BAB IV PEMBAHASAN
4.3 Penokohan
4.3.7 Dini ‘Aku’
Tokoh terakhir yang akan dibahas adalah Dini yang merupakan tokoh utama dalam novel SLdK ini. Dini atau yang lebih sering dinyatakan dengan ‘aku’ merupakan anak bungsu, anak kelima, dan dalam novel diceritakan masih berusia prasekolah.
Pagi itu aku bangun seperti biasa, setelah semua kakakku berangkat ke sekolah.(SLdK, hlm. 12)
Kutipan diatas menyatakan bahwa ‘aku’ baru bangun ketika kakak-kakaknya sudah pergi ke sekolah, sedangkan ‘aku’ di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa ‘aku’ masih kecil dan belum mencapai usia sekolah. ‘Aku’ dinyatakan telah bersekolah di akhir-akhir cerita novel SLdK yang menyampaikan pengajaran oleh ayah kepada ‘aku’ yang baru memasuki sekolah.
…Aku yang baru masuk kelas terendah, belum mendapat pelajaran secara sungguh-sungguh. Pada waktu itulah ayah mengajarku membaca. Buku yang dipergunakannya adalah terjemahan bahasa Melayu Surat dari Raja, karangan pengarang India bernama Rabindranath Tagore. Ayah menerangkan kepadaku siapa penulis itu, apa yang dimaksudkannya pada setiap kalimat di dalam buku itu.(SLdK, hlm. 102)
Setiap hari dengan sabar aku diajarinya mengenal hurup-hurup cetakan, lalu membaca kata demi kata. Setelah beberapa waktu berlalu,dia memberiku buku bergaris-garis, di mana aku menyalin hurup Latin yang telah disiapkannya.(SLdK, hlm. 103)
‘Aku’ banyak menceritakan pengalamannya yang sangat menyenangkan karena ‘aku’ masih kecil dan hanya menginginkan hal-hal yang baik-baik dan banyak bermain tanpa mendapat tugas yang memang biasanya tidak akan didapatkan anak-anak seusianya.
Dari bawah meja bilyar aku pindah ke kamar tidur. Mencoba bermain dengan segala macam benda yang dapat kuraih. Dari kamar tidur satu ke kamar tidur lain, aku kembali ke ruang tengah, naik kursi untuk melihat isi laci bupet tempat ayahku menyimpan berbagi majalah. Dari sana ke ruang makan, duduk sebentar di samping ibuku. Sambil mendengarkan ceritanya, mengamati dan mengagumi kelincahan tangannya menggariskan gambar-gambar yang begitu kukenal dengan canting dan lilin panas.(SLdK, hlm. 19)
Tanpa menunggu lagi, kutarik lengan baju ayahku sambil berseru lebih keras dari kakak-kakakku:
“Aku mau menyerok ikan! Aku mau menyerok ikan!”(SLdK, hlm. 21)
Aku tidak dapat menahan diri untuk memanggil-manggil ayah buat mengingatkan kehadiranku. Karena aku juga ingin mengikuti kegiatan mereka dengan perbuatan nyata. Dan satu-satunya yang bisa kuperlihatkan hanyalah suaraku.(SLdK, hlm. 26)
‘Aku’ dalam novel SLdK ini menceritakan kenangannya saat masih kecil dan apa saja yang terjadi dalam keluarganya, dan apa saja yang dilakukannya selama itu. ‘Aku’ menyatakan bahwa masa yang dialaminya pada usia ini merupakan ‘kenangan yang lembut dan terkasih.’
Sejauh ingatanku, hari itu adalah hari pertama yang tertera dengan jelas dalam kepalaku. Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan di dadanya. Lalu bergiliran gambar-gambar lain menyusul, melanjutkan kenangan yang lembut dan terkasih.(SLdK, hlm. 30)
‘Aku’ sangat mengagumi ayah dan ibunya, karena menurutnya ayah dan ibu adalah orang-orang yang mampu memberi pengajaran yang baik bagi ‘aku’. ‘Aku’ menganggap ayahnya adalah seorang pemimpin dalam keluarga yang mampu menyenangkan anak-anaknya dan juga dapat bertindak atau berkata tegas kepada anak-anaknya.
Ayah selalu berusaha menyenangkan hati semua anaknya. Dielusnya pipiku sebentar. Pandangannya lembut ketika menjawab:...(SLdK, hlm. 21)
Sekali-sekali ayah melambaikan tangannya kepadaku. Diserukannya sesuatu untuk membujuk atau menyenangkanku…
Suara ayah tegas tidak memerlukan perbantahan. Aku mengerti artinya…(SLdK, hlm. 26)
Kemudian, seperti biasa, ayah menjadi wasit.
Katanya, kami semua memberikan bagian tenaga untuk menagkap ikan yang luar biasa itu. Bersama Teguh dan Nugroho dia menggiringnya menuju ke bendungan. Maryam menangkapnya dengan tepat. Sayangnya, seorang anak tidak dapat memegang ikan sebesar itu lebih dari satu atau dua menit. Karena selain kekuatan binatang tersebut guna menyelamatkan diri, juga karena tubuhnya yang licin. Maryam telah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi tangannya terlalu kecil. Ikan itu berhasil melepaskan diri. Tetapi untunglah aku berada di dekat sana. Padahal baru kali itulah aku berada di sana. Ember yang kutumpangi menjadi dua kali berguna: sebagai perahu dan sebagai penangkap ikan. Lalu Teguh mendapat pujian dari ayah karena mempunyai pikiran
cepat dengan menusukkan batang kayu yang
ditemukannya…(SLdK, hlm. 29-30)
Kutipan di atas dinyatakan oleh ‘aku’ bahwa ayah adalah orang yang sering berusaha menyenangkan anaknya dengan menjadi penengah perkelahian anak-anaknya. Dikatakan bhwa ayah berusaha menjelaskan pada anak-anaknya bahwa masing-masing memiliki andil atas tertangkapnya ikan besar yang menandai keberhasilan mereka dalam menyerok ikan. Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ‘aku’ sangat mengagumi ayahnya yang dianggap mampu menyenangkan semua anak-anaknya, dan seperti yang telah dijelaskan tadi, kejadian bersama-sama menyerok ikan di belakang rumah merupakan cerita salah satu kenangan yang paling berkesan bagi ‘aku’ di dalam novel SLdK ini.
Sejauh ingatanku, hari itu adalah hari pertama yang tertera dengan jelas dalam kepalaku. Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada
kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan di dadanya. Lalu bergiliran gambar-gambar lain menyusul, melanjutkan kenangan yang lembut dan terkasih.(SLdK, hlm. 30)
Dalam novel SLdK ini, pengarang melukiskan ‘aku’ yang menceritakan kenangan-kenangan manis yang dialami ‘aku’ pada masa akhir penjajahan Belanda dan memasuki penjajahan Jepang. Mengenai saat masuknya masa penjajahan Jepang diceritakan ‘aku’ saat ia baru memasuki masa sekolah. Kenangan saat baru memasuki sekolah juga menjadi hal yang mengesankan bagi ‘aku’ yang awalnya berpikir bahwa sekolah adalah penjara yang akan mengurungnya hingga siang.
Sekolah bagiku adalah tempat yang akan mengurungku dari pagi sampai siang, tempat aku harus duduk tak bergerak di atas bangku sempit dan tinggi. Perasaan khawatir, takut, sekaligus ingin tahu, ketiganya bercampur-aduk mengganggu tidurku sejak kami kembali di rumah Semarang. Ibu seperti tidak menduga, memberiku berbagai janji buah pengetahun yang menunggu di ujung jalan.(SLdK, hlm. 85)
Kutipan di atas menunjukkan sikap ‘aku’ yang sangat memikirkan hari-hari yang harus ia lalui saat sekolah. Tampaknya ‘aku’ orang yang mudah merasa bosan dan sangat memikirkan segala hal yang mungkin tidak dapat dilakukannya bila ia telah bersekolah. Hal seperti ini sangat wajar terjadi pada anak-anak terutama bila dilihat dari sifat ‘aku’ yang memang sejak awal cerita tampak sangat aktif dan mudah merasa bosan.
Begitu sampai di anak tangga terakhir, aku segera melepaskan diri dari pegangan pembantu, lalu berlari ke pintu belakang. Sekejap itu pula pembantu telah sampai di sampingku. Dengan sekali tekan dia menyorong palang kayu buat mengunci pintu bagian bawah. Daun pintu sebelah atas telah terbuka lebar melekat ke dinding.(SLdK, hlm.16)
Setelah jemu dengan pemandangan tersebut, seperti di hari-hari lain, aku berkeliaran di dalam rumah. Justru pada hari-hari itu penungguan terasa amat panjang. Ibuku tidak
memperbolehkanku keluar dari pendapa. Gerimis masih terus turun. Kadang-kadang diselingi oleh tumpahan yang lebih deras, yang kemudian reda dengan tiba-tiba seperti juga datangnya yang mendadak.(SLdK, hlm.18)
Hari itu aku tidak dapat berdiam di suatu tempat pun.
Dari bawah meja bilyar aku pindah ke kamar tidur. Mencoba bermain dengan segala macam benda yang dapat kuraih. Dari kamar tidur satu ke kamar tidur lain, aku kembali ke ruang tengah, naik kursi untuk melihat isi laci bupet tempat ayahku menyimpan berbagi majalah. Dari sana ke ruang makan, duduk sebentar di samping ibuku. Sambil mendengarkan ceritanya, mengamati dan mengagumi kelincahan tangannya menggariskan gambar-gambar yang begitu kukenal dengan canting dan lilin panas. Lalu aku tiba-tiba berdiri, pergi ke dapur mengunjungi si Blirik dan anak-anaknya. Sosok-sosok bulu berwarna kuning itu berkeliaran leluasa dari sudut satu ke sudut lain. Pada saat-saat tertentu si Blirik berkotek dengan nada datar panjang. Sekejap itu juga, seperti menggelinding, bola-bola hidop itu berlari ke dekat kurungan, masing-masing berdesakan ke dalam lingkaran anyaman bambu hendak masuk bersama induknya.
Namun si Blirik pun tidak dapat menahanku lebih lama dari kesibukan lain. Aku berjalan perlahan menghindari tempat-tempat yang kuanggap licin, pergi ke pintu kebun. Di sana aku kembali bermenung di depan genangan air.
Begitulah dari pagi sampai siang aku gelisah menunggu ayah dan kakak-kakakku.(SLdK, hlm. 19)
Semua hal-hal yang diungkapkan oleh kutipan di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ‘aku’ adalah anak yang sangat aktif dan tidak suka berlama-lama dalam melakukan suatu hal yang menunjukkan bahwa ‘aku’ adalah anak yang mudah bosan. Tentu hal ini wajar membuat ‘aku’ was-was dengan sekolah yang dianggap ‘aku’ akan mengurungnya.
4.4 Nilai-nilai
Dalam sebuah karya sastra terdapat banyak nilai-nilai, baik itu nilai-nilai yang baik maupun nilai-nilai yang buruk. Adapun nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari isi cerita karya sastra tersebut. Nilai-nilai moral seperti kesetiaan, kepemimpinan, kedermawanan, ketakwaan, persahabatan, dan kesabaran merupakan nilai-nilai yang paling banyak dijumpai dalam karya sastra Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat di Indonesia masih terikat pada adat istiadat dan merupakan masyarakat yang beragama. Dalam adat istiadat dan agama, moral adalah nilai yang paling penting dan menjadi penentu sifat seseorang dalam lingkungan masyarakat.
Dalam novel SLdK ini banyak terdapat nilai-nilai moral yang baik. Nilai kekeluargaan yang sangat kental dalam kehidupan keluarga yang sederhana yang diselingi dengan nilai-nilai moral lainnya seperti nilai kesabaran yang harus ditunjukkan masing-masing anak terutama anak-anak perempuan. Nilai pengendalian diri yang sangat erat kaitannya dengan nilai kesabaran, hingga nilai kepemimpinan yang tentunya terdapat pada tokoh ayah yang merupakan pemimpin rumah tangga dalam keluarga.
Nilai-nilai lain yang dapat terlihat dalam novel SLdK ini terutama adalah nilai pengajaran yang banyak diberikan oleh tokoh ibu kepada anak-anaknya. Nilai-nilai pengajaran dalam melakukan tata cara hidup yang baik dan kesopanan yang harus dijaga dalam berkehidupan dalam bermasyarakat.