• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Ramah

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 69-72)

4.4 Analisis Tokoh dalam Didjemput Mamaknja

4.4.4 Keluarga Ramah

Dalam Didjemput Mamaknja, digambarkan ada dua saudara Ramah dan ibu Ramah yang berusaha memberikan yang terbaik kepada Ramah. Hal tersebut adalah salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap kehidupan Ramah setelah menikah dengan Musa. Namun, perhatian yang besar tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kebahagiaan Ramah.

Ibu dan kedua saudara Ramah selalu memandang kehidupan Ramah sesudah menikah sama harus sama dengan kehidupannya sebelum menikah. Mereka selalu mengomentari apa yang dilakukan Musa dan Ramah dalam urusan rumah tangganya. Hal tersebut cukup berpengaruh terhadap keutuhan rumah tangga Ramah ketika tinggal di rumah gadang.

Pada awal pernikahannya, Ramah tinggal bersama keluarga besarnya di rumah gadang. Kenyataannya, bukan kerukunan yang muncul dari kebersamaan tersebut, melainkan pertentangan yang dimunculkan oleh keluarga Ramah. Mereka tidak percaya bahwa Musa yang miskin dapat membahagiakan Ramah setelah menikah dengannya.

Mereka terheran, musjawarat apa pulakah jang akan timbul dari saja ? Adakah kesanggupan bagi saja untuk memperbaiki rumah, akan menambah dinding, akan menjisip atap, padahal mereka kenal bahwa belandja pekan sadja saja tak sanggup memenuhi kononlah memperbaiki rumah tempat tinggal. Mereka terkedjut lagi setelah mendengar dari mulut saja sendiri, bahwa pertemuan malam itu ialah sebagai saja meminta diri, sebab dua hari lagi saja akan berangkat bersama isteri saja, menudju tanah Deli.

Kelihatan betul terbajang dimuka mereka masing-masing rasa bentji dan dengki melihat saja akan berangkat. Isteri mereka masing-masing tentulah menurutkan alun dan ombak suami mereka pula.

Memang mereka tertjengang dan mereka bentji, sebab sebagai engki tahu djuga, dikampung kita pada umumnja, amatlah bangganja bagi satu mertua kalau sekiranja anak perempuan dibawa merantau, walaupun mertua itu, tidak akan tahu apa jang akan diderita, apa jang akan dimakan dan dimana rumah tempat anaknja menumpang diperantauan itu. (Hamka, 1962: 12).

Oleh karena itu, mereka juga tidak percaya bahwa Musa dapat memberikan kenyamanan kepada Ramah ketika di perantauan. Hal itu berdasarkan kerja keras yang dilakukan Musa saat di kampung tetap menghasilkan kekurangan dalam segi materi. Keadaan tersebut membuat mereka semakin yakin kehidupan Ramah dapat menjadi lebih buruk saat di rantau. Keluarga Ramah tetap menginginkan Ramah hidup dalam kondisi yang serba ada, sama seperti yang dijalaninya sebelum menikah.

Penilaian negatif mereka kepada Musa turut mempengaruhi kebahagiaan Ramah saat hidup bersama di rumah gadang. Ia tidak dapat secara bebas memberikan perhatian kepada Musa karena apa pun tindakannya menjadi sorotan keluarganya. Keluarganya selalu membandingkan tingkah laku Musa dengan suami kedua saudaranya yang berhasil dalam segi materi. Pada kenyataannya, Ramah dan Musa menyadari kelebihan yang dimiliki oleh suami kedua saudaranya. Namun, hal itu bukan hambatan bagi mereka berdua dalam menjalani hidup selanjutnya. Bagi Ramah dan Musa, dalam berumah tangga kekayaan bukan satu-satunya jaminan kebahagiaan.

Ibu Ramah dan dua saudara Ramah digambarkan begitu menginginkan Ramah tetap hidup seperti biasanya di kampung. Mereka tidak yakin bahwa Ramah dapat bertahan hidup dalam serba kekurangan di rantau. Oleh karena itu,

mereka tidak melakukan perlawanan saat mamak memutuskan untuk membawa Ramah dan anaknya pulang kampung. Bagi mereka, tindakan tersebut sudah sepantasnya dilakukan untuk menolong Ramah. Hal tersebut didorong oleh keinginan mereka agar Ramah hidup dengan lelaki yang bisa mencukupi kebutuhan materi, sama seperti suami dari kedua saudaranya.

Akhirnya, keinginan mereka agar Ramah dapat lepas dari sisi Musa dapat terwujud oleh keberhasilan mamak yang membawanya pulang kampung. Menurut mereka, tindakan tersebut adalah pertolongan yang baik bagi Ramah. Namun, Ramah menunjukkan reaksi yang berbeda, ia selalu larut dalam kesedihannya karena dipisahkan dengan Musa. Dari peristiwa tersebut, dapat terlihat apa yang ingin diberikan oleh mereka, bukan sesuatu yang dibutuhkan Ramah.

Pengaruh keluarga besar Ramah yang kuat menyebabkan Ramah semakin tidak berdaya menjaga keutuhan rumah tangganya. Salah satu contohnya adalah saat ibu Ramah secara tidak langsung meminta Ramah untuk menceraikan Musa.

Dalam pada itu, siang dan malam, petang dan pagi, isteriku dibudjuk ditjumbu djua oleh ibu dan mamaknja sendiri dan kalau perlu diantjam supaja segera meminta tjerai, meminta ta’lik dan meminta fascach.

...

Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar.

Tiba-tiba dia berkata: “Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu

,,Benar-benarlah engkau hendak meminta ta’lik?”tanja Kadi. ,,Ja . . . .engku!”

,,Sudahkah engkau fikirkan? Sebab apabila uang chuluk ini telah saja singgung sadja dengan tangan saja, thalak itupun djatuhlah”.

,,Sudah . . . .”

Demikian tjerita si Samah. Artinja Ramah telah memilih pamilinja . . . Si Ramah tidak salah! (Hamka, 1962 : 29—31).

Tindakan tersebut didorong oleh penilaian ibu Ramah terhadap keadaan Ramah yang semakin memburuk setelah menikah. Menurutnya, saat Ramah menikah dengan Musa, ia harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik dalam berbagai

tidak ada dalam kehidupan mereka berdua. Terlebih lagi, Ramah dan anaknya tinggal dalam kondisi yang cukup memprihatinkan saat di rantau.

Keberadaan keluarga Ramah dalam novel ini termasuk sebagai tokoh bawahan. Keterkaitan mereka dengan tokoh Ramah dapat memperjelas bahwa banyak orang lain yang ikut campur di dalam rumah tangga Ramah. Menurut Sudjiman (1988), tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang tokoh utama. Kehadiran tokoh ibu Ramah dan dua saudaranya menunjukkan bahwa tidak hanya mamak yang menginginkan Ramah berpisah dengan Musa.

Tidak hanya itu, mereka bertiga juga dapat dikatakan sebagai tokoh antagonis. Hal itu berdasarkan dengan keikutsertaan mereka menimbulkan konflik saat Ramah tinggal bersama di rumah gadang. Musa sempat tidak pulang berhari-hari ke rumah gadang karena tidak kuat lagi mendengar hinaan mereka. Ramah pun menjadi korban dari ulah kedua saudaranya. Ia tidak melakukan perlawanan karena dapat membuat keberadaan suaminya tidak dianggap di mata keluarganya. Oleh karena itu, Ramah hanya berusaha membujuk Musa untuk kembali ke rumah tersebut.

Meskipun frekuensi kemunculannya sedikit, keberadaan mereka dalam cerita tersebut menjadi media Hamka untuk menyampaikan kritik mengenai kebebasan rumah tangga seorang anak. Ia ingin menunjukkan kepedulian yang terlalu besar kepada orang yang disayanginya dapat menghilangkan apa yang diinginkan oleh orang tersebut. Hal itu disebabkan oleh kesibukan mereka untuk selalu memberikan yang terbaik bagi Ramah tanpa melihat apa yang dibutuhkan Ramah sebenarnya. Sebagai istri, Ramah berhak menentukan apa yang diperlukannya dalam berumah tangga. Ibu dan kedua saudaranya tidak lagi berhak ikut campur dalam menentukan apa yang baik dan buruk bagi rumah tangga Ramah.

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 69-72)

Dokumen terkait