• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Hakikat Tema

Tema adalah masalah hakiki manusia40. Pengarang biasanya mengambil tema berdasarkan permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari sautu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya41.

Theme in fiction is what the author is able to make of the total experience rendered.42 Tema adalah … a ‘central idea’ and those which view it more as a ‘recurrent argument, claim, doctrine, or

issue’.43

Jika tema adalah permasalahan, ide, ataupun makna yang ada di dalam suatu novel, maka yang manakah dari permasalahan, ide, dan makna yang menjadi tema di dalam novel itu?

40

Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 141-142. 41

Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161. 42

William Kenney, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966) hal: 91 43

Dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Karena itu, Marjorie Boulton menyebutkan adanya tema dominan. Yang dapat kita rangkum dalam sebuah cerita rekaan hanyalah adanya tema dominan (sentral) dengan tema (tema-tema) lainnya.44

Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.45. untuk itu dalam menentukan tema kita harus merunutkan motif-motif yang membentuk peristiwa dalam cerita, kemudian menghubungkannya dengan unsur-unsur intrinsik yang lain. Hal ini disebabkan karena cakupan tema jauh lebih luas daripada unsur-unsur intrinsik yang lain.

Karena itu penentuan tema dalam suatu novel bisa dilakukan jika novel telah dibaca seluruhnya karena tema juga merupakan makna yang ada di dalam novel. Namun, bukan berarti tema merupakan makna tersirat yang ada di dalam cerita. Tema merupakan makna keseluruhan dari cerita karena itu dalam menentukannya harus membaca keseluruhan cerita. Hal ini juga dikarenakan tema sangat bergantung dengan unsur-unsur intrinsic yang lain.

Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema.46

Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema47. Keempat unsure ini

44

Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 144. 45

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 68. 46

Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1988) hal: 57.

47

mengemban tugas membawa tema kepada seluruh cerita. Begitu juga dengan jalan cerita itu sendiri. Karena tema tersebar di dalam seluruh cerita, bukan berarti cerita itu sendiri adalah tema. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan

berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita. Atau sebaliknya, cerita yang dikisahkan haruslah mendukung penyampaian tema.48.

2. Penggolongan Tema

Menurut Nurgiyantoro, tema dapat digolongkan berdasarkan penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

a) Tema Tradisional dan NonTradisional

Tema tradisional dimaksudkan untuk tema yang biasa digunakan sejak cerita lama. Menurut Meredith dan Fritzgerald, tema-tema tradisional, walau banyak variasi-variasinya, boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan49. tema seperti ini tidak hanya berlaku di kesusastraan Indonesia saja melainkan di seluruh dunia, karena tema tradisional disukai oleh masyarakat golongan apapun dan kebudayaan manapun. Misalnya tema-tema yang diangkat adalah kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain. Novel-novel awal kebangkitan sastra Indonesia modern banyak yang menggunakan tema tradisional, contohnya adalah Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Pilih.

Berbeda dengan tema tradisional, tema nontradisional mengangkat tema-tema yang tidak lazim. Karena sifatnya yang

48

Ibid., hlm., 76. 49

nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.50 Misalnya tema dengan sifat melawan arus adalah kejujuran yang membawa kehancuran. Contoh novel yang memiliki tema yang melawan arus adalah Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H.

b) Tingkatan Tema Menurut Shipley

Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita51. Shipley membagi tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Pada tingkatan ini, tema yang diangkat berkisar tentang aktivitas fisik daripada aktivitas psikologis. Untuk tingkatan ini, unsur intriksik yang menonjol adalah unsur latar. Contoh karya fiksi yang mengangkat tema ini adalah Around the World in Eighty Days karya Julius Verne.

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Untuk tingkatan ini tema yang diangkat berkisar maslah seksualitas. Biasanya masalah seksualitas yang menyimpang lebih menonjol misalnya mengenai perselingkuhan. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Senja di Jakarta, Tanah Gersang karya Mochtar Lubis.

Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Untuk tahapan ini, tema yang diangkat bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Bagaimana manusia berinteraksi dengan sesama manusia, begitu juga hubungan antara manusia dengan

50

ibid. hlm., 79. 51

alam sekitarnya. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari

Keempat, tema tingkat egonik, manusia sebagai individu, man as individualism. Pada tahap ini tema yang diangkat merupakan tema tentang reaksi individu dengan fenomena yang ada di sekitarnya. Umumnya tingkatan tema ini lebih bersifat batin dan dirasakan oleh individu yang mengalami. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Atheis karya Achdiat K. Miharja.

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Maksud dari makhluk tingkat tinggi ini adalah kedudukan manusia sebagi ciptaan Tuhan yang paling tinggi. Karena itu sifat dari tingkatan ini religiusitas. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Kemarau karya AA Navis.

Menurut Sudjiman tema terbagi atas yang disebutnya tema sampingan, topik, dan tema sentral. Tema sentral adalah gagasan yang dominan atau utama, di mana cerita berpusat. Sedangkan tema sampingan adalah gagasan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Topik adalah penjabaran dari tema sentral, yang sifatnya lebih konkrit.52

Berdasarkan sumbernya, tema digolongkan menjadi beberapa.53

1. Tema berasal dari kejiwaan manusia, yang secara tidak langsung menggambarkan keadaan atau proses atau kejiwaan manusia.

2. Pengalaman pengarang merupakan dunia tersendiri yang menjadi sumber tema cerita.

3. Masalah hidup dan kehidupan manusia.

52

Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: BMT”Nurul Jannah”, 2000), hal: 47. 53

4. Sejarah. Tema sejarah bukan berarti hanya catatan peristiwa sejarah masa lampau, tetapi mengandung berbagai pemahaman tentang manusia.

5. Filsafat. 6. Pendidikan.

E. Hakikat Negara Monarki 1. Pengertian Negara Monarki

Monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa negara Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.54

Bentuk-bentuk negara bukanlah persoalan utama yang hendak diketengahkan Machivelli di dalam Il Principe, namun kendati hanya sepintas, ia pun menyinggung soal bentuk-bentuk negara itu. Menurut Machiavelli, ada dua bentuk negara yang paling penting, yaitu: republik dan monarki. Ia mengatakan:

Seluruh negara dan dominion yang menguasai atau yang telah menguasai umat manusia berbentuk republik atau monarki.55

Machiavelli mengatakan bahwa ada dua jenis monarki, yaitu: monarki warisan (yang telah lama ada), dan monarki baru. Monarki baru terdiri dari yang sama sekali baru dibentuk dan ada pula yang merupakan suatu penggabungan dari kerajaan yang sama sekali baru atau yang telah ada kepada suatu kerajaan yang telah lama ada. Machiavelli mengatakan:

Monarki dapat berupa warisan yang para penguasanya selama bertahun-tahun adalah keturunan dari keluarga yang sama, tetapi

54

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): dmeokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm., 58

55

J.H. Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm., 412.

dapat pula yang baru saja dibentuk. Sedangkan monarki baru dapat berupa monarki yang sama sekali baru... atau merupakan anggota baru yang diokulasikan ke monarki warisan milik sang penguasa yang mencaplok mereka...56

Menurut Jellinek, apabila cara terjadinya pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis atau secara ilmiah, yang terjadi dalam jiwa/badan seseorang dan nampak sebagai kemauan seseorang/individu, maka bentuk negaranya adalah monarchi.57 Sedangkan menurut Mac Iver, monarki ialah pemerintahan oleh satu orang dengan kekuasaan yang sangat luas atau absolut. Pada bentuk monarki ini dikenal dengan sistem pergantian yang bersifat turun-temurun. Di samping itu kita dapati dalam sistem ini suatu tanda bahwa raja dan kerabatnya merupakan suatu lapisan masyarakat yang terpisah dari lainnya, oleh karena raja dan kerabat di sekitarnya mempunyai dan dilengkapi dengan berbagai macam hak yang istimewa (hak preogatif) yang melekat pada diri mereka.58

2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki

Pemerintahan monarki terbagi menjadi dua:

a) Turun-temurun dan elektif

Monarki mungkin saja diklasifikasikan sebagai tahta turun-temurun dan elektif. Monarki secara turun-turun-temurun adalah tipe yang normal. Kebanyakan monarki dahulunya dikenal dengan istilah turun-temurun. Dan kehidupan monarki turun-temurun ini memiliki banyak karakter. Monarki ala turun-temurun mewariskan tahta sesuai dengan peraturan rangkaian pergantian tertentu. Ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan

56

Ibid. hal: 414-415 57

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm., 49-50.

58

Soelistyani Ismali Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, ---), hlm., 134

posisi raja atau ayahnya sendiri.59 Kerajaan Majapahit menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun yang biasanya pewaris laki-laki yang mewarisi tahta. Namun, setelah Sri Jayanegara meninggal tanpa memiliki keturunan, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta ini menjadi konflik ketika pewaris seorang putri bukan pangeran yang suatu saat akan menikah dan patuh terhadap suaminya. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak

pada “kemurnian” pemerintahan kerajaan.

Rangkaian pergantian juga bisa ditentukan dengan konstitusi atau melalui sebuah aksi legislature.60 Namun bukan hal yang luar biasa jika dari masa ke masa monarki elektif berubah menjadi monarki turun-temurun.

b) Monarki Mutlak dan Tebatas

Mpnarki juga bisa diklasifikasikan sebagai mutlak dan terbatas. Garner menyatakan monarki mutlak adalah monarki yang benar-benar raja. Kehendaknya adalah hukum dalam merespek segala perkara yang ada. Dia tidak dijilid atau dibatasi oleh apapun kecuali kemauannya sendiri. Di bawah sistem ini negara dan pemerintahan tampak identik.61

Monarki terbatas memiliki kekuatan yang dibatasi oleh konstitusi yang tertulis atau dengan prinsip fundamental yang tak tertulis.62 Jadi, raja hanya sekadar simbol, sedangkan jalannya pemerintahan dipimpin yang lainnya.

59

Jefry Hutagalung, Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan (Mei 2009), diakses dari

https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemerintahan-monarkikerajaan/ 60 Ibid 61 Ibid 62 Ibid

F. Hakikat Kekuasaan

Dokumen terkait