• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

3.1 Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Hamka adalah salah satu sastrawan sekaligus ulama yang cukup populer dalam kesusastraan Indonesia pada tahun 1920—1940. Dalam karya-karya yang dihasilkannya banyak pengetahuan Islam yang dapat digali oleh pembaca. Hal itu disebabkan oleh pengetahuan yang dimilikinya cukup beragam. Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan apa saja yang dilakukan dan dialami Hamka semasa hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi Hamka dalam menghasilkan karya-karyanya.

Nama Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dalam nama tersebut tercantum nama ayah dan kakeknya. Ayahnya bernama Muhammad Rasul / Abdul Karim Amrullah dan kakeknya bernama Muhammad Amrullah (Hamka, 1967: 57—58). Hamka sengaja menggabungkan nama kedua laki-laki yang sangat dihormati dalam hidupnya. Ia berharap dapat melakukan apa pun sama baiknya, seperti ayah dan kakeknya.

Sebenarnya, nama pemberian kedua orang tua Hamka adalah Abdul Malik. Pemilihan nama tersebut karena ayah Hamka sangat menghormati salah satu gurunya sewaktu belajar Islam di Mekah, yaitu Sjech Ahmad Chatib (Hamka, 1967: 66). Oleh karena itu, ayahnya memberi nama yang sama dengan putra dari gurunya, yaitu Abdul Malik. Selain dikenal dengan Hamka, ia juga memiliki beberapa nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki (Hamzah, 1996:3).

Hamka adalah putra dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Safiah (Hamka, 1967: 65). Dia dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau, pada tanggal 16 Februari 1908. Ia merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah ulama terkenal di Sumatera Barat karena membawa paham-paham pembaruan Islam di Minangkabau, sedangkan Ibu Hamka yang bernama Safiah adalah istri kedua bagi ayahnya.

Kehidupan masa kecil Hamka sangat dipengaruhi oleh keinginan dan harapan ayahnya. Salah satu harapan ayahnya adalah menjadikan Hamka sebagai ulama (Ali, 1983: 465). Oleh karena itu, ketika Hamka berumur enam tahun, ia

(2)

dibawa ayahnya ke Padang Panjang karena di sana menjadi tempat berkumpul orang-orang mempelajari agama Islam. Setelah itu, saat Hamka berumur tujuh tahun sudah belajar di sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-quran pada ayahnya hingga tamat. Setelah itu dari tahun 1916— 1923, ia belajar agama Islam di Diniyah School dan Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Sumatra Thawalib adalah suatu sistem pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Selain itu, Sumatra Thawalib juga dikenal sebagai julukan bagi golongan yang memperoleh pendidikan Islam (Jassin, 1987: 121)

Pada tahun 1924, Hamka pergi ke Yogyakarta. Saat itu ia baru berumur 15 tahun. Ia mulai tertarik mempelajari gerakan Islam. Di sana, ia mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam (SI) di Yogyakarta. Dalam kursus-kursus yang diikutinya, ia mendengar ceramah dari H.O.S Cokroaminoto mengenaiSosialisma Islam, H. Fachrudin, tokoh Muhammadiyah, tentang keislaman, dan R.M Suryopranoto yang membahas sosiologi (Hamzah, 1993: 5). Pelajaran baru yang diperoleh Hamka menimbulkan semangat kesadaran Islam yang murni dalam dirinya. Oleh karena itu, ia turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial politik dan agama di Yogyakarta.

Pada waktu yang sama, ia juga pergi ke Pekalongan. Di sana, Hamka tinggal dengan A.R. Sutan Mansyur, menantu ayahnya, untuk memperkuat gerakan Islam yang baru tumbuh dalam dirinya. Hamka mulai rajin berpidato untuk melancarkan gerakan Islam yang dipelajarinya sewaktu di Yogyakarta.

Setelah dari Pekalongan, Hamka pulang ke Padang Panjang pada tahun 1925. Di Padang Panjang, Hamka tetap melanjutkan pergerakan Islamnya melalui berpidato di berbagai tempat, antara lain Muhammadiyah dan Tabligh Muhammadiyah. Kedua tempat tersebut didirikan oleh ayahnya, Abdul Karim Amrullah. Selain senang membagi pengetahuan yang didapatnya, Hamka juga rajin memperluas pengetahuannya melalui beberapa bacaan, seperti jurnalSeruan Azharyang terbit di Mesir. Berdasarkan bacaan tersebut, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud (Ali, 1983:472). Selain itu, ia juga berlangganan surat kabar Hindia Baru dan

(3)

Islam di Indonesia. Pengetahuan luas yang dimiliki Hamka membuat dirinya semakin berkembang menjadi pribadi yang berkualitas.

3.2 Hamka dan Kegiatan Tulis-Menulis

Pada tahun 1925, Hamka menulis majalah pertama yang bernama Khatib ul Ummah. Majalah tersebut berisi kumpulan pidato anak muda yang mengikuti kursus pidato di surau ayahnya (Ali, 1983: 471). Pada waktu yang sama, Hamka juga menerbitkan majalahTabligh Muhammadiyah.

Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang pertama. Selama di Mekah, Hamka menjadi koresponden pada harianPelita Andalasdi Medan. Semasa hidupnya, Hamka sudah menjalani naik haji sebanyak tujuh kali. Pulang dari Mekah, ia menulis pada majalahSeruan Islam di Tanjung Pura (Langkat). Selain itu, ia juga menulis pada Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Setahun kemudian, Hamka menjadi pemimpin redaksi majalahKemajuan Zaman.

Dua tahun setelah naik haji, Hamka menikah dengan Siti Ramah, tunangannya semasa kecil, pada tanggal 5 April 1929. Ketika menikah, usia Hamka 21 tahun dan istrinya berusia 15 tahun. (Poeradisastra, 1996: 51). Pernikahan Hamka dengan Siti Ramah mendapatkan sepuluh orang anak, tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Sejak pernikahan dan gelar hajinya, Hamka mulai mendapatkan tempat sebagai ulama terpandang di Minangkabau hampir menyamai nama ayahnya. Pada kenyataannya, sebelum Hamka menunaikan ibadah haji, sering kali ia mendapatkan kritik sebagai tukang pidato yang tidak berijasah (Ali, 1983: 471). Hal itu tidak dapat ditutupi karena Hamka mendapatkan berbagai macam pengetahuan tidak menempuh pendidikan formal, seperti sekolah. Ia mendapatkan pengetahuan secara otodidak dengan senang membaca berbagai jenis buku, belajar apa pun saat ia berpindah-pindah tempat tinggal, dan menimba ilmu kepada orang-orang yang pengetahuannya lebih luas daripada dirinya.

Sebelum pindah ke Medan, Hamka sempat mengajar di Makasar dan menerbitkan majalah Al-Mahdi selama tiga tahun. Pada tahun 1935, ia bersama kawan-kawannya menerbitkan mingguan Islam di Medan, yaitu Pedoman

(4)

Masyarakat. Majalah itu dipimpinnya dari tahun 1936—1943. Pada waktu itu, karangan yang diterbitkan dalam majalah tersebut, antara lain agama, filsafat, tasawuf, novel, roman, dan cerita pendek. Namun, kedatangan Jepang di Medan membuat Pedoman Masyarakat dibredel karena tidak sejalan dengan keinginan Jepang.

Semasa penjajahan Jepang, Hamka diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Syu Sangi Kai) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Jabatan ini membuat posisi Hamka terpojok karena dianggap sebagai mata-mata penjajah dalam pribumi oleh teman-temannya. Pada kenyataannya, Hamka menerima tawaran tersebut karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Kepolosan Hamka dalam menanggapi janji semu tersebut dapat membuktikan bahwa jiwa politikus Hamka tidak lebih tajam dari jiwa berdakwah dan menulis dalam dirinya.

Setelah pecah revolusi, Hamka kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1945. Di sana, ia menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Melalui karya-karyanya, ia menyampaikan pemikiran tentang perubahan ke arah yang lebih baik. Buku-buku yang dihasilkan, antara lain Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, danAdat Minangkabau Menghadapi Revolusi.

Setelah berkecimpung dengan situasi revolusi di Sumatera Barat, Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Jakarta, Hamka semakin giat menulis untuk mendokumentasikan apa yang sudah dialaminya. Pada waktu itu, orang banyak sudah mengakui kepiawaian Hamka dalam menulis, baik karya sastra maupun berbagai artikel keagamaan. Dengan keahliannya tersebut, pada tahun 1951—1960, Hamka diangkat menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementrian P.P dan K serta menjadi penasehat kementrian Agama. Di lingkungan pemerintahan, Hamka juga menjabat sebagai anggota Majelis Perhimpunan Haji (Jamil, 1983: 63). Pada waktu yang sama, Hamka menjabat sebagai dosen luar biasa pada perguruan tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar. Di samping itu, Hamka menjabat sebagai direktur periodik majalah

(5)

Pada tahun 1958, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir atas inisiatif mantan Duta Besar Mesir di Indonesia, Sajid Ali Fahmi Al-Amrousi. Gelar tersebut diberikan karena pidatonya yang berjudul “ Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”. Selain sebagai pengarang, Hamka juga ulama yang pandai berpidato. Keahliannya tersebut diwariskan oleh kakek dan ayahnya.

Pada tahun 1959, Hamka memimpin majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Majalah tersebut berisi tentang pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, majalah tersebut dihentikan penerbitannya oleh penguasa perang Jakarta Raya pada tahun 1960 karena memuat tulisan Mohammada Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” (Hamzah, 1993: 6). Berbagai peristiwa penghentian penerbitan majalah yang pernah dipimpinnya tidak membuat Hamka jera untuk memimpin majalah kembali.

Pada tahun 1962, Hamka kembali mendirikan majalah Gema Islam, majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, pada tahun 1964, majalah tersebut dihentikan penerbitannya karena Hamka dituduh melanggar Penpres Anti Subversif oleh pemerintahan Soekarno (Hamzah, 1993: 6). Hal itu menyebabkan Hamka ditahan di penjara sampai tahun 1966. Meskipun menjadi tahanan, tidak menyurutkan keinginan Hamka untuk tetap menulis. Semasa menjadi tahanan, Hamka menghasilkan satu buku yang berjudulTafsir Al-Azhar.

Setahun setelah keluar dari penjara, Hamka menerbitkan dan memimpin majalah Panji Masyarakat. Ia tidak gentar dengan kepemimpinan Soekarno yang telah membuat dirinya masuk ke dalam penjara selama dua tahun. Menurutnya, menulis adalah kegiatan yang harus tetap dilakukan agar dapat menyuarakan pemikirannya.

Hamka kembali mendapatkan kepahitan dalam hidup ketika istrinya, Siti Rahmah, meninggal pada tanggal 1 Januari 1972. Namun, kesedihan Hamka ditinggalkan istri tidak terlalu lama dirasakannya. Pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah kembali dengan Hajjah Siti Khadijah dari Cirebon. Setahun kemudian Hamka mendapatkan kembali gelar Doctor Honoris Causa. Gelar kedua yang diterimanya tersebut berasal dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Keaktifannya

(6)

berperan dalam masalah-masalah sosial dan keagamaan di Indonesia sebagai salah satu faktor penting atas pemberian gelar tersebut.

Tahun berikutnya, 1975, Hamka menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menjabat dari tahun 1975—1981 (Hamzah, 1993: 7). Jabatan ini adalah jabatan terakhir yang dipegang sebelum akhir hayatnya. Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di rumah sakit Pertamina karena serangan jantung.

3.3 Hamka dan Kegiatan Politik

Semasa hidup, Hamka tidak hanya disibukkan dengan kegiatan tulis-menulis, tetapi ia juga turut serta berpolitik. Namun, aksi politiknya tidak terlalu tajam dibandingkan dengan aksi berdakwah dan untaian cerita yang dihasilkannya. Setahun setelah menikah, Hamka mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan menghadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta (Ali, 1983: 472). Sejak saat itu, ia semakin sering menghadiri kongres Muhammadiyah ke berbagai daerah, antara lain Semarang dan Makasar. Pada tahun 1934, Hamka menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada awal tahun 1950-an, Hamka telah menjadi tokoh Muhammadiyah tingkat nasional. Ia terpilih sebagai anggota pimpinan pusat Muhammadiyah pada kongres Muhammadiyah ke-32. Jabatan tersebut dijalaninya sampai dengan tahun 1971.

Hamka juga pernah menjadi ketua sekretariat Front Pertahanan Nasional (Ali, 1983: 476). Front tersebut beranggotakan seluruh partai politik dan perkumpulan sosial-ekonomi di Sumatera Barat. Front ini menginginkan keadaan yang lebih baik untuk masyarakat Minangkabau. Tidak hanya itu, Hamka juga pernah bergabung dengan partai Masyumi. Keikutsertaan Hamka di partai tersebut karena adanya keterkaitan dengan Muhammadiyah. Dalam partai tersebut, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi. Keikutsertaan Hamka dalam partai tersebut cukup berarti karena ia sering ikut serta dalam perundingan-perundingan dengan Soekarno dan Hatta.

Namun, ketika Hamka pindah ke Jakarta kegiatan politiknya semakin berkurang. Hal ini senada dengan yang telah diungkapkan sebelumnya, karir

(7)

politik Hamka tidak seindah ketika ia berdakwah dan menghasilkan karya. Dalam dirinya sangat kuat keinginan untuk berdakwah dengan berbagai cara, salah satunya menulis.

3.4 Hamka dan Karya-karyanya

Karya-karya yang dihasilkan Hamka cukup beragam. Semasa hidupnya, sekitar 118 tulisan sudah dihasilkannya, karya sastra yang ditulisnya antara lain

Merantau Ke Deli (1938), Didjemput Mamaknja (1930), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Menunggu Bedug Berbunji (1950), Kenang-Kenangan Hidup I, II, III (1951-1952), Di Bawah Lindungan Kabah (1938), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan (1962), dan Lembah Nikmat (1959).

Selain itu, ada tulisannya yang bernuansa Islam, antara lain Tasawuf Modern, Tafsir Al-Azhar (30 jilid), agama, filsafat, dan esai-esainya di majalah yang dipimpinnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi Hamka dalam menghasilkan karyanya, antara lain kehidupan baru yang ditemuinya ketika ia tinggal di berbagai tempat, pengalaman hidup yang dialaminya, dan bahan bacaannya. Hamka senang membaca berbagai jenis buku, salah satunya literatur kebudayaan Minangkabau. Bahan bacaan tentang kebudayaan Minangkabau yang dibaca olehnya, antara lain pantun, bakaba, dan pidato adat. Tidak hanya itu, Hamka pun menggemari berbagai buku terbitan Balai Pustaka dan cerita-cerita Tionghoa (Hamzah, 1993:4). Ia memanfaatkan berbagai bacaan tersebut dalam berkarya sehingga penyampaian ceritanya dapat mudah dipahami oleh pembaca.

Di samping mempelajari kesusastraan Minangkabau, Hamka mendalami kesusastraan Arab karena hanya bahasa Arab yang dikuasainya dengan baik. Melalui bahasa Arab, Hamka membaca karya-karya Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinos, Ptilemaios, dan lain-lain (Poeradisastra, 1996: 123). Sewaktu menetap di Medan, Hamka pun membaca karya sastra barat, seperti karya Goethe, Shakespeare, Guy du Paupassant, Maxim Gorki, Anton, dan lain-lain.

(8)

Karya pertama yang dihasilkan Hamka adalah Si Sabariah pada tahun 1928. Karya pertamanya ini mengambil ide cerita dari kampung halamannya, yaitu Maninjau. Bahasa yang digunakan dalam karya tersebut adalah bahasa Minangkabau. Karya tersebut menggambarkan rasa simpati yang mendalam kepada pihak yang lemah, miskin, dan teraniaya (Poeradisastra, 1984: 125). Dalam novel tersebut, digambarkan ada sepasang suami istri yang miskin. Keadaan yang serba susah mendorong tokoh yang bernama si Pulai, suami Sabariah, untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ia merasa tidak kuat lagi untuk menjalani hidup miskin. Kisah dalam cerita ini memberikan dorongan agar pembaca peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Selain mengambil ide cerita dari kampung halamannya, Hamka juga sering menuangkan pengalaman di tempat yang dikunjungi melalui sebuah karya sastra. Pengalaman naik haji memberi ilham yang sangat kuat bagi Hamka. Ketika pertama kali ke sana, ia merasakan bahwa manusia sama kedudukannya ketika menemui Allah. Oleh karena itu, ia menulis novel yang berjudul Di Bawah Lindungan Kabah. Masalah yang diangkat dalam novel ini adalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan yang membuat kedua anak manusia tidak dapat menikah (Hamzah, 1993: 23—24). Hamid dan Zainab tidak dapat menyatukan cintanya karena status mereka berdua berbeda jauh. Keluarga Zainab berstatus lebih tinggi daripada keluarga Hamid, baik dalam harta maupun keturunan.

Karya tersebut adalah salah satu cara Hamka mengkritik adat Minangkabau yang sering membeda-bedakan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan. Menurutnya, adat itu bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Hal yang membedakan adalah ketakwaan dan keimanan seseorang kepada Allah. Gambaran itu pun tidak dapat dinilai dari luar saja, seperti cara berpakaian karena itu adalah hubungan manusia dengan Allah yang bersifat lebih kompleks. Penekanan agama Islam pada cerita yang ditulis Hamka menjadi faktor penting dalam ceritanya. Hal tersebut menjadi salah satu ciri Hamka dalam tiap karya sastra dengan menyampaikan sesuatu yang seharusnya sejalan dengan agama Islam.

(9)

Hal itu pun kembali terulang dalam novel Hamka yang berjudul

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ide cerita dalam novel tersebut muncul dari pergaulan Hamka dengan masyarakat Makasar. Ia banyak mendengar cerita mengenai kasih tak sampai karena perbedaan suku, terutama orang Minangkabau yang berusaha menjaga keasliannya. Kisah ini membahas nasib cinta dua anak manusia yang berakhir tragis. Zainudin memiliki darah Makasar dari ibunya, sedangkan Hayati adalah anak Minangkabau asli. Oleh karena itu, keluarga Hayati tidak mengijinkannya untuk menikah dengan orang dari luar daerah. Ketika Hayati dinikahkan dengan orang lain, Zainudin pergi dari kampung halaman menuju Surabaya untuk melupakan Hayati. Pada akhirnya, rumah tangga Hayati tidak bertahan lama kemudian ia menyusul Zainudin ke Surabaya. Namun, kedatangannya tidak mendapatkan tanggapan positif dari Zainudin. Akhirnya, Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Tanpa diduga, kapal tersebut tenggelam dan Hayati menjadi salah satu korbannya. Zainudin menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya kepada Hayati sebelum ia meninggal.

Kali ini, Hamka kembali mengangkat adat Minangkabau yang bertentangan dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau. Ia mengkritik adat Minangkabau yang mencegah perkawinan dengan orang dari luar daerah Minangkabau (Ali, 1994: 88). Kebanyakan masyarakat Minangkabau berusaha menjaga keaslian keturunannya dengan mengawinkan anaknya dengan orang yang satu suku atau satu kampung. Menurut mereka, dengan cara tersebut dapat mengurangi terjadinya hal-hal buruk pada perkawinan anaknya.

Sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau, Hamka menginginkan adanya perubahan dalam pelaksanaan perkawinan yang baik bagi masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, usahanya tidak berhenti dengan mengandalkan suara ketika ia berceramah. Namun, ia menuangkan gagasan tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang absolut melalui tulisannya.

Dalam berkarya, Hamka sebagai pengarang memiliki otoritas dalam menulis ceritanya. Dapat saja, tokoh dan tema yang dibahas adalah rekaan semata di pikirannya. Namun, ada satu hal yang tidak dapat dilepaskan dalam diri Hamka sewaktu menulis. Ia bertekad tetap berdakwah dalam keadaan apa pun juga.

(10)

Meskipun yang dikritik dalam karyanya adalah masyarakatnya sendiri, ia tidak goyah untuk melaksanakannya.

Sama dengan karya-karya sebelumnya, Merantau Ke Delijuga mengkritik adat Minangkabau mengenai perkawinan dan budaya merantau. Tokoh yang bernama Leman, pemuda asli Minangkabau, merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan. Di sana, ia menikah dengan perempuan bernama Poniem yang berasal dari Jawa. Saat mereka mengunjungi Minangkabau, timbul keinginan keluarga Leman untuk menikahinya dengan perempuan asli Minangkabau. Keluarganya menganggap belum lengkap jika Leman tidak memiliki istri dari kampung sendiri (Ali, 1994: 93). Akhirnya, pernikahan terjadi dan Poniem ditinggalkan oleh Leman.

Dengan karya tersebut, Hamka mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu suku atau daerah saja. Pada kenyataannya, asal daerah yang sama, bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama. Di samping itu, Hamka juga menggambarkan penilaian budaya merantau dari sudut pandang orang Minangkabau. Kebanyakan masyarakat Minangkabau beranggapan bahwa orang merantau yang pulang ke kampung pasti memiliki uang banyak dan jabatan tinggi. Jadi, harta yang banyak adalah ciri yang harus dimiliki orang merantau. Dalam kenyataannya, harta adalah bukan satu-satunya jaminan kehidupan akan menjadi bahagia. Hamka pun menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau yang dilihat dari jumlah kekayaan.

Dapat terlihat dari beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Hamka menginginkan perubahan masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan adatnya. Ia tidak ingin masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang percaya bahwa adat itu baik selamanya digunakan dalam keadaan apa pun dan berbagai waktu. Selain itu, ia juga menginginkan adat itu dilaksanakan sesuai dasar adat Minangkabau, yaitu Al-quran.

(11)

DALAMDIDJEMPUT MAMAKNJA

Seperti telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan intrinsik dan sosiologi sastra. Oleh karena itu, bab ini berisi analisis tema dan tokoh dalam Didjemput Mamaknja. Setelah itu, dikaitkan dengan pemikiran Hamka dan kondisi sosial Minangkabau pada saat karya dihasilkan. Oleh karena itu, permulaan bab ini akan dibahas mengenai hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau. Pembahasan tersebut akan menjadi dasar dalam menilai hubungan mamak dan kemenakan dalam Didjemput Mamaknja.

4.1 Awal Mula Hubungan Mamak dan Kemenakan di Minangkabau

Sejarah mengenai hubungan mamak dan kemenakan dalam adat Minangkabau sudah banyak dibicarakan oleh peneliti lain, seperti Edwar Djamaris (1991), A.A. Navis (1984), M.Nasroen (1957), dan Idrus Hakimy (1984). Namun, tidak ada salahnya penulis memaparkan kembali hal itu karena berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Aturan hubungan mamak dan kemenakan di Minangkabau dipercaya bermula dari kejadian yang dialami Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatih Sabatang, dan Datuak Suri Dirajo5. Ketiga datuak ini dipercaya sebagai orang yang menemukan Luhak Nan Tigo6, yaitu

5Datuak Suri Dirajo adalah mamak dari Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Sabatang. Datuak ini digambarkan sebagai orang yang bijaksana, tempat orang bertanya, dan meminta nasihat. Datuak ini memberikan petunjuk tentang teka-teki kayu tataran dan unggas yang diberikan oleh orang di seberang Minangkabau. Keberhasilan datuak menebak teka-teki tersebut membuat orang seberang itu merasa malu dan tidak berani lagi datang ke Minangkabau. Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau sangat menghormati dirinya. Hal 62-63. Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Sabatang adalah kemenakan dari Datuak Suri Dirajo. Mereka berdua adalah orang yang membagi negeri Minangkabau ke dalam dua sistem adat, yaitu Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago. Sistem pemerintahan Laras Bodi Caniago bersifat demokratis dengan ciri-ciri sekata, semufakat, sedangkan Laras Koto Piliang bersifat aristokratis dengan ciri-ciri beraja. Edwar Djamaris,Tambo Minangkabau, (Jakarta: 1991), hlm., 62—68.

6Luhak adalah pembagian wilayah di Minangkabau berdasarkan pemimpinnya.Luhak bapanghulu,

rantau barajoyang artinya pemerintahan luhak diatur oleh penghulu, sedangkan wilayah rantau diatur oleh raja yang berpusat di Pagaruyung. Pada dasarnya, wilayah luhak terletak di nagari-nagari yang berada di selingkar Gunung Merapi, sedangkan wilayah rantau terletak di wilayah pelabuhan bagian timur atau bagian barat Minangkabau. Luhak dibagi menjadi tiga, yaitu

(12)

Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluah Koto. Oleh karena itu, apa pun yang mereka sampaikan selalu diikuti sebagai bentuk penghormatan terhadap keberadaannya.

Pada suatu hari, ketiga datuak tersebut bermusyawarah di Balairung Panjang, tempat orang membicarakan undang-undang hukum dan adat lembaga di tiap-tiap nagari, untuk membahas sesuatu. Akhirnya, mereka bermufakat untuk pergi ke Aceh (Djamaris, 1991: 53). Dalam perjalanannya, perahu yang mereka tumpangi terhalang oleh gunungan pasir ketika air laut surut. Setelah itu, para datuak menyuruh anak dan kemenakan mereka untuk memindahkan perahu tersebut. Namun, tak satu pun anak-anak mereka turun untuk menuruti permintaannya karena takut terbawa arus. Akhirnya, semua kemenakan dari para datuak, baik laki-laki maupun perempuan, memindahkan perahu tersebut agar mereka dapat meneruskan perjalanan.

Maka perahu itu pun takalang di tepi pasir sebab pasang 10(lah sudah)10, menyintak surut11. Maka berkata datuak12 nan baduo itu kepada segala 13anak kemenakan “Kamu sekalian13,14( maukah engkau akan jadi kalang14 perahu karena ‘lah sudah takalang di tepi pasir)15 16serta kita bangkitkan perahu16.” 17(Maka sahut segala anak tadi, “Takut aku akan jadi kalangan perahu itu.”

Maka berkata pula)17 18(kepada segala kemenakan laki-laki dan perempuan,)18 19(“Maukah engkau akan jadi kalang perahu?” Maka sahut segala kemenakan itu, “Jikalau demikian kata segalaniniak moyang kami, mau kami jadi kalang perahu itu.” Maka berjalanlah segala kemenakan itu ke tepi pasir.)19 20Maka kemenakan sajolah nan membangkitkan perahu itu, serta menghela dia20. (Maka perahu itu bangun dari atas kalangnya.)21 (Djamaris, 1991: 227).

Melihat kejadian tersebut, Cati Bilang Pandai7, penasihat para datuak, mengatakan agar jangan memberikan semua hartanya kepada anak, berikan juga

3. Luhak Lima Puluah Koto, buminya sejuk, airnya jernih, dan ikannya jinak.

A.A. Navis,Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm.104—105

7

Cati Bilang Pandai adalah bapak dari Datuak Parpatih Sabatang. Ia digambarkan sebagai orang yang pandai, terampil, dan banyak ilmunya. Ia berjasa membuatkan kembali mahkota raja yang jatuh ke laut. Ia pun turut berperan dalam menetapkan adat harta pusaka diwariskan kepada kemenakan.

(13)

kepada kemenakan. Menurutnya, peristiwa tadi menunjukkan bahwa kemenakan para datuak lebih rela mengorbankan nyawa untuk mamaknya dibandingkan anak kandungnya sendiri.

26

“Hai Cati Bilang Pandai, apa sebabnya demikian?”26 27Maka berkata Cati Bilang Pandai, “Ampun 28beribu kali ampun, sekali28 gawa

beribu kali29ampun, karena30lah sudah dicobai30segala anak31ka mahelo perahu tiada mau anak31. Itulah sebabnya maka 32pindah *adat yang teradat*, eloklah kembalikan di datuak pusyaka sawah ladang32 kepada kemenakan, karena baik 33saja nan suka33 pada anak dan jahat tiada suka pada anak.” (Djamaris, 1991:227).

Setelah mendengar alasan Cati Bilang Pandai tersebut, ketiga datuak setuju untuk menyebarkan kesepakatan tersebut ke Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluah Koto serta Laras Nan Dua.

Laras atau lareh artinya aliran dari sistem pemerintahan. Di Minangkabau ada dua sistem, yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sistem Koto Piliang digagas oleh Datuak Katumanggungan, sedangkan Bodi Caniago dipelopori oleh Datuak Parpatih Sabatang (Navis: 1984: 55).

Sosok mereka bertiga sebagai keturunan yang menerapkan sistem pemerintahan pertama kali di Laras Nan Dua memberikan nilai tersendiri dalam membuat aturan warisan baru dalam adat Minangkabau. Penyebaran aturan warisan tersebut tidak menemui kesulitan karena sosok ketiga datuak tersebut sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Berdasarkan hal tersebut, hubungan mamak dan kemenakan mempunyai aturan sendiri dalam adat Minangkabau. Seiring berjalannya waktu, aturan hubungan mamak dan kemenakan berkembang dengan bertambahnya tanggung jawab yang dimiliki oleh mamak kepada kemenakan. Selain memberikan warisannya, mamak juga harus menjaga harta pusaka keluarga, mendidik kemenakan, serta melindungi saudara perempuan dan kemenakannya. Oleh karena itu, hubungan mamak dengan kemenakan dianggap lebih kuat dibandingkan hubungan ayah dan anak (Samin, 1997: 59). Hal itu disebabkan kedudukan ayah dalam masyarakat Minangkabau termasuk ke dalam anggota keluarga asalnya sebelum menikah, sedangkan mamak termasuk ke dalam anggota keluarga ibunya

(14)

(samande8). Oleh karena itu, mamak ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan saudara perempuan dan kemenakannya.

4.1.1 Pengertian Mamak dan Kemenakan

Masyarakat Minangkabau memakai sistem matrilineal dalam garis keturunan. Dalam sistem tersebut, anak-anak masuk ke dalam suku ibunya, bukan suku ayahnya. Namun, dalam sistem tersebut yang berkuasa adalah laki-laki dari pihak ibu. Kekuasaan tersebut selalu didasarkan pada mufakat, seperti bunyi pepatah Minangkabau, kamanakan ba rajo ka mamak, mamak ba rajo ka mufakat9. Mamak adalah pemimpin dalam kaum atau sukunya atau saudara laki-laki dari pihak ibu (Samin, 1997:57). Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya bahwa kekuasaan keluarga Minangkabau berada di tangan mamak.

Oleh karena itu, setiap kemenakan diwajibkan untuk patuh kepada mamak. Setiap perkataan yang diperintahkan mamak wajib dilakukan oleh kemenakan. Perintah mamak yang diikuti oleh kemenakan menunjukkan dirinya dihormati sebagai pemimpin keluarga besar dan sukunya.

Seorang mamak berkewajiban mewakili keluarganya dalam pemilihan datuak10 (kepala kaum). Keinginan dan harapan keluarganya dapat terwakili oleh keberadaan mamak dalam pemilihan tersebut. Hal itu semakin menegaskan bahwa kedudukan mamak cukup tinggi dan dihormati (Elfira, 2000: 14). Terlebih lagi, ada yang menggambarkan kedudukan mamak dengan menempatkan perintahnya di atas perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat (Samin, 1997: 39). Gambaran tersebut juga dapat menunjukkan bahwa zaman dahulu adat Minangkabau memegang peranan penting dalam setiap sisi kehidupan masyarakatnya.

8Mandèh—má, iboe. Moehammad Thaib& Soetan Pamoentjak,Kamoes Bahasa Minangkabau

Bahasa Melajoe, (Department Van Onderwijs En Eerdienst:1934), hlm. 149

9kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada mufakat. Dapat diartikan, kemenakan

selalu mendengar apa pun yang dikatakan mamak, sedangkan mamak dalam mengambil keputusan untuk hal apa pun harus dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk mencapai mufakat.

10

Datuak adalah kepala suku yang dipilih oleh beberapa nagari. Biasanya pemilihan datuak tersebut berdasarkan nama baik keluarga, pendidikan, dan jabatannya. Selain itu, Datuak bisa juga

(15)

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan adat setelah disesuaikan dengan situasi saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan tersebut, antara lain pendidikan, tempat tinggal, dan pola pikir. Namun, perubahan tersebut tidak membuat adat hilang begitu saja karena sudah mengakar pada masyarakat adat tersebut. Gejala perubahan sosial tersebut merupakan gambaran masyarakat adatnya yang dinamis dan terbuka terhadap pandangan lain.

Berdasarkan hubungan kekerabatan dengan saudara perempuannya, mamak meliputi mak adang11 dan mak etek12.Mak adang adalah panggilan bagi saudara laki-laki ibu yang lebih tua, sedangkan mak etek adalah panggilan bagi saudara laki-laki ibu yang lebih muda (Elfira, 2000:13). Selain itu, berdasarkan cakupan wilayahnya, mamak dalam masyarakat Minangkabau diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu

1. mamak rumah adalah saudara sekandung laki-laki ibu atau garis ibu “serumah gadang” yang terpilih menjadi wakil pembimbing anggota garis ibu terdekat. Tugasnya adalah memelihara, membina, dan memimpin kehidupan jasmaniah maupun rohaniah kemenakan-kemenakannya.

2. mamak kaum adalah seseorang yang dipilih di antara beberapa rumah atau

tungganai yang terikat dalam hubungan darah (geneologis) yang disebut kaum. Mamak kaum bertugas mengurusi kepentingan-kepentingan kaum. 3. mamak suku adalah orang yang menjadi pimpinan suku. Orang-orang

yang sesuku adalah satu keturunan menurut garis ibu dan satu sama lainnya merasakan dirinya berdusanak(bersaudara) ( Samin, 1997: 41).

Jadi, mamak di Minangkabau mempunyai tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan tingkatannya.Walaupun berbeda tingkatan, ia tetap menjadi pembimbing bagi kemenakan. Di sisi lain, hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau tidak dibatasi oleh hubungan darah. Dalam struktur kebudayaan Minangkabau ada 4 jenis kemenakan,yaitu

1. kamanakan di bawah daguak (dagu), yakni kemenakan yang ada hubungan darah dengan mamak, baik yang dekat maupun yang jauh. Dalam hal ini, pengertian jauh dan dekat ditujukan pada jarak tempat tinggal mamak dan kemenakan. Selain itu, kemenakan tersebut berhak menerima warisan gelar dan harta pusaka dari kemenakannya.

(16)

2.kamanakandi bawahdado (dada), yakni kemenakan yang ada hubungan dengan mamak karena suku sama, tetapi penghulunya13 lain. Contohnya, si mamak dan kemenakan berasal dari suku Caniago tetapi pemimpin sukunya berasal dari suku Piliang.

3. kamanakan di bawahpusek(pusar), yakni kemenakan yang ada hubungan dengan mamak karena sukunya sama, tetapi berbeda nagarinya. Contohnya, si kemenakan bersuku Piliang tinggal di Tanah Datar namun mamaknya yang bersuku sama tinggal di Agam. Kemenakan golongan ini tak berhak menerima warisan gelar namun terbuka kemungkinan mendapatkan warisan harta pusaka.

4. kamanakan di bawahlutuik (lutut), yakni kemenakan yang berbeda suku dan nagari tetapi meminta perlindungan di tempatnya. Mamak bersedia menerima orang tersebut karena dapat membantu dan mendidiknya menjadi yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, kemenakan tidak berhak mendapatkan warisan gelar maupun harta pusaka. Namun, ia dapat memperoleh banyak pelajaran dari mamaknya (Navis, 1984: 136).

Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau tidak hanya dibatasi oleh pertalian darah. Peran mamak terhadap kemenakan kandung sama saja dengan perannya kepada kemenakan angkat. Hal itu disebabkan tidak ada pembedaan bagi mamak menjalankan perannya dalam membimbing kemenakan. Selain itu, penggolongan kemenakan di atas juga berkaitan dengan pembagian warisan keluarga secara matrilineal.

4.1.2 Peran Mamak dalam Kehidupan Kemenakan Dulu dan Kini

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mamak berperan penting bagi kehidupan kemenakannya karena ikut bertanggung jawab dalam membimbing kemenakan. Dalam sistem matrilineal, pihak laki-laki di Minangkabau mempunyai peran ganda dalam kehidupannya, yaitu pelindung untuk anak dan kemenakannya. Oleh karena itu, adat mengumpamakan mamak sebagai payung yang akan dipakai di kala hujan dan ayah adalah payung yang akan dipakai di kala panas ( Nasroen, 1971: 156). Jadi, anak yang lahir di Minangkabau mempunyai pelindung kedua, selain kedua orang tuanya. Mereka dapat bergantung pada mamaknya dalam hal apa pun, seperti rasa takut dan sedih. Kemenakan berhak

13 Penghulu berasal dari kata hulu dengan awalan peng. Penghulu ialah pemimpin suku. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm.

(17)

mendapatkan perlindungan dari mamak karena hal tersebut merupakan salah satu tanggung jawab mamak.

Selain sebagai pelindung, mamak juga berperan dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi saudara perempuan dan kemenakannya. Masalah yang terjadi dapat dicari jalan keluarnya oleh mamak. Salah satu contohnya adalah masalah keuangan yang dihadapi kemenakan. Mamak akan berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pekerjaan atau mengikutsertakannya dalam mengelola sawah dan ladang sebagai harta pusaka. Jika kedua penyelesaian tersebut belum mampu menolong kemenakannya, beberapa bagian harta pusaka dapat dijadikan modal usaha bagi kemenakannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat mamak tidak akan memberikan penyelesaian jangka pendek karena akan merugikan kehidupan kemenakannya di masa datang. Oleh karena itu, mamak memikirkan penyelesaian yang dapat menolong kemenakannya dalam jangka waktu lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamak berusaha selalu memberikan solusi untuk masalah yang muncul dalam kehidupan kemenakan. Pemecahan masalah yang diberikan oleh mamak selalu mengutamakan kepentingan kemenakan.

Mamak juga bertanggung jawab dalam mengurusi warisan keluarga. Warisan dibagi dua, yaitu sako dan pusako. Sako adalah jabatan atau gelar, sedangkan pusako adalah harta benda (Navis, 1984: 159). Biasanya, sako

diwariskan kepada kemenakan laki-laki, sedangkan pusako diberikan kepada kemenakan perempuan. Selain memberikan warisan keluarga, ia tetap berkewajiban untuk mengembangkan harta pusaka demi kesejahteraan keluarga besarnya. Pengelolaan harta pusaka keluarganya berada di bawah kendali mamak. Semua kegiatan yang menggunakan harta pusaka pun harus seizin mamak dan hasil mufakat keluarga besar. Hal itu disebabkan peran mamak sebagai pemimpin dalam keluarganya. Jadi, mamak harus mempertimbangkan segala aspek kehidupan yang baik bagi kemenakan, termasuk pengelolaan harta untuk kehidupan kemenakan yang akan datang.

Pendidikan yang dijalani oleh kemenakan pun tidak luput dari peran mamak. Ia bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan formal dan pendidikan agama bagi kemenakan (Samin, 1997: 61). Sistem kekerabatan yang

(18)

matrilineal menyebabkan seorang suami berada di luar keluarga istrinya. Hal tersebut memungkinkan kurangnya kewajiban dan peran ayah dalam pendidikan anaknya karena anak yang lahir dari perkawinan tersebut langsung masuk ke dalam anggota suku istrinya. Jadi, sudah menjadi kewajiban mamak untuk mendidik kemenakannya.

Kewajiban mamak terhadap pendidikan kemenakannya, termasuk menangani masalah keuangan dalam proses pendidikan. Jika orang tua kemenakan kurang mampu melengkapi kebutuhan sekolahnya, mamak akan membantu sesuai dengan kebutuhan kemenakan. Jadi, mamak wajib membantu kemenakannya yang berada dalam kesusahan dengan segala daya upayanya.

Mamak juga berkewajiban memberikan pengetahuan lain di luar pendidikan formal, seperti tata cara dalam upacara adat Minangkabau dan strategi menghadapi kehidupan pada waktu yang akan datang. Mamak memberikan kesempatan kemenakan ikut berperan aktif dalam pelajaran tersebut. Salah satunya, mengikutsertakan kemenakan dalam acara perundingan antarnagari dan perkawinan adat agar mendapatkan pengetahuan secara langsung. Mamak berharap kemenakannya berwawasan luas mengenai adat dan dapat menggantikan dirinya jika dirinya sudah tiada.

Ketika kemenakan sudah dewasa, mamak juga bertanggung jawab untuk mencarikan jodoh bagi kemenakannya. Mamak mempunyai berbagai macam pertimbangan dalam memilih jodoh bagi kemenakannya, antara lain agama, keluarga, dan pendidikan. Jumlah kekayaan tidak menjadi pertimbangan dalam mencari jodoh kemenakannya karena itu dapat dicari dengan kerja keras. Pilihan yang diberikan mamak harus diterima oleh kemenakan dengan lapang dada. Hal itu terjadi dengan pertimbangan bahwa pilihan mamak adalah sesuatu yang terbaik bagi kemenakannya. Sama dengan pendidikan dan perlindungan, mamak pasti akan mengutamakan kepentingan kemenakan dalam calon jodoh. Selain itu, keputusan mamak tentang jodoh bagi kemenakannya sudah melalui musyawarah dengan golongan tua lainnya. Jadi, sudah dibicarakan baik dan buruknya bagi kehidupan perkawinan kemenakan.

Tidak hanya itu, mamak juga ikut membantu menangani masalah perekonomian rumah tangga kemenakan. Mamak ikut mencarikan tempat tinggal

(19)

yang baik bagi kemenakan dan keluarganya, serta membantu mencarikan pekerjaan bagi suami kemenakan yang belum mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut membuktikan bahwa mamak tidak lepas tanggung jawab sewaktu kemenakannya sudah menikah. Mamak masih bertanggung jawab kepada kemenakannya semasa hidupnya.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa peran mamak dalam kehidupan kemenakan cukup besar. Ia berperan sebagai ayah bagi keluarga Minangkabau karena ikut bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakan sejak kecil hingga dewasa. Meskipun mamak ikut bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakan, ia berusaha untuk tidak menggantikan peran ayah dalam kehidupan anaknya. Hal ini senada dengan istilah,anak dipangku, kamanakan dibimbing. Kewajiban ayah memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarganya, serta mendidik keluarganya, sedangkan mamak ikut membantu memenuhi kebutuhan saudara perempuan dan kemenakannya, serta mendidiknya dengan tata kelakuan adat Minangkabau. Hal itu dilakukan agar kemenakan tidak lupa dengan ajaran adat asalnya.

Selain itu, ia juga berperan dalam menjaga harta pusaka. Pemeliharaan harta pusaka ini dilakukan agar dapat digunakan sebaik-baiknya ketika dibutuhkan oleh kemenakan dan keluarga besar. Harta pusaka ini dapat digunakan bagi saudara perempuan yang membutuhkan dan memenuhi keperluan kemenakan, serta anggota keluarga yang sedang mengalami kesusahan.

Saat ini, peran mamak dalam keluarga Minangkabau sudah berkurang dibandingkan dahulu. Hal itu dapat terlihat dari hubungan ayah dan anak yang lebih kuat daripada hubungan mamak dan kemenakan. Ayah berperan besar dalam membesarkan dan mendidik anaknya daripada mamaknya. Contoh lainnya, terlihat dari peran mamak dalam menentukan jodoh bagi kemenakan yang tidak terlalu besar. Saat ini, peran mamak hanya sebagai penasehat bagi kemenakan dalam memilih jodoh. Pandangan itu berlandaskan bahwa kemenakanlah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga, tentu ia akan mencari seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya nanti.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan berkurangnya peran mamak dalam kehidupan kemenakan, antara lain semakin kuatnya hubungan keluarga

(20)

batih (inti) daripada keluarga samande (seibu). Jadi, kedua orang tua memegang peranan penting dalam membesarkan anaknya, terutama ayahnya. Dulu, ayah kandung hanya bertanggung jawab dalam pengasuhan anak ketika kecil. Setelah itu, tanggung jawab mamaklah untuk mendidik dan membimbing kemenakannya. Namun, sekarang tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik diserahkan sepenuhnya kepada ayahnya. Hal ini mengakibatkan perubahan kedudukan ayah dalam masyarakat Minangkabau, dulu dianggap sebagai oranglua(luar) bagi istri dan anaknya, namun sekarang sudah memiliki otoritas penuh sebagai kepala keluarga.

Budaya merantau juga turut serta dalam perubahan peran mamak terhadap kemenakan. Sistem patrilineal yang berbeda dengan sistem matrilineal di Minangkabau memberikan pandangan lain tentang peran ayah dan mamak dalam kehidupan kemenakan bagi keluarga Minangkabau yang merantau. Kebanyakan masyarakat Minangkabau di perantauan menempatkan peran ayah di atas peran mamak dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Perubahan tersebut dapat membuktikan bahwa adat Minangkabau sejalan dengan agama Islam.

Oleh karena itu, peran mamak saat ini meliputi menjaga nama baik suku dan kaumnya serta mengikuti upacara adat Minangkabau. Meskipun perannya berkurang, tidak menghilangkan keberadaannya di keluarga Minangkabau. Hal itu disebabkan dengan sistem matrilineal yang masih dianut oleh Minangkabau. Di samping itu, perubahan peran ini dapat memperjelas batas kewajiban masing-masing pihak dalam kehidupan kemenakannya. Ayah adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anaknya dibandingkan mamaknya. Begitu pula saat kemenakan sudah menikah, suami adalah orang yang wajib dipatuhi oleh istrinya.

4.2 SinopsisDidjemput Mamaknja

Sebelum memasuki analisis tema dan tokoh Didjemput Mamakanja, penulis memberikan sinopsis Didjemput Mamaknja agar dapat memudahkan pembaca memahami bahasan selanjutnya. Bahasan ini sengaja diletakkan sebelum memasuki analisis tema dan tokoh, bukan pada lampiran agar memudahkan pembaca dalam membacanya. Selain itu, penulis menjadikan sinopsis menjadi

(21)

subbab sendiri agar tidak menimbulkan kerancuan jika digabungkan dalam subbab yang lain.

Cerita Didjemput Mamaknja diawali dengan pertemuan seorang penjual kulit kasur dengan pengguna jasanya. Penjual kulit kasurnya bernama Musa dan pengguna jasanya adalah Engku. Suatu hari, Engku ingin mengganti kulit kasur yang sudah lama rusak. Engku ini digambarkan sebagai seorang penulis. Sebenarnya, pagi hari itu, ia harus pergi ke kantor namun hatinya lebih memilih untuk melihat tukang kasur yang sedang mengganti kulit kasur anak-anaknya.

Ternyata, Engku dan Musa terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang kehidupan Musa. Ia mendengarkan dengan jelas setiap peristiwa yang diingat kembali oleh Musa. Kejadian tersebut sudah cukup lama dialami oleh Musa. Meskipun lelah melakukan pekerjaannya, Musa terlihat semangat untuk menceritakan apa yang telah dialaminya.

Kilas balik kehidupan Musa diawali dengan gambaran kerja kerasnya untuk mencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Selama dua tahun di perantauan, Musa dan istrinya, Ramah, mendapatkan seorang putra yang bernama Fauzi. Ia tidak kenal lelah menjajakan jualannya meskipun kadang-kadang pulang tanpa membawa hasil. Namun, ketidakberhasilan dan kelelahan Musa dapat terobati oleh kehadiran istri dan anak yang selalu mendukungnya. Ramah, sebagai istri, menerima dengan tulus apa pun yang didapatkan Musa dari usahanya.

Namun, ketulusan istrinya yang menerima kehidupan sulit di rantau menimbulkan kekhawatiran dalam diri Musa. Ia takut Ramah akan tersiksa hidup dalam kemiskinan karena ia berasal dari keluarga yang kaya. Selain itu, kekhawatiran Musa juga ditimbulkan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi keinginan keluarga besar Ramah. Mereka menginginkan Ramah dapat hidup lebih baik secara materi setelah menikah dengan Musa.

Ramah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya menikah dengan laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan materi dengan baik bagi keluarga Ramah. Suami kakak Ramah adalah saudagar besar di Bengkulu, sedangkan suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung. Pernikahan Musa dengan Ramah sudah melalui aturan adat yang berlaku. Musa adalah suami pilihan mamak dan Ramah menerima apa pun yang telah ditetapkan mamaknya.

(22)

Pada awal pernikahan Musa dan Ramah sudah timbul konflik yang diakibatkan oleh kedua saudara Ramah. Musa dan Ramah tinggal di rumah keluarga Ramah pada awal pernikahan. Kedua saudara Ramah selalu menyindir ketidakmampuan Musa dalam memberikan yang sama baiknya dengan suami mereka. Keadaan tersebut dihadapi Ramah dengan tenang dan berusaha menguatkan hati suaminya. Ia pun tidak menunjukkan rasa kesal dan marah terhadap ulah kedua saudaranya. Ramah tetap menghormati suaminya dan tidak mengacuhkan perkataan saudaranya.

Hal yang sebaliknya terjadi pada diri Musa, ia semakin merasa rendah diri dan tertekan dengan perkataan dan tingkah laku yang dilakukan oleh keluarga besar Ramah. Pada akhirnya, ia sempat berhari-hari tidak pulang ke rumah tersebut. Selama tidak pulang ke rumah tersebut, ia tinggal di rumah ibunya. Setelah itu, muncul keinginannya untuk merantau agar dapat menyelesaikan masalah yang ada. Ia meminta izin kepada ibunya untuk mengupas batang kayu manis yang ditanamnya sembilan tahun yang lalu untuk dijadikan ongkos merantau.

Saat membayangkan harga batang kayu manis yang akan dijualnya, Musa melihat Ramah berjalan menuju rumah ibunya dengan muka sedih. Ramah langsung menuangkan kesedihannya kepada Musa. Ia meminta Musa untuk pulang bersamanya sambil menangis. Melihat keadaan tersebut, Musa pun menyampaikan isi hatinya kepada Ramah. Ia merasa tertekan dengan keadaan di rumah gadang, ditambah lagi dengan ketidakhadiran mamak dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Musa pun mengungkapkan bahwa perasaan sayangnya kepada Ramah tidak berubah sedikit pun.

Mendengar pernyataan Musa tersebut, Ramah meminta maaf dan memintanya kembali tinggal di rumah keluarganya demi keutuhan rumah tangga mereka. Namun, Musa menyatakan keinginannya untuk merantau kepada Ramah. Tanpa diduga oleh Musa, Ramah menyatakan keinginannya untuk ikut serta merantau meskipun Musa sudah menggambarkan kehidupan sulit yang akan ditempuh selama merantau.

Oleh karena itu, Musa merasa senang karena istrinya setia mendampingi apa pun keadaannya. Keinginan merantau pun mereka sampaikan kepada keluarga

(23)

Ramah. Tanggapan negatif yang diberikan oleh keluarga Ramah tidak menyurutkan keinginan Ramah merantau bersama suaminya. Akhirnya, Musa dan Ramah merantau ke Deli.

Di Deli, Ramah hidup dalam keadaan yang berbeda dengan di kampung. Ia tinggal di rumah yang kecil dan hidup dalam kekurangan. Namun, keadaan tersebut tidak menimbulkan masalah untuknya. Ia lebih mementingkan kebebasan dalam mengatur rumah tangganya dan hal tersebut menimbulkan kebahagiaan untuknya. Begitu pula dengan Musa, ia merasakan kebahagiaan rumah tangga selama di rantau. Setelah lelah berkeliling menjajakan jualannya, ia selalu disambut dengan senyuman oleh istrinya. Pada saat di kampung, ia selalu menjadi pusat perhatian keluarga Ramah setelah pulang mencari nafkah, mereka ingin melihat apa yang dapat diberikan Musa kepada Ramah. Dapat dikatakan, selama di rantau Ramah dan Musa baru menemukan kebahagiaan sebenarnya dari berumah tangga. Di rantau pula, mereka mendapatkan seorang anak yang diimpik an selama berumah tangga.

Kebahagiaan Ramah dan Musa tidak berlangsung lama karena mamak datang ke Deli untuk membawa pulang Ramah dan Fauzi ke kampung. Keluarga besar Ramah dan mamak mendengar kabar dari orang kampung yang pulang dari Deli bahwa Ramah tersiksa dalam perantauannya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa Ramah kembali ke kampung sebagai bentuk pertolongan.

Keputusan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak pulang ke kampung dan menjelaskan keadaan rumah tangganya yang sebenarnya kepada mamak. Ia tidak merasa kesulitan hidup dalam kekurangan. Baginya, kebahagiaan rumah tangga tidak dapat dilihat dan dinilai secara materi. Mamak pun melakukan segala upaya agar Ramah dapat pulang bersamanya. Namun, Ramah tetap menolaknya karena keinginannya menjaga kebahagiaan dan keutuhan rumah tangganya.

Perlawanan Ramah kepada keinginan mamaknya tidak diikuti oleh Musa. Ia mengizinkan mamak membawa Ramah dan Fauzi kembali ke kampung. Tidak hanya itu, Musa pun menolak keinginan mamak untuk membiayai kepulangan Ramah dan Fauzi pulang ke kampung. Ia menyatakan kesanggupannya untuk

(24)

membiayai kepulangan istri dan anaknya, serta mamak. Musa pun mencari pinjaman kepada temannya untuk membiayai ongkos pulang kampung ketiganya.

Dengan kesedihan yang mendalam, Ramah mengikuti keinginan suaminya. Ramah meminta kepada Musa untuk tidak menceraikannya. Musa pun langsung mengiyakan permintaan istrinya karena ia pun tersiksa jauh dari istri dan anaknya, apalagi jika mereka bercerai. Selama Ramah di kampung, ia mengirim kabar kepada Musa melalui surat. Ia menyatakan keinginannya lagi agar tidak diceraikan oleh Musa. Selain itu, ia juga menceritakan penilaian orang-orang di kampung tentang mereka berdua selama di rantau.

Musa juga merasakan kesedihan saat dipisahkan dari istri dan anaknya oleh mamak. Namun, dia tidak berdaya untuk menjemput kembali istrinya yang berada di kampung. Terlebih lagi, ia sempat berpikir untuk menceraikan Ramah, sama seperti yang diinginkan keluarga besarnya. Pikiran buruk tersebut cepat dihilangkan dari kepalanya. Ia menyadari tidak ada yang salah dalam rumah tangganya. Oleh karena itu, ia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa ada perjuangan untuk menjemput anak dan istrinya di kampung. Ia tetap mengirimkan uang kepada Ramah sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Perjuangan Musa belum dirasa cukup oleh keluarga Ramah. Oleh karena itu, mereka meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Ramah pun menolak untuk mengabulkan permintaan tersebut. Namun, keluarga besar Ramah dan mamak tidak henti-hentinya memaksakan keinginan tersebut. Akhirnya, Ramah menuruti keinginan mamak dan ibunya. Ia diantarkan oleh ibunya ke musola untuk meminta taklik kepada kadi. Saat meminta taklik kepada kadi, Ramah berurai air mata mengucapkan keinginannya tersebut.

Tak lama kemudian, ada wakil dari kampung yang mengantarkan surat taklik kepada Musa. Saat membaca surat tersebut, Musa menyadari bahwa Ramah dan dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan mamak dan keluarga besar Ramah dalam rumah tangganya. Musa pun merasakan kehilangan karena ia tidak dapat lagi melihat buah hatinya bersama Ramah, Fauzi.

Di akhir ceritanya kepada Engku, Musa menitikkan air mata sebagai wujud kesedihannya. Engku pun terlihat bersimpati terhadap keadaan Musa. Ia pun membayar upah Musa melebihi bayaran yang seharusnya diterima.

(25)

4.3 Analisis Tema dalamDidjemput Mamaknja

Seperti yang telah diungkapkan dalam tujuan, penulis akan menganalisis dua unsur intrinsik dalam Didjemput Mamaknja, yaitu tema dan tokoh. Dalam subbab ini, akan dibahas mengenai definisi tema dan mengaitkannya dengan

Didjemput Mamaknja. Saat membaca sebuah novel, terlebih dahulu kita mengikuti apa yang disampaikan pengarang untuk mengetahui isi ceritanya. Kadang-kadang kita larut ke dalam ceritanya dan ikut bersimpati dengan apa yang dialami oleh tokoh ciptaan pengarang. Namun, dapat terjadi hal yang sebaliknya, pembaca tidak mengerti apa yang disampaikan oleh pengarang. Oleh karena itu, kewenangan pengarang dalam menciptakan suatu karya juga ikut mempengaruhi keberhasilan penyampaian pesannya kepada pembaca.

Pesan yang ingin disampaikan pengarang berdasarkan pemikiran yang ingin dituangkannya dalam suatu karya. Pemikirannya tersebut dapat terinspirasi dari kehidupan pribadi atau masalah yang sedang dialami oleh orang lain. Hal tersebut dapat memunculkan suatu gagasan yang akan mengikat keseluruhan ceritanya. Hal itu dilakukan agar pesan yang ingin disampaikan pengarang dapat dimengerti oleh pembaca.

Gagasan yang mendasari suatu cerita itulah yang dinamakan tema dari karya sastra. Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988:50). Dalam penciptaan karya sastra, pengarang mempunyai kewenangan besar menentukan apa yang ingin disampaikannya. Oleh karena itu, setiap pengarang mempunyai alasan tertentu membahas tema yang diinginkannya dalam karyanya.

Menurut penulis, tema dalamDidjemput Mamaknjaadalah kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya kepada kemenakan. Dalam novel ini, mamak digambarkan sebagai sosok pemimpin yang keras dalam menentukan apa yang terbaik Ramah, kemenakannya. Ia tidak memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan Ramah, tetapi sibuk menjaga citra baiknya kepada orang-orang sekitar tempat tinggalnya.

Selain menjadi pemimpin yang otoriter, mamak juga digambarkan sebagai pemimpin yang tidak konsisten dengan apa yang telah dipilih sebelumnya. Ia adalah orang yang bertanggung jawab saat menjodohkan Musa dengan Ramah,

(26)

kemenakannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pula yang menyebabkan rumah tangga Ramah dan Musa berakhir. Di matanya, Musa tidak dapat memenuhi harapannya untuk membahagiakan Ramah secara materi.

Sudah sekian lama merantau, sebuahpun tidak ada jang dapat. Sudah melarat dan sengsara di rantau orang, menurutkan suami jang rupanya tidak sanggup mentjarikan nafkah dan makan minum. Padahal dikampung sendiri bukanlah engkau terhitung orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukanlah kau anak terbuang. Ada kau berumah tangga, mengapa engkau pergi tinggal dirumah petak buruk jang tidak tentu ekor kepalanja ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi bukan sempit, bukan sehingga tidak masuk tjahaja matahari seperti ini”. (Hamka, 1962: 17—18).

Mamak terlihat begitu mudah mengubah keputusannya yang berkaitan dengan kehidupan Ramah. Ia terlihat hanya mengandalkan kekuasaannya untuk mengubah kehidupan Ramah yang miskin di rantau. Menurutnya, dengan membawa Ramah pulang ke kampung untuk hidup dalam keadaan berkecukupan adalah jalan keluar yang baik bagi kelangsungan hidup Ramah ke depan. Meskipun telah mendengar pendapat dari Ramah mengenai kebahagiaan dan ketenangan yang didapatkannya selama di rantau, mamak tetap pada pendiriannya.Tindakan itu terjadi karena menganggap dirinya adalah pemimpin yang sudah mengerti kemauan Ramah. Jadi, pernyataan Ramah tidak didengar olehnya.

Kekuasaan mamak yang besar dalam kehidupan rumah tangga Ramah menimbulkan berbagai konflik yang merugikan Ramah sebagai kemenakan. Dalam adat Minangkabau, mamak wajib memberikan sesuatu yang terbaik dan menjamin kebahagiaan kepada kemenakan. Hal itu berdasarkan tanggung jawabnya sebagai pelindung dalam kehidupan kemenakan dan saudara perempuannya. Namun, hal tersebut tidak didapatkan Ramah selama menjalani rumah tangga dengan Musa. Kehadiran mamak dalam rumah tangga Ramah menyebabkan kebahagiaan yang telah didapatkannya hilang begitu saja. Hal itu disebabkan oleh cara pandang mamak dalam menilai sesuatu yang hanya terfokus pada dirinya.

(27)

,,Apa jang engkau susahkan? Bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku,berlembaga, berkampung halaman? Biar ajahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minangkabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar jang akan dipakainya gelar mamaknja. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunja berlain djuga dengan suku anakmu. (Hamka, 1962: 21).

Hal itulah yang menimbulkan berbagai konflik dalam kehidupan rumah tangga Ramah. Kekuasaan mamak yang begitu besar menciptakan berbagai konflik, seperti rumah tangga Ramah dengan Musa, konflik saat Musa tinggal di rumah gadang, dan keluarga Musa dan Ramah yang saling memojokkan. Menurut Nurgiyantoro (1995), tema adalah hal yang mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, situasi, dan konflik, serta unsur intrinsik lainnya. Kejadian dan konflik yang terjadi dalam Didjemput Mamaknja bersumber pada hal yang sama, yaitu kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pembimbing dan pelindung bagi kemenakan. Ia merasa berhak untuk turut campur dalam kehidupan rumah tangga Ramah tanpa menghiraukan posisi Musa yang telah menjadi suami dan pemimpin bagi Ramah, istrinya.

Dalam menemukan tema sebuah karya sastra harus diamati berdasarkan keseluruhan cerita, tidak hanya berlandaskan sebagian cerita. Hal itu dapat dilihat dari elemen-elemen pendukung sebuah cerita. Dialog-dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain menjadi media pengarang untuk menyelipkan temanya. Selain itu, ada unsur intrinsik yang perlu diperhatikan dalam menentukan tema, seperti latar, tokoh, alur, penokohan, dan plot. Menurut penulis, menemukan tema pada Didjemput Mamaknja lebih mudah ditelusuri dengan gambaran tokoh. Hal tersebut berdasarkan karakter tokoh dan dialognya menggambarkan dengan jelas kekuasaan mamak yang terlalu kuat dalam kehidupan Ramah yang sudah menikah.

Dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah kritik terhadap salah satu adat Minangkabau yang ingin disampaikan oleh Hamka, sebagai kaum muda. Pada tahun 1920-an banyak terjadi pertentangan mengenai pelaksanaan adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan agama Islam di Sumatra

(28)

Sumatra Thawalib pada masa itu. Ia pun ikut menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan adat melalui berbagai buku dan karya sastra yang ditulisnya. Tidak hanya Hamka, tetapi ada Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Sutan Pamuntjak dan Abdul Moeis yang menggunakan karya sastra pula sebagai wadah untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap kondisi pelaksanaan adat saat itu (Ali, 1994:109—130).

Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan tanggung jawab mamak terhadap kemenakan yang dinilai sewenang-wenang saat itu. Seorang pengarang memilih dan membahas peristiwa kehidupan dan berbagai masalah hidup menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan (Nurgiyantoro, 1995: 71). Oleh karena itu, tema yang dibahas dalam

Didjemput Mamaknja berkaitan dengan kehidupan Hamka, yaitu adat Minangkabau dan Islam. Pengarang karya fiksi tidak mungkin mencipta tanpa didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap realitas. Oleh karena itu, dalam novel tersebut terlihat Hamka mengkritik tindakan mamak yang sewenang-wenang kepada Ramah. Ia menilai tindakan mamak tersebut sudah tidak sejalan dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau.

Di samping kehidupan pengarang, ada faktor lain yang mempengaruhi tema dari karya sastra, salah satunya keinginan pasar. Karya sastra yang dinikmati oleh pembaca membuat keberadaannya berarti di masyarakat. Salah satu ciri karya sastra yang baik adalah mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat. Pengarang pun tentu menginginkan karya sastra yang ditulisnya dibaca oleh orang banyak (Sudjiman, 1988: 54). Oleh karena itu, keinginan pasar pada masa tertentu dapat mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karyanya.

Hal itu pun dilakukan Hamka saat menghasilkan karya sastranya yang bertemakan masalah adat. Pada tahun 1920—1940, banyak kaum muda Minangkabau yang mengkritik adat Minangkabau lewat tulisannya (Ali, 1994: 13—14). Banyaknya novel yang dihasilkan pada masa itu, tentu mempengaruhi apresiasi pembaca terhadap tulisan tersebut. Sepertinya, Hamka tergerak pula untuk menyampaikan pemikirannya tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang

(29)

tidak sejalan dengan Islam. Hal itu sejalan dengan keinginan Hamka untuk tetap berdakwah dalam tulisannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat dalam berbagai karya sastranya, Hamka memasukkan pemikiran mengenai menjalani hidup harus berdasarkan Al-quran dan sunnah rasul. Hal itu dipengaruhi oleh pola mendidik orang tua dan sekolah yang sempat diikutinya menganut pemahaman agama Islam yang murni. DalamDidjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan bahwa mamak tidak berhak lagi memimpin Ramah karena ia sudah menikah dengan Musa. Perannya sudah digantikan oleh Musa sebagai kepala keluarga. Hal itu sejalan dengan pandangan Islam mengenai suami adalah kepala keluarga yang wajib dipatuhi oleh istrinya.

Selain itu, Hamka menunjukkan kekuasaan mamak yang terlalu besar dapat mendorong dirinya bertindak sewenang-wenang kepada kemenakan. Oleh karena itu, dalam novel ini tidak disebutkan mamak dari Ramah tersebut ada hubungan darah atau tidak dengannya. Hal itu juga didukung dari penyebutan tokoh mamak tanpa nama yang jelas. Sepertinya, Hamka sengaja tidak menyebutkan nama untuk memperluas jangkauan kritikannya. Dalam bab sebelumnya, telah dipaparkan mamak di Sumatera Barat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan wilayah kekuasaannya, yaitu mamak rumah, suku, dan kaum. Meskipun wilayah yang menjadi kekuasaannya berbeda-beda, ketiga jenis mamak tersebut tetap bertanggung jawab terhadap kehidupan kemenakan. Hal ini dapat menjadi dasar pemikiran Hamka memilih menggunakan kata mamak saja agar kaum tua yang pernah berlaku, seperti mamak dalam novelnya dapat melihat kembali akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.

Tindakan mamak yang menjemput Ramah, kemenakannya, dari Musa adalah gambaran kesewenang-wenangannya sebagai pelindung bagi Ramah. Mamak bertindak sebagai pihak yang aktif karena memaksakan kehendaknya untuk membawa Ramah kembali ke kampung dan meninggalkan suaminya di perantauan. Ditambah lagi, perannya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah menimbulkan kepercayaan diri yang sangat kuat untuk memaksakan keinginannya tersebut.

Selain dari tindakan mamak tersebut, judul dariDidjemput Mamaknjajuga turut menggambarkan mamak berperan sebagai pihak aktif. Berdasarkan kata

(30)

‘dijemput’ terlihat mamak yang terlebih dahulu melakukan tindakan kepada kemenakan. Di lain pihak, Ramah, sebagai kemenakan, hanya dapat menerima apa yang dilakukan mamak. Oleh karena itu, Ramah berperan sebagai pihak yang pasif karena mamak berkuasa dalam dirinya.

Kekuasaan mamak terhadap kemenakan digambarkan dengan proses satu pihak yang mempengaruhi pihak lain sehingga mengikuti keinginan pihak pertama. Pihak pertama maupun kedua dapat diwakili dengan orang atau sekumpulan orang. Pihak pertama dalam novel ini diwakili oleh mamak yang menunjukkan kekuasaannya sebagai pemimpin dalam keluarga Ramah. Kekuasaan dan kewenangan dalam suatu masyarakat mempunyai faktor penting sebagai pengikat atau pemersatu bagi masyarakat tersebut (Soekanto, 1992: 50). Penjemputan Ramah dari suaminya yang dilakukan mamak merupakan cara untuk menyelamatkan kemenakannya dari hidup miskin dan untuk menjaga nama baik keluarga Ramah.

Mamak melakukan musyawarah dengan golongan tua untuk memutuskan sesuatu yang baik bagi Ramah. Hal ini memang dilaksanakan sesuai dengan aturan adat Minangkabau, yaitu musyawarah dalam memutuskan sesuatu14. Namun, saat mamak bermusyawarah tidak menggunakan pengalamannya selama mendidik Ramah sewaktu kecil hingga dewasa. Tentu, ia dapat memahami apa yang diinginkan Ramah daripada orang lain. Seharusnya, kekuasaan itulah yang digunakan dalam memutuskan apa yang baik untuk rumah tangga Ramah. Selain itu, penjemputan tersebut sebagai ajang pembuktian bagi mamak untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam hidup Ramah. Mamak tidak ingin posisinya tergantikan oleh Musa.

Pihak kedua dalam novel ini diwakili oleh Ramah dan Musa. Mereka digambarkan mengikuti keinginan pihak pertama, yaitu mamak dengan pasrah. Perlawanan sempat dilakukan oleh Ramah namun tidak mengubah keputusan mamak untuk membawanya kembali ke kampung. Kekuasaan mamak dalam

14

Kamanakan barajo ka mamak. Mamak barajo ka panghulu. Panghulu barajo ka mupakaik. Mupakaik barajo ka alua jo patuik.(Kemenakan beraja ke mamak. Mamak beraja ke penghulu. Penghulu beraja ke mufakat. Mufakat beraja ke alur dan patut) Di dalam ungkapan tersebut digambarkan alur pengambilan keputusan yang harus dilalui oleh tiap orang dalam tingkatannya di Minangkabau. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau,

(31)

dirinya tidak memberikan peluang Ramah untuk berpendapat dan menentukan apa yang baik dalam rumah tangganya. Sebagai kemenakan, Ramah harus mematuhi mamak sebagai pemimpin dan orang yang mendidiknya sejak kecil hingga dewasa. Perlawanan yang sempat dilakukan Ramah tidak menimbulkan perubahan terhadap sikap mamak yang keras untuk membawanya pulang ke kampung.

Dalam kenyataannya, pelaksanaan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai cara, antara lain dengan demokratis, bebas, dan otoriter. Tindakan yang dilakukan mamak terhadap Ramah dalam Didjemput Mamaknja

termasuk ke dalam cara kepemimpinan yang otoriter. Ciri-ciri kepemimpian yang otoriter, seperti pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak, pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok, dan pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi kelompok (Soekanto, 1992:52). Mamak mengambil keputusan menjemput Ramah beserta anaknya dari Musa, suaminya, berdasarkan mufakat golongan tua tanpa proses mendengarkan pendapat Ramah dan Musa. Keinginan Ramah dianggap sudah terwakili oleh pendapat mamaknya sebagai pemimpin keluarganya. Jadi, tidak diperlukan lagi kehadirannya dalam musyawarah yang membahas kehidupan rumah tangganya dengan Musa.

Tema dari Didjemput Mamaknja juga dapat digolongkan ke dalam tema karya sastra yang bersifat tradisional. Dalam novel tersebut, penggambaran tokoh jahat dan tokoh baik tidak bertukar posisi dalam ceritanya. Hamka tetap mempertahankan hal tersebut agar pembaca dapat melihat akibat dari perbuatan masing-masing tokoh. Biasanya, tokoh baik akan mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalannya, sedangkan tokoh jahat akan mendapatkan kesusahan karena ulahnya. Namun, dalam novel ini yang terjadi sebaliknya, tokoh baik diatur kehidupannya oleh tokoh jahat. Kebahagiaan yang biasanya melekat pada tokoh baik, dalam novel ini dilekatkan pada tokoh jahat, yaitu mamak yang bahagia setelah berhasil membawa Ramah pulang ke kampung. Ramah sebagai tokoh baik mendapatkan kesedihan yang mendalam karena dipisahkan dari suaminya.

Tema tradisional adalah tema yang bersifat universal dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, seperti kebenaran dan keadilan melawan kejahatan, cinta

(32)

sejati menuntut pengorbanan, kawan sejati adalah kawan di masa duka, dan tindakan kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Nurgiyantoro, 1995: 77). Tema tersebut digemari oleh orang banyak dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan keinginan dasar setiap orang mengenai kebaikan yang menang melawan kejahatan. Selain itu, tema tersebut mempunyai kedekatan emosi dengan pembaca karena harapan yang dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan karya sastra dapat memotret apa yang terjadi dalam kehidupannya.

Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional memiliki keluwesan dalam menyampaikan ceritanya, seperti tokoh jahat dapat berubah menjadi baik pada pertengahan cerita, begitu pula sebaliknya. Jika dihubungkan dengan kehidupan nyata, hal itu pun dapat terjadi pada orang-orang sekitar kita. Seringkali, kita temui orang yang sering melakukan kejahatan dapat hidup dalam kesenangan, sedangkan orang yang jalan hidupnya lurus-lurus saja sering menemui kesulitan. Keadaan itu dapat menjadi refleksi keadaan sosial yang sesungguhnya dibandingkan dengan situasi hitam-putih yang sering muncul dalam tema tradisional.

Tema karya sastra yang bersifat tradisional maupun nontradisional mempunyai fungsi sastra yang sama dalam masyarakat, yaitu menghibur dan mendidik. Tema yang bersifat tradisional lebih memfokuskan pada harapan masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Diharapkan masyarakat dapat terpengaruh dengan kebaikan-kebaikan yang dimunculkan dalam cerita. Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional lebih menunjukkan adanya gejolak dalam kisahannya. Hal ini berkaitan dengan keinginan pengarang untuk menampilkan sesuatu yang lain agar karyanya nampak lebih nyata. Biasanya, akan dimunculkan tokoh baik dan tokoh jahat bertukar posisi dalam beberapa waktu. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa sesuatu dapat berubah karena dirinya sendiri yang melakukan tersebut. Oleh karena itu, pengarang berusaha memasukkan situasi nyata agar pembaca terdorong meniru perubahan baik yang ditampilkannya.

Sebuah karya sastra dapat menggambarkan realitas melalui kemampuan imajinasi pengarang. Keterkaitan antara realitas dan imajinasi tidak dapat

(33)

dipisahkan karena saling dibutuhkan. Fiksi mengandung penciptaan dan kreativitas pengarang dengan meniru model realitas kehidupan (Nurgiyantoro, 1995:104). Oleh karena itu, kemiripan fiksi dengan kenyataan adalah sarana pengarang untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca. Begitu pula dengan Didjemput Mamaknja, Hamka menciptakan situasi dan konflik antara mamak dan kemenakan sesuai dengan pandangan keduanya namun tetap berada dalam situasi sosial Minangkabau tahun 1920-an agar mudah dipahami oleh pembaca.

Dalam kehidupan nyata, mamak adalah orang yang bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakannya di Minangkabau. Tentu, pelaksanaan tanggung jawab tersebut untuk memberikan kebahagiaan bagi kemenakan. Namun, dalam novel ini, mamak kembali digambarkan sebagai orang yang memudahkan pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah. Keputusan yang diambilnya tidak mementingkan kebahagiaan Ramah.

Takut akan ditjeraikan suamimu? Apakah engkau suka djuga kepadanja? Seorang laki- laki yang tak patut ditumpang? Seribu laki-laki bisa kutjarikan. Kalau tidak dapat orang yang bergelar Datuk dan Sutan, tukang rumput pun kami sanggup tjarikan. Bukankah kami mamak-mamakmu ini orang buta! Sebetulnja persangkaanmu itu tidak boleh engkau kemukakan!” (Hamka, 1962: 21).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa mamak bertanggung jawab untuk memberikan suami baru bagi Ramah setelah ia bercerai dengan Musa. Bentuk penyelesaian yang ditawarkannya semakin menegaskan bahwa dirinya tidak memikirkan perasaan Ramah yang sudah begitu mencintai Musa sebagai suaminya. Ditambah lagi, Ramah tidak akan kembali percaya terhadap ucapan mamaknya mengenai suami pilihannya. Hal itu didasarkan oleh keadaan yang sedang dihadapinya saat itu. Musa adalah suami pilihan yang terbaik oleh mamak namun sekarang mamak yang menghina Musa karena tidak mampu memberikan kelimpahan materi kepada Ramah.

Lebih lanjut lagi, mamak pula yang berperan besar saat Ramah menceraikan Musa.

(34)

Tidak berapa lama kemudian, jang saja tunggu itupun datanglah. Seorang kawan saja, nama si Samah, jang datang dari kampung, membawa seputjuk surat dari tuan Kadi, mengatakan bahwa saja tidak beristeri lagi,, bahwa Ramah telah datang kepada tuan Kadi meminta putus.

Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar.

Tiba-tiba dia berkata: ,,Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, ,sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu. (Hamka, 1962: 30).

Tindakannya tersebut kembali menunjukkan kepemimpinannya yang otoriter. Ia hanya memikirkan kepentingan untuk menjaga nama baik dirinya sendiri. Dengan keputusan yang diambilnya, ia dapat menunjukkan bahwa dirinya dapat memberikan kehidupan yang layak bagi Ramah, sekaligus tetap mempertahankan citra keluarga Ramah yang baik kepada orang-orang di kampung. Dalam pengambilan keputusan tersebut, mamak menggunakan kekuasaannya terhadap kemenakan.

Hal itulah yang berkali-kali dibahas Hamka dalam Didjemput Mamaknja.

Ia menunjukkan kekuasaan tersebut melalui berbagai peristiwa yang dialami oleh Ramah dan Musa. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuasaan mamak yang berlebihan dapat menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang terhadap kemenakan. Dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut digambarkan merugikan kemenakan. Ramah hanya pasrah saat mamak membawa dirinya pulang kampung. Mamak melakukan tindakan tersebut agar Ramah berpisah dengan Musa dan lebih mudah mendesaknya untuk menceraikan Musa. Rasa sedih dan kehilangan yang dirasakan Ramah tidak diperhatikan oleh mamak saat memutuskan Ramah untuk bercerai dengan Musa.

Gambaran peristiwa tersebut merupakan salah satu cara Hamka menyindir masyarakat Minangkabau pada masa itu. Ia berani mengungkapkan kepincangan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam. Dalam novel ini, Hamka mengkritik kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawab kepada kemenakan. Rumah tangga Ramah dirugikan karena kuatnya kekuasaan pihak luar, seperti mamak dan keluarga besarnya. Selain itu, perceraian

Referensi

Dokumen terkait

Diperoleh total biaya operasional pendistribusian air Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) kabupaten Minahasa Utara sebelum dilakukan minimalisasi yaitu sebesar Rp. Biaya

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

Setelah dilakukan running pemodelan Alternatif 2 dengan software VISSIM diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari nilai

Sifat memperlakukan secara eksklusif oleh negara kepada calon peserta dan peserta pengampunan pajak dengan tidak melakukan pemeriksaan serta menangguhkan dugaan tindak

Menurut Abdul (2011), Bangunan yang terdapat di Bandar Taiping ianya masih boleh digunakan dan utuh hasil daripada peninggalan pihak British dan pedagang

Hasil dari penulisan menunjukkan bahwa: (1) Seorang sekretaris mempunyai peranan penting dalam suatu organisasi dituntut untuk menjadi sekretaris yang profesional

1.3 Predpostavke in omejitve raziskave Predpostavke: • glede na trende pozitivnega razvoja gradbeništva menimo, da ima proučevano podjetje še veliko možnosti razvoja, saj se ukvarja

Selanjutnya Chapman (2005), mengungkapkan bahwa pelajar yang belajar di negrinya sendiri, namun memiliki guru dari budaya yang berbeda, juga bisa mengalami gegar budaya