BAB IV PEMBAHASAN
4.3 Penokohan
4.4.3 Nilai Pengajaran
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan nilai-nilai kebersamaan dalam sebuah keluarga. Dimana keluarga dalam novel SLdK ini banyak memiliki waktu yang dihabiskan bersama, baik orang tua bersama anak-anak maupun kebersamaan antara anak-anak yang ditunjukkan dengan tidur bersama-sama sambil bercerita membicarakan pengalaman ataupun mendongeng. Terdapat pula kutipan yang menyatakan nilai kekeluargaan untuk saling menjaga yang merupakan sesuatu yang bernilai kebersamaan antara keluarga.
4.4.3 Nilai Pengajaran
Nilai pengajaran sangat banyak ditemukan dalam novel SLdK ini, hal ini dikarenakan novel SLdK ini lebih menceritakan pengalaman yang terjadi pada tokoh utama saat sang tokoh utama masih kecil dan masih banyak memerlukan nasehat dan pengajaran dari orang-orang tua, baik itu orang tua kandungnya maupun pengajaran dari kakek dari pihak ayah di desa.
Nilai-nilai pengajaran dapat terlihat dalam beberapa kutipan yang dituliskan oleh pengarang yang terlihat banyak diberikan kepada tokoh utama.
“Awas hati-hati,” cepat ibu mengingatkan. “Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan.”(SLdK, hlm.13)
“Hati-hati turun tangga. Licin sekali!” kata ibuku sebelum aku meninggalkannya.(SLdK, hlm. 15)
… Kata ibuku, makanan harus dinikmati dengan diam. Kalau orang terlalu cerewet pada waktu makan, itu berarti tidak menghormati makanan yang ada di depannya. Padahal makanan adalah kurnia Tuhan. Dan harus dihormati. Juga
menurut ibuku, makanan harus dikunyah dengan lambat tetapi sebanyak kali kesanggupan kita. Tanpa suara dan dengan mulut tertutup. Pandang orang yang sedang makan tidak patut jika ditujukan kemana-mana selain pada makanan yang ada di depannya. Jika kami makan dengan tangan, kami harus mencuci tangan kanan di kobokan yang tersedia dengan suara sesedikit mungkin. Tangan kiri harus tertompang dengan sopan di atas meja di tentangan dada. Tetapi jika kami mempergunakan senduk dan garpu, harus dijaga jangan sampai sentuhan kedua benda itu pada piring membikin bunyi yang mengejutkan tetangga semeja.(SLdK, hlm. 20)
Pengajaran yang terdapat pada kutipan-kutipan di atas adalah beberapa pengajaran yang diberikan ibu kepada tokoh utama yang merupakan anak bungsu dalam keluarga. Ajaran-ajaran yang diberikan ibu adalah pengajaran yang menerangkan kepada anak bahwa setiap orang itu harus melakukan segala sesuatu dengan hati-hati agar tidak terjadi kekacauan atau terpeleset karena tindakan yang tidak hati-hati saat sedang berjalan ditempat yang licin.
Ajaran dari sang ibu juga mengenai keuangan, kesederhanaan/kehematan, dan kebersihan yang harus dijaga setiap orang, terutama hal ini akan terlihat dijelaskan kepada tokoh utama, karena tokoh utama yang merupakan pencerita dalam novel SLdK ini.
“Bagaimana, Bu, mau ke desa?”
“Mau saja, tetapi bagaimana keuangannya. Apa sudah mendapat rezeki?”
“Ya. Besok pagi bisa diterima.” “Sukurlah.”(SLdK, hlm. 21-22)
…,“lebih baik berpakaian dan berdandan sesederhana mungkin buat bersekolah. Tidak ada gunanya memakai yang bagus-bagus, apalagi jika ternyata kurang maju belajar lalu mendapat angka-angka buruk. Hal yang penting adalah kebersihan badan dan apa yang kaupakai.”
… Ibu tidak memboroskan uang hanya buat pakaian…. Tetapi pokok pikiran ibuku tetap kubawa selama aku belajar.di sekolah pelajarankulah yang terpenting, bukan pakaianku…(SLdK, hlm. 87)
…. Selain soal keuangan, ibu mempunyai alasan lain.
“Makanan kita lebih bersih,” katanya, “yang dijajakan di setasiun biasanya sudah kena debu, sentuhan tangan orang banyak, belum terhitung pula lalat yang mengerumuninya. Juga kita tidak tahu apa yang dipergunakan orang sebagai bahannya. Sedangkan kalau kita bikin sendiri, pasti bahannya telah kita cuci bersih, minyaknya tidak sengak, air yang kita pergunakan air dari sumur.”(SLdK, hlm. 31)
Seperti itulah kutipan-kutipan pengajaran yang diberikan oleh tokoh ibu. Tokoh ibu lebih banyak memberikan pengajaran tentang kesederhanaan yang tentunya berhubungan dengan penghematan uang, juga pengajaran tentang pentingnya kebersihan dibandingkan segalanya karena kebersihan berhubungan dengan kesehatan yang mahal harganya.
Selain ajaran dari tokoh ibu, terdapat juga pengajaran dari kakek yang diberikan kepada tokoh utama yang mana pengajarannya lebih ke arah kerohanian. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena kakek yang mendapat sebutan kyai dan merupakan orang yang sangat dihormati dan memiliki murid-murid yang memastikan bahwa kakek adalah seorang pengajar.
“Sukurlah. Karena itulah yang penting. Kalau kau belajar dari guru yang kausukai, pikiranmu selalu terbuka buat menerima semua ajaran. Tetapi sebaliknya kalau tidak, kau kehilangan waktu. Jadi kau tidak ingin pindah ke Jogya?”(SLdK, hlm.52) “Ingatlah benar-benar. Tuhan mengasihi semua umatNya dengan adil. Juga kita semua dapat berbicara langsung kepadaNya.”
“Tapi kita harus isa mengaji!” kataku memprotes. Nugroho menyodok perutku dengan sikutnya. “Sama sekali tidak!” bantah kakek.
Aku ternganga keheranan.
“Kita dapat berbicara kepada Tuhan dalam bahasa apa pun juga. Mengaji itu hanya agar dapat membaca tulisan dan bahasa Arab, karena…. Jadi ada baiknya dipelajari.(SLdK, hlm. 53)
…. Tetapi dia selalu duduk makan di meja bersama isteri atau pengunjung serta murid-muridnya. Pembantu tidak
mengindahkan apakah kakek berpuasa atau tidak,
menghidangkan segalanya tanpa ragu-ragu. Kakek melihat, bahwa di atas meja tersedia segala macam rangsangan. Tetapi dia berpendapat, bahwa sanggup dan berani menolak rangsangan itu telah berarti memiliki kekuatan. Dan dari sanalah manusia dapat mulai mengukur kekuatannya sendiri untuk menahan napsu. Baik itu napsu makan, napsu memiliki berbagai kelebihan di dunia, maupun napsu kemarahan.(SLdK, hlm. 55-56)
Seperti itulah kutipan-kutipan pengajaran yang diberikan oleh kakek ‘aku’ dari pihak ayah yang berada di desa yang sempat dikunjungi seluruh keluarga ‘aku’ dipertengahan cerita dalam novel SLdK. Pengajaran yang diberikan kakek adalah pengajaran yang bersifat kerohanian.
Selain pengajaran dari orang tua, terdapat juga pengajaran dari kakak-kakak tokoh ‘aku’ yang terselip saat kakak-kakak ‘aku’ sedang bersama atau saat ‘aku’ berbincang dengan kakak-kakaknya, baik itu kakak laki-laki maupun kakak perempuan.
“Ah, untuk apa? Sudah ada di kamar mandi,” sahut kakakku ketiga.
“Ya, itu lebih baik. Kasihan ikan dikurung di dalam gelas.” Aku berpikir, memang betul kata kakakku. Di kamar mandi mereka lebih senang. Dan yang ada di sana sudah banyak. “Betul itu!” tiba-tiba suara Teguh menyambung. “Yang ada di kamar mandi bagus-bagus. Sedangkan ikan kali tidak ada warnanya. Semua putih.”
Aku dapat mempercayainya, karena dia mengenal hampir semua sungai di kota Semarang.(SLdK, hlm. 24-25)
Heratih membawaku ke pancuran buat mencuci tangan, menunjukkan gudang dan ruangan-ruangan di mana karung-karung kiriman kantor pos diturunkan disimpan. Dia menerangkan apa-apa yang diketahuinya. Siang itu aku belajar banyak darinya.(SLdK, hlm. 40)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kakak-kakak tokoh ‘aku’ juga memberikan pengajaran-pengajaran yang dapat diambil oleh ‘aku dalam menjalani kehidupannya sebagai kanak-kanak dan dapat memberi ‘aku’ pengetahuan kecil mengenai hal-hal sederhana.
4.4.4 Nilai Kasih Sayang
Nilai-nilai kasih sayang merupakan nilai berikutnya yang dapat dilihat dari novel SLdK, yang tentunya sangat wajar ditemukan dalam sebuah keluarga yang dilukiskan berkehidupan harmonis seperti yang ditunjukkan oleh keluarga ‘aku’ ini.
Melihatku keluar dari pintu ruang tengah, ibuku mengulurkan lengan seperti memanggilku. Sambil mengusap kedua mataku, aku mendekat. Langsung duduk di pangkuan ibuku yang menjadi lebar karena kakinya yang bersila.(SLdK, hlm. 13) Setelah memberi kesempatan kepada semua anak mengutarakan pendapatnya, ayah berkata lagi: (SLdK, hlm. 21)
Ayah memiliki cara tersendiri untuk memanjakan anak-anaknya.(SLdK, hlm.77)
Kutipan di atas menunjukkan nilai-nilai kasih sayang terhadap keluarga yang ditunjukkan oleh orang tua ‘aku’ terhadap anak-anak. Ayah dinyatakan mampu memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk memberi pendapatnya masing-masing. Selain nilai kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang tua kepada masing-masing anak, terdapat pula kutipan-kutipan lain mengenai kasih sayang yang ditunjukkkan secara khusus oleh ayah, ibu dan anak sulung (Heratih) kepada ‘aku’.
Kuambil kain leher dari tangannya, kulingkarkan pada tengkuknya. Dengan demikian pastilah dia memakainya. Direngkuhnya badanku dengan lengannya yang panjang. Sebentar aku berada di dalam pelukannya.(SLdK, hlm. 46)
Ayah selalu berusaha menyenangkan hati semua anaknya. Dielusnya pipiku sebentar. Pandangannya lembut ketika menjawab:...(SLdK, hlm. 21)
Kakakku sulung mencuci muka dan kakiku…(SLdK, hlm. 23) Tetapi Heratih, kakakku sulung, tidak beranjak dari sampingku. Tangannya erat memegang tanganku.(SLdK, hlm. 25)
… Tapi awas! Jangan terlalu banyak bergerak dan jangan pergi jauh-jauh dari tangga rumah. Kalau kau hanyut, ibu akan menangis.”
Kurangkulkan lenganku ke lehernya dengan iba. Aku tidak ingin menjadi sebab kesusahannya.(SLdK, hlm. 26)
Terdapat pula kutipan-kutipan lainnya mengenai nilai-nilai kasih sayang yang tampak pada cara kepengurusan, yang sangat telaten, yang diberikan oleh Heratih kepada si bungsu ‘aku’.
….Tadi kakakku sulung membangunkanku, mencuci mukaku, mendandaniku, mengenakan sepatuku, menyisir rambutku. Di meja keluarga, menyuapkan isi piringku….(SLdK, hlm. 33) Heratih membawaku ke pancuran buat mencuci tangan, menunjukkan gudang dan ruangan….(SLdK, hlm. 40)
Heratih menangkapku, menarikku ke kamar mandi. Memakaikan baju bersih, sepatu dan jas rangkapan yang biasa kami pakai di hari-hari bepergian.(SLdK, hlm. 90)
Semua kutipan-kutipan di atas merupakan kutipan-kutipan kasih sayang melimpah yang diberikan kedua orang tua ‘aku’ dan kasih sayang yang didapatkan ‘aku’ dari kakak sulung, Heratih. Kasih sayang tersebut didapatkan oleh ‘aku’ tidak lain dikarenakan ‘aku’ merupakan anak bungsu, anak terkecil, yang biasanya memang mendapatkan lebih banyak limpahan kasih sayang.