• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA

B. Biografi Pengarang

Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959 sebagai anak bungsu dari keluarga besarnya. Ia banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga tamat SD di desa bernama Tegaldlimo sebuah daerah di Banyuwangi, Jawa Timur. Jenjang SMP diselesaikan di Benculuk, SMA di Genteng yang kemudian berlanjut ke IKIP di Surabayadengan mengambil

jurusan fisika. Hingga akhirnya Langit Kresna Hariadi memilih untuk tidak menamatkan kuliahnya. Sebuah kekecewaan dialami kakanya yang telah membiayai studinya, tetapi sebuah berkah di balik itu semua karena sekarang telah menjadi pengarang yang hasilnya telah bisa untuk memimpin hidup keluarganya sendiri.1

Sekarang Langit Kresna Hariadi bertempat tinggal bersama keluarganya di Perumahan Korps Cacat Veteran Nomor 68 di daerah Jaten Karanganyar. Tanah yang sekarang dibangun menjadi perumahan tersebut sebelumnya adalah milik almarhum Mantan Presiden Soeharto seluas 17.492 m2 itu kemudian dibagi-bagikan kepada 136 anggota Yayasan Korps Cacat Veteran RI. Di rumah inilah Langit Kresna Hariadi sehari-hari melakukan kegiatan menulisnya dan sekarang disibukkan dengan bolka-balik Solo-Jakarta karena ketiga seri novel Gajah Mada akan diangkat ke layar lebar oleh Slamet Raharjo Djarot. Langit Kresna Hariadi kemudian menggubah ketiga seri novel Gajah Mada menjadi sebuah cerita ringkas yang selanjutnya menjadi sebuah skenario film. Ketekunannya sebagai penulis inilah yang mengantarkannya menjadi orang yang dikenal luas oleh berbagai kalangan.2

Latar belakang keluarga yang biasa saja, tetapi terbiasa dengan semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hidup. Pada awalnya pihak keluarga tidak menyetujui ketika Langit Kresna Hariadi terjun menggeluti dunia tulis-menulis karena pemikiran pihak keluarga bahwa seorang suami harus bekerja di kantor seperti orang-orang pada umumnya. Hal ini membuat Langit Kresna Hariadi tidak bergeming untuk melanjutkan pemikirannya bahwa dengan menulis kelak akan bisa menghidupi keluarga. Keyakinan yang telah dibuktikan, novel pertamanya berjudul Gajah Mada laris di pasaran, meskipun di dalamnya banyak terjadi berbagai kesalahan. Sebagai tanggung jawab ilmiah, novel pertama

1

Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada:Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id.

2 Ibid.

tersebut direvisi yang kemudian berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara3.4

Latar Belakang seorang pengarang Langit Kresna Hariadi dalam mengangkat karya dalam novel Gajah Mada adalah karena keterpengaruhannya oleh gaya penceritaan novelis S.H. Mintardja (pelopor cerita silat). Hal ini adalah sebuah kewajaran, karena bagaimanapun juga seorang pengarang tidak akan pernah lepas pada apa yang pernah dibaca atau ketertarikannya terhadap beberapa karya sastra yang terlanjur menjadi favoritnya sehingga secara sadar maupun tidak disadari turut memengaruhi karya yang dihasilkannya.5

Langit kemudian menekuni kepenulisan secara profesional ketika ia bekerja di radio PTPN Solo sebagai penulis naskah drama radio. Ia pindah ke Sanggar Sakutala di Radio Roiska, kemudian ke Sanggar Prativi di Jakarta. Karena keterbiasaannya membuat naskah drama radio, ia pun bisa mengetik secara cepat. Oleh karena itu, novel yang tebalnya beratus-ratus halaman dapat ia selesaikan dalam waktu tiga bulan.

Naskah awal novel Gajah Mada sebenarnya adalah naskah drama radio yang berjudul Dhuaja Bayangkara. Ia menulis naskah itu atas perintah produser karena S. Tijab kelelahan. Namun, karena bisnis drama radio ambruk, naskah itu tidak disiarkan. Kemudian Langit mengubah naskah drama itu ke dalam novel dan mencoba menawarkannya kepada dua penerbit, namun ditolak. Barulah pada saat ia menawarkan ke penerbit Tiga Serangkai, naskahnya diterima dan judulnya diganti menjadi Gajah Mada.

Novel Gajah Mada awalnya tidak dibuat berseri. Tapi ketika telah diterbitkan novel tersebut mendapat sambutan yang antusias dari pembaca. Akhirnya ia pun menyanggupi permintaan penerbit untuk membuat sekuel dari novel Gajah Mada. Namun, novel pertama Gajah Mada ternyata juga menuai kritik pedas dari pembaca. Hal ini dikarenakan data-data yang

3

Selanjutnya mengalami revisi pada judul menjadi Gajah Mada: Tahta dan Angkara

4

Handoyo, Op.cit

5 Ibid.

Langit cantumkan di dalam novelnya banyak yang tidak akurat. Langit mengamini hal ini terjadi karena ia menulis novel tersebut tanpa riset yang benar. Dari situlah keempat sekuel novel Gajah Mada ia buat berdasarkan riset yang sungguh-sungguh guna tidak adanya kesalahinformasian kepada pembaca.

Selain menelaah dari buku atau internet, Langit juga mendatangi situs-situs bersejarah yang mendukung tulisannya. Ia pergi ke Sapih di daerah Probolinggo, yang termasuk wilayah Madakaripura dan di sana terletak prasasti Sumpah Palapa. Kemudian ia ke Singapura untuk membayangkan armada Majapahit di wilayah Tumasek. Ia juga ke situs Karang Kamulyan yang diperkirakan tempat berdirinya Kerajaan Sunda Galuh. Namun, ia kesulitan menetapkan lokasi di mana perang Bubat berlangsung. Karena masih ada polemik mengenai letak lapangan Bubat. Langit juga dibantu oleh Yayasan Peduli Majapahit untuk mendapatkan akses data mengenai situasi Majapahit berdasarkan rekonstruksi Henry Maclaine Pont, seorang peneliti dan arsitek dari Belanda. Dari situ ia dapat membayangkan bahwa Kerajaan Majapahit sangat besar. Ia melihat balai prajurit majapahit yang telah dipugar oleh Kodam Brawijaya sangat megah, berarti istana Majapahit pasti lebih megah dan besar.

Menurut Langit, Majapahit bisa dikatakan sebagai pemersatu atau agresor. Tapi Majapahit tidak mungkin menyerang jika tidak ada sebab. Jika suatu wilayah tidak ingin bergabung dengan kerajaan Majapahit dengan sukarela, barulah melancarkan serangan. Hal ini dikarenakan Gajah Mada tidak ingin peristiwa Tarta menyerang Singasari terulang lagi, maka ia pun berambisi menyatukan seluruh nusantara di bawah panji Majapahit. Masalah penyerangan, Langit membeberkan bahwa formasi perang ia adopsi dari cerita pewayangan Baratayudha walaupun sebenarnya pada masa itu formasi perang belum ada.

Dokumen terkait