandingan dan membangun hubungan-hubungan antar data tersebut. Penelaahan dengan cara ini dimaksudkan untuk mencari kaitan yang lebih luas dari fakta yang ditemukan di lokasi penelitian. Persepsi masyarakat tentang kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini dan konsep pariwisata berbasis masyarakat akan diketahui melalui pendapat dan pandangan mereka terhadap kedua aspek tersebut.

Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah analisa kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk

menformulasikan strategi suatu kegiatan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunity) dan secara

bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknes) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 2003).

(45)

Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Peluang (O)

Strategi S-O

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Ancaman (T)

Strategi S-T

Menciptakan strategi l pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi W-T

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Gambar 5. Matrik Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat

(46)

5.1.1. Karakteristik Masyarakat

Kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi mencakup empat wilayah yang terdiri atas Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro dan Desa Tovale. Meskipun demikian, hanya penduduk yang terdapat di kelurahan Boneoge yang seluruhnya bermukim di lokasi wisata. Pada wilayah lain seperti kelurahan Labuan Bajo dan desa Limboro penduduk yang bermukim di lokasi wisata masing-masing hanya terdapat pada satu wilayah RT dan Dusun. Untuk kelurahan Labuan Bajo, lokasi dan kegiatan wisata terdapat di Tanjung Karang yang merupakan salahsatu RT di kelurahan tersebut, sedangkan di desa Limboro kegiatan dan lokasi wisata terdapat di dusun Kaluku. Sementara itu, lokasi wisata yang terdapat di desa Tovale yaitu Pusentasi yang berdampingan dengan dusun Kaluku tidak dihuni oleh penduduk. Oleh karena itu, penduduk yang berinteraksi langsung dengan aktifitas pariwisata di kawasan ini hanya terdapat pada tiga wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 761 KK atau 3.353 jiwa.

Rincian jumlah penduduk pada masing-masing lokasi wisata dikemukakan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan wisata. Lokasi

Pariwisata KK

Jumlah

jiwa Laki-laki Perempuan

Boneoge 663 2.863 1.447 1.416

Tanjung Karang 39 225 123 102

Kaluku 59 265 137 128

Jumlah 761 3.353 1.707 1.646

Sumber : Data statistik masing-masing desa dan kelurahan, 2006.

(47)

Tabel 10. Pekerjaan dan tingkat pendidikan responden masyarakat lokal.

Pekerjaan Tingkat pendidikan Jumlah (orang)

SD SMP SMA PT

Nelayan 25 2 0 0 27

Petani/peternak 10 5 0 0 15

Dagang 1 3 4 0 8

Sopir/Ojek 3 3 0 0 6

Guru/PNS 0 0 3 3 6

Buruh/Pertukangan 3 2 0 0 5

Jasa 1 1 1 0 3

Jumlah 43 16 8 3 70

Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 10 diatas terlihat bahwa sebagian besar responden yaitu 61,4 % memiliki tingkat pedidikan sekolah dasar, selebihnya 22,9 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama, 11,4 % sekolah lanjutan tingkat atas, dan sisanya 4,3 % berpendidikan tinggi. Bila mengamati kondisi masyarakat yang terdapat di kawasan ini, yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dikemukakan bahwa potensi sumberdaya manusia yang terdapat dikawasan wisata ini masih tergolong rendah.

Sebagaimana halnya dengan masyarakat yang mendiami desa-desa pesisir lainnya, sebagian besar masyarakat di wilayah penelitian ini memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Seperti yang dikemukakan pada Tabel 10, sebagian besar responden masyarakat lokal memiliki pekerjaan atau mata pencaharian pokok sebagai nelayan.

(48)

Bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan sampingan dilakukan pada saat tidak melaut, terutama pada saat terjadinya musim barat dimana mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Informasi yang diperoleh pada saat wawancara dan diskusi kelompok, kegiatan sampingan masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping bertani adalah bekerja sebagai buruh pelabuhan dan bangunan di kota Donggala, dan sebagian diantaranya memanfaatkan peluang dari aktifitas pariwisata yang berlangsung di wilayah ini (Tabel 11).

Tabel 11. Pekerjaan dan kelompok usia responden masyarakat lokal.

Pekerjaan Usia responden (tahun) Jumlah

20-30 31-40 41-50 51-60 61-70

Nelayan 5 10 7 5 0 27

Petani/peternak 2 5 5 2 1 15

Dagang 1 2 2 2 1 8

Sopir/Ojek 2 2 1 1 0 6

Guru/PNS 1 2 2 1 0 6

Buruh/Pertukangan 1 2 2 0 0 5

Jasa 1 1 1 0 0 3

Jumlah 13 24 20 11 2 70

(49)

5.1.2. Perekonomian Masyarakat

Masyarakat yang mendiami kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti halnya masyarakat di wilayah lainnya, mengembangkan sistem perekonomian berdasarkan karakter wilayah dan potensi sumberdaya yang tersedia. Perekonomian masyarakat di kawasan ini bertumpu pada dua kegiatan yaitu pertanian/peternakan dan perikanan. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berladang dan membuka perkebunan rakyat, serta sebagian kecil diantaranya menjalankan usahatani padi sawah dengan sistim irigasi desa dan padi ladang. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat (Ha).

Desa/Kelurahan Jenis tanaman pertanian Jenis tanaman perkebunan

Padi Jagung Kelapa Cacao

Boneoge 0 4 102 6

Labuan Bajo 0 0 175 0

Limboro 40 10 120 17

Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

(50)

Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh Tanaman semusim : padi ladang, jagung, ubi kayu, pisang, serta tanaman-tanaman hortikultura seperti

Disamping mengelola lahan untuk kegiatan bercocok tanam, masyarakat juga memelihara ternak sebagai usaha sampingan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat disajikan pada Tabel 14. Meskipun hanya sebagai usaha sampingan, namun usaha peternakan ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging di wilayah ini dan sebagai tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual bila mereka membutuhkan dana untuk berbagai keperluan yang mendesak.

Tabel 14. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian.

Desa/Kelurahan Jenis ternak

Dibidang perikanan, desa-desa yang terdapat diwilayah penelitian ini merupakan penghasil ikan laut yang cukup besar bagi kecamatan Banawa. Sementara Kecamatan Banawa sendiri merupakan penghasil ikan terbesar untuk wilayah Kabupaten Donggala. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala (2002), dari 8 kecamatan yang memiliki wilayah perairan laut di Kabupaten Donggala, Kecamatan Banawa merupakan penyumbang terbesar hasil tangkapan ikan di kabupaten ini. Pada tahun 2002 kontribusi penangkapan ikan laut di wilayah perairan Kecamatan Banawa terhadap total produksi di Kabupaten Donggala adalah sebesar 20,33%.

(51)

transportasi perikanan yang dimiliki adalah perahu/kapal motor bermesin dan sejumlah perahu tanpa mesin (Tabel 15).

Tabel 15. Peralatan penangkap ikan dan sarana transportasinya di wilayah penelitian.

Desa/ Kelurahan

Peralatan penangkap ikan Sarana transportasi perikanan

Meskipun terdapat berbagai peralatan nelayan berupa perahu motor dan peralatan lainnya, namun kegiatan perikanan yang dilakukan oleh sebagian besar

masyarakat merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan menggunakan peralatan sederhana berupa pukat, pancing, dan panah. Penggunaan pukat pantai dan panah biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menangkap ikan-ikan karang yang terdapat disekitar kawasan wisata atau tempat-tempat lainnya dimana terdapat banyak gugusan karang.

Kemampuan nelayan di kawasan ini untuk menangkap ikan dengan menggunakan panah dan harus menyelam tanpa menggunakan alat cukup terkenal disekitar kawasan ini, terutama di Teluk Palu dan perairan Kabupaten Donggala bagian barat. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan yang berasal dari Kelurahan Boneoge, mampu melakukan penyelaman dalam waktu yang cukup lama, jauh melebihi kemampuan rata-rata nelayan yang terdapat di sekitarnya.

Hasil yang diperoleh dalam menangkap ikan-ikan karang biasanya sekitar 30 – 50 ekor sekali melaut dengan harga jual sekitar Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,- per ikat. Sedangkan untuk penggunaan pancing biasanya ditujukan untuk menangkap ikan-ikan dasar dan permukaan yang biasanya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor.

Penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan pancing,

(52)

ini merupakan kegiatan nelayan memancing ikan Julung-julung yang dalam bahasa daerah disebut dengan bau (ikan) tampai. Ikan ini merupakan ikan permukaan yang biasanya terdapat disekitar gugusan karang antara bulan April hingga September, di kawasan ini terutama terdapat di perairan sekitar dusun Kaluku dan sebagian kecil wilayah Boneoge.

Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan dalam menangkap ikan ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota sekitar 3 sampai 5 orang. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan kemudian dimasak dengan cara pengasapan, yang sebelumnya dijepit dengan menggunakan bambu, dimana setiap jepitannya berjumlah 20 ekor. Setiap minggu masing-masing keluarga nelayan dapat menghasilkan sekitar 50 – 150 jepitan ikan ini dengan harga jual antara Rp. 5000,- sampai Rp. 10.000,- setiap jepitannya

Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh masyarakat, meskipun tidak menjadi kegiatan utama, adalah menenun kain sarung dari benang sutera dengan menggunakan alat tenun tradisional. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan yang dilakukan disela-sela aktifitas mengurus

rumahtangga dan kegiatan pertanian. Setiap sarung diselesaikan dalam waktu sekitar 1 – 2 bulan dengan harga jual per sarung sekitar Rp. 250.000,- sampai Rp.

300.000,-. Hingga saat ini masyarakat hanya menghasilkan tenunan dalam bentuk sarung meskipun terbuka peluang untuk menghasilkan produk yang lain dalam bentuk cindera mata karena mereka berada pada lokasi kegiatan pariwisata. Hal ini, menurut masyarakat, karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki untuk menghasilkan produk tersebut.

(53)

Tabel 16. Kalender aktifitas masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi

Waktu (bulan ke)

Lokasi dan aktifitas masyarakat

Dusun Kaluku Boneoge Tanjung Karang

Bulan 11 - 12 Musim tanam (notuja)

Berdasarkan hasil pemetaan aktifitas tersebut terlihat bahwa meskipun sebagian besar masyarakat di kawasan ini memiliki pekerjaan pokok sebagai nelayan dan petani, tetapi terdapat beberapa perbedaan aktifitas ekonomi pada masing-masing lokasi. Hal ini disebabkan karena disamping terdapat perbedaan potensi sumberdaya pada masing-masing lokasi juga disebabkan karena intensitas kegiatan pariwisata yang berbeda pada masing-masing lokasi tersebut.

Masyarakat yang bermukim di dusun Kaluku melakukan aktifitas yang lebih beragam dibanding lainnya. Sepanjang tahun, selain melakukan kegiatan sebagai nelayan, mereka juga melakukan kegiatan pertanian ladang dengan menanam padi lokal. Hal ini dilakukan karena di wilayah ini masih terdapat lahan yang memungkinkan untuk ditanami padi ladang karena kondisi tanah dan

Gambar

Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Tabel 4.  Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata  per rumah tangga
Tabel 5.  Mata pencaharian penduduk di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi
Gambar 3. Lokasi wisata Tanjung Karang dilihat dari salahsatu sisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat lokal sebagai salah satu pelaku dalam pengelolaan memiliki keterlibatan yang besar maka perlu diketahui pemahaman mereka terhadap konsep Pengelolaan Kawasan

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun dengan judul “ Konsep Pengelolaan Lingkungan Pantai Nambo Sebagai Rekreasi Perkotaan Berbasis

Konsep pengelolaan lingkungan pantai Nambo sebagai rekreasi perkotaan berbasis masyarakat dapat diwujudkan dengan konsep pengelolaan lingkungan bersama secara terpadu

mengenai pariwisata berbasis masyarakat menurut Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di desa Nicole Hausler ini sejalan dengan pandangan dari wisata Sambi

Pembangunan berbasis masyarakat dapat dimaknai sebagai co-management (pengelolaan bersama), yakni pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun dengan judul “Konsep Pengelolaan Lingkungan Pantai Nambo Sebagai Rekreasi Perkotaan Berbasis Masyarakat Di

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap pengelolaan madu hutan (Apis dorsata) berbasis kearifan lokal masyarakat di dua desa yang terletak di kawasan

Berdasarkan persepsi pengelola mengenai keterlibatan masyarakat dengan didirikannya wisata alam Hulu Dayeuh yang bertujuan untuk tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan, oleh