• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktural Terhadap Novel Sebuah Lorong Di Kotaku Karya Nh. Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Struktural Terhadap Novel Sebuah Lorong Di Kotaku Karya Nh. Dini"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

SKRIPSI

MULIWARI HANANI T NIM : 070701029

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

OLEH

MULIWARI HANANI T NIM : 070701029

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra

dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si Dra. Yulizar Yunas, M.Hum.

NIP: 1958101319860101 1 002 NIP: 195004111981022001

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Pebruari 2014

Penulis,

Muliwari Hanani T

(4)

ANALISIS STRUKTURAL DALAM NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

Muliwari Hanani T

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan beberapa unsur pembangun dalam sebuah novel Bahasa Indonesia yang berjudul Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh.Dini dalam membentuk unsur intrinsik dalam pengkajian novel Indonesia. Teori yang digunakan adalah strukturalisme murni. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak yang didukung oleh teknik catat. Pada pengkajian data digunakan metode deskriptif yakni metode dengan teknik membaca secara heuristik dan teknik membaca secara hermeneutik. Disimpulkan bahwa struktur pembangun unsur intrinsik dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku bertemakan kekeluargaan dengan amanat yang terkandung mengenai menjalani hidup dalam keluarga yang harmonis. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki sifat yang berbeda-beda dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan di dalam bermasyarakat.

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih

dan karunia-Nya yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam mengerjakan

skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul

“Analisis Struktural dalam Novel Sebuah Lorong di Kotaku Karya Nh, Dini” ini

ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sastra di

Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Selama dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan

dari berbagai pihak, baik berupa bantuan moril maupun bantuan materi. Untuk itu,

penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku ketua Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, selaku Sekretaris Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Pertampilan S. Brahmana, M.Si., selaku pembimbing I dan Ibu Dra.

Yulizar Yunas, M.Hum., selaku pembimbing II. Terimakasih atas kesabaran

dan kesediaan Bapak dan Ibu yang senantiasa meluangkan waktu untuk

membimbing penulis serta memberikan sumbangan pemikiran dalam proses

(6)

5. Bapak dan Ibu staff pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis dengan

ilmu pengetahuan baik dalam bidang linguistik, sastra maupun

bidang-bidang ilmu lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

6. Kak Tika yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan

administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua saya yang tersayang, Ayahanda Alm. Selamat Tarigan,

Ibunda Ngalemi Br. Ginting yang telah memberikan saya dukungan moral,

material, kasih sayang yang tiada habisnya dan doa yang tidak pernah

berhenti. Kiranya kasih dan karunia Tuhan yang senantiasa melindungi dan

memberkati ayahanda dan ibunda.

8. Kepada saudara-saudara saya Tigantara Gamelial Tarigan, dan Martisa

Elsana Br. Tarigan, terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan

kepada penulis selama perkuliahan dan membantu dalam menyelesaikan

skripsi ini.

9. Kepada semua sepupu-sepupu terbaik B’ Alek, K’ Melda, Dek Maya, Dek

Yanti, Dek Gita Putri, yang telah membantu dari segi sarana dan prasarana

bahkan bantuan materil, dan semua sepupu tersayang yang namanya tak

dapat dicantumkan satu persatu, terima kasih atas motivasi yang diberikan

kepada penulis serta kesabaran dalam mengingatkan penulis untuk

(7)

10.Terima kasih buat teman terbaikku Irene Sani dan Pesta yang selalu tak

pernah berhenti mengingatkan dan memarahi penulis untuk tetap semangat

dan jangan pernah malas mengerjakan skripsi ini.

11.Buat sahabat-sahabat kampusku tersayang anak-anak Stambuk 2007 terima

kasih atas semangat dan selalu ada buat penulis baik dalam suka maupun

duka. Kalian sahabat-sahabat terbaikku.

12.Kepada senior stambuk 2006 K’ Triana, terima kasih atas dukungan

sarananya dan motivasinya kepada penulis.

Walaupun telah berusaha memberikan yang terbaik, penulis menyadari masih

banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi kita semua.

Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan

wawasan pembaca mengenai Strukturalisme Murni.

Medan, Pebruari 2014

Penulis

Muliwari Hanani T

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ABSTRAK PRAKATA DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Masalah ... 3

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1Tinjauan Pustaka ... 5

2.2Konsep ... 12

2.2.1 Karya Sastra ... 12

2.2.2 Struktural ... 12

2.2.3 Nilai-nilai ... 13

2.3Landasan Teori ... 14

2.3.1 Karya Sastra ... 14

2.3.2 Strukturalisme ... 15

(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1Bahan Analisis ... 23

3.2Metode Analisis ……… 23

3.3Teknik Analisis Data ... 24

3.4Metode Pengumpulan Data ... 24

BAB IV PEMBAHASAN ……… 25

4.1 Pendahuluan ……… 25

4.2 Tema dan Amanat ……… 28

4.3 Penokohan ………. 31

4.3.1 Ayah ……… 32

4.3.2 Ibu ……… 34

4.3.3 Heratih ……… 36

4.3.4 Nugroho ……… 38

4.3.5 Maryam ………. 40

4.3.6 Teguh ………. 42

4.3.7 Dini ‘Aku’ ……… 44

4.4 Nilai-nilai ……….. 49

(10)

4.4.2 Nilai Kekeluargaan ……… 52

4.4.3 Nilai Pengajaran ……… 54

4.4.4 Nilai Kasih Sayang ………. 58

4.4.5 Nilai Kepemimpinan ………. 60

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……….. 63

5.1 Simpulan ……… 63

5.2 Saran ……… 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(11)

ANALISIS STRUKTURAL DALAM NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

Muliwari Hanani T

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan beberapa unsur pembangun dalam sebuah novel Bahasa Indonesia yang berjudul Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh.Dini dalam membentuk unsur intrinsik dalam pengkajian novel Indonesia. Teori yang digunakan adalah strukturalisme murni. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak yang didukung oleh teknik catat. Pada pengkajian data digunakan metode deskriptif yakni metode dengan teknik membaca secara heuristik dan teknik membaca secara hermeneutik. Disimpulkan bahwa struktur pembangun unsur intrinsik dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku bertemakan kekeluargaan dengan amanat yang terkandung mengenai menjalani hidup dalam keluarga yang harmonis. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki sifat yang berbeda-beda dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan di dalam bermasyarakat.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan ilmu yang batasan-batasannya sulit untuk dijabarkan.

Sastra sangat berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan dijabarkan dalam

bentuk tulisan. Luxemburg dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra (1984:23)

menyatakan “Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis

pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan

adat-istiadat zaman itu.” Dari pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra

merupakan hasil karya yang dibuat dalam kurun waktu tertentu di dalam lingkungan

kemasyarakatan.

“Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang

mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu

bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak keruan” (Teeuw,

1984:19). Pendapat ini berhubungan dengan penelaahan ilmu sastra yang termasuk

di dalamnya terdapat sosiologi, psikologi, dan filsafat.

Karya sastra yang mengekspresikan seorang pengarang lahir dari pengaruh

lingkungan masyarakat di sekitar tempat pengarang menciptakan karyanya. Sastra

menjadi wadah untuk mengekspresikan dan mencurahkan buah pikiran pengarang

yang didasarkan pada pengalaman, baik itu pengalaman si pengarang sendiri

maupun pengalaman orang lain yang diterima oleh pengarang. Hal ini seperti yang

(13)

adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat

dipahami dengan jelas.”

Novel cenderung mengungkap pengalaman atau kenangan dari si pengarang.

Hal ini seperti yang terjadi pada novel Sebuah Lorong Di Kotaku karya Nh. Dini.

Dalam novel ini diceritakan tentang masa kecil pengarang pada akhir penjajahan

Belanda hingga awal penjajahan Jepang. Nh. Dini menceritakan kembali tentang

masa kecilnya, baik yang berupa kenangan manis maupun kenangan pahit. Dalam

novel Sebuah Lorong di Kotaku ini, Nh. Dini menceritakan peristiwa-peristiwa

yang telah dialaminya pada akhir pendudukan Belanda hingga awal pendudukan

tentara Jepang. Dalam novel ini diceritakan pula antara lain tentang pengalaman

Nh. Dini bersama kakak-kakaknya dan sang ayah beramai-ramai menyerok ikan di

belakang rumah saat banjir, pengalaman mengunjungi kakek dan nenek dari pihak

ayah juga dari pihak ibu, saat pertama masuk sekolah, saat ikut mengungsi, dan lain

sebagainya.

Kisah-kisah ini sangat menarik untuk dibahas karena Novel Sebuah Lorong

di Kotaku ini adalah cerita kenangan pengarang sendiri. Novel ini juga menjadi

penting untuk dibahas karena masalah yang akan penulis angkat di sini adalah

mengenai struktur yakni tema, penokohan, setting, dan alur serta nilai-nilai yang

terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku. Hal ini tentunya diharapkan

dapat menjadi penelitian yang berguna bagi ilmu pengetahuan, terutama ilmu sastra

dalam penelitian sastra selanjutnya.

Pemaparan masalah unsur ekstrinsik tentunya menarik untuk diteliti.

(14)

karena masyarakat jadi lebih mengetahui secara detail tentang hubungan sastra

dengan dunia kehidupan. Pemaparan masalah ini juga diharapkan dapat memberi

manfaat bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan berpikir dalam penyelesaian

penelitian selanjutnya.

1.2 Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana struktur cerita dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku dilihat dari

unsur tema, amanat, dan tokoh?

(2) Bagaimanakah nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di

(15)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Melihat bagaimana struktur novel Sebuah Lorong di Kotaku ditinjau dari

tema, amanat, dan tokoh?

2. Mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah

Lorong di Kotaku.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengungkap misalnya tema,

amanat, dan tokoh yang terdapat di dalam sebuah novel, serta nilai-nilai yang

terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku. Maka dengan membaca skripsi

ini, diharapkan pembaca dapat memahami tema, amanat, penokohan, serta

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjuan Pustaka 2.1.1 John Stuart Tarigan

John Stuart Tarigan dengan judul skripsi Tinjauan Nilai-nilai Sosiologis

Terhadap Novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah karya Nh. Dini, menentukan

tentang macam-macam nilai yang terdapat dalam novel Padang Ilalang Di

Belakang Rumah yang ditinjau melalui pandangan (teori) sosiologisnya.

Hal penting dari penelitian John Stuart Tarigan yang paling utama adalah

unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut serta unsur-unsur ekstrinsik yang

berupa nilai kasih sayang, nilai moral, nilai kekeluargaan. Yang menjadi bagian lain

namun sangat penting dalam novel ini yaitu tentang peperangan pada masa itu dan

ketakutan masyarakat yang diakibatkan oleh peperangan itu. Penelitian yang

terdapat pada skripsi John Stuart Tarigan ini, menceritakan tentang kehidupan tokoh

utama (Dini) bersama keluarga intinya, yakni ayah, ibu, kakak perempuan, dan

kakak laki-laki.

Penelitian novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah ini merujuk pada

unsur intrinsik yang menyangkut tema, tokoh, dan latarnya. Juga tentang unsur

ekstrinsik yang mencakup nilai kasih sayang, moral dan ketakutan yang melanda

akibat adanya masa penjajahan. Nilai-nilai kasih sayang dalam penelitian ini tertuju

pada kasih sayang antara keluarga, yakni kasih sayang orang tua kepada anaknya,

(17)

ayah dan ibu kepada anak-anaknya. Serta ketakutan keluarga tokoh utama saat

penjajah datang ke rumah melalui padang ilalang yang terletak di belakang rumah

tokoh utama.

2.1.2 Kalara Sagala

Kalara Sagala menganalisis novel Nh. Dini berjudul Sekayu, dengan judul

skripsi Analisis Pengunaan Jenis Makna dalam Novel Sekayu Karya Nh. Dini.

Dalam skripsi ini Kalara Sagala menggunakan teori semantik yang membahas

tentang jenis-jenis makna yang digunakan oleh pengarang dalam novel Sekayu.

Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan yang berarti analisisnya

dengan menggunakan buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan.

Penelitian dalam judul skripsi Kalara Sagala ini mengarah pada jenis-jenis

makna yang terdapat dalam novel ini, yakni makna konotasi yang mengarah pada

nilai rasa, makna gramatikal, makna referenfsial, dan makna nonreferensial. Dari

sederet makna yang diteliti oleh Kalara Sagala ini, tampaknya ada beberapa jenis

makna yang tidak terdapat di dalamnya yaitu, makna kata dan istilah, makna

(18)

2.1.3 Kristian TM Hutapea

Kristian TM Hutapea dalam skripsinya yang berjudul Analisis Objek

Stilistika terhadap Novel Keberangkatan karya Nh. Dini meneliti tentang

objek-objek stilistika yang terdapat dalam novel Keberangkatan.

Teori yang digunakan dalam penelitian Kristian TM Hutapea ini

menggunakan teori stilistika yang megkaji tentang gaya bahasa yang terdapat dalam

karya sastra. Dalam penelitian ini, Kristian TM Hutapea mengkaji penggunaan

objek stilistika yakni peribahasa ungkapan dan aspek kalimat. Dalam penelitian ini,

peribahasa dan aspek kalimat memiliki jumlah frekuensi penggunaan yang

berbeda-beda. Peribahasa dan aspek kalimat dapat dijumpai seluruhnya dalam novel

Keberangkatan ini. Artinya, novel ini lebih banyak menggunakan ungkapan

dibandingkan dengan peribahasanya.

Penggunaan aspek kalimat dalam penelitian ini, kalimat progresif lebih

sedikit dipergunakan. Kalimat progresif ini adalah kalimat yang memiliki pola dua

kata, dan dalam novel Keberangkatan tersebut hanya satu contoh yang didapatkan

(19)

2.1.4 Leni Fitriah

Leni Fitriah dengan judul Citra Perempuan Dalam Novel Argenteuil Hidup

Memisahkan Diri Karya Nh. Dini: Kajian Feminisme Sastra.

Leni Fitriah, membahas (1) Mendeskripsikan struktur yang terdapat dalam

novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini dan (2) Mendeskripsikan

citra perempuan dalam novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini

dengan kajian feminisme sastra.

Penelitian Leni Fitriah ini menggunakan metode deskriptif, dengan objek

penelitian adalah citra perempuan dalam novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri

karya Nh. Dini dengan menggunakan analisis feminisme sastra.

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) analisis struktur alur,

penokohan dan latar merupakan penunjang tema. Latar tempat di Paris. Kehidupan

aku sebagai seorang istri mempunyai berbagai konflik dengan suami mempengaruhi

alur cerita dalam novel dan mendukung tema yang dipilih, yaitu: hidup menyendiri

berpisah dengan suami dan anak-anaknya. (2) Citra perempuan dalam novel

Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini, yaitu: (a) citra perempuan

sebagai seorang istri, (b) citra perempuan sebagai ibu, (c) citra perempuan sebagai

warga masyarakat, (d) citra perempuan di bidang pendidikan, dan (e) citra

(20)

2.1.6 Kurnia Nur Safitri

Kurnia Nur Safitri dengan judul Pandangan Hidup Tokoh Dini Dalam

Novel La Grande Borne Karya Nh. Dini (tinjauan Sosio Budaya).

Manusia Jawa memiliki cara pandang dan kebijaksanaan hidup yang khas

dan berbeda dengan suku bangsa lain. Kekhasan kebijaksanaan hidup dapat

ditemukan dalam buku Franz Magnis Suseno: Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi

tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Berawal dari teori-teori tentang pandangan Jawa

yang muncul dalam buku tersebut, penulis memilih novel La Grande Borne karya

Nh. Dini sebagai bahan analisis. Di dalam novel La Grande Borne muncul berbagai

pandangan dan sikap hidup Jawa, yaitu cara berinteraksi manusia dalam

menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Tujuan dari penelitian Kurnia Nur Safitri adalah menemukan atau

mengungkap pandangan hidup Jawa pada tokoh utama novel La Grande Borne.

Dalam penelitian ini sosiologi sastra digunakan sebagai dasar pijakan penelitian.

Teori sosiologi sastra mengkaji karya sastra yang mencakup sosiologi pengarang,

sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Dalam penelitian ini digunakan

pendekatan teori sosiologi yang berhubungan dengan karya sastra itu sendiri yang

mengkaji aspek moral atau sikap hidup manusia Jawa dalam novel La Grande

Borne karya Nh. Dini.

Sementara itu sebagai alat bantu mendapatkan tokoh utama dalam cerita,

penulis menggunakan teori struktural. Strukturalisme adalah paham yang

memandang karya sastra secara otonom, terbangun oleh struktur-struktur

(21)

sastra diperoleh pandangan hidup manusia Jawa yang muncul dalam novel La

Grande Borne, berupa prinsip keselarasan yang meliputi sikap rukun dan hormat.

Selain itu adanya pandangan dunia Jawa yang meliputi takdir, darma serta

karma. Keberadaan prinsip dasar serta pandangan dunia yang tepat menuntut

manusia untuk memiliki sikap batin yang tepat pula seperti sabar, ikhlas, rila, nrima

serta eling. Dan eling sendiri merupakan sikap batin paling inti sebagai wujud

peringatan akan adanya kematian setelah kehidupan. Berbagai pandangan dan sikap

hidup tersebut dapat ditemukan melalui karakter tokoh utama, yaitu Dini seorang

wanita Jawa yang sangat memegang adat istiadat dan budaya leluhur nenek

moyangnya. Ia dapat dengan mudah beradaptasi di lingkungan barunya, sikap hidup

Jawa yang ia pegang dijadikan acuan dalam melangkah. Dini selalu berusaha

menjaga kerukunan dan menghindari konflik terbuka. Selain itu ia harus

menempatkan diri sehingga sikap hormat kepada orang lain dapat selalu dipenuhi.

Dengan pembawaan yang halus dan tidak suka meledak-ledak itulah Dini tetap

menjaga pribadi Jawanya.

2.1.7 Aquarini Priyatna Prabasmoro

Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul

yang mempergunakan perspektif feminis dan pascakolonial terhadap tiga novel

karya Nh. Dini, yaitu Pada Sebuah Kapal, La Barka, Namaku Hiroko. Analisis

dalam tesis ini menyoroti konstruksi seksualitas dan subjektivitas perempuan dalam

(22)

terfokuskan pada wacana tubuh dan penubuhan, serta wacana berahi, seks dan cinta

(Prabasmoro, 2006:50-52).

Simpulan yang didapatkan Aquarini Priyatna Prabasmoro adalah pada

ketiga novel Nh. Dini yakni adanya perbedaan atas laki-laki dan perempuan dengan

meresistensi konstruksi patriarki atas asumsi masyarakat tentang salah satu bagian

tubuh pria dan perempuan. Sebagaimana yang terbangun dalam ketiga novel Nh.

Dini dan direpresentasikan oleh tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut.

Penelitian-penelitian yang menjadi tinjauan pustaka di atas menggunakan

teori yang berbeda dengan teori penelitian ini. Akan tetapi, semua

penelitian-penelitian di atas menggunakan analisis struktural murni sebagai penelitian-penelitian awal.

Hal ini terjadi karena dalam penelitian karya sastra, struktural adalah analisis dasar

utama. Penelitian ini menggunakan analisis struktural murni, yakni penelitian

terhadap karya sastra dengan melihat karya sastra itu sendiri tanpa terkait dengan

(23)

2.2 Konsep

2.2.1 Karya Sastra

Karya sastra menurut Chamamah (2001:14), “adalah satu wujud kreativitas

manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya

dapat menjadi kaidah.” Dari sini dapat terlihat bahwa karya sastra itu

memperlihatkan gejala universal yang sifatnya umum namun unik sekaligus khusus.

Pradopo (2001:73) menyatakan bahwa “karya sastra (sastra) merupakan

sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.” Sastra memiliki

ragam-ragam, yaitu ragam prosa dan puisi.

2.2.2 Struktural

Struktural merupakan hal yang menjadi dasar utama dalam penelitian karya

sastra. Seperti yang dinyatakan oleh Teeuw (1984:61) “Analisis struktur merupakan

tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain.”

Analisis struktural ini didasarkan pada anggapan bahwa karya sastra adalah dunia

yang mempunyai makna intrinsik yang hanya bisa digali melalui karya sastra itu

sendiri.

(24)

2.2.3 Nilai-nilai

Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk

memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menark minat

seseorang atau kelompok. Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas

yang melekat pada suatu benda.

nilai yang terdapat di seluruh dunia sangat banyak macamnya.

Nilai-nilai tersebut yaitu antara lain Nilai-nilai moral, Nilai-nilai material, Nilai-nilai estetika, Nilai-nilai sosial,

nilai kehidupan, dan lain sebagainya. Nilai-nilai moral adalah yang paling terikat

(25)

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Karya Sastra

“Karya sastra (sastra) merupakan sebuah sistem yang mempunyai

konvensi-konvensi sendiri.” (Pradopo, 2001: 73) Sastra memiliki ragam-ragam, yakni ragam

prosa dan ragam puisi. Prosa memiliki ragam cerpen, novel, drama, dan roman.

Kemudian puisi memiliki ragam gurindam, soneta, pantun, syair, puisi lirik, balada,

dan lain-lain. Semua ragam-ragam karya sastra itu memiliki konvensi-konvensi

sendiri.

Sastra dalam penelitiannya berguna sebagai kegiatan yang diperlukan untuk

menghidupkan, mengembangkan, dan mempertajam suatu ilmu. Pengembangan

penelitian ilmiah tentang sastra selalu berkaitan dengan konsep sastra yang sifatnya

universal namun, menyimpan sifat individualitas juga. Konsep sastra pada

masyarakat Indonesia adalah produknya yang bernama karya sastra. “Produk sastra

Indonesia sejalan dengan karakteristik kesastraannya, menjangkau karya-karya

yang tercipta dari berbagai latar penciptaan, tempat penciptaan, dan waktu

penciptaan.” (Chamamah, 2001:22).

Karya sastra dan kehidupan sangat erat hubungannya. Istilah sastra sering

menunjukkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada masyarakat. Sastra dipahami

sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang

menggunakan bahasa sebagai bahan. Dalam kehidupan, bahasa merupakan salah

satu dari kebudayaan dan merupakan kebutuhan dalam hidup, karena kehidupan

(26)

2.3.2 Strukturalisme

Strukturalisme adalah pendekatan yang hanya melihat isi dari karya sastra

melalui karya itu sendiri. “Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan

objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya

pada otonomi sastra sebagai karya fiksi.” (Iswanto, 2001: 62). Pendapat Iswanto

tersebut dapat diartikan bahwa pemaknaan karya sastra dengan pendekatan

strukturalisme ini harus diserahkan pada eksistensi karya itu sendiri tanpa

mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikasinya.

Pendekatan ini mulanya dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia dan aliran

New Criticism Amerika dengan istilah strukturalisme otonom atau strukturalisme

murni. “Gerakan ini menganggap bahwa memahami karya sastra adalah usaha

mencari ciri khasnya terlepas dari psikologi, sejarah, atau penelitian

kebudayaannya.” (Teeuw, 1984: 129). Pradopo dalam bukunya Struktur Cerita

Pendek Jawa menyatakan bahwa:

“Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan.”(Pradopo dkk, 1985: 6).

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa mencari makna karya sastra itu

harus dikaji berdasarkan maknanya sendiri yang terlepas dari latar belakang sejarah,

diri dan niat penulis, juga terlepas dari efeknya pada pembaca.

Hawks dalam Teeuw (1984: 120) mengatakan bahwa “strukturalisme adalah

cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur.”

(27)

yang ada. Setiap unsur yang itu tidak memiliki makna sendiri kecuali bila terhubung

dengan anasir-anasir lainnya. Anasir-anasir ini menyangkut kepada kaidah-kaidah

intrinsik yang menjadi penentu keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.

Teeuw (1984:61) berpendapat bahwa “Analisis struktur merupakan tugas

prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain.”

Dalam hal ini pemahaman yang berdasarkan pada makna intrinsik yang terdapat

dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, bila ingin memahami karya sastra secara

optimal, harus dipahami dahulu secara menyeluruh tentang struktur yang terdapat

dalam keutuhan karya sastranya.

Maka pendekatan struktural adalah pendekatan yang memusatkan

perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Strukturalisme yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri. Unsur tersebut disebut juga sebagai unsur intrinsik.

Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:25) membedakan unsur pembangun

sebuah karya sastra terdiri atas:

1. Tema

2. Tokoh dan penokohan

3. Plot

4. Setting

5. Sudut pandang

(28)

2.3.2.1 Tema

Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa tema merupakan gagasan,

ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat

dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Tema dibedakan dari subjek atau topik

(Zaidan, 2007: 204). Tema merupakan dasar yang penting dalam sebuah karya

sastra, karena tanpa adanya tema maka tidak mungkin tercipta sebuah karya sastra.

Tema menjadi sangat penting sebab tema adalah gagasan atau ide dari seorang

pengarang untuk menjadi dasar suatu karya sastra. Secara singkatnya, tema adalah

sesuatu yang menjadi dasar cerita atau sesuatu yang menjiwai cerita dan menjadi

pokok masalah dalam cerita.

Untuk menentukan tema sebuah karya sastra diperlukan pemahaman secara

mendalam terhadap karya sastra yang akan diteliti. Setelah karya sastra dibaca dan

dipahami, maka akan mudah diketahui tema karya sastra tersebut. Dalam novel atau

roman, tema akan sangat mudah diketahui karena merupakan inti dari

permasalahan, dan biasanya sangat sering disebutkan dalam novel atau roman

tersebut.

2.3.2.2 Tokoh dan penokohan

Tokoh adalah orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Berkaitan

dengan itu, terdapat pula penokohan yakni proses penampilan tokoh dengan

pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. Penokohan ini

dapat dilakukan melalui teknik kisahan dan teknik ragaan (Zaidan, 2007: 206).

(29)

Pada umumnya tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel atau roman adalah manusia,

namun dapat juga berupa binatang atau benda yang dimanusiakan.

Tokoh dapat dibedakan atas dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.

Tokoh sentral adalah tokoh utama dan dibagi atas tokoh sentral protagonis dan

tokoh sentral antagonis. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang

mendukung tokoh sentral. Untuk menciptakan suatu tokoh dalam novel atau roman

diperlukan proses penciptaan citra suatu tokoh.

2.3.2.3 Plot

Alur merupakan unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan tertentu yang terwujud oleh adanya

hubungan sebab akibat, tokoh, tema atau penggabungan dari ketiganya (Zaidan,

2007: 36). Alur dalam sebuah karya sastra terbagi atas dua, yaitu alur maju dan alur

mundur. Alur maju adalah gaya penceritaan yang dimulai dari awal hingga akhir,

sedangkan alur mundur cerita yang disampaikan dimulai dari akhir cerita yang

kemudian kembali ke awal cerita hingga berlangsung sampai akhir cerita kembali.

2.3.2.4 Setting (latar)

Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa latar adalah waktu dan

tempat terjadinya lakuan di dalam karya sastra atau drama. Dinyatakan juga bahwa

latar merupakan dekor pemandangan dalam pementasan drama seperti pengaturan

tempat kejadian, penncahayaan, dan perlengkapan (2007:118). Dalam KBBI,

setting atau latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya

(30)

waktu, ruang dan situasi suatu peristiwa yang terjadi dalam cerita. Setting atau latar

ini menentukan

2.3.2.5 Sudut pandang

Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam cerita atau penceritaan diaan yang berada di luar cerita; pusat kiasan

(point of view)” (Zaidan, 2007:194). Sudut pandang merupakan cara pandang dan

penghadiran tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan narator pada posisi tertentu.

Melalui sudut pandang ini terdapat dua pengisahan dengan sudut pandang berbeda,

yakni sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.

2.3.2.6 Gaya bahasa

Gaya merupakan cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya

meliputi pilihan kata, majas, sarana retorik, bentuk kalimat, bentuk paragraf;

pendeknya, setiap bahasa pemakaiaannya oleh penulis; langgam ((Zaidan, 2007:

76). Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam

bentuk tulisan dan lisan. Gaya bahasa juga diartikan sebagai keseluruhan ciri-ciri

bahasa sekelompok penulis sastra (KBBI, 2007:340). Gaya bahasa yang digunakan

oleh setiap pengarang pada karya sastra yang mereka ciptakan merupakan suatu

cara pengungkapan yang khas bagi masing-masing pengarang. Gaya bahasa seorang

pengarang tidak akan sama dengan gaya bahasa pengarang lainnya, karena

pengarang akan menyajikan hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan

(31)

2.3.3 Nilai-nilai

2.3.3.1 Hakikat Nilai

Memahami tentang pembahasan nilai merupakan hal yang rumit. Hal ini

karena sifat dari nilai itu yang abstrak dan tersembunyi di belakang fakta. Nilai

merupakan kemampuan yang dipercayai pada suatu benda untuk memuaskan

manusia. Dari penjelasan tersebut dinyatakan bahwa nilai itu terkait dengan suatu

objek.

Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:33), mengatakan bahwa hakikat

nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:

1. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif tergantung kepada pengalaman

manusia pemberi nilai itu sendiri.

2. Nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi namun

tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan

esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.

3. Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.

2.3.3.2 Pengertian Nilai

Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu dari kebudayaan selain

sistem sosial dan karya. Nilai sering disebut sebagai kemampuan yang dipercayai

manusia pada suatu benda untuk memuaskan keinginan manusia itu sendiri. Hal ini

dikarenakan nilai itu berasal dari budi yang fungsinya untuk mengarahkan sikap dan

(32)

kenyataan-kenyataan lainnya. Artinya menilai bermakna menimbang segala sesuatu kegiatan

manusia untuk dapat terhubung dengan kegiatan lainnya sehingga dapat diambil

suatu keputusan.

2.3.3.3 Jenis-Jenis Nilai

Alport mengidentifikasikan macam-macam nilai dalam kehidupan

masyarakat, yakni nilai ekonomi, nilai estetika, nilai religi, nilai politik, nilai teori,

dan nilai sosial. Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang

individu-masyarakat terhadap sesuatu objek.

Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya

dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan:

1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang

memunculkan rasa senang, menderita, atau tidak enak.

2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai yang penting untuk hidup seperti

jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan hidup.

3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran,

keindahan, dan pengetahuan murni.

4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan yang didalamnya terdapat modalitas

(33)

Di lain pihak, Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga bagian;

1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.

2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk

mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.

3. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rohani manusia.

Nilai-nilai moral seperti kesetiaan, kepemimpinan, kedermawanan,

ketakwaan, persahabatan, dan kesabaran merupakan nilai-nilai yang paling banyak

dijumpai dalam karya sastra Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat

di Indonesia masih terikat pada adat istiadat dan merupakan masyarakat yang

beragama. Dalam adat istiadat dan agama, moral adalah nilai yang paling penting

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Analisis

Judul : Sebuah Lorong Di Kotaku

Pengarang : Nh. Dini

Tebal Buku : 107 hlm.

Penerbit : Gramedia Pustaka

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : 2002

Warna Sampul : Coklat

Ukuran Buku : 15x20 cm

3.2 Metode Analisis

Metode adalah “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan

suatu kegiatan guna mencapau tujuan yang ditentukan” (KBBI, 2007:740). Metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yakni metode

membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca heuristik dan hermeneutik adalah

pembacaan melalui struktur kebahasaan dan pembacaan ulang terhadap novel

(35)

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik catat, yaitu mencatat dan

mengindentifikasi struktur, seperti tema, penokohan, setting, alur, dan nilai-nilai

yang terkandung di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yakni mengumpulkan data dari

dokumen-dokumen yang ada. Kemudian data yang ada ditafsirkan sesuai dengan

(36)

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan

Dalam bab pembahasan ini, walaupun penulis menggunakan teori

strukturalisme dalam pengkajian ini, namun tidak semua unsur strukturalisme

penulis bahas. Penulis hanya membicarakan novel Nh. Dini yang berjudul Sebuah

Lorong di Kotaku ini dari segi tema dan amanat, penokohan, dan nilai-nilai.

Alasannya adalah tema dan amanat merupakan hal yang paling mendasar dalam

sebuah karya sastra terlebih dalam sebuah novel. Sebuah karya sastra diciptakan

oleh seorang pengarang dengan latar belakang ingin memberitahukan sesuatu hal

kepada masyarakat. Hal-hal yang ingin diberitahukan tersebut diawali dengan tema

dan amanat

Tema merupakan hal paling utama dalam penciptaan karya sastra. Dalam

Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa tema merupakan gagasan, ide, pikiran

utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam

kalimat pernyataan. Tema dibedakan dari subjek atau topik (Zaidan, 2007: 204).

Dari pengertian tema tersebut, jelas bahwa dalam pembahasan karya sastra tema

menjadi hal yang paling utama untuk dibahas. Hal tersebut dikarenakan sebelum

sebuah karya sastra tercipta, pengarang harus memikirkan ide dan gagasan dalam

(37)

Amanat menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas karena sebuah

amanat dalam karya sastra merupakan sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh

pengarang. Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa amanat adalah pesan

pengarang kepada pembaca baik tersurat maupun tersirat yang disampaikan melalui

karyanya (Zaidan, 2007: 27). Pengertian tersebut menyimpulkan bahwa setiap karya

sastra diciptakan oleh seorang pengarang dengan menempatkan sebuah amanat di

dalamnya. Dengan demikian jelaslah bahwa penulis harus membahas mengenai

amanat di dalam pengakajian novel Sebuah Lorong di Kotaku.

Mengenai penokohan tentunya sebuah novel tidak terlepas dari karakter

tokoh-tokoh yang menjalani sebuah peristiwa dalam sebuah novel. Tokoh

merupakan orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Dalam kaitan itu,

penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau

kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan, 2007: 206). Sebuah cerita dalam

novel memerlukan karakter yang menjalani setiap proses cerita. Dengan alasan ini

penulis berpikir bahwa analisis tokoh dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku adalah

salah satu hal terpenting untuk dikaji. Dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku

tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya sangat beragam dengan karakter yang

berbeda-beda, maka penulis tertarik untuk mengkaji.

Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat mudah ditemukan karena

karya sastra selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang dipenuhi

nilai-nilai kehidupan. Sastra dan nilai-nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling

melengkapi dalam hakikatnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan manusia.

(38)

sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang

mempunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak hanya

memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai

kehidupan manusia dalam arti total. Melalui penjelasan di atas maka pentinglah

bagi penulis untuk membahas nilai-nilai yang terdapat dalam novel Sebuah Lorong

(39)

4.2 Tema dan Amanat

Novel Sebuah Lorong di Kotaku (SLdK) berpusat pada kehidupan sebuah

keluarga yang hidup pada masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang. Novel

SLdK ini bertemakan kenangan manis seorang anak usia praskolah dalam keluarga

yang banyak dialami oleh tokoh utama. Walaupun terdapat juga kenangan yang

pahit saat peralihan penjajah yang menyebabkan perang, namun novel SLdK ini

lebih menekankan pada kenangan manis dalam keluarga. Keluarga yang terdiri atas

ayah dan ibu serta lima orang anak.

Begitulah, dengan kesadaran yang ayem dan penuh kepercayaan, ibuku dapat berkata bahwa itu adalah rumah mereka berdua, rumah ibu dan ayahku. Di sanalah kakakku sulung Heratih tumbuh dan besar. Di sanalah dia disusul oleh ketiga adiknya: Muhamad Nugroho, Siti Maryam, Teguh Asmar.

Dan anak terakhir ibu dan ayahku yang lahir di rumah itu adalah diriku sendiri.(SLdK, hlm. 10)

Keluarga besar yang hidup sederhana di sebuah rumah di daerah Semarang.

Rumah yang dinyatakan memiliki halaman terluas di daerah tersebut, dengan kebun

di bagian belakang yang dipenuhi oleh pohon-pohon buah dan berpagar alami.

Terletak di pojok kampung, rumah itu adalah satu-satunya yang memiliki halaman luas di muka dan salah satu sisinya. Sedangkan di belakang, kebun besar, kaya dengan pohon buah-buahan, dipagari oleh rentetan bambu yang rapi. Paling sedikit delapan belas depa dari batas tersebut, mengalir Sungai Semarang yang langsung turun dari Gunung Pati di Ungaran.(SLdK, hlm. 9)

Amanat yang coba disampaikan penulis dalam novel SLdK ini adalah

pengajaran hidup oleh orang tua dalam mengajarkan kehidupan pada kelima

anak-anaknya. Pengajaran kehidupan keluarga dalam mendidik anak-anak dan mengatasi

(40)

‘aku’ yang dilihat melalui sisi pandangan anak bungsu yakni tokoh aku. Hal ini

dapat terlihat pada kutipan berikut.

… Kata ibuku, makanan harus dinikmati dengan diam. Kalau orang terlalu cerewet pada waktu makan, itu berarti tidak menghormati makanan yang ada di depannya. Padahal makanan adalah kurnia Tuhan. Dan harus dihormati. Juga menurut ibuku, makanan harus dikunyah dengan lambat tetapi sebanyak kali kesanggupan kita. Tanpa suara dan dengan mulut tertutup. Pandang orang yang sedang makan tidak patut jika ditujukan kemana-mana selain pada makanan yang ada di depannya. Jika kami makan dengan tangan, kami harus mencuci tangan kanan di kobokan yang tersedia dengan suara sesedikit mungkin. Tangan kiri harus tertompang dengan sopan di atas meja di tentangan dada. Tetapi jika kami mempergunakan senduk dan garpu, harus dijaga jangan sampai sentuhan kedua benda itu pada piring membikin bunyi yang mengejutkan tetangga semeja.(SLdK, hlm. 20)

Kutipan tersebut menyatakan kehidupan keluarga yang penuh pengajaran

ibu bahkan pengajaran tata cara makan yang baik yang terlihat dari pandangan Dini

tokoh ‘aku’. Dini yang merupakan seorang anak kecil yang berusia prasekolah dan

hanya mengerti bahwa setiap pengajaran yang dia terima dari ibunya adalah

pengajaran baik dan tata karma yang memang harus dan layak dilakukan.

Kehidupan keluarga dalam novel SLdK memang terjadi pada masa akhir

penjajahan Belanda hingga awal masa penjajahan Jepang yang dinyatakan sulit, tapi

yang lebih ditonjolkan penulis pada novel SLdK ini lebih banyak adalah cerita

kehidupan sang tokoh dengan keluarga yang cukup menyenangkan karena berisi

tentang kenangan si tokoh ‘aku’ yang menceritakan perlakuan masing-masing

anggota keluarga pada si ‘aku’ yang merupakan anak terkecil.

(41)

“Menyerok ikan siang ini? Tentu saja!” lalu dia meneruskan, “Tapi apakah kau tidak mau juga pergi ke desa seminggu lagi?”

Aku tahu bahwa pergi ke desa berarti ke rumah kakek. Tapi waktu itu pikiranku hanya tertuju kepada genangan air yang tak jauh dari ruangan makan itu.

“Mau,” kataku asal menjawab. “Tapi kita menyerok ikan dulu. Boleh aku turut ya, pak. Boleh?”

“Kau masih terlalu kecil!” kakakku sulung menyahut.

“Ya, kalau jatuh ke air, belum bisa berenang,” yang ketiga turut bersuara.

“Siapa tahu ikan-ikannya lebih besar daripada kau,” yang keempat menyeletuk.

“Kalau kau jatuh ke air, tentulah ada yang mau menelanmu bulat-bulat,” yang kedua selalu menemukan kata-kata lebih jahat daripada lain-lainnya.

Ibu diam saja selama itu.(SLdK, hlm. 21)

Kutipan di atas menyatakan segala sikap masing-masing anggota keluarga

terhadap tokoh utama yang masa itu masih kecil dan belum bersekolah. Ada yang

dengan lembut menyampaikan sanggahannya kepada tokoh utama, tapi ada juga

(42)

4.3 Penokohan

Dalam SLdK terdapat tokoh utama Dini yakni tokoh ‘aku’ dan terdapat

beberapa tokoh yang tidak hanya mendukung tokoh ‘aku’ tetapi memang

tokoh-tokoh yang menjadi pusat penceritaan. Hal ini karena novel SLdK merupakan novel

yang menceritakan tentang kehidupan keluarga tokoh ‘aku’. Setiap tokoh memiliki

peran yang cukup membangun kepribadian tokoh ‘aku’.

Tokoh utama yakni Dini (aku), menceritakan kehidupannya bersama

keluarga dan apa saja yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Novel

SLdK memaparkan tokoh-tokoh yang sangat berhubungan erat dengan tokoh utama

karena merupakan kakak-kakak dan orang tua tokoh utama. Ada ayah, ibu, Heratih,

Nugroho, Maryam, dan Teguh. Tokoh-tokoh itu, berdasarkan pengamatan pada

umumnya berperan sangat penting dalam mengiringi tokoh utama. Kehadiran

tokoh-tokoh itu tidak dapat tersampingkan karena sangat erat kaitannya dalam

menemani tokoh utama.

Analisis penokohan di dalam novel SLdK ini bertujuan untuk mengetahui

peran para tokoh yang sebenarnya. Dalam hal ini, tokoh utamalah yang paling

banyak mendapat perhatian untuk dianalisis sedangkan tokoh-tokoh yang lain perlu

juga dianalisis sesuai dengan peran yang diungkapkan tokoh utama. Di dalam

hakikatnya, “peran tokoh dalam sebuah cerita berhubungan erat dengan alur cerita,

karena kedua unsur itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan keduanya tidak

dapat dipisahkan” (Hasjim, 1989:58).

Sehubungan dengan itu, novel SLdK ini sesuai dengan yang dikatakan

(43)

tokoh. Dalam hal ini, peran para tokoh itu sangat menunjang dan memperjelas

penyampaian tema dan amanat sehingga cerita ini tampak hidup karena mereka

saling mendukung.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini analisis tokoh-tokoh di dalam novel SLdK.

4.3.1 Ayah

Tokoh ayah di dalam novel SLdK tidak terlalu dijelaskan secara fisik, hanya

digambarkan tentang sifatnya yang sangat sayang terhadap keluarga dan

bertanggung jawab penuh terhadap keuangan keluarga. Terutama dalam

mengangsur uang pembayar pembelian rumah kepada mertua.

Seperti telah dijanjikan, kakek dari kedua belah pihak mengeluarkan biaya masing-masing sebagai uang pembeli. Pengeluaran tersebut diiringi keterangan, bahwa keluarga memerlukan tempat persinggahan di kota Semarang. Karena sampai saat itu, sanak saudara yang perlu berkunjung dari satu sudut ke sudut yang lain dari seluruh tanah air tidak memiliki tempat bermalam selayaknya di Pulau Jawa bagian tengah utara. Rumah tersebut juga akan dipergunakan sebagai rumah keluarga. Dan untuk menjaga harga diri, ayahku harus mengembalikan sejumlah uang kepada orang tua ibuku. Dengan demikian, dia juga turut beriuran.(SLdK, hlm. 10)

Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa ayah orang yang sangat

bertanggung jawab terhadap keluarga dan sangat menjaga harga dirinya sebagai

seorang suami dengan berusaha mencicil uang pinjaman pembeli rumah dari

mertua.

Ayah juga sangat sabar bahkan bisa menerima bila ibu mengomel karena

(44)

Sewaktu ibu marah-marah menyesali tingkah kami semuanya, dari suami sampai kepada anak-anak, ayah memandang kepadaku sambil mengerjapkan sebelah mata. Menerima tanda perkomplotan itu, aku tersenyum membalasnya. Lalu kami pun siap sedia memulai lagi permainan yang sama.(SLdK, hlm. 47)

Pada kutipan tersebut sangat jelas bahwa ayah sangat mengerti akan

keinginan anak-anaknya untuk bebas bermain walaupun hal tersebut menjadi

larangan bagi si ibu dikarenakan menurut ibu permainan yang dilakukan membawa

banyak akibat mulai dari lecet-lecet, baju kotor dan kepala banyak pasir.

Ayah disebutkan bekerja sebagai pegawai PT. KAI yang mempunyai gaji

yang cukup untuk kebutuhan hidup dan mengangsur cicilan pembelian rumah

kepada mertua.

Sebagai komis pada Jawatan Kereta Api, yang waktu itu disebut NIS, setiap bulan ayahku wajib menyisihkan sebagian gajinya untuk dikirim pada mertuanya.(SLdK, hlm. 10)

Ayah juga digambarkan sebagai orang yang mampu memanjakan setiap

anak-anaknya dengan caranya sendiri, tetapi juga sosok yang tegas dan mampu

bertindak sebagai pemimpin dalam mengatur anak-anak. Hal-hal tersebut akan

terlihat pada kutipan-kutipan berikut ini.

Ayah memiliki cara tersendiri untuk memanjakan anak-anaknya. Masing-masing dari kami berlima pun mempunyai kebiasaan kesenangan berbeda. Ayah memanjakan Teguh, dengan sekali-sekali membiarkannya pergi ke sungai tanpa diketahui oleh ibu. Untuk Heratih, sekali-sekali membelikan buku pola sulaman yang dia inginkan. Untuk Nugroho aku tidak pernah mengetahuinya. Dan untuk Maryam dan aku sendiri, berupa makanan. …(SLdK, hlm.77)

(45)

Suara ayah tegas tidak memerlukan perbantahan…(SLdK, hlm. 26)

Kemudian, seperti biasa, ayah menjadi wasit.(SLdK, hlm. 29) ….Seperti biasa, ayahku dapat mengakhiri keributan yang tidak berguna itu….(SLdK, hlm. 35)

….Tetapi dengan cepat ayah memanggilnya kembali. Suaranya tegas, tidak memerlukan pendapat orang lain. Aku agak terkejut melihat kepadanya. Hanya soal jambu, apakah yang dikhawatirkannya? Tetapi mukanya bersungguh-sungguh, mengulangi perintah agar anaknya segera kembali duduk bersama kami.(SLdK, hlm. 73)

Melihat kepada kutipan-kutipan yang menceritakan betapa ayah adalah

orang yang tegas tapi juga sangat sayang terhadap keluarga terutama dalam

memanjakan masing-masing anak menunjukkan bila ayah adalah sosok yang bijak

dan baik dalam memimpin keluarga.

4.3.2 Ibu

Ibu yang tergambarkan dalam novel SLdK juga tidak tergambarkan secara

fisiknya. Namun, kelihatan jelas bahwa tokoh aku sangat mengagumi kedua orang

tuanya, terutama tokoh ibu. Ibu disini sangat berperan penting dalam mengajarkan

anak-anak. Terutama pengajaran hidup berkeluarga yang baik.

“Awas hati-hati,” cepat ibu mengingatkan. “Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan.”(SLdK, hlm.13)

Kata-kata yang diucapkan oleh ibu tersebut adalah pengajaran yang baik dan

biasa diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Mengajarkan agar anak-anak

berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu merupakan hal yang paling sering

(46)

Tokoh ibu digambarkan sebagai orang yang sangat perhatian kepada suami

dan anak-anaknya. Ibu juga orang yang hidup sederhana dan selalu berusaha

memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan masing-masing

anak-anaknya. Tentang masalah keuangan si ibu sangat menjaga agar mereka sekeluarga

tercukupi kebutuhan, dan ibu selalu bersyukur atas rezeki yang di dapat. Hal ini

dapat terlihat dari kutipan berikut.

“Bagaimana, Bu, mau ke desa?”

“Mau saja, tetapi bagaimana keuangannya. Apa sudah mendapat rezeki?”

“Ya. Besok pagi bisa diterima.” “Sukurlah.”

Dan aku tahu bahwa dalam hati ibuku memuji kebesaran nama Tuhan Yang Penyayang.(SLdK, hlm. 21-22)

Pada kutipan tersebut tampak ibu sangat menjaga agar keuangan keluarga

tidak terganggu karena rencana pergi ke desa dan ibu dikatakan mengucap rasa

syukur di dalam hatinya atas rezeki yang di dapat suaminya.

Kutipan lain yang menyatakan bahwa ibu sangat menjaga keuangan dalam

keluarga yaitu saat akan bepergian, ibu selalu mengusahakan agar tidak perlu

mengeluarkan biaya dalam membeli makanan seperti berikut ini.

Bepergian ke luar kota bersama lima anaknya, bagi ibuku berarti harus mempersiapkan makanan secukup mungkin untuk dibawa di dalam keba, yaitu tas yang terbuat dari anyaman daun pandan air. Dia tidak suka membeli makanan di perjalanan; kecuali buah-buahan atau jenis makanan keistimewaan daerah atau koata yang kami lalui. Selain soal keuangan, ibu mempunyai alasan yang lain.(SLdK, hlm. 31)

Kutipan di atas menunjukkan sikap ibu yang berusaha menghemat

pengeluaran keluarga dengan berusaha membawa-bawa makanan yang secukupnya

(47)

keuangan keluarga meskipun sikap ibu ini menyebabkan kerepotan karena harus

membawa tas anyaman tempat makanan yang disebut dengan keba.

4.3.3 Heratih

Heratih merupakan anak tertua dalam keluarga Dini-‘aku’. Sebagai kakak tertua tampak bahwa Heratih sangat menjaga adik-adiknya terutama Dini sebagai

anak terkecil. Pengarang menceritakan bahwa Heratih adalah siswa HIS, merupakan

kakak yang mempunyai sifat keibuan dan hatinya lembut. Heratih juga anak yang

patuh dan penurut pada orang tua, baik itu perintah ayah maupun ibu.

Dia bersekolah di HIS. Disana murid-murid harus berbicara dalam bahasa Belanda dengan guru dan di antara murid. Tetapi begitu kembali ke rumah, ayah mewajibkan kakakku berbahasa Jawa. Kalau dia mengucapkan kata Belanda sepatah pun, dikenakan denda karenanya, uang saku ditarik kembali atau mengerjakan tugas rumah tangga. Di antara kawan-kawan kakakku terdapat beberapa anak Belanda. Kakakku sulung yang berhati halus itu tidak mengira, bahwa pemerintah yang terdiri dari orang-orang Belanda itu berkelakuan tidak adil terhadap ayah ataupun orang-orang pribumi lain.(SLdK, hlm. 22)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Heratih gadis yang sangat lemah-lembut

sehingga tidak menyangka bahwa orang Belanda dapat berlaku tidak adil. Tokoh

utama tampaknya sangat dekat dengan Heratih karena pengarang menuliskan bahwa

Heratih adalah sosok yang paling sering mengurus ‘aku’ selain ibu.

Kakakku sulung mencuci muka dan kakiku…(SLdK, hlm. 23) Tetapi Heratih, kakakku sulung, tidak beranjak dari sampingku. Tangannya erat memegang tanganku.(SLdK, hlm. 25)

(48)

….Tadi kakakku sulung membangunkanku, mencuci mukaku, mendandaniku, mengenakan sepatuku, menyisir rambutku. Di meja keluarga, menyuapkan isi piringku….(SLdK, hlm. 33) Heratih membawaku ke pancuran buat mencuci tangan, menunjukkan gudang dan ruangan….(SLdK, hlm. 40)

Pagi-pagi di hari tersebut, Heratih menolongku berpakaian,…(SLdK, hlm. 85)

Heratih menangkapku, menarikku ke kamar mandi. Memakaikan baju bersih, sepatu dan jas rangkapan yang biasa kami pakai di hari-hari bepergian.(SLdK, hlm. 90)

Sifat keibuan yang dimiliki Heratih tampaknya merupakan sikap yang ia tiru

dari ibu, karena Heratih tampaknya mengurusi ayahnya sesuai dengan yang

dilakukan atau diperintahkan ibu.

Kakakku sulung menghampiri andong, mengambil kain itu dari dalam tasku, lalu diberikannya kepada ayah.

“Jasnya juga sekarang, Pak?” kakakku bertanya.

“Ah, tidak! Aku tidak sakit! Mengapa kalian ribut begitu?” Kuterka suara ayah yang jengkel! Kadang-kadang dia dianggap seperti anak kecil, ibu mengingatkankannya memakai ini dan itu. Heratih turut menirunya.(SLdK, hlm. 46)

Kutipan di atas menunjukkan hal-hal yang dilakukan oleh Heratih sebagai

anak sulung yang bersifat keibuan dan tampak seperti pamong tokoh utama. Selain

itu, banyak hal lain yang dituliskan oleh penulis tentang sikap Heratih yang bersifat

dewasa.

(49)

4.3.4 Nugroho

Anak kedua dalam keluarga ‘aku’ adalah seorang anak laki-laki yang

sepertinya tidak disukai tokoh ‘aku’. Di awal cerita bahkan pengarang yang berlaku

sebagai tokoh utama yakni tokoh ‘aku’ langsung menyebutkan bahwa Nugroho

yang merupakan anak kedua dalam keluarga selalu menyebutkan kata atau kalimat

yang lebih jahat dari anak-anak yang lain.

“Kalau kau jatuh ke air, tentulah ada yang mau menelanmu bulat-bulat,” yang kedua selalu menemukan kata-kata yang lebih jahat daripada yang lain-lainnya.(SLdK, hlm. 21)

Dalam novel SLdK, ‘aku’ menceritakan bahwa Nugroho adalah anak yang

agak kasar dan sering berkelahi dengan Teguh. ‘Aku’ juga menyatakan bahwa ia

tidak terlalu menyukai kedua kakak laki-lakinya, terutama kakak keduanya

Nugroho. Alasan mengapa ia tidak menyukai Nugroho bahkan dijelaskannya secara

panjang lebar.

“Dengan Nugroho atau Teguh?” Tanya kakek. “Saya tidak suka pada mereka.”

“Mengapa?”

“Karena mereka juga tidak suka kepada saya.” “Kau membenci saudaramu laki-laki?”

“Tidak. Tapi saya tidak menyukai mereka.”

“Jadi kau tidak membenci, tetapi tidak menyukai mereka.” Aku hanya mengangguk.

“Katakan apa sebabnya.”

“Mereka tidak peduli. Mereka kasar. Kalau dimintai tolong selalu tidak mau. Dan macam-macam lagi.”(SLdK, hlm. 59-60)

Kutipan di atas merupakan hal yang dijadikan alasan oleh ‘aku’ mengenai

hal-hal yang membuat ‘aku’ tidak menyukai kedua kakak laki-lakinya. Mengenai

tokoh Nugroho ini, terdapat kutipan panjang yang menjadi alasan yang diutarakan

(50)

Waktu makan berlalu tanpa kejadian penting. Kecuali Nugroho yang hampir berhantam dengan Teguh, karena adiknya itu menumpahkan teh panas sehingga mengenai sepatunya sedikit. Kakakku kedua selalu siap sedia memukul siapa saja yang merugikannya. Sifatnya yang kasar dan amat berbeda dari kakak-kakak lainnya membuatku merasa jauh daripadanya hingga di kemudian hari. Tangannya selalu ringan buat menempeleng, kakinya terangkat seperti angin buat menendang ayam atau kucing yang lewat atau duduk diam-diam tanpa mengganggu siapa pun…. Dan dari keempat kakak yang lahir mendahuluiku itu, Nugroho adalah satu-satunya yang paling sering memperingatkan aku di mana dan sampai di mana aku boleh bertindak. Setelah mulai tumbuh, dan mulai sadar akan segala hal yang baik dan tidak baik, kakakku yang seorang itu bahkan hampir membubuhiku dengan sifat rendah diri yang berlebihan, ialah karena aku paling kecil, berarti tidak berhak berbuat sesuatu pun, dan tidak mungkin bisa berhasil dalam sesuatu pekerjaan pun.(SLdK, hlm. 39)

Kutipan di atas menerangkan banyak hal yang membuat ‘aku’ tidak

menyukai kakaknya, Nugroho. Bahkan ‘aku’ juga menyatakan bahwa Nugroho

adalah kakaknya yang sifatnya sangat berbeda dari semua kakak yang ‘aku’ miliki.

Sifat Nugroho yang kasar itu membuat ‘aku’ jauh dari Nugroho yang artinya ‘aku’

tidak akrab dengan Nugroho. Hal ini sangat wajar bila dilihat dari ceritanya yang

menyatakan bahwa Nugroho memberi banyak larangan pada ‘aku’ bahkan hampir

(51)

4.3.5 Maryam

Dari seluruh keluarga, hanya Maryam yang dijelaskan nama panjangnya Sri

Sukati Siti Maryam. Menurut ‘aku’ nama tersebut sangat bagus dan megah, tidak

seperti nama julukan Maryam, yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa,

yang menurut ‘aku’ adalah hal yang buruk.

…Ditambah lagi dengan kebiasaan keluarga yang bagiku amat buruk, ialah memberi nama julukan yang kadang-kadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama asli yang bagus-bagus. Seperti halnya kakakku ketiga, Maryam, mendapat sebutan Genuk, yang berarti botol tempat garam yang terbuat dari tanah. Karena menurut cerita, ketika dia masih kecil, badannya gendut seperti bentuk tempat garam. Panggilan demikian kuanggap tidak bagus, baik menurut pendengaran maupun artinya, juga karena akan terus terikat hingga kami dewasa. Padahal namanya yang terdaftar pada kantor pencatatan sipil adalah Sri Sukati Siti Maryam, bagus dan megah. Aku lebih suka memanggilnya Maryam di dalam cerita ini.(SLdK, hlm. 51)

‘Aku’ tidak terlalu menceritakan bagaimana sifat Maryam, tetapi sepertinya

Maryam anak yang cukup aktif, cekatan dan berlainan sikapnya dari anak tertua

yaitu Heratih yang keibuan, bahkan Maryam juga tidak segan-segan melawan

perkataan saudaranya yang laki-laki dan melakukan tindakan yang biasa dilakukan

anak laki-laki yakni memanjat. Dijelaskan pula bahwa tokoh utama sangat dekat

dengan kakaknya Maryam ini yang menurut ‘aku’ memiliki banyak kesamaan

dengan ‘aku’ dibandingkan dengan kakak sulungnya Heratih.

Tanpa kusadari, Maryam telah berganti, mengenakan pakaian renangnya. Tetapi Heratih, kakakku sulung, tidak beranjak dari sampingku. Tangannya erat memegang tanganku….(SLdK, hlm. 25)

(52)

Dia berteriak:

“Aku menangkapnya! Aku menangkapnya!”(SLdK, hlm. 28) “Maryam yang cepat reaksinya,” kata ayah seolah membetulkan perkataan anaknya laki-laki.

….

“Ah, kamu enak saja ngomong! Coba pegang sendiri! Licinnya bukan main,” kakakku perempuan dengan suara jengkel membantah.(SLdK, hlm. 29)

…. Ketika kami menjenguknya, Maryam naik dan memetik dua buahnya yang besar dan kuning….(SLdK, hlm. 100) Dan akhirnya, liburan Puasa itu membikin aku menemukan dua orang kawan yang sebenarnya: paman dan Maryam…. Sedangkan Maryam, sejak kunjungan ke Ponorogo, kami lebih sering bersama. Kesempatan kami tinggal di tempat kakek lebih menunjukkan kesamaan rasa dalam berbagai hal. Aku memang lebih merasa dekat dengan saudaraku perempuan daripada dengan saudaraku laki-laki. Heratih umurnya terlalu banyak berbada denganku, sehingga sikap dan sifat keibuan selalu ditunjukkannya terhadapku. Dia lebih merupakan seorang pamong daripada seorang kawan.(SLdK, hlm. 83)

Dalam novel SLdK ini, tampaknya Maryam adalah tokoh yang tidak terlalu

menonjol seperti tokoh-tokoh lain. Hal ini terlihat dari banyaknya penyebutan

Maryam yang lebih sering diceritakan disamping tokoh-tokoh lain yang sedang

mendapat bagian cerita.

Dibantu oleh kakakku laki-laki, kemudian juga oleh Maryam, ayah membikin bendungan.(SLdK, hlm. 25)

Menurut Teguh airnya bening seperti keluar dari pipa air kotapraja. Maryam berkata bahwa batu-batu besar-kecil yang ada di sana mempunyai bentuk yang menakjubkan.(SLdK, hlm. 58)

“Kalau tidak turut Belanda, lalu siapa yang perang?” tanya Maryam.

(53)

Selain kutipan di atas, masih banyak lagi hal-hal yang diceritakan tentang

Maryam. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Maryam hanya akan

ada disamping tokoh-tokoh lain yang diceritakan ‘aku’.

4.3.6 Teguh

Teguh merupakan kakak termuda ‘aku’. Anak laki-laki kedua dan berada

diurutan keempat dalam kelahiran anak dalam keluarga. Berbeda dari Nugroho

yang sangat tidak disukai ‘aku’, Teguh yang awalnya tidak disukai oleh ‘aku’

berubah menjadi kakak yang sangat perhatian pada ‘aku’. Hal itu terjadi akibat

liburan mereka ke desa yang melibatkan peranan paman, adik ayah yang termuda,

Sarosa.

…Paman lebih sering bersamaku. Teguh dan Nugroho berkali-kali memintanya agar bermain-main dengan mereka. Pada akhirnya, paman hampir selalu berada di antara kami kaum wanita: ibuku, Heratih, Maryam, dan aku. Nugroho menjadi iri, semakin kasar dan sering mengganggu saudara-saudaranya wanita. Berlainan dengan Teguh. Sejak dilihatnya paman menjadi pamongku, kakakku keempat itu lebih berperhatian terhadapku. Seolah-olah di baru tahu bahwa seorang adik perempuan sekecil aku juga bisa diajak bermain, juga menarik untuk diajak berbicara. Pada waktu-waktu paman membuat rencana akan kesana atau kemari, tidak lupa dia selalu mencariku. Bertanya kepada ayah dan ibu apakah aku boleh dibawanya. Berkali-kali Nugroho berkata. “Dini tidak usah diajak karena hanya akan merepotkan saja.” Tetapi kalimat semacam itu tidak sekalipun kudengar keluar dari mulut Teguh. Dia mengikuti semua perbuatan paman tanpa membantah. Mulai dari waktu itulah kakakku yang keempat itu lebih memperhatikan aku, barangkali berpendapat bahwa kehadiranku di dunia ini sebagai adik juga ada artinya bagi anak laki-laki seperti dia.(SLdK, hlm. 67)

Kutipan tersebut menunjukkan perubahan sikap Teguh kepada adik

(54)

ketika ia ingin pergi dengan pamannya. Bahkan Teguh tampaknya tidak terlalu

memperhatikan apa yang dikatakan oleh kakak laki-lakinya, Nugroho, yang selalu

berusaha menepis kehadiran ‘aku’.

Teguh dinyatakan sebagai anak yang lebih menyukai kebebasan yang

memang biasanya dilakukan anak laki-laki. Teguh agak malas mengikuti

aturan-aturan yang dibuat oleh ibu, seperti saat makan.

Semua gerak dan kelakuan kami di waktu makan tidak sedikit pun lepas dari mata ibuku. Sebab itulah kakakku Teguh lebih sering datang terlambat agar mendapat dalih buat makan sendirian atau makan di dapur bersama pembantu. Karena dengan demikian dia lebih bebas bergerak maupun berbicara.(SLdK, hlm. 20)

Teguh sangat suka pergi ke sungai dan ia dikatakan hampir mengenal

seluruh sungai di Semarang. Dari cerita itu juga dapat dilihat bahwa Teguh selalu

berusaha tidak mengikuti aturan ibu, dikarenakan sifat ingin bebasnya.

Ayah memiliki cara tersendiri untuk memanjakan anak-anaknya. Masing-masing dari kami berlima pun mempunyai kebiasaan kesenangan berbeda. Ayah memanjakan Teguh, dengan sekali-sekali membiarkannya pergi ke sungai tanpa diketahui ibu…(SLdK, hlm. 77)

“Betul itu!” tiba-tiba suara Teguh menyambung. “Yang ada di kamar mandi bagus-bagus. Sedangkan ikan kali tidak ada warnanya. Semua putih.”

Aku dapat mempercayainya, karena dia mengenal hampir semua sungai di kota Semarang.(SLdK, hlm. 25)

Demikianlah kutipan-kutipan yang menceritakan sikap tokoh Teguh yang

seperti namanya sepertinya tokoh Teguh ini adalah anak yang cukup teguh dengan

(55)

4.3.7 Dini-‘Aku’

Tokoh terakhir yang akan dibahas adalah Dini yang merupakan tokoh utama

dalam novel SLdK ini. Dini atau yang lebih sering dinyatakan dengan ‘aku’

merupakan anak bungsu, anak kelima, dan dalam novel diceritakan masih berusia

prasekolah.

Pagi itu aku bangun seperti biasa, setelah semua kakakku berangkat ke sekolah.(SLdK, hlm. 12)

Kutipan diatas menyatakan bahwa ‘aku’ baru bangun ketika

kakak-kakaknya sudah pergi ke sekolah, sedangkan ‘aku’ di rumah. Hal ini menunjukkan

bahwa ‘aku’ masih kecil dan belum mencapai usia sekolah. ‘Aku’ dinyatakan telah

bersekolah di akhir-akhir cerita novel SLdK yang menyampaikan pengajaran oleh

ayah kepada ‘aku’ yang baru memasuki sekolah.

…Aku yang baru masuk kelas terendah, belum mendapat pelajaran secara sungguh-sungguh. Pada waktu itulah ayah mengajarku membaca. Buku yang dipergunakannya adalah terjemahan bahasa Melayu Surat dari Raja, karangan pengarang India bernama Rabindranath Tagore. Ayah menerangkan kepadaku siapa penulis itu, apa yang dimaksudkannya pada setiap kalimat di dalam buku itu.(SLdK, hlm. 102)

Setiap hari dengan sabar aku diajarinya mengenal hurup-hurup cetakan, lalu membaca kata demi kata. Setelah beberapa waktu berlalu,dia memberiku buku bergaris-garis, di mana aku menyalin hurup Latin yang telah disiapkannya.(SLdK, hlm. 103)

‘Aku’ banyak menceritakan pengalamannya yang sangat menyenangkan

karena ‘aku’ masih kecil dan hanya menginginkan hal-hal yang baik-baik dan

banyak bermain tanpa mendapat tugas yang memang biasanya tidak akan

(56)

Dari bawah meja bilyar aku pindah ke kamar tidur. Mencoba bermain dengan segala macam benda yang dapat kuraih. Dari kamar tidur satu ke kamar tidur lain, aku kembali ke ruang tengah, naik kursi untuk melihat isi laci bupet tempat ayahku menyimpan berbagi majalah. Dari sana ke ruang makan, duduk sebentar di samping ibuku. Sambil mendengarkan ceritanya, mengamati dan mengagumi kelincahan tangannya menggariskan gambar-gambar yang begitu kukenal dengan canting dan lilin panas.(SLdK, hlm. 19)

Tanpa menunggu lagi, kutarik lengan baju ayahku sambil berseru lebih keras dari kakak-kakakku:

“Aku mau menyerok ikan! Aku mau menyerok ikan!”(SLdK, hlm. 21)

Aku tidak dapat menahan diri untuk memanggil-manggil ayah buat mengingatkan kehadiranku. Karena aku juga ingin mengikuti kegiatan mereka dengan perbuatan nyata. Dan satu-satunya yang bisa kuperlihatkan hanyalah suaraku.(SLdK, hlm. 26)

‘Aku’ dalam novel SLdK ini menceritakan kenangannya saat masih kecil

dan apa saja yang terjadi dalam keluarganya, dan apa saja yang dilakukannya

selama itu. ‘Aku’ menyatakan bahwa masa yang dialaminya pada usia ini

merupakan ‘kenangan yang lembut dan terkasih.’

Sejauh ingatanku, hari itu adalah hari pertama yang tertera dengan jelas dalam kepalaku. Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan di dadanya. Lalu bergiliran gambar-gambar lain menyusul, melanjutkan kenangan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, sepanjang

Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepanjang

Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepanjang

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang