• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hamka Memandang Adat Bermamak-Kemenakan

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 75-82)

Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menggambarkan pelaksanaan adat bermamak-kemenakan yang berdampak buruk bagi kemenakan. Ia menunjukkan kekuasaan mamak yang terlalu kuat dalam kehidupan kemenakan. Hal tersebut membuat dirinya merasa berhak mengatur jalannya rumah tangga Ramah dengan Musa. Setiap keinginan mamak harus dipenuhi oleh Ramah, termasuk meninggalkan suaminya. Dalam mengambil keputusan pun, mamak tidak mempedulikan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh kemenakannya.

Berdasarkan kekuasaan mamak yang kuat terhadap Ramah, Hamka juga menunjukkan tidak diakuinya keberadaan individualitas dalam adat Minangkabau. Ramah sebagai istri Musa tidak diberikan kesempatan untuk menentukan apa yang baik untuk rumah tangganya. Musa pun mengalami hal yang sama, ia tidak diakui keberadaannya sebagai pemimpin rumah tangganya oleh mamak dan keluarga Ramah. Mereka lebih mementingkan menyelamatkan Ramah dari

kehidupan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Kebahagiaan rumah tangga yang dirasakan Ramah tidak dipentingkan oleh mereka.

Hal tersebut dapat menjadi kritik dari pelaksanaan adat bermamak-kemenakan. Dalam falsafah adat Minangkabau, agama Islam menjadi dasar dari keseluruhan adat Minangkabau. Tokoh mamak dalam Didjemput Mamaknja digambarkan sebagai mamak yang sebatas menjalankan perannya dalam adat bermamak-kemenakan tanpa melalui proses penerapan yang sesuai dengan kondisi yang terjadi. Oleh karena itu, menurut penulis, Hamka mengkritik beberapa tindakan mamak yang tidak sesuai dengan agama Islam namun tidak berusaha menghilangkan keberadaan peran mamak dalam kehidupan kemenakan. Hal itu disebabkan oleh sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Mereka menempatkan mamak sebagai pemimpin dalam keluarga besar, suku, dan kaum.

Gagasan pemikiran Hamka dalam Didjemput Mamaknja dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain lingkungan saat ia menghasilkan karya ini dan pemikiran orang lain yang diteladaninya. Pertama kali, novel ini diterbitkan pada tahun 1930 dan pada waktu yang sama Sumatra Thawalib, tempat Hamka menamatkan sekolah, mengalami gesekan dengan kaum tua tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang harus sejalan dengan agama Islam. Gerakan ini juga dipengaruhi oleh pelopor gerakan Islam murni yang menginginkan semua sendi kehidupan bedasarkan Al-quran dan sunah Rasul. Salah satunya, Syekh Ahmad Khatib yang menjadi guru bagi setiap pendiri Sumatra Thawalib yang belajar Islam di Mekah.

Selain itu, gerakan modernisasi Islam di dunia pada abad ke-19 dapat mempengaruhi Hamka dalam menulis. Pada abad ke-19, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani melalui majalah Al-`Urwah al-Wutsqa mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Gerakan ini menjadi mendunia, termasuk ke Minangkabau karena banyak pendiri Sumatra Thawalib yang mempunyai keinginan sama, termasuk Syekh Ahmad Khatib. Beliau menginginkan adat Minangkabau dijalankan sesuai dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau.

Dari berbagai pengaruh tersebut, Hamka pun mencoba memasukkan unsur Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau. Ia menampilkan sosok Musa, suami Ramah, yang bertanggung jawab terhadap istrinya17. Ia bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Namun, dinilai tidak berhasil oleh keluarga Ramah karena memberikan kebutuhan materi yang kecil kepada istrinya. Ramah pun digambarkan sebagai sosok istri yang patuh kepada suaminya.

Dalam Islam, istri mempunyai kewajiban yang sesuai dengan firman Allah (Al-quran) dan sabda Rasul, yaitu

1. Memelihara rumah tangga dengan suaminya 2. Menggembirakan suaminya

3. Patuh pada perintah suaminya

4. Menjaga kesucian dirinya dan merahasiakan masalah rumah tangganya 5. Mengasuh anak-anaknya

6. Membantu suami dalam mendidik anaknya

7. Menutup rapat auratnya (aurat perempuan ialah seluruh badan ketjuali muka dan udjung tangan sampai pergelangan, sebagaimana yang disebut dalam Al-quran dan hadis)

8. Tidak bertingkah yang tidak patut

9. Tidak bergaul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya

10. Keluar dari rumah atas seijin suami atau pergi bersama dengan suami. (Loebis,1960: 17).

Ramah tulus menerima keadaan Musa yang miskin dan mau berjuang bersama-sama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, di mata keluarga besarnya, Ramah dianggap tersiksa karena tidak biasa hidup dalam kekurangan materi. Mamak pun menilai Ramah menjadi pemberontak karena lebih menuruti perkataan suami daripada keinginan mamak. Pandangan mamak dan keluarga Ramah inilah yang digunakan Hamka sebagai media untuk mengkritik pandangan kaum tua dalam melaksanakan adat bermamak-kemenakan. Mereka terlihat lebih memilih melaksanakan adat Minangkabau tanpa ada penggabungan dengan agama Islam.

Pemikiran Islam dalam karya tersebut dipengaruhi oleh pribadi Hamka yang Islami. Semasa hidupnya, ia selalu belajar mengenai agama Islam.

17Kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya, terdiri dari pemberian makanan dan minuman, perumahan, pakaian, pengobatan selama istrinya sakit, serta mendidik istrinya. Ali Basja Loebis, Hukum Perkawinan Islam dan Hubungannya Dengan Peradilan Agama di

Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Islam yang murni, yaitu berlandaskan Al-quran dan sunnah Rasul.

Pelopor gerakan pemurnian Islam adalah Muhammad Ibn Abdul Wahab. Gerakan ini adalah suatu kebangkitan kembali ortodoksi Islam menghadapi kerusakan agama, kemerosotan moral dan proses kemunduran secara merata terjadi dalam masyarkat Islam. Dari gerakan tersebut muncul orang-orang yang setuju dengan pandangan tersebut, antara lain Muhammad Abduh, Muhammad Jamaluddin al-Afgani, dan Muhammad Rasyid Rida. Di Sumatera Barat, paham tersebut dianut oleh Haji Rasul dan Ahmad Khatib yang turut mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan Parabek (Daya, 1990:45&48).

Didukung pula, pada tahun 1920-an, terjadi banyak pertentangan mengenai adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan dasar adat Minangkabau, yaitu Islam.

Pertentangan yang muncul disuarakan oleh Syekh Ahmad Khatib, Abdullah Ahmad, Haji Rasul, dan salah satu koran terbitan Sumatera Barat, Tjaja Soematra. Pertentangan yang dibahas mengenai hukum waris dan perkawinan di Minangkabau. Menurut adat Minangkabau, kemenakan perempuan yang harus menerima harta warisan karena kemenakan laki-laki dianggap mampu berusaha dan mencari nafkah sendiri. Selain itu, tentang perkawinan juga menimbulkan pertentangan karena mempunyai aturan yang berbeda dengan Islam. Dalam Islam yang berhak menjadi wali nikah untuk anaknya adalah ayah kandungnya sendiri, bukan mamak. Namun, menurut adat, ninik mamak yang berkuasa dan memberi izin tentang izin nikah kemenakan. Hal tersebut menandakan bahwa perkawinan tidak dapat berlangsung jika tidak mendapatkan izin ninik

mamak meskipun ayah kandungnya telah menyetujui. (Daya, 1990: 166—

167).

Pertentangan tersebut dimunculkan oleh para pendiri Sumatra Thawalib yang menginginkan semua tindakan yang dilakukan dalam hidup, termasuk pelaksanaan adat harus berdasarkan ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, dalam Didjemput Mamaknja, Hamka mencoba menyampaikan pemikiran mengenai kekuasaan mamak terhadap kemenakan yang tidak sesuai dengan agama Islam. Dapat dikatakan, Hamka terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya saat menuangkan pemikiran tersebut. Saat terjadi

pertentangan tersebut, ia sedang menjalani pendidikan di Sumatra Thawalib18 dari tahun 1916—1923. Dari tempat itulah, muncul gerakan yang menentang pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam.

Selama bersekolah di tempat yang didirikan ayahnya, Hamka mendengar sendiri betapa banyak suara yang menolak pelaksanaan adat Minangkabau secara absolut. Mereka menolak pelaksanaan adat yang sesuai dengan ajaran adat Minangkabau sebelum agama Islam masuk ke Sumatera Barat. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakkonsistenan masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan falsafah adat Minangkabau yang berdasarkan Al-quran.

Lingkungan Thawalib mengajak para penghulu untuk melihat kembali pelaksanaan adat Minangkabau pada tahun 1920—1930 (Daya, 1990: 177). Jika yang diinginkan Sumatra Thawalib kurang baik, maka mereka bersedia menerima nasehat dan petunjuk dari penghulu. Sebaliknya, jika Sumatra Thawalib menunjukkan kebenaran, mereka berharap para penghulu dapat memperbaiki pelaksanaan adat. Sumatra Thawalib tetap menerima adat Minangkabau yang tidak bertentangan dengan agama Islam, yaitu adat nan sabana adat19.

Oleh karena itu, Hamka mencoba memotretnya dalam beberapa karya sastranya, termasuk Didjemput Mamaknja. Dalam karya tersebut, Hamka terlihat tidak menghilangkan adat bermamak-kemenakan. Ia menyampaikan kritik terhadap tindakan mamak yang sewenang-wenang karena ia memiliki kekuasaan dalam hidup kemenakannya. Mamak digambarkan berkuasa untuk menentukan apa yang baik bagi Ramah. Ia yang menentukan calon suami bagi Ramah,

18 Kemunculan Sumatra Thawalib tidak dapat dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Oleh karena itu, perkembangannya cukup pesat di berbagai daerah di Sumatera Barat, antara lain Padang Panjang, Parabek, Padang Japang, Bukittinggi, Maninjau, Pariaman, Sungayang, Payakumbuh, Kubang Putih, Tanjung Limau, Padusunan Pariaman, dan Batu Sangkar. Selain itu, para pendiri dari berbagai Sumatra Thawalib belajar Islam kepada Syekh Ahmad Khatib di Mekah. Ia adalah sosok yang keras dan menentang kebiasaan warisan menurut hukum adat. Selain itu, ia juga menolak melaksanakan adat Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia tidak ingin pulang ke Sumatera Barat sebelum ada perubahan dalam pelaksanaan tersebut. Dapat dikatakan, pengaruh Ahmad Khatib terhadap murid-murid yang belajar Islam kepadanya cukup kuat sehingga mereka juga ikut menyuarakan pendapatnya mengenai adat Minangkabau yang bertentangan dengan Islam. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: 1990), hlm.166—167

19

Adat nan sabana adat (adat yang sebenarnya adat) adalah adat yang asli dan tidak berubah. Adat

yang lazim dingkapkan dalam petatah-petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup mereka. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan

sekaligus menjadi penggerak berakhirnya rumah tangga Ramah dengan Musa. Namun, di sisi lain, Hamka menunjukkan bentuk kepedulian mamak terhadap kondisi kemenakannya.

Saat mengetahui Ramah mengalami kesulitan hidup di rantau, mamak berusaha untuk menolongnya. Ia tidak ingin Ramah hidup dalam keadaan sulit di rantau, sedangkan harta pusaka di kampung dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, pertolongan yang diberikan mamak tidak sampai pada tujuannya. Ia melakukan tindakan yang membuat Ramah kehilangan kebahagiaannya. Mamak menilai dengan kekuasaannya dapat menjamin apa pun, termasuk kebahagiaan Ramah.

Mamak juga berusaha mengambil peran Musa sebagai kepala keluarga dalam hidup Ramah. Ia ingin menunjukkan posisi Musa yang berada di bawah posisinya dalam kehidupan Ramah. Musa adalah lelaki yang dipilih oleh mamak untuk Ramah. Oleh karena itu, kebahagiaan yang didapatkan Musa setelah menikah dengan Ramah karena campur tangan dirinya. Mamak juga menekankan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi keluarga Ramah yang mempunyai kewenangan memutuskan sesuatu bagi kepentingan bersama. Keberadaan Musa sebagai kepala kelurga bagi Ramah dianggap tidak penting karena tidak berkaitan dengan urusan orang banyak. Dari pandangannya tersebut, mamak yakin bahwa keputusan apa pun yang diambilnya untuk kebaikan bersama.

Berdasarkan hal tersebut, mamak meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Hal itu disebabkan oleh sosok Musa sebagai suami yang tidak dapat memberikan kelimpahan materi untuk istrinya dan menjadi penyebab penilaian buruk orang lain terhadap keluarga besar Ramah. Akhirnya, Ramah mengikuti permintaan mamak dengan kondisi tertekan. Hamka kembali terpengaruh dengan keadaan Sumatra Thawalib saat itu yang menginginkan agama Islam menjadi dasar pelaksanaan adat Minangkabau.

Hamka ingin menunjukkan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan oleh masyarakat Minangkabau. Kebanyakan dari mereka menilai seseorang berdasarkan jumlah materi yang dimilikinya. Biasanya, mereka akan lebih menghargai orang yang hidup dengan keadaan serba ada. Dalam Islam, tidak ada pembedaan manusia bedasarkan materi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Hamka

menganggap kebiasaan itu adalah adat jahiliyah yang harus ditumpas. Kemiskinan yang dimiliki Musa menjadi dasar pertimbangan mamak meminta Ramah untuk menceraikan suaminya. Dalam kenyataannya, Ramah tidak merasa keberatan hidup miskin dengan Musa. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak dapat dijadikan syarat terjadinya perceraian dalam suatu rumah tangga.

Dalam agama Islam, perceraian20dapat terjadi jika perselisihan suami istri sudah menimbulkan permusuhan antara keduanya dan kaum kerabat keduanya. Persyaratan tersebut tidak ada dalam perceraian Ramah dengan Musa. Musa selalu melaksanakan tanggung jawab sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. Ramah pun selalu menerima dengan tulus sekecil apa pun nafkah yang diberikan oleh Musa. Ia tidak pernah merasa kekurangan dan kesulitan hidup dalam kemiskinan. Hal tersebut didorong dengan kepercayaannya terhadap kerja keras Musa akan berbuah manis di masa datang. Oleh karena itu, perceraian yang terjadi bukan karena ada masalah dalam suami istri, melainkan pengaruh pihak eksternal rumah tangga yang terlalu kuat.

Hamka juga mengkritik pengaruh keluarga terhadap rumah tangga anaknya dalam peristiwa perceraian tersebut. Dalam Didjemput Mamaknja, ia menunjukkan pengaruh ibu dan kedua saudara Ramah dalam rumah tangga Ramah. Mereka selalu menyindir keadaan Musa yang kekurangan dari segi materi. Hal itu menyebabkan kesedihan pada Ramah karena orang-orang yang menyayanginya menghina suami yang dihormatinya.

Berdasarkan peristiwa tersebut, Hamka menunjukkan pengaruh buruk dalam rumah tangga anak yang tidak sepantasnya dilakukan oleh keluarganya sendiri. Dalam Islam, rumah tangga yang dijalani oleh seorang anak sudah menjadi tanggung jawab dirinya dan suami. Sebagai orang tua, mereka sudah tidak memiliki wewenang dalam mengatur anaknya sendiri. Anak yang sudah

20 Perceraian dapat terjadi jika peristiwa perdamaian kedua belah pihak tidak menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, menilik kemudaratannya, maka hukum talak (perceraian) ada empat, yaitu

1. Wajib, apabila hakim yang mengurus perkara suami istri memandang perselisihan mereka perlu diakhiri dengan perceraian.

2. Sunat, apabila suami tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan istrinya atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

3. Haram, jika menjatuhkan talak saat si istri dalam keadaan haid dan sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.

menikah menjadi tanggung jawab suaminya untuk dididik, dinafkahi, dan dilindungi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman seorang ibu akan kekuasaan dirinya setelah anaknya menikah. Hal itulah yang tidak dilakukan oleh ibu Ramah. Ia merasa tetap berhak ikut campur untuk menentukan jumlah materi yang dapat membahagiakan anaknya.

Ibu Ramah terlihat terlalu sayang kepada Ramah sehingga tidak menginginkan anaknya mengalami kemiskinan. Namun, di sisi lain, Ramah menyatakan kesanggupannya untuk hidup bersama Musa dalam keadaan apa pun. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kasih sayang ibu Ramah yang kuat menjadikan dirinya tidak menghargai keinginan Ramah yang sebenarnya dalam berumah tangga.

Oleh karena itu, dibutuhkan saling memahami terhadap peran masing-masing dalam melakukan sesuatu. Hal itu pula yang disampaikan Hamka dalam memandang peran mamak terhadap kemenakan. Dalam novelnya tersebut, Hamka menggambarkan dampak buruk dari kekuasaan mamak yang kuat mengakibatkan berakhirnya rumah tangga Ramah yang bahagia.

Dalam dokumen BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA (Halaman 75-82)

Dokumen terkait