• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Penyusunan Strategi Kebijakan Pengembangan MSM dengan

4.3.2 Analisis Pemangku Kepentingan ( Stakeholders )

4.3.2.1 Analisis SWOT

Sebagaimana diungkapkan AusAID (2005), salah satu perangkat analitik yang dapat digunakan untuk mendukung tahapan analisis pemangku kepentingan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT dapat digunakan untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal yang

dihadapi suatu organisasi. Analisis ini dapat digunakan sebagai bentuk analisis umum atau untuk melihat bagaimana suatu organisasi dapat menyelesaikan suatu permasalahan atau tantangan tertentu (AusAID, 2005).

Analisis SWOT dilaksanakan dalam tiga tahapan utama, yang meliputi: (1) generalisasi ide dan pemikiran mengenai kekuatan dan kelemahan internal suatu grup atau organisasi serta peluang dan ancaman eksternal; (2) analisa situasi dengan mencari cara/jalan dimana kekuatan grup/organisasi dapat dibangun untuk mengatasi kelemahan yang teridentifikasi, serta mengembangkan peluang yang dapat digunakan untuk meminimumkan ancaman; serta (3) formulasi strategi perbaikan (AusAID 2005).

Hasil analisis SWOT untuk kasus pengembangan MSM di Indonesia direkapitulasi pada matriks di Tabel 9.

Tabel 9 Matriks SWOT pengembangan MSM di Indonesia

Kekuatan (strength) Kelemahan (weakeness)

a) Ketersediaan/produksi bahan baku yang

baik dan diprediksi akan terus meningkat

b) Produktivitas minyak sawit relatif lebih

tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya

c) Telah banyaknya riset ilmiah yang

dilakukan mengenai MSM (dari mulai manfaat terhadap kesehatan, aplikasi dan produksinya)

d) Adanya varietas hasil persilangan yang

memiliki karakteristik unggulan

(persilangan E. guineensis dan E. oleifera)

e) Adanya keinginan pemerintah untuk

memperbaiki kebijakan dan iklim berusaha di aspek hilir industri kelapa sawit

a) Belum berkembangnya minat produsen

untuk menghasilkan produk hilir

b) Terbatasnya infrastruktur terutama

tangki timbun di beberapa sentra produksi, listrik, sarana dan prasarana lainnya

c) Kurangnya konsistensi Pemerintah

dalam implementasi kebijakan

pendukung industri hilir minyak sawit

d) Kurangnya dukungan litbang terhadap

kepentingan dunia usaha terkait

pengembangan MSM

Peluang (opportunity) Ancaman (threat)

a) Tingginya permintaan terhadap produk-

produk berbasis CPO, di pasar domestik maupun dunia

b) Dapat terciptanya efek berganda akibat

pemakaian minyak sawit sebagai bahan baku MSM

c) Masih rendahnya tingkat utilisasi kapasitas

pengolahan produk hilir sawit

d) Berkembangnya pasar untuk MSM

e) Kepentingan pemerintah Indonesia dalam

mengatasi KVA

a) Kampanye anti minyak sawit di pasar

dunia

b) Situasi sosial politik dan keamanan

yang kurang mendukung

c) Fluktuasi harga bahan baku

d) Kompetisi dengan minyak dan lemak

sumber mikronutrien lainnya

e) Resiko penerimaan konsumen terhadap

MSM

49

 Kekuatan (Strength)

Berikut adalah hal-hal yang diidentifikasi sebagai kekuatan (strength) dalam pengembangan MSM di Indonesia. Kekuatan disini menggambarkan indikator internal sistem.

a) Ketersediaan/produksi bahan baku yang baik dan diprediksi akan terus meningkat

Pada tahun 2011, Oil World menempatkan Indonesia sebagai negara produsen utama CPO dengan volume produksi sebesar 23,9 juta ton CPO/tahun. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, volume produksi CPO Indonesia meningkat 8,1% dibandingkan tahun 2010 yang mencapai nilai 22,1 juta ton/tahun. Sementara itu, Malaysia menempati urutan kedua sebagai negara produsen utama CPO dengan volume produksi tahun 2011 sebesar 18,8 juta ton/tahun (Oil World 2011).

Selanjutnya, dari aspek agroklimat, ketersediaan lahan dan ketenaga kerjaan, Indonesia mempunyai keunggulan yang menjadi potensi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit maupun industri CPO. Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa sawit nasional paling luas di dunia. Kedepannya, rencana perluasan kebun sawit Indonesia diharapkan dapat meningkatkan peran Indonesia dalam perkelapa sawitan dunia. Sementara itu, Malaysia yang merupakan produsen CPO kedua terbesar diperkirakan akan mengalami titik jenuh karena ketersediaan lahan yang rendah. Malaysia tidak lagi memiliki lahan pengembangan yang baru, yang ada hanyalah peningkatan produktivitas yang rata-rata 3 % (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian 2009). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) menyatakan bahwa pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah yang berpotensi sedang – rendah.

b) Produktivitas minyak sawit relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya

Minyak sawit memiliki daya saing lebih kuat dibandingkan minyak nabati lainnya. Oil World (2008) menunjukkan bahwa produktivitas kelapa sawit sekitar 18-20 ton TBS/ha/tahun (setara dengan 3,6-4 ton CPO/ha), sementara

produktivitas kedelai/biji-bijian berada pada kisaran 2-2,5 ton/ha/tahun setara dengan (0,45-0,67 ton minyak biji-bijian/ha). Dengan demikian, kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang paling efisien di dunia. Untuk menghasilkan 1 ton CPO, kelapa sawit hanya memerlukan sekitar 0,25 – 0,28 ha lahan. Sementara itu, tanaman kedelai, bunga matahari dan rapeseed memerlukan 1,5-2 ha untuk menghasilkan 1 ton minyak biji-bijian.

Selain itu, produktivitas tanaman kelapa sawit dalam menghasil minyak juga diperkuat dengan kemampuan produksi/suplai minyak sepanjang tahun. Produksi minyak dari tanaman kelapa sawit tidak dipengaruhi oleh musim. Pada perkebunan sawit, biasanya tanaman kelapa sawit dapat dieksploitasi sampai usianya mencapai 25-30 tahun, yaitu saat tinggi tanaman di antara 12 – 15 m (Ngando-Ebongue et al. 2012). Walaupun begitu, produksi TBS bulanan umumnya tidak rata sepanjang tahun tetapi memiliki pola tertentu. Panen puncak umumnya berlangsung selama 2-3 bulan dengan produksi sekitar 12-13% dari produksi tahunan sedangkan panen produksi rendah dapat mencapai sekitar 3-4% produksi tahunan (Bada Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).

c) Telah banyaknya riset ilmiah yang dilakukan mengenai MSM (dari mulai manfaat terhadap kesehatan, aplikasi dan produksinya)

Sebagaimana telah diutarakan dalam bab-bab sebelumnya, telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan dalam mengembangkan MSM. Penelitian- penelitian tersebut tentunya merupakan basis bagi urgensi pengembangan produk MSM. Dari aspek kesehatan, MSM dibuktikan mengandung provitamin A (dalam bentuk karotenoid) yang tinggi sehingga bermanfaat terutama dalam mensuplai asupan vitamin A untuk tubuh. Selain karotenoid, MSM juga mengandung likopen, vitamin E, ubikuinon-10 serta sterol sehingga bermanfaat dalam menghambat pengembangan jenis kanker, mencegah penyakit kardiovaskuler, menurunkan tingkat kolesterol darah, meningkatkan sistem imunitas tubuh dan menurunkan tekanan darah yang tinggi (Bonnie dan Choo 1999).

Selain manfaatnya terhadap kesehatan, potensi MSM untuk diaplikasikan pada berbagai jenis produk pangan olahan telah cukup banyak dieksplorasi. Secara umum, studi-studi menunjukkan bahwa MSM memiliki tingkat akseptabilitas yang baik dari konsumen sebagai bahan baku/penyusun produk

51

pangan olahan. Minyak sawit merah dapat digunakan sebagai salad dressing, kari, saus serta sebagai bahan baku suspensi suplemen provitamin A.

Selanjutnya, dari aspek pengolahannya juga telah cukup banyak penelitian yang dikembangkan terkait produksi MSM. Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Widarta (2008) dan Riyadi (2009) menunjukkan bahwa pada skala pilot, MSM dapat diproduksi dari instalasi produksi minyak sawit RBD dengan modifikasi parameter proses. Dari modifikasi parameter suhu dan tekanan pada alat RBD konvensional, dapat dihasilkan MSM dengan retensi karotenoid yang optimum. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya instalasi khusus untuk produksi MSM.

d) Adanya varietas hasil persilangan yang memiliki karakteristik unggulan (persilangan E. guineensis dan E. oleifera)

Sebagaimana yang telah dipelajari juga pada penelitian ini, teridentifikasi varietas baru kelapa sawit (hasil backcross Eleaeis oleifera dan E. guineensis) di PTPN XIII yang memiliki kandungan -karoten tinggi. Bila digunakan sebagai bahan baku MSM, bahkan dapat dihasilkan MSM dengan kandungan karotenoid yang lebih tinggi dibandingkan produk MSM komersial (Carotino) yang telah diproduksi di Malaysia. Dengan demikian, dapat dikembangkan MSM dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

e) Adanya keinginan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan iklim berusaha, termasuk di aspek hilir industri kelapa sawit

Indonesia merupakan produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Dengan demikian, Indonesia merupakan elemen penting dalam rantai pasok minyak sawit bahkan minyak nabati dunia. Dengan peran tersebut, perubahan pasokan dari Indonesia dapat mempengaruhi pasar minyak sawit dan minyak nabati dunia.

Selain itu, industri kelapa sawit (dalam hal ini Industri CPO) mempunyai kekuatan dalam hal keterkaitan dan kekuatan efek pengganda pendapatan, output dan tenaga kerja terhadap industri lain. Pada aras nasional dan lokal, industri minyak sawit terbukti mampu berpatisipasi dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan/lapangan kerja, pembangunan sosial dan

pengurangan kemiskinan, pengembangan wilayah, pemenuhan kebutuhan pangan dan non-pangan dan ekspor yang mendatangkan devisa bagi Negara (Haryana et al. 2010).

Menyadari peran-peran vital tersebut, pemerintah Indonesia berusaha mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengembangan industri kelapa sawit juga telah bersifat komprehensif mencakup aspek teknologi, ekonomi dan bisnis, sosial dan lingkungan. Saat ini, strategi dan kebijakan pembangunan kelapa sawit yang utama tertuang dalam Road Map Kelapa Sawit (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010) dan Road Map Industri Pengolahan Minyak Sawit (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia 2009). Selanjutnya, dalam upaya menyempurnakan strategi dan kebijakan pembangunan kelapa sawit, BAPPENAS menyusun naskah kebijakan untuk kebijakan dan strategi dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing kelapa sawit Indonesia secara berkelanjutan dan berkeadilan. Naskah kebijakan tersebut disusun dengan melakukan review atas strategi dan kebijakan yang saat ini diterapkan untuk masa lima tahun mendatang, yaitu dari 2010-2014.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan industri pengolahan CPO (termasuk untuk MSM) dituangkan dalam Tujuan, Arah dan Sasaran Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit Tahun 2006 – 2025. Selanjutnya, dalam Kebijakan, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit Tahun 2006 – 2025, dirumuskan kebijakan yang dikhususkan untuk pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit. Dalam naskah tersebut, tertulis bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui: (1) Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5 - 10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; (2) pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi; (3) peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO; (4)

53

fasilitasi pengembangan bio-diesel; dan (5) pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

Berikutnya, dalam naskah kebijakan yang sama, dituangkan pula kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu (berlaku pula untuk MSM). Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goring di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia. Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil minyak goreng yang jelas dan unsure-unsur pendukungnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).

 Kelemahan

a) Belum berkembangnya minat produsen untuk memproduksi produk hilir minyak sawit

Industri pengolahan minyak sawit merah sebagaimana pengolahan produk hilir CPO lainnya belum berkembang dengan baik di Indonesia. Produsen sawit di Indonesia masih mengutamakan produksi CPO. Menurut Badan Pusat Statistik (2009), ekspor minyak sawit Indonesia yang paling besar adalah dalam bentuk CPO (56%), diikuti berbagai produk olahan sederhana CPO dalam bentuk olein/minyak dan oleokimia dasar (44%). Rincian data ekspor minyak sawit tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), Industri fraksinasi/rafinasi (termasuk di dalamnya industri MSM) menghasilkan nilai tambah yang relatif kecil tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu besar. Pada sisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri minyak makan. Nilai tambah yang diperoleh dari perdagangan eceran (retail) minyak makan cukup besar. Oleh karena itu pengembangan industri ini perlu diarahkan kepada usaha retail minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang terpadu dalam pengembangan minyak goreng/makan (edible oil).

Tabel 10 Data ekspor minyak sawit Indonesia Tahun 2009

Jenis Minyak Sawit

Ekspor

Volume (Ton) Nilai (US$ 000) Unit price (US$/ton) Negara-negara tujuan ekspor terbesar CPO 9.566.746 (56,85%) 5.702.126 (55,00%) 596,036 India, Belanda, Malaysia, Italia, Singapura, Cina Fraksi minyak sawit mentah, tidak ada modifikasi kimia 801.234 (4,76%) 526.903 (5,08%) 657,614 Bangladesh, India, Cina Minyak Sawit RBD 752.017 (4,47%) 480.732 (4,64%) 639,257 Mesir, Iran, Brazil, Ukraina dan Pakistan Olein sawit RBD 4.107.638 (24,41%) 2.769.650 (26,71%) 674,268 Cina, India, Arab Saudi, Bangladesh dan Mesir Stearin sawit RBD 1.554.304 (9,24%) 862.043 (8,31%) 554,617 Cina, Belanda, Malaysia, Italia dan Jerman Minyak sawit

jenis lain dan fraksinya yang tidak dimodifikasi secara kimiawi 47.266 (0,28%) 26.166 (0,25%) 553,590 Jepang, Cina, India, Myanmar dan Pakistan

Badan Pusat Statistik 2010.

Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama minyak sawit kurang menarik karena margin yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir sawit. Oleh karena itu, untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit, pemerintah harus dapat memastikan beberapa hal terkait regulasi, seperti perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2011).

b) Terbatasnya infrastruktur terutama tangki timbun di beberapa sentra produksi, listrik, sarana dan prasarana lainnya

Produksi MSM dapat dilakukan pada instalasi pengolahan minyak goreng (minyak sawit RBD) dengan CPO sebagai bahan bakunya. Umumnya, unit pengolahan CPO terletak di dekat perkebunan kelapa sawit namun unit pengolahan RBD berada di kota-kota besar. Beberapa daerah sentra industri

55

minyak goreng meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).

Infrastruktur seperti tangki timbun CPO yang baik dibutuhkan untuk menjaga kualitas CPO sebagai bahan baku. Penurunan mutu pada CPO tentu saja akan berakibat pada produk olahannya, termasuk MSM. Dengan demikian, industri minyak goreng dan oleokimia (termasuk industri MSM) perlu didukung oleh infrastruktur fasilitas pelabuhan. Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan

c) Kurangnya konsistensi Pemerintah dalam implementasi Kebijakan Pendukung Industri Hilir Minyak Sawit

Pada aspek kebijakan, beberapa kebijakan perlu diperhatikan, khususnya kebijakan fiskal (perpajakan dan retribusi) dan perijinan investasi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007). Menurut Haryana et al. (2010), peningkatan nilai tambah dan pengembangan produk turunan minyak sawit dihadapkan pada lemahnya kebijakan pemerintah dalam pemberian insentif dan perapan kebijakan. Haryana et al. (2010) menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan pengembangan produk, nilai tambah dan diversifikasi produk yang dihasilkan industri sawit, kebijakan pemerintah dianggap belum optimal.

d) Kurangnya dukungan litbang terhadap kepentingan dunia usaha terkait pengembangan MSM

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, telah banyak penelitian mengenai manfaat, potensi, aplikasi dan cara produksi MSM yang dilaksanakan secara ilmiah. Namun, belum banyak penelitian yang mengakomodir kepentingan dan minat dunia usaha untuk perkembangan skala industri. Studi yang dimaksud contohnya berupa studi kelayakan (feasibility) ekonomis dan studi manfaat-biaya (cost benefit analysis).

Terkait dengan hal tersebut, Rice dan Burn (2010) mengemukakan bahwa banyak artikel-artikel penelitian yang menyebutkan bahwa MSM merupakan komoditas yang tidak mahal dan tersedia secara luas, tetapi sangat sedikit yang menyediakan informasi rinci mengenai biaya real yang dibutuhkan dalam proses

produksi, pengolahan, transportasi serta untuk pemasaran MSM ataupun produk pangan yang difortifikasi dengan MSM.

Rice dan Burns (2010) menambahkan bahwa studi-studi tersebut diperlukan sehingga manfaat pengembangan MSM dapat dikalkulasikan secara terperinci. Dalam kaitannya dengan pengembangan MSM untuk mengatasi KVA, studi-studi tekno-ekonomi tersebut dapat digunakan untuk mebandingkan strategi pengembangan MSM dengan strategi penanggulangan KVA lainnya.

 Peluang

a) Tingginya permintaan terhadap produk-produk berbasis minyak sawit, baik di pasar domestik maupun dunia

Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan minyak sawit dicirikan dengan adanya peningkatan pangsa pasar minyak sawit di pasar internasional dan domestik. Minyak sawit dan produk turunannya menggeser pangsa pasar minyak kedelai dan minyak nabati lainnya.

Seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk, perkembangan permintaan pasar produk minyak sawit untuk pangan meningkat secara konsisten.

b) Dapat terciptanya efek berganda akibat pemakaian minyak sawit sebagai bahan baku MSM

Pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku industri dapat memberikan efek berganda. Efek tersebut meliputi: (1) Pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya; (2) Pengembangan wilayah industri; (3) Proses alih teknologi; (4) perluasan lapangan kerja; (5) Perolehan devisa; dan (6) Peningkatan penerimaan pajak.

c) Masih rendahnya tingkat utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit Sebagaimana yang tertera dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025, pada tahun 2008, Indonesia diestimasi memiliki kapasitas pemurnian sebesar 18-22 juta ton CPO. Kapasitas tersebut mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi. Dengan kecenderungan terus meningkatnya produksi CPO di Indonesia, maka akan terjadi gap antara tingkat produksi dengan kapasitas pabrik pengolahan

57

CPO. Dengan berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50% utilisasi), rantai nilai pemurnian mempunyai margin yang rendah (USD 10/ton) jika dibandingkan dengan rantai nilai perkebunan (sekitar USD 350/ton) . Hal itu membuat kurang menariknya pembangunan rantai nilai pemurnian bagi investor. Namun bila pemerintah mampu membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang tepat, hal tersebut dapat menjadi peluang dalam pengembangan produksi MSM di Indonesia.

d) Berkembangnya pasar untuk MSM

MSM telah digunakan sebagai sumber pangan ataupun fortifikan untuk menangani KVA di berbagai negara, seperti Tanzania, Burkina Faso, Honduras dan India (Rice dan Burns 2010). Selain negara-negara tersebut, negara lain yang memiliki masalah KVA dapat menjadi target pemasaran MSM. Potensi India sebagai pasar untuk MSM tersebut sudah mulai dirintis oleh Malaysia dan Indonesia sebagai produsen utama bahan baku MSM harus mengejar hal ini.

Terkait hal ini, yang perlu dikembangkan dan diterapkan adalah praktek- praktek yang baik di bidang pertanian, penggilingan dan pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk dan keamanan pangan.

Selanjutnya, berkembangnya pasar untuk pengembangan MSM dapat dimotori oleh kecenderungan semakin meningkatnya perhatian terhadap masalah kesehatan dan lingkungan. Meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi, termasuk mengenai kesehatan saat ini secara otomatis telah meningkatkan pula kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Mengingat bahwa MSM memiliki banyak manfaat terhadap kesehatan akibat mikronutrien yang terkandung di dalamnya, maka hal ini dapat dijadikan pendorong untuk mengembangkan industri MSM di Indonesia.

Selain terhadap kesehatan, saat ini masyarakat cenderung lebih peduli terhadap kondisi lingkungan hidup. Sebagai bentuk kesadaran untuk meminimumkan kerusakan yang telah terjadi di lingkungan, saat ini masyarakat cenderung memilih untuk menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Dari prospek potensi bahan baku, industri MSM merupakan green industri dengan bahan baku terbarukan dapat di dorong menjadi industri yang besar.

Produk yang dihasilkan merupakan produk yang ramah lingkungan dan baik untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia.

e) Kepentingan pemerintah Indonesia dalam mengatasi KVA

Kasus KVA merupakan salah satu kekhawatiran utama pemerintah Indonesia dalam hal buruknya gizi masyarakat. Pada awal tahun 2012, diestimasi terdapat sekitar sembilan juta balita dan satu juta wanita muda yang kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin tersebut akan menurunkan daya tahan tubuh dan membuat cacat mata.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dorongan bagi produsen minyak goreng untuk melakukan fortifikasi vitamin A ke dalam produk mereka. Kebijakan ini berjalan sejak tahun 2010 dan bersifat sukarela.

MSM yang merupakan produk yang kaya akan -karoten sebagai provitamin A dan memiliki tingkat penyerapan yang tinggi dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kasus KVA di Indonesia. Dengan dukungan pemerintah Indonesia, pengembangan MSM dapat menjadi alternatif solusi yang lebih baik dalam mengatasi KVA.

 Ancaman

a) Kampanye anti minyak sawit di pasar dunia

Prospek positif industri kelapa sawit ternyata juga diwarnai dinamika negara pengimpor minyak sawit yang mengarah pada kampanye negatif kelapa sawit. Dua isu menonjol yang ditampilkan adalah pembangunan kelapa sawit dikaitkan dengan perubahan iklim sebagai akibat dari kerusakan lingkungan (emisi karbon, degradasi lahan dan kehilangan biodiversity) dan juga dikaitkan dengan konflik sosial. Pertumbuhan ekonomi sebagai hasil pengembangan industri kelapa sawit diklaim menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Salah satu perusahaan besar nasional mengalami pembatalan kontrak yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional (Haryana et al., 2010). Hal tersebut dikhawatirkan akan turut mengganggu perkembangan produk-produk olahan dan berbasis minyak sawit, termasuk MSM. Informasi kampanye anti

59

minyak sawit yang berlebihan akan turut mempengaruhi penerimaan konsumen di dalam negeri terhadap produk-produk minyak sawit.

b) Situasi sosial politik dan keamanan yang kurang mendukung

Pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit di Indonesia sayangnya diikuti dengan terjadinya konflik-konflik sosial. Konflik tersebut umumnya terjadi antara pemilik atau pengelola perkebunan sawit dengan penduduk atau pekerja lokal. Hal ini akan terus memicu kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia dan produk-produk turunannya, termasuk MSM sehingga menghambat perkembangan produk-produk tersebut.

Masalah sosial yang muncul pada daerah pengembangan kelapa sawit, seperti disarikanoleh Teoh (2010) dari berbagai rujukan berpusat pada pertanyaan tentang pemilikan dan penggunaan lahan serta bagaimana pengalihan haknya. Teoh (2010) mengutip catatan Konsorsium Reformasi Agraria +tentang adanya 32 persen atau 261 konflik dan catatan Sawit Watch tentang adanya 570 konflik. Jiwan (2009) menyatakan bahwa masalah ini terjadi karena sejak era Soeharto hak masyarakat atas lahan memang tidak dikenal. Masyarakat lokal memperoleh perlakuan diskriminatif dalam pemanfaatan barang dan jasa dari ekosistem hutan.

Sementara itu, pembangunan kelapa sawit juga dianggap tidak diikuti dengan informasi pembangunan kebun yang transparan sehingga menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat baik konflik horizontal maupun vertikal. Masalah ini pada dasarnya merupakan masalah implementasi karena peraturan perundang-undangan yang ada telah cukup komprehensif.

Langkah operasional yang diperlukan adalah respon kebijakan yang jelas dan tegas untuk menghadapi kampanye negatif yang menyatakan bahwa pembangunan kelapa sawit merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial

Dokumen terkait