• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah

Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.

Telah tersurat dengan jelas bahwa novel ini memiliki tema tentang perebutan kekuasaan. Hal ini bahkan dapat kita lihat dari pemilihan judul novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Pemilihan judul ini tepat mewakili alur atau plot yang digambarkan di dalam novel.

“Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,” Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan

pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”131

Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.132

Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara selalu terasa panas.133

Bagaimana peliknya peristiwa pemindahan tampuk kepemimpinan kerajaan Majapahit dari Sri Jayanegara kepada ratu kembar, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, di mana sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih berhak mendapatkan tahta karena lebih tua, namun memliki sifat yang

131 Ibid, hlm. 35 132 Ibid, hlm. 241-241 133 Ibid, hlm. 337

sangat lembut yang dikhawatirkan kurang mampu dalam memimpin Kerajaan Majapahit; dan sang adik, Dyah Wiyat, yang lebih muda namun mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya.

Sri Gitarja mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuan yang tidak terduga. Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam memandang ke depan, dan lebih berwibawa....134

....Ibu Ratu melihat dalam banyak hal Dyah Wiyat memang memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya. Dyah Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di antar banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat sesuai untuk menjadi pemimpin.135

Bukan berarti tema perebutan kekuasaan ini menjadikan ia tema satu-satunya di dalam novel ini. Seperti halnya novel-novel yang lain, novel ini pun memiliki tema dominan dan tema pendukung. Tema dominan di novel ini telah dijelaskan di atas, sedangkan tema pendukung yang ada di novel ini adalah nikah paksa dan dendam.

“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat

menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan

perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab

Raden Kudamerta.136

“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah

tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat

Nyai Tanca yang mendadak liar itu.137

Berdasarkan penggolongan tema, tema perebutan kekuasaan ini masuk dalam golongan tema nontradisional, karena jarang sekali novel yang mengangkat tema ini. Untuk novel-novel sejarah seperti halnya novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, para pengarang biasanya mengambil unsur percintaan tokoh-tokohnya agar menarik kalangan pembaca lebih luas. Hal ini juga didasarkan latar belakang

134 Ibid, hlm. 66 135 Ibid, hlm. 244 136 Ibid, hlm. 266 137 Ibid, hlm. 496

Langit Kresna Hariadi yang memiliki keluarga berprofesi militer, sehingga variasi tematik yang ia miliki berbeda dari yang lain.

Mengenai tema perebutan kekuasaan ini, jika dikategorikan ke dalam tingkatan tema menurut Shipley, tema ini masuk ke dalam ketegori tema tingkat sosial, karena tema yang diangkat bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Peristiwa pengalihan kekuasaan dari Sri Jayanegara kepada Sri Gitarja dan Dyah Wiyat tentu saja bukan sebatas masalah individual. Karena berdasarkan kekuasaan monarki, keluarga kerajaan adalah refleksi dari dewa-dewa yang diagungkan para rakyatnya. Sehingga siapa pun yang menaiki tampuk singgasana otomatis akan medapatkan kekuasaan mutlak terhadap rakyatnya.

Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.138 (GM:TdA, 2009:6)

Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.139

Hal inilah yang menjadikan peralihan kekuasaan ini berdarah, karena pewaris dampar bukanlah seorang pangeran melainkan puteri yang masing-masing telah memiliki calon suami yang dikhawatirkan orang-orang di balik para pemuda ini yang haus akan kekuasaan tertinggi di Majapahit yang telah memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas. 138 Ibid, hlm. 6 139 Ibid, hlm. 14

Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.140

Selain tema sentral yang telah disinggung di atas, dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini juga memiliki tema sampingan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Langit Kresna Hariadi menggunakan tema percintaan dan dendam sebagai bumbu dalam novel ini. Cinta terlarang yang dimiliki Raden Kudamerta kepada istrinya Dyah Menur, seorang perempuan dari kalangan rakyat biasa, menjadikan konflik peralihan kekuasaan ini menjadi lebih rumit.

....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.141

“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat

menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan

perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab

Raden Kudamerta.142

Panji Wiradapa yang merupakan paman Kudamerta menculik Dyah Menur. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa untuk memaksa Kudamerta agar menikahi Dyah Wiyat, seorang Sekar Kedaton kerajaan besar. Dengan adanya peristiwa terbunuhnya Sri Jayanegara, Panji Wiradapa semakin membenarkan alasannya sendiri untuk menawan Dyah Menur, karena dengan begitu kesempatan Dyah Wiyat mewarisi dampar istana menjadi lebih besar. Jika Dyah Wiyat menjadi ratu, maka otomatis Kudamerta mejadi seorang raja. Jika Kudamerta

140 Ibid, hlm. 241-242 141 Ibid, hlm. 149 142 Ibid, hlm. 266

menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan Panji Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu Mahapatih, akan terwujud.

“Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu

dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.143

Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah

menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan

keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih, orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah terwakili.144

“Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angan -anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu.”145 Dan dari cinta terlarang ini jugalah yang menjadikan Gajah Mada merasa kekhawatirannya akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang putra. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini berarti Raden Kudamerta menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Kesalahan yang sangat fatal!

Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia

143 Ibid, hlm. 52 144 Ibid, hlm. 54 145 Ibid

melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki-laki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.146

...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....147

Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik.

“Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat.

Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab.

“atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”148

....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampunkan.149

Namun, tidak hanya Raden Kudamerta saja yang memiliki cinta terlarang. Dyah Wiyat pun menyimpan cinta kepada pria beristri, mantan pemberontak, dan pembunuh Sri Jayanegara: Ra Tanca. Kisah cinta terlarang mereka telah dimulai secara diam-diam. Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tentu saja mengetahui bahwa hubungannya dengan Ra Tanca yang seorang mantan pemberontak tidak akan disetujui keluarganya, terutama Sri Jayanegara sendiri. Dan benar! Ketika Sri Jayanegara mengetahui hubungan terlarang Dyah Wiyat dengan Ra Tanca ia menjadi murka. Walaupun kemurkaan itu hanya diketahui oleh Ra Tanca seorang.

Penolakan Sri Jayanegara diterima Ra Tanca dengan sangat pahit, sehingga memicu keputusan Ra Tanca untuk mengulang dosa lamanya sembilan tahun silam: makar. Ra Tanca bekerja sama dengan istrinya, Nyai Tanca, dan Panji Wiradapa merencanakan merebut dampar istana. Rencana makar ini pun dimulai pada saat Ra Tanca yang ketika itu dipanggil ke istana untuk mengobati Sri Jayanegara yang sedang

146 Ibid, hlm. 105 147 Ibid, hlm. 237 148 Ibid, hlm. 266 149 Ibid

sakit, namun justru meracuni Sri Jayanegara hingga tewas, walau hal ini dibayar dengan nyawa Ra Tanca sendiri.

Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata telah menjadi rahasia umum di kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Nyai Tanca memiliki cinta yang teramat besar kepada Ra Tanca, tidak memercayai suaminya berselingkuh tanpa digoda oleh wanita lain dan ia beranggapan Dyah Wiyatlah akar dari pohon perselingkuhan itu. Nyai Tanca beranggapan Dyah Wiyat merebut suaminya dari pelukannya. Sehingga ia menjadi sangat membenci Dyah Wiyat, sampai kematian Ra Tanca pun ia anggap disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di dalamnya dimasukkan ular bandotan yang sangat beracun.

“Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai

raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih

terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?”150

“Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku

menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan

sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”151

“Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu

pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka

di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”152

“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat

Nyai Tanca yang mendadak liar itu.153

150 Ibid, hlm. 309 151 Ibid, hlm. 342 152 Ibid, hlm. 343 153 Ibid, hlm. 496

Majapahit adalah sebuah negara yang berbentuk monarki. Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja. Dalam hal ini, Majapahit diperintah oleh seorang raja.

Menurut Machiavelli, monarki terbagi menjadi dua jenis, yaitu monarki warisan (yang telah lama ada) dan monarki baru. Pada masa awal terbentuknya Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya, Majapahit berbentuk monarki baru. Namun, ketika kekuasaan diwariskan kepada keturunan Raden Wijaya, maka seketika Majapahit berubah bentuk menjadi monarki warisan. Majapahit sebagai negara monarki menempatkan raja dan kerabatnya terpisah dari lapisan masyarakat lainnya, baik karena mereka memiliki hak istimewa atau karena kepercayaan rakyatnya yang menganggap raja adalah jelmaan dewa.

Kerajaan Majapahit seperti halnya kerajaan nusantara pada umumnya, menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun. Tipe monarki ini adalah tipe yang umum, di mana ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan raja atau ayahnya sendiri. Dalam kasus kerajaan Majapahit, raja pertama, Raden Wijaya, sebagai pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat digantikan oleh putra mahkota, Sri Jayanegara, sebagai raja. Namun, setelah Sri Jayanegara wafat tanpa keturunan seorang pun, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta inilah yang berujung konflik, di mana pewaris itu bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Mengapa konflik? Sri Gitarja, sang kakak, seharusnya yang lebih berhak mendapatkan tahta kerajaan dan menjadi ratu, namun sifatnya yang sangat lembut dianggap menjadi hambatan dalam menjalankan pemerintahan yang menbutuhkan tangan besi. Dyah Wiyat, sang adik, mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya, namun sebagai adik ia tidak bisa begitu saja diangkat menjadi ratu. Hal ini dikarenakan karena sistem monarki turun-temurun. Di samping itu, walaupun Sri

Gitarja dan Dyah Wiyat seorang Sekar Kedaton yang berhak mewarisi tahta kerajaan, mereka tetap harus mematuhi orang yang kelak akan menjadi suami mereka, dalam hal ini adalah Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Sesuai dengan nilai yang ditanamkan kepada kedua Sekar Kedaton semenjak kecil, walaupun mereka Sekar Kedaton mereka harus tunduk, patuh, dan taat kepada suami mereka kelak. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran Patih Gajah Mada terhadap kemurnian pewaris tahta kerajaan. Karena, ketika salah satu Sekar Kedaton diangkat menjadi ratu, dalam menjalankan pemerintahan mereka akan sangat mendengarkan pendapat suami mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan suami merekalah nanti yang akan menjalankan pemerintahan di balik bahu istri mereka yang seorang ratu. Jika hal ini terjadi, maka suami Sekar Kedaton menjadi

seorang “raja”. Padahal Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta adalah pihak yang berada di luar trah Raden Wijaya sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit. Di samping itu, pihak-pihak pendukung di belakang Raden Cakradara dan Raden Kudamerta dapat mempengaruhi kedua Raden dalam menyumbangkan pendapat mengenai kebijakan pemerintahan yang dijalankan Sekar Kedaton. Dengan begitu, kepentingan kedua pihak dapat mengotori kebijakan Sekar Kedaton dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini menjadi kekhawatiran Gajah Mada, karena Majapahit adalah negara monarki mutlak, di mana kehendak raja adalah hukum. Kestabilan pemerintahan akan goyah jika hukum-hukum tersebut menguntungkan suatu kelompok dalam hal ini orang-orang di balik Raden Kudamerta atau Raden Cakradara.

Politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan. Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan

dengan cara-cara yang khusus. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan.

Tujuan kekuasaan yaitu memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusional kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.

Pihak-pihak di balik Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja khususnya kerajaan besar seperti Majapahit adalah kekuasaan potensial, oleh karena itu mereka memutuskan ingin menguasai dampar Kerajaan Majapahit. Majapahit memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti daerah kekuasaan yang luas, kekayaan yang didapat dari upeti tiap-tiap daerah kekuasaan yang yang banyak, bala tentara yang mumpuni dan persenjataan lengkap yang siap digunakan untuk menaklukan daerah baru atau untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan. Kekuasaan raja Majapahit juga merupakan kekuasaan eksplisit dan langsung, di mana pengaruh dari kekuasaan itu jelas terlihat dan dapat dirasakan secara langsung. Karena perkataan raja yang dipercaya jelamaan dewa adalah hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Majapahit. Keyakinan bahwa raja merupakan penjelmaan dewa jga menjadikan raja Majapahit memiliki reverent power. Karena rakyat akan menjadikan raja sebagai panutan simbol dari perilaku mereke.

Karena hal-hal inilah Panji Wiradapa melakukan berbagai macam cara agar keponakannya, Raden Kudamerta, menjadi raja Majapahit. Panji Wiradapa memaksa Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat agar kemungkinan Kudamerta menjadi raja semakin besar. Namun, di

sisi lain, Panji Wiradapa juga menyadari bahwa Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tidak mungkin mewarisi tahta jika kakak laki-lakinya, Sri Jayanegara masih hidup. Oleh karena itu, Panji Wiradapa juga telah memiliki rencana dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk melakukan makar. Langkah pertama makar tersebut adalah dengan membunuh Sri Jayanegara oleh racun yang dibuat oleh ahli racun terkemuka se-Majapahit, Ra Tanca. Setelah Sri Jayanegara wafat, masih ada pihak yang harus disingkirkan Panji Wiradapa agar Dyah Wiyat mendapatkan tahta. Ia juga harus menyingkirkan Sri Gitarja, kakak perempuan Dyah Wiyat. Karena walaupun sama-sama perempuan, Sri Gitarja lebih tua daripada Dyah Wiyat, jadi jika Sri Jayanegara Wafat maka yang lebih berhak mendapatkan tahta adalah Sri Gitarja. Untuk mencegah hal itu, Panji Wiradapa memasang jebakan berupa fitnah-fitnah pembunuhan dilingkungan istana yang mengarah kepada calon suami Sri Gitarja, Raden Cakradara. Bahkan Panji Wiradapa membayar pembunuh bayaran yang merupakan mantan anggota pasukan Bhayangkara untuk melukai keponakannya sendiri, Raden Kudamerta, dengan tujuan untuk memfitnah Raden Cakradara. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa karena ia tahu sifat Sri Gitarja yang terlalu baik hati. Jika Sri Gitarja tahu calon suaminya adalah dalang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana, maka

Dokumen terkait