• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentas

5.5. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentas

5.5.3. Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentas

Berdasarkan berbagai isu strategis yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diperlukan konsep yang dapat memberikan peluang peran masyarakat bersama stakeholder lainnya untuk mengembangkan sistim pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat. Pengalaman yang telah dilakukan di berbagai tempat seperti pada beberapa Taman Nasional di Indonesia (APEIS- RISPO, 2003a dan 2003b) dapat pula dijadikan acuan sebagai bahan perbandingan untuk mengembangkan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi. Berbagai pengalaman tersebut menempatkan masyarakat lokal dan lembaganya sebagai bagian dari proses perencanaan dan pengelolaan pariwisata.

Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang juga merupakan kegiatan pengembangan masyarakat (community development) dimana mereka dapat berpartisipasi didalamnya secara penuh. Pengembangan masyarakat merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong dan membantu masyarakat dalam menetapkan kebutuhannya dan memberi ruang bagi mereka untuk menentukan standar pencapaiannya (Cochrane, 1971 dalam Pinel, 1998). Pengembangan masyarakat bertujuan untuk mendorong masyarakat

meningkatkan kapasitas dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Hal tersebut membutuhkan kepercayaan diri, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan baik bagi individu, kelompok, dan organisasi yang membentuk masyarakat tersebut (Reid et al, 1993 dalam Pinel, 1998).

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengembangan masyarakat dilakukan agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk menstrukturkan pengalaman, pengetahuan, dan harapan mereka kedalam sebuah aktifitas dan perencanaannya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di sekitarnya. Dengan kata lain, pengembangan masyarakat merupakan upaya pemberdayaan (empowerment) diri dan potensi yang dimilikinya baik yang berupa sumberdaya alam maupun potensi sosialnya. Hal ini penting karena upaya pemberdayaan pada level akar rumput (grassroot) adalah hal penting yang dalam memformulasikan perencanaan yang bersifat komprehensip dan merupakan sarana yang penting dan menentukan bagi kelayakan kegiatan yang berbasiskan mayarakat (Tosun dan Timothy, 2003).

Berkaitan dengan pemikiran yang yang dikemukakan tersebut, maka konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas. Dengan demikian berarti bahwa konsep pengelolaan yang ditawarkan tetap mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan berbagai stakeholder lainnya seperti pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat pada tingkat lokal tetapi harus melibatkan pihak lain pada level yang lebih tinggi dan lebih luas (Uphoff, 1992).

Konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat mencakup 4 (empat) tahapan proses yaitu tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat, tahap perencanaan dan persiapan, tahap pelaksanaan dan pendampingan, dan tahap monitoring dan evaluasi. Secara skematis, konsep pengelolaan tersebut disajikan pada Gambar 9.

Tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat dilakukan berupa menginventarisasi pengetahuan, pengalaman, perhatian, dan harapan masyarakat terhadap potensi dan pengelolaan pariwisata, serta menggali berbagai aspek yang berkaitan dengan potensi dan pengembangan produk pariwisata. Tahapan ini bertujuan untuk ; pertama, mengembangkan pengetahuan dan kesadaran bersama tentang pariwisata yang ramah lingkungan ; kedua, mengidentifikasi elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat ; ketiga, mengidentifikasi hubungan dan keterkaitan antar berbagai stakeholder.

Assessment dan pengorganisasian masyarakat melibatkan berbagai stakeholder, baik masyarakat lokal dan non-lokal maupun berbagai pihak lain yang berkepentingan terhadap pengembangan pariwisata. Mereka diposisikan sebagai pihak yang sangat memiliki pemahaman terhadap situasi dan kondisi serta kepentingannya masing-masing. Aktifitas wawancara yang bersifat formal dan informal serta diskusi kelompok dapat dilakukan bersama (melalui fasilitasi pihak independen) untuk menggali dan berbagi pengalaman serta pengetahuan agar terbangun wawasan dan pengertian yang dalam tentang kepentingan dan peran masing-masing stakeholder.

Keluaran dari assessment yang dilakukan dapat berupa hal-hal yang dapat dijadikan materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan (tangible outputs) maupun hal-hal yang berfungsi sebagai moral pendukung (less-tangible outputs) bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Pinel, 1998). Secara umum keluaran yang mencakup kedua aspek tersebut disajikan pada Tabel 36.

Tebel 36. Keluaran dalam tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat. Keluaran untuk penyusunan konsep

dan mekanisme pengelolaan

Keluaran yang bersifat moral pendukung

 Informasi-informasi dasar yang dapat dijadikan bahan pertimbangan perencanaan dan upaya pengembangan pariwisata, dan berbagai informasi yang tentang

dinamika perkembangan

kepariwisataan.

 Informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek yang akan mempengaruhi perkembangan pariwisata dimasa datang.

 Informasi tentang keberadaan stakeholder langsung maupun tak langsung.

 Sekumpulan informasi penting yang dapat dijadikan dasar bagi penyusunan aturan dan mekanisme sebagai pedoman pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

 Informasi yang berkaitan dengan berbagai hambatan dan tantangan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

 Terdorongnya kepedulian semua stakeholder terhadap implikasi dan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam pengembangan pariwisata.

 Terjadinya suatu kondisi dimana masyarakat dan stakeholder lainnya dapat berbagi informasi tentang kepentingan masing- masing yang selama ini tdak terungkap pada diskusi dan pertemuan formal lainnya.

 Terangkatnya potensi dan kearifan kolektif masyarakat dan mengkombinasikannya dengan masukan, pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh stakeholder lainnya.

 Terdorongnya kondisi diskusi yang konstruktif dan kooperatif, dan jelasnya hubungan dan keterkaitan serta kebutuhan antar berbagai stakeholder.

 Ketepatan hubungan atau matarantai antar berbagai isu, keputusan dan inisiatif.

Keluaran-keluaran yang mengandung materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang penting dalam pembahasan tentang pengembangan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata, penyusunan organisasi pengelolaan, perencanaan pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan dimasa datang. Sementara keluaran yang bersifat sebagai moral pendukung akan berfungsi sebagai daya dorong yang diperlukan oleh semua stakeholder untuk memulai dan menjalankan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang akan memberi pengaruh bagi kehidupan dan wilayah mereka.

Tahap perencanaan dan persiapan merupakan tahapan yang dibangun berdasarkan keluaran-keluaran dan kesepakatan yang telah dilahirkan dari proses pengorganisasian pada tahap pertama. Tahapan ini bertujuan untuk : pertama,

merancang dan mengembangkan program dan produk-produk wisata; kedua, mengembangkan infrastruktur dan konsep pelayanan wisata ; dan ketiga, mengembangkan mekanisme dan aturan pengelolaan pariwisata. Untuk melengkapi informasi yang diperlukan dalam tahapan ini, dilakukan pula aktifitas yang berkaitan dengan inventarisasi terhadap sumberdaya pariwisata yang tersedia. Pada tahapan ini, proses pengembangan kapasitas masyarakat lokal seperti yang telah dimulai pada tahapan pertama semakin diperkuat. Aktifitas yang dapat dilakukan adalah berupa pelatihan-pelatihan dan bimbingan teknis.

Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan konsep/program pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pada tahapan ini produk wisata, konsep pelayanan wisata, dan konsep pengelolaan wisata yang dirumuskan pada tahapan sebelumnya diimplementasi dan dikomunikasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Disisi lain, aktifitas publikasi dan pemasaran produk yang telah dihasilkan dapat dilakukan pada tahapan ini.

Tahapan yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini semua stakeholder secara bersama melakukan peran pemantauan dan penilaian terhadap keseluruhan aktifitas dan produk yang telah dihasilkan. Dalam hal ini juga mencakup penilaian terhadap tahapan-tahapan proses sebelumnya sehingga didapatkan suatu mekanisme proses, keluaran proses, dan produk wisata yang lebih baik. Hal ini penting dilakukan agar sistim pengelolaan yang dikembangakn dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan dinamika perkembangan pariwisata dan masyarakat.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas, maka diperlukan beberapa faktor/elemen penting yang berfungsi sebagai penunjang. Selain berfungsi sebagai penunjang, faktor-faktor/elemen-elemen tersebut diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dari konsep bersama yang telah dilahirkan. Faktor-faktor tersebut adalah dukungan kebijakan pemerintah daerah, jaringan kerjasama dan kemitraan, pendidikan dan pelatihan, bantuan pendanaan, dan penelitian dan pengembangan.

Kebijakan pemerintah merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya suatu proses pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat. Hal ini penting karena pemerintah memiliki peran kontrol, pendukung, pemberdayaan, dan penasehat (advisory) bagi setiap aktifitas yang dibangun berdasarkan inisiatif dan kekuatan masyarakat ( Pomeroy dan Williams, 1994

dalam Metcalfe, 1996). Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 mengisyaratkan hal tersebut, dimana pemerintah berperan tidak hanya melakukan pengaturan tetapi juga berperan dalam melakukan bimbingan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha pariwisata. Peran tersebut berpedoman pada tujuan pembangunan pariwisata nasional yang salahsatu diantaranya adalah meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Dalam era otomonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat penting. Penyiapan sistim perencanaan yang matang, yang salahsatunya dalam bentuk penyiapan Rencanan Induk Pengembangan Pariwisata daerah sudah harus dimulai dengan pendekatan yang lebih mampu menemukenali wilayah yang akan dijadikan lokasi pengembangan kegiatan pariwisata (Nirwandar, 2007). Hal ini harus dilakukan lebih mendalam dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan budaya serta berbagai permasalahannya agar semua pihak yang berkepentingan, meskipun berbeda, terhadap suatu wilayah dapat secara bersama memanfaatkannya. Dengan demikian maka diperoleh pemahaman yang luas dan mendalam terhadap potensi tersebut dan dapat dilahirkan suatu kebijakan yang tepat.

Salahsatu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kerjasama antar berbagai stakeholder adalah dengan membangun jaringan dan kemitraan. Dengan membangun jaringan dan kemitraan, masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang belum mereka miliki yang berasal dari pihak lainnya diluar mereka, dan pihak lain tersebut dapat pula memahami dengan benar pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini penting karena, dengan demikian, akan terbangun suatu proses dan prinsip-prinsip checks and balances diantara berbagai pihak (Agrawal dan

Gibson, 1999) sebagai salahsatu prasyarat pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.

Pengembangan jaringan dan kemitraan yang dilakukan tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan syarat kelembagaan dari suatu proses pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat tetapi juga merupakan suatu proses edukasi bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Pentingnya proses edukasi ini karena berbagai pihak yang terlibat akan memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang masalah yang harus diselesaikan. Disatu sisi pihak-pihak lain diluar masyarakat lokal akan memiliki pandangan dengan cara pandang “orang luar” sementara masyarakat lokal, disisi lain memiliki pengetahuan lokal, yang oleh Behr et al (1995) disebutkan sebagai cara pandang dari dalam untuk mendefiniskan masalah dan menformulasikan pemecahannya. Dengan demikian maka pendekatan ini akan memberikan peluang terjadinya pertukaran informasi dan cara pandang sehingga diperoleh suatu keputusan bersama dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

Pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu kunci bagi keberhasilan pengembangan masyarakat lokal dalam kaitan dengan pengembangan peran mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan tingkat pendidikan masyarakat di kawasan Tanjung Karang Pusentasi, yang sebagian besar hanya sampai pada tingkat sekolah dasar akan menyebabkan terjadinya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dengan pihak-pihak lain yang akan terlibat. Hal ini tentunya akan sedikit mempersulit proses komunikasi dan perubahan prilaku masyarakat dari sekedar menerima apa adanya program yang ditawarkan oleh pihak luar menjadi masyarakat yang berdaya dan memiliki posisi tawar yang kuat. Dengan demikian, strategi pengembangan kemampuan masyarakat melalui pendidikan (formal dan non-formal) serta pelatihan sangat penting bagi keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Karena, proses pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu stimulus bagi terciptanya perubahan (Behr et al, 1995) bagi masyarakat.

Sumber pendanaan bagi pengembangan usaha masyarakat untuk mendukung kegiatan pariwisata merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, dukungan semua pihak untuk mengatasi hal

ini sangat penting untuk dilakukan. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari bantuan-bantuan pemerintah, tetapi dapat bersumber dari bantuan pihak swasta dan lembaga-lambaga pendaanaan serta sumber-sumber dana yang bersifat hibah dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian.

Disamping itu, suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah bagaimana mengurangi intervensi pendanaan dari luar yang dapat memberatkan