• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tema dalam Didjemput Mamaknja

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 25-35)

Seperti yang telah diungkapkan dalam tujuan, penulis akan menganalisis dua unsur intrinsik dalam Didjemput Mamaknja, yaitu tema dan tokoh. Dalam subbab ini, akan dibahas mengenai definisi tema dan mengaitkannya dengan

Didjemput Mamaknja. Saat membaca sebuah novel, terlebih dahulu kita

mengikuti apa yang disampaikan pengarang untuk mengetahui isi ceritanya. Kadang-kadang kita larut ke dalam ceritanya dan ikut bersimpati dengan apa yang dialami oleh tokoh ciptaan pengarang. Namun, dapat terjadi hal yang sebaliknya, pembaca tidak mengerti apa yang disampaikan oleh pengarang. Oleh karena itu, kewenangan pengarang dalam menciptakan suatu karya juga ikut mempengaruhi keberhasilan penyampaian pesannya kepada pembaca.

Pesan yang ingin disampaikan pengarang berdasarkan pemikiran yang ingin dituangkannya dalam suatu karya. Pemikirannya tersebut dapat terinspirasi dari kehidupan pribadi atau masalah yang sedang dialami oleh orang lain. Hal tersebut dapat memunculkan suatu gagasan yang akan mengikat keseluruhan ceritanya. Hal itu dilakukan agar pesan yang ingin disampaikan pengarang dapat dimengerti oleh pembaca.

Gagasan yang mendasari suatu cerita itulah yang dinamakan tema dari karya sastra. Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988:50). Dalam penciptaan karya sastra, pengarang mempunyai kewenangan besar menentukan apa yang ingin disampaikannya. Oleh karena itu, setiap pengarang mempunyai alasan tertentu membahas tema yang diinginkannya dalam karyanya.

Menurut penulis, tema dalam Didjemput Mamaknja adalah kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya kepada kemenakan. Dalam novel ini, mamak digambarkan sebagai sosok pemimpin yang keras dalam menentukan apa yang terbaik Ramah, kemenakannya. Ia tidak memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan Ramah, tetapi sibuk menjaga citra baiknya kepada orang-orang sekitar tempat tinggalnya.

Selain menjadi pemimpin yang otoriter, mamak juga digambarkan sebagai pemimpin yang tidak konsisten dengan apa yang telah dipilih sebelumnya. Ia adalah orang yang bertanggung jawab saat menjodohkan Musa dengan Ramah,

kemenakannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pula yang menyebabkan rumah tangga Ramah dan Musa berakhir. Di matanya, Musa tidak dapat memenuhi harapannya untuk membahagiakan Ramah secara materi.

Sudah sekian lama merantau, sebuahpun tidak ada jang dapat. Sudah melarat dan sengsara di rantau orang, menurutkan suami jang rupanya tidak sanggup mentjarikan nafkah dan makan minum. Padahal dikampung sendiri bukanlah engkau terhitung orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukanlah kau anak terbuang. Ada kau berumah tangga, mengapa engkau pergi tinggal dirumah petak buruk jang tidak tentu ekor kepalanja ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi bukan sempit, bukan sehingga tidak masuk tjahaja matahari seperti ini”. (Hamka, 1962: 17—18).

Mamak terlihat begitu mudah mengubah keputusannya yang berkaitan dengan kehidupan Ramah. Ia terlihat hanya mengandalkan kekuasaannya untuk mengubah kehidupan Ramah yang miskin di rantau. Menurutnya, dengan membawa Ramah pulang ke kampung untuk hidup dalam keadaan berkecukupan adalah jalan keluar yang baik bagi kelangsungan hidup Ramah ke depan. Meskipun telah mendengar pendapat dari Ramah mengenai kebahagiaan dan ketenangan yang didapatkannya selama di rantau, mamak tetap pada pendiriannya. Tindakan itu terjadi karena menganggap dirinya adalah pemimpin yang sudah mengerti kemauan Ramah. Jadi, pernyataan Ramah tidak didengar olehnya.

Kekuasaan mamak yang besar dalam kehidupan rumah tangga Ramah menimbulkan berbagai konflik yang merugikan Ramah sebagai kemenakan. Dalam adat Minangkabau, mamak wajib memberikan sesuatu yang terbaik dan menjamin kebahagiaan kepada kemenakan. Hal itu berdasarkan tanggung jawabnya sebagai pelindung dalam kehidupan kemenakan dan saudara perempuannya. Namun, hal tersebut tidak didapatkan Ramah selama menjalani rumah tangga dengan Musa. Kehadiran mamak dalam rumah tangga Ramah menyebabkan kebahagiaan yang telah didapatkannya hilang begitu saja. Hal itu disebabkan oleh cara pandang mamak dalam menilai sesuatu yang hanya terfokus pada dirinya.

,,Apa jang engkau susahkan? Bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku,berlembaga, berkampung halaman? Biar ajahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minangkabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar jang akan dipakainya gelar mamaknja. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunja berlain djuga dengan suku anakmu. (Hamka, 1962: 21).

Hal itulah yang menimbulkan berbagai konflik dalam kehidupan rumah tangga Ramah. Kekuasaan mamak yang begitu besar menciptakan berbagai konflik, seperti rumah tangga Ramah dengan Musa, konflik saat Musa tinggal di rumah gadang, dan keluarga Musa dan Ramah yang saling memojokkan. Menurut Nurgiyantoro (1995), tema adalah hal yang mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, situasi, dan konflik, serta unsur intrinsik lainnya. Kejadian dan konflik yang terjadi dalam Didjemput Mamaknja bersumber pada hal yang sama, yaitu kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pembimbing dan pelindung bagi kemenakan. Ia merasa berhak untuk turut campur dalam kehidupan rumah tangga Ramah tanpa menghiraukan posisi Musa yang telah menjadi suami dan pemimpin bagi Ramah, istrinya.

Dalam menemukan tema sebuah karya sastra harus diamati berdasarkan keseluruhan cerita, tidak hanya berlandaskan sebagian cerita. Hal itu dapat dilihat dari elemen-elemen pendukung sebuah cerita. Dialog-dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain menjadi media pengarang untuk menyelipkan temanya. Selain itu, ada unsur intrinsik yang perlu diperhatikan dalam menentukan tema, seperti latar, tokoh, alur, penokohan, dan plot. Menurut penulis, menemukan tema pada Didjemput Mamaknja lebih mudah ditelusuri dengan gambaran tokoh. Hal tersebut berdasarkan karakter tokoh dan dialognya menggambarkan dengan jelas kekuasaan mamak yang terlalu kuat dalam kehidupan Ramah yang sudah menikah.

Dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah kritik terhadap salah satu adat Minangkabau yang ingin disampaikan oleh Hamka, sebagai kaum muda. Pada tahun 1920-an banyak terjadi pertentangan mengenai pelaksanaan adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan agama Islam di Sumatra

Sumatra Thawalib pada masa itu. Ia pun ikut menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan adat melalui berbagai buku dan karya sastra yang ditulisnya. Tidak hanya Hamka, tetapi ada Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Sutan Pamuntjak dan Abdul Moeis yang menggunakan karya sastra pula sebagai wadah untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap kondisi pelaksanaan adat saat itu (Ali, 1994:109—130).

Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan tanggung jawab mamak terhadap kemenakan yang dinilai sewenang-wenang saat itu. Seorang pengarang memilih dan membahas peristiwa kehidupan dan berbagai masalah hidup menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan (Nurgiyantoro, 1995: 71). Oleh karena itu, tema yang dibahas dalam

Didjemput Mamaknja berkaitan dengan kehidupan Hamka, yaitu adat Minangkabau dan Islam. Pengarang karya fiksi tidak mungkin mencipta tanpa didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap realitas. Oleh karena itu, dalam novel tersebut terlihat Hamka mengkritik tindakan mamak yang sewenang-wenang kepada Ramah. Ia menilai tindakan mamak tersebut sudah tidak sejalan dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau.

Di samping kehidupan pengarang, ada faktor lain yang mempengaruhi tema dari karya sastra, salah satunya keinginan pasar. Karya sastra yang dinikmati oleh pembaca membuat keberadaannya berarti di masyarakat. Salah satu ciri karya sastra yang baik adalah mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat. Pengarang pun tentu menginginkan karya sastra yang ditulisnya dibaca oleh orang banyak (Sudjiman, 1988: 54). Oleh karena itu, keinginan pasar pada masa tertentu dapat mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karyanya.

Hal itu pun dilakukan Hamka saat menghasilkan karya sastranya yang bertemakan masalah adat. Pada tahun 1920—1940, banyak kaum muda Minangkabau yang mengkritik adat Minangkabau lewat tulisannya (Ali, 1994: 13—14). Banyaknya novel yang dihasilkan pada masa itu, tentu mempengaruhi apresiasi pembaca terhadap tulisan tersebut. Sepertinya, Hamka tergerak pula untuk menyampaikan pemikirannya tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang

tidak sejalan dengan Islam. Hal itu sejalan dengan keinginan Hamka untuk tetap berdakwah dalam tulisannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat dalam berbagai karya sastranya, Hamka memasukkan pemikiran mengenai menjalani hidup harus berdasarkan Al-quran dan sunnah rasul. Hal itu dipengaruhi oleh pola mendidik orang tua dan sekolah yang sempat diikutinya menganut pemahaman agama Islam yang murni. Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan bahwa mamak tidak berhak lagi memimpin Ramah karena ia sudah menikah dengan Musa. Perannya sudah digantikan oleh Musa sebagai kepala keluarga. Hal itu sejalan dengan pandangan Islam mengenai suami adalah kepala keluarga yang wajib dipatuhi oleh istrinya.

Selain itu, Hamka menunjukkan kekuasaan mamak yang terlalu besar dapat mendorong dirinya bertindak sewenang-wenang kepada kemenakan. Oleh karena itu, dalam novel ini tidak disebutkan mamak dari Ramah tersebut ada hubungan darah atau tidak dengannya. Hal itu juga didukung dari penyebutan tokoh mamak tanpa nama yang jelas. Sepertinya, Hamka sengaja tidak menyebutkan nama untuk memperluas jangkauan kritikannya. Dalam bab sebelumnya, telah dipaparkan mamak di Sumatera Barat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan wilayah kekuasaannya, yaitu mamak rumah, suku, dan kaum. Meskipun wilayah yang menjadi kekuasaannya berbeda-beda, ketiga jenis mamak tersebut tetap bertanggung jawab terhadap kehidupan kemenakan. Hal ini dapat menjadi dasar pemikiran Hamka memilih menggunakan kata mamak saja agar kaum tua yang pernah berlaku, seperti mamak dalam novelnya dapat melihat kembali akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.

Tindakan mamak yang menjemput Ramah, kemenakannya, dari Musa adalah gambaran kesewenang-wenangannya sebagai pelindung bagi Ramah. Mamak bertindak sebagai pihak yang aktif karena memaksakan kehendaknya untuk membawa Ramah kembali ke kampung dan meninggalkan suaminya di perantauan. Ditambah lagi, perannya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah menimbulkan kepercayaan diri yang sangat kuat untuk memaksakan keinginannya tersebut.

Selain dari tindakan mamak tersebut, judul dari Didjemput Mamaknja juga turut menggambarkan mamak berperan sebagai pihak aktif. Berdasarkan kata

‘dijemput’ terlihat mamak yang terlebih dahulu melakukan tindakan kepada kemenakan. Di lain pihak, Ramah, sebagai kemenakan, hanya dapat menerima apa yang dilakukan mamak. Oleh karena itu, Ramah berperan sebagai pihak yang pasif karena mamak berkuasa dalam dirinya.

Kekuasaan mamak terhadap kemenakan digambarkan dengan proses satu pihak yang mempengaruhi pihak lain sehingga mengikuti keinginan pihak pertama. Pihak pertama maupun kedua dapat diwakili dengan orang atau sekumpulan orang. Pihak pertama dalam novel ini diwakili oleh mamak yang menunjukkan kekuasaannya sebagai pemimpin dalam keluarga Ramah. Kekuasaan dan kewenangan dalam suatu masyarakat mempunyai faktor penting sebagai pengikat atau pemersatu bagi masyarakat tersebut (Soekanto, 1992: 50). Penjemputan Ramah dari suaminya yang dilakukan mamak merupakan cara untuk menyelamatkan kemenakannya dari hidup miskin dan untuk menjaga nama baik keluarga Ramah.

Mamak melakukan musyawarah dengan golongan tua untuk memutuskan sesuatu yang baik bagi Ramah. Hal ini memang dilaksanakan sesuai dengan aturan adat Minangkabau, yaitu musyawarah dalam memutuskan sesuatu14. Namun, saat mamak bermusyawarah tidak menggunakan pengalamannya selama mendidik Ramah sewaktu kecil hingga dewasa. Tentu, ia dapat memahami apa yang diinginkan Ramah daripada orang lain. Seharusnya, kekuasaan itulah yang digunakan dalam memutuskan apa yang baik untuk rumah tangga Ramah. Selain itu, penjemputan tersebut sebagai ajang pembuktian bagi mamak untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam hidup Ramah. Mamak tidak ingin posisinya tergantikan oleh Musa.

Pihak kedua dalam novel ini diwakili oleh Ramah dan Musa. Mereka digambarkan mengikuti keinginan pihak pertama, yaitu mamak dengan pasrah. Perlawanan sempat dilakukan oleh Ramah namun tidak mengubah keputusan mamak untuk membawanya kembali ke kampung. Kekuasaan mamak dalam

14

Kamanakan barajo ka mamak. Mamak barajo ka panghulu. Panghulu barajo ka mupakaik. Mupakaik barajo ka alua jo patuik.( Kemenakan beraja ke mamak. Mamak beraja ke penghulu.

Penghulu beraja ke mufakat. Mufakat beraja ke alur dan patut) Di dalam ungkapan tersebut digambarkan alur pengambilan keputusan yang harus dilalui oleh tiap orang dalam tingkatannya di Minangkabau. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau,

dirinya tidak memberikan peluang Ramah untuk berpendapat dan menentukan apa yang baik dalam rumah tangganya. Sebagai kemenakan, Ramah harus mematuhi mamak sebagai pemimpin dan orang yang mendidiknya sejak kecil hingga dewasa. Perlawanan yang sempat dilakukan Ramah tidak menimbulkan perubahan terhadap sikap mamak yang keras untuk membawanya pulang ke kampung.

Dalam kenyataannya, pelaksanaan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai cara, antara lain dengan demokratis, bebas, dan otoriter. Tindakan yang dilakukan mamak terhadap Ramah dalam Didjemput Mamaknja termasuk ke dalam cara kepemimpinan yang otoriter. Ciri-ciri kepemimpian yang otoriter, seperti pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak, pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok, dan pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi kelompok (Soekanto, 1992:52). Mamak mengambil keputusan menjemput Ramah beserta anaknya dari Musa, suaminya, berdasarkan mufakat golongan tua tanpa proses mendengarkan pendapat Ramah dan Musa. Keinginan Ramah dianggap sudah terwakili oleh pendapat mamaknya sebagai pemimpin keluarganya. Jadi, tidak diperlukan lagi kehadirannya dalam musyawarah yang membahas kehidupan rumah tangganya dengan Musa.

Tema dari Didjemput Mamaknja juga dapat digolongkan ke dalam tema karya sastra yang bersifat tradisional. Dalam novel tersebut, penggambaran tokoh jahat dan tokoh baik tidak bertukar posisi dalam ceritanya. Hamka tetap mempertahankan hal tersebut agar pembaca dapat melihat akibat dari perbuatan masing-masing tokoh. Biasanya, tokoh baik akan mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalannya, sedangkan tokoh jahat akan mendapatkan kesusahan karena ulahnya. Namun, dalam novel ini yang terjadi sebaliknya, tokoh baik diatur kehidupannya oleh tokoh jahat. Kebahagiaan yang biasanya melekat pada tokoh baik, dalam novel ini dilekatkan pada tokoh jahat, yaitu mamak yang bahagia setelah berhasil membawa Ramah pulang ke kampung. Ramah sebagai tokoh baik mendapatkan kesedihan yang mendalam karena dipisahkan dari suaminya.

Tema tradisional adalah tema yang bersifat universal dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, seperti kebenaran dan keadilan melawan kejahatan, cinta

sejati menuntut pengorbanan, kawan sejati adalah kawan di masa duka, dan tindakan kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Nurgiyantoro, 1995: 77). Tema tersebut digemari oleh orang banyak dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan keinginan dasar setiap orang mengenai kebaikan yang menang melawan kejahatan. Selain itu, tema tersebut mempunyai kedekatan emosi dengan pembaca karena harapan yang dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan karya sastra dapat memotret apa yang terjadi dalam kehidupannya.

Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional memiliki keluwesan dalam menyampaikan ceritanya, seperti tokoh jahat dapat berubah menjadi baik pada pertengahan cerita, begitu pula sebaliknya. Jika dihubungkan dengan kehidupan nyata, hal itu pun dapat terjadi pada orang-orang sekitar kita. Seringkali, kita temui orang yang sering melakukan kejahatan dapat hidup dalam kesenangan, sedangkan orang yang jalan hidupnya lurus-lurus saja sering menemui kesulitan. Keadaan itu dapat menjadi refleksi keadaan sosial yang sesungguhnya dibandingkan dengan situasi hitam-putih yang sering muncul dalam tema tradisional.

Tema karya sastra yang bersifat tradisional maupun nontradisional mempunyai fungsi sastra yang sama dalam masyarakat, yaitu menghibur dan mendidik. Tema yang bersifat tradisional lebih memfokuskan pada harapan masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Diharapkan masyarakat dapat terpengaruh dengan kebaikan-kebaikan yang dimunculkan dalam cerita. Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional lebih menunjukkan adanya gejolak dalam kisahannya. Hal ini berkaitan dengan keinginan pengarang untuk menampilkan sesuatu yang lain agar karyanya nampak lebih nyata. Biasanya, akan dimunculkan tokoh baik dan tokoh jahat bertukar posisi dalam beberapa waktu. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa sesuatu dapat berubah karena dirinya sendiri yang melakukan tersebut. Oleh karena itu, pengarang berusaha memasukkan situasi nyata agar pembaca terdorong meniru perubahan baik yang ditampilkannya.

Sebuah karya sastra dapat menggambarkan realitas melalui kemampuan imajinasi pengarang. Keterkaitan antara realitas dan imajinasi tidak dapat

dipisahkan karena saling dibutuhkan. Fiksi mengandung penciptaan dan kreativitas pengarang dengan meniru model realitas kehidupan (Nurgiyantoro, 1995:104). Oleh karena itu, kemiripan fiksi dengan kenyataan adalah sarana pengarang untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca. Begitu pula dengan Didjemput Mamaknja, Hamka menciptakan situasi dan konflik antara mamak dan kemenakan sesuai dengan pandangan keduanya namun tetap berada dalam situasi sosial Minangkabau tahun 1920-an agar mudah dipahami oleh pembaca.

Dalam kehidupan nyata, mamak adalah orang yang bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakannya di Minangkabau. Tentu, pelaksanaan tanggung jawab tersebut untuk memberikan kebahagiaan bagi kemenakan. Namun, dalam novel ini, mamak kembali digambarkan sebagai orang yang memudahkan pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah. Keputusan yang diambilnya tidak mementingkan kebahagiaan Ramah.

Takut akan ditjeraikan suamimu? Apakah engkau suka djuga kepadanja? Seorang laki- laki yang tak patut ditumpang? Seribu laki-laki bisa kutjarikan. Kalau tidak dapat orang yang bergelar Datuk dan Sutan, tukang rumput pun kami sanggup tjarikan. Bukankah kami mamak-mamakmu ini orang buta! Sebetulnja persangkaanmu itu tidak boleh engkau kemukakan!” (Hamka, 1962: 21).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa mamak bertanggung jawab untuk memberikan suami baru bagi Ramah setelah ia bercerai dengan Musa. Bentuk penyelesaian yang ditawarkannya semakin menegaskan bahwa dirinya tidak memikirkan perasaan Ramah yang sudah begitu mencintai Musa sebagai suaminya. Ditambah lagi, Ramah tidak akan kembali percaya terhadap ucapan mamaknya mengenai suami pilihannya. Hal itu didasarkan oleh keadaan yang sedang dihadapinya saat itu. Musa adalah suami pilihan yang terbaik oleh mamak namun sekarang mamak yang menghina Musa karena tidak mampu memberikan kelimpahan materi kepada Ramah.

Lebih lanjut lagi, mamak pula yang berperan besar saat Ramah menceraikan Musa.

Tidak berapa lama kemudian, jang saja tunggu itupun datanglah. Seorang kawan saja, nama si Samah, jang datang dari kampung, membawa seputjuk surat dari tuan Kadi, mengatakan bahwa saja tidak beristeri lagi,, bahwa Ramah telah datang kepada tuan Kadi meminta putus.

Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar.

Tiba-tiba dia berkata: ,,Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, ,sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu. (Hamka, 1962: 30).

Tindakannya tersebut kembali menunjukkan kepemimpinannya yang otoriter. Ia hanya memikirkan kepentingan untuk menjaga nama baik dirinya sendiri. Dengan keputusan yang diambilnya, ia dapat menunjukkan bahwa dirinya dapat memberikan kehidupan yang layak bagi Ramah, sekaligus tetap mempertahankan citra keluarga Ramah yang baik kepada orang-orang di kampung. Dalam pengambilan keputusan tersebut, mamak menggunakan kekuasaannya terhadap kemenakan.

Hal itulah yang berkali-kali dibahas Hamka dalam Didjemput Mamaknja. Ia menunjukkan kekuasaan tersebut melalui berbagai peristiwa yang dialami oleh Ramah dan Musa. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuasaan mamak yang berlebihan dapat menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang terhadap kemenakan. Dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut digambarkan merugikan kemenakan. Ramah hanya pasrah saat mamak membawa dirinya pulang kampung. Mamak melakukan tindakan tersebut agar Ramah berpisah dengan Musa dan lebih mudah mendesaknya untuk menceraikan Musa. Rasa sedih dan kehilangan yang dirasakan Ramah tidak diperhatikan oleh mamak saat memutuskan Ramah untuk bercerai dengan Musa.

Gambaran peristiwa tersebut merupakan salah satu cara Hamka menyindir masyarakat Minangkabau pada masa itu. Ia berani mengungkapkan kepincangan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam. Dalam novel ini, Hamka mengkritik kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawab kepada kemenakan. Rumah tangga Ramah dirugikan karena kuatnya kekuasaan pihak luar, seperti mamak dan keluarga besarnya. Selain itu, perceraian

yang terjadi bukan karena kemauan Ramah, melainkan untuk menuruti keinginan mamak.

Kesewenang-wenangan mamak tersebut menunjukkan bahwa ia berusaha menjadi pemimpin dalam rumah tangga kemenakannya. Ia merasa dapat memberikan kehidupan yang layak daripada kehidupan yang telah dijalani Ramah dengan Musa. Hal tersebut tidak sejalan dengan falsafah adat Minangkabau yang menjadikan agama Islam sebagai dasar pelaksanaan adatnya. Pemikiran Hamka tersebut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai ulama dan berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya.

Perubahan yang diinginkan Hamka tentang hubungan mamak dan kemenakan tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Dalam Didjemput Mamaknja, ia menginginkan setiap orang melaksanakan peran sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan adanya batasan antara peran yang satu dengan yang lain kekuasaan yang berlebihan pada satu pihak tidak akan muncul.

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 25-35)

Dokumen terkait