• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Level dalam Struktur Organisasi PIKA

D. Teknik Pengambilan Keputusan di PIKA

2. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength-Weakness-Opportunity-Threat) adalah sebuah metode perencanaan tindakan dengan menganalisis faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap institusi baik eksternal maupun

internal, yaitu faktor pendukung (kekuatan dan peluang) dan faktor penghambat (kelemahan dan ancaman). Metode ini biasanya digunakan untuk perencanaan yang bersifat strategis dalam rangka pengembangan institusi diluar hal-hal yang bersifat rutin, sehingga dihasilkan strategi-strategi atau kebijakan tertentu. Sebagi contoh, apabila faktor-faktor pendukung lebih dominan dari pada faktor penghambat, maka strategi yang paling tepat adalah ekspansi. Demikian juga sebaliknya, bila faktor penghambat lebih menonjol dibanding faktor pendukung, maka strategi yang sesuai adalah defensif atau konsolidasi organisasi.

PIKA Semarang menggunakan metode analisis SWOT untuk perencanaan-perencanaan yang bersifat pengembangan, misalnya membuka kelas paralel, perencanaan jangka panjang, atau program pengembangan institusi melalui Program IGI. Perlu dikemukakan di sini, bahwa program IGI tahap I dan tahap II yang dijalankan oleh PIKA sebagai center atas beberapa institusi sister mempersyaratkan bussiness plan dengan analisis SWOT. Berikut petikan penyataan Pak Totok Susanto, Kepala Program D III dan juga sebagai penanggung jawab Program IGI mengenai penggunaan teknik-teknik pengambilan keputusan, sebagai berikut:

”Tidak setiap keputusan. Kalau keputusan itu menyangkut keputusan yang mendasar, jangka panjang, kita menggunakan macam-macam teori itu. Tetapi kalau yang singkat, misalnya besok mau pergi, menggunakan mobil yang mana, siapa yang pergi maka kita tinggal melihat saja, kemungkinan-kemungkinan buruk apa yang mungkin terjadi, apa yang kita hadapi dengan dengan keputusan itu. Tetapi misalnya kita akan membuka kelas

paralel, kan ada waktu cukup banyak, keputusan bisa diambil dengan cara seperti itu” (W/QI-3/2005).

”.... beberapa kali kita juga menggunakan metode SWOT, tetapi tidak sering. Penggunaan metode-metode khusus itu biasanya dilakukan pada akhir tahun, misalnya untuk evaluasi pendidikan, rencana lima sampai sepuluh tahun ke depan. Ini dilakukan apabila kita punya waktu cukup banyak, dan berdampak besar bagi PIKA” (W/QI-3/2005).

E. Koordinasi dan Komunikasi dalam Pengambilan Keputusaan

Organisasi disebut sebagai living organism karena adanya aktivitas-aktivitas yang bermakna, dan aktivitas-aktivitas yang bermakna pasti dijalankan atas dasar keputusan-keputusan. Aktivitas yang baik adalah aktivitas yang direncanakan, atau kalau menggunakan istilah Romo Y. Joko Tarkito, Direktur PIKA Semarang, ”yang dilakukan itu adalah sesuatu yang diputuskan”. Dengan kata lain, sesuatu itu diputuskan baru kemudian dilaksanakan. Keputusan dapat dilakukan secara individual melekat sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya, tetapi dapat juga dilakukan secara kolektif.

Keputusan dalam kehidupan berorganisasi pasti melibatkan lebih dari satu orang. Pelibatan ini bisa secara langsung maupun tak langsung. Dalam hal keputusan individual, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan bisa terjadi tidak secara langsung, tetapi pelaksanaan keputusan itu pasti melibatkan atau berdampak pada orang lain, terlebih-lebih untuk keputusan yang dilakukan secara kolektif. Pelaksanaan keputusan dan hasil keputusan akan lebih banyak melibatkan orang ketika pengambil keputusan tersebut berada dalam posisi strategis. Yang dimaksud dengan posisi strategis di sini

bisa berupa kedudukan seseorang dalam organisasi, ataupun forum yang dibentuk dalam organisasi.

PIKA adalah institusi yang membakukan level-level dalam organisasi dalam strata-strata tertentu. Jabatan-jabatan di PIKA dikategorikan sebagai direksi, manajer, supervisor, pelaksana, dan pembantu pelaksana. Dalam bentuk kolektif, secara berjenjang dikenal dengan rapat direksi, rapat manajemen, rapat divisi, dan rapat bagian, dan rapat koordinasi khusus. Keterlibatan orang atas sebuah keputusan akan cenderung semakin besar ketika pengambil keputusan adalah staf atau forum pada level yang semakin tinggi. Ketika pelibatan atau keterlibatan orang lain dalam pengambilan terjadi, maka komunikasi menjadi hal yang sangat penting. Komunikasi adalah kunci dalam interaksi antar pihak atau antar individu, baik dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, sampai dengan evaluasi atas keputusan tersebut.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan berita atau informasi dari seseorang ke orang lain (Thoha 2004:167). Dikemukakan pula bahwa komunikasi amat penting peranannya dalam kehidupan organisasi, sebagaimana dikemukanan oleh Katz dan Kahn, bahwa ”komunikasi adalah suatu proses sosial yang mempunyai relevansi terluas di dalam mengfungsikan setiap kelompok, organisasi, atau masyarakat”.

Faktor yang membedakan komunikasi organisasi dengan komunikasi di luar organisasi adalah struktur hirarki yang merupakan karakteristik dari dari setiap organsisasi. Suatu struktur organisasi cenderung untuk

mempengaruhi proses komunikasi, dengan demikian komunikasi antara bawahan dan atasan sangat berbeda dengan komunikasi diantara sesamanya (Thoha 2004:187).

PIKA adalah institusi yang menggunakan struktur desain birokrasi dengan model struktur yang cenderung ke arah mekanistik. Salah satu ciri dari struktur model ini adalah pengambilan yang mengikuti garis komando (Robbins 2002). Penjenjangan dalam proses pengambilan keputusan akhirnya juga berpengaruh terhadap komunikasi pengambilan keputusan, baik keputusan yang bersifat perintah atau komando (dari atasan ke bawahan), informatif (komunikasi antar staf dalam level yang sama), kritik, usul, dan saran, serta pelaporan (dari bawahan ke atasan) ataupun komunikasi ke luar organisasi. Adapun proses komunikasi ini dapat terjadi dalam forum rapat, koordinasi antar unit atau staf secara tatap muka langsung, ataupun menggunakan media lain seperti telepon, pengumuman tertulis, surat, memo, atau media yang lazim lainnya.

Pentingnya komunikasi disadari benar oleh manajemen PIKA Semarang, dan komunikasi dibangun dari sebuah kesadaran bahwa kunci sukses organisasi adalah komunikasi yang efektif. Komunikasi tersebut terjadi di dalam forum-forum formal seperti rapat berjenjang dan koordinasi antar staf. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah komunikasi diluar forum, yaitu komunikasi antar pribadi. Dalam konteks komunikasi antar staf di luar forum resmi, apabila komunikasi tersebut dilakukan pada jam kerja, maka komunikasi tersebut dianggap sebagai komunikasi formal. Berikut

petikan pernyataan Pak R.N. Among Subandi, Kepala Divisi Diklat ketika ditanyakan mengenai komunikasi serta hubungannya dengan formalitas komunikasi, sebagai berikut:

”Ada, biasanya saya rapat dengan Kasubdiv dua minggu sekali, minimal satu bulan sekali. Kalau yang insidental, sewaktu-waktu saya bisa memanggil mereka. Tetapi karena kesibukan-kesibukan, kadang-kadang tertunda. Cara mengatasinya dengan berkomunikasi satu dengan lainnya. Karena kami cukup dekat, kita omong-omong lagi apa yang harus dipecahkan”(W/QI-2/2005).

Dalam redaksi dan konteks yang sedikit berbeda, Pak R.N. Among Subandi, Kepala Divisi Diklat menyatakan sebagai berikut:

”Kalau jam-jam kerja seperti ini tetap formal” ”(W/QI-2/2005).

Koordinasi adalah salah satu bentuk komunikasi di dalam organisasi, dan hal ini mengandung pengertian yang sifatnya formal. Dalam konteks ini, koordinasi diartikan sebagai “…. the combining of diverse parts or groups to make a unit” (Encarta Reference Library 2005). Koordinasi diartikan sebagai penggabungan dari bagian-bagian atau gugus yang terpisah menjadi sebuah satuan kinerja. Koordinasi dapat dilakukan dalam bentuk rapat ataupun di luar rapat, namun tetap mengandung pengertian formal. Dalam hal ini, PIKA menggunakan kedua-duanya untuk menjalankan roda organisasi, yaitu koordinasi dalam bentuk rapat dan di luar rapat. Koordinasi yang berbentuk rapat antara lain adalah rapat manajemen, rapat direksi, pertemuan terjadwal antara Direktur dengan Kepala Divisi dan Kepala Sub Divisi, seperti telah dikemukakan di atas.

Bentuk komunikasi lain yang dikembangkan dan berjalan dengan baik adalah komunikasi informal di antara warga institusi. Komunikasi informal yang menyangkut kegiatan organisasi berjalan sebagai bagian dari budaya organisasi, dan terjadi dalam bentuk interaksi antar warga organisasi. Komunikasi informal ini selanjutnya dianggap formal manakala dilakukan di dalam jam kerja atau dalam konteks “bekerja”. Kekuatan komunikasi informal sebagai pendukung jalannya organisasi terbangun bukan hanya dari situasi organisasi yang kondusif, tetapi juga terkondisikan dari faktor “non organisatoris”. Sebagian dari pegawai tinggal dalam satu kawasan yang sama, sehingga suasana kekeluargaan yang terbangun dari lingkungan tempat tinggal terbawa dalam cara berkomunikasi di dalam institusi. Berikut pernyataan Pak P. Mayang Antasari, Kepala Sub Biro Personalia:

” .... di sini komunikasi itu gampang. Di sini kondisi informalnya kuat. Kalau kita omong antar pribadi itu tetap enak, sehingga arus komunikasi menjadi cepat, tidak terhambat oleh birokrasi yang terlalu aneh” (W/QI-7/2006).

F. Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001: 2000 Terhadap