• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Teoritis Sifat Mekanis Kayu Laminasi Ditinjau dari Bahan Penyusunnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Analisis Teoritis Sifat Mekanis Kayu Laminasi Ditinjau dari Bahan Penyusunnya

Sifat mekanis yang dibahas dalam penelitian ini adalah MOE dan MOR. Nilai MOE dan MOR kayu laminasi yang didapat berdasarkan hasil uji di laboratorium adalah nilai empiris. Nilai teoritis diperoleh dari MOE dan MOR masing-masing bahan penyusunnya yaitu face (plywood), core (styrofoam, balsa, atau MDF), dan back (akasia). Nilai MOE dan MOR teoritis digunakan sebagai kontrol untuk menduga peranan core dalam menyangga kekuatan produk kayu laminasi. Dalam proses produksi dinding sekat, core memiliki fungsi utama sebagai peredam dan kurang berfungsi kekuatan, namun peranannya dalam kekuatan perlu dipertimbangkan pula.

4.4.1 MOE Empiris dan Teoritis

Perhitungan teoritis sifat mekanis kayu laminasi berdasarkan bahan baku pembentuknya dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) asumsi core hanya sebagai peredam dan tidak berperan pada kekuatan produk akhir dan (2) asumsi core

0 0.01 0.02 0.03 0 200 400 600 Frekuensi MOR (kg/cm2) Core Balsa 1 cm Core Balsa 2 cm Core Balsa 4 cm B 0 0.01 0.02 0.03 0 200 400 600 Frekuensi MOR (kg/cm2) Core MDF 1 cm Core MDF 2 cm Core MDF 4 cm C

berperan penuh dalam menopang kekuatan produk akhir. Secara umum MOE dan MOR teoritis dihitung dengan rumus :

MOE =

I

xc(tcs)

I

xc MOE(tcs) MOR = bref c

I

xc(tcs)

I

xc min MORi bi tcs yi dimana :

MOE = modulus elastisitas (kg/cm2)

MOE(tcs) = modulus elastisitas pada transformed cross section (kg/cm2)

Ixc = momen inersia pada kondisi sebenarnya (tanpa pengambilan

referensi salah satu bagian lamina) (cm4)

Ixc(tcs) = momen inersia pada transformed cross section (cm4)

MOR = modulus of rupture (kg/cm2)

MORi = modulus of rupture tiap lapisan lamina(kg/cm2)

Pada asumsi (1), momen inersia dari core dianggap bernilai nol sehingga

face dan back tidak bekerja sama. Oleh karena itu momen inersia pada asumsi (1) dihitung dengan rumus :

Ixc = Ixc(tcs) face+ Ixc(tcs) back

= bface h3face + bback h3back = (bface h3face + bback h3back )

Dalam perhitungan MOE pada asumsi (1), setiap Ixc(tcs) pada ketiga lamina

dihitung (Ixc(tcs))i dimana i = face, core, dan back. Momen inersia dari core

dianggap nol, sehingga hanya ada dua nilai (Ixc(tcs))i. Akibatnya nilai Ixc(tcs) akan

lebih kecil dibandingkan nilai Ixc(tcs) yang core-nya diperhitungkan. Dalam

perhitungan MOR, karena bagian core dianggap tidak berperan, maka MOR-nya pun menjadi nol. TCS adalah transformed cross section, yaitu suatu kondisi dimana diambil 1 bagian dari lamina (biasanya lapisan paling atas) sebagai referensi baik itu nilai b (lebar bahan), momen inersia serta nilai MOEnya.

Transformed Cross Section (TCS) telah dikenal luas sebagai sebuah metode untuk menghitung nilai Modulus Elastisitas (E) atau MOE dan Keteguhan Lentur Statis

(SR) atau MOR sistem lapisan (termasuk glulam) berdasarkan sifat-sifat lamina

penyusunnya (Bahtiar et al. 2011).

Sedangkan pada asumsi (2), dimana core membantu face dan back

sehingga bekerja sama menahan beban, maka momen inersia dihitung sebagai jumlah inersia seluruh komponen ditambah dengan akibat perpindahannya. Dalam hal ini berlaku teorema garis sejajar, sehingga I dihitung dengan rumus :

Ixc(tcs) = Σ Ixc + Σ Aiyi2

Perhitungan mengenai MOE teoritis dapat dilihat dalam Lampiran 17. Dari data-data tersebut diperoleh nilai rata-rata MOE teoritis dan MOE empiris, sebagaimana tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5 MOE empiris dan teoritis kayu laminasi

Spesimen

MOE Empiris (kg/cm2)

MOE Teoritis (kg/cm2) MOE Teoritis (kg/cm2)

(core dianggap tidak berperan) (core dianggap berperan)

CoreStyrofoam 1 cm 8747 4447 28467 CoreStyrofoam 2 cm 3656 1956 15744 Core Styrofoam 4 cm 807 599 8913 Core Balsa 1 cm 19922 4391 53185 Core Balsa 2 cm 16314 1731 42271 Core Balsa 4 cm 13112 557 35061 Core MDF 1 cm 14450 5754 42119 Core MDF 2 cm 14486 1851 32575 Core MDF 4 cm 11284 591 24587

Keterangan : MOE Empiris diperoleh dari hasil penelitian sedangkan MOE Teoritis dihasilkan dari hasil perhitungan menggunakan rumus

Tabel 5 memperlihatkan nilai MOE empiris yang berada dalam range nilai MOE teoritis (core dianggap tidak berperan) dan nilai MOE teoritis (core

dianggap berperan). Nilai MOE teoritis (core dianggap berperan) terbesar dimiliki oleh kayu laminasi core balsa 1 cm (53185 kg/cm2) dan terkecil dimiliki oleh kayu laminasi core styrofoam 4 cm (8913 kg/cm2). Nilai MOE empiris lebih kecil dibandingkan dengan nilai MOE teoritis (core dianggap berperan). Hal ini dikarenakan nilai MOE teoritis tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai MOE seperti cacat kayu, kualitas bahan, kualitas pengempaan dan tekanan kempa.

Nilai MOE teoritis (core dianggap berperan) dapat dijadikan acuan bahwa sebenarnya kayu laminasi dapat memiliki nilai MOE yang tinggi apabila dalam proses pembuatannya memenuhi kriteria dalam pembuatan kayu laminasi yang

baik (seperti pemilihan bahan yang mengandung sedikit cacat, penyeragaman tekanan kempa pada kayu laminasi serta memperhatikan proses perekatan). Selain MOE teoritis (core dianggap berperan), ada juga nilai MOE teoritis (core

dianggap tidak berperan). Nilai ini berawal dari kecenderungan nilai MOE core styrofoam yang kecil namun ketika dijadikan kayu laminasi nilai MOE-nya meningkat, sehingga diasumsikan bahwa core styrofoam tidak memiliki peranan yang tinggi dalam menahan beban yang diberikan kepadanya. Nilai MOE teoritis (core dianggap tidak berperan) terbesar terdapat pada kayu laminasi core MDF 1 cm (5754 kg/cm2) dan terkecil terdapat pada kayu laminasi core balsa 4 cm (557 kg/cm2).

Dengan melihat perbandingan besarnya nilai MOE empiris dan MOE teoritis (baik core dianggap berperan maupun yang dianggap tidak berperan), dapat dikatakan bahwa core dari masing-masing kayu laminasi mempunyai peranan dalam menahan beban yang dikenakan padanya. Pada penelitian ini, core

tidak 100 % menahan beban sehingga nilai MOE empirisnya rendah. Nilai MOE empiris yang rendah dapat disebabkan oleh cacat pada bahan yang digunakan serta perekatan yang kurang sempurna. Perekatan kurang sempurna juga dapat menyebabkan kayu laminasi mengalami gaya geser, sehingga menurunkan nilai MOE empirisnya.

4.4.2 MOR Empiris dan Teoritis

Perhitungan mengenai MOR teoritis dapat dilihat dalam Lampiran 18. Dari data-data tersebut diperoleh nilai rata-rata MOR teoritis yang dibandingkan dengan nilai rata-rata MOR empiris, sebagaimana tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6 MOR empiris dan teoritis kayu laminasi

Spesimen

MOR Empiris (kg/cm2)

MOR Teoritis (kg/cm2) MOR Teoritis (kg/cm2)

(core dianggap tidak berperan) (core dianggap berperan)

CoreStyrofoam 1 cm 224 30 191 CoreStyrofoam 2 cm 94 11 87 CoreStyrofoam 4 cm 19 3 44 Core Balsa 1 cm 289 36 378 Core Balsa 2 cm 179 16 242 Core Balsa 4 cm 131 4 198 Core MDF 1 cm 193 38 143 Core MDF 2 cm 205 9 167 Core MDF 4 cm 86 4 130

Keterangan : MOR Empiris diperoleh dari hasil penelitian sedangkan MOR Teoritis dihasilkan dari hasil perhitungan menggunakan rumus

Nilai MOR empiris yang berada dalam range nilai MOR teoritis (core

dianggap tidak berperan) dan nilai MOR teoritis (core dianggap berperan) hanya terdapat pada kelompok kayu laminasi core balsa, laminasi core styrofoam 4 cm, dan kayu laminasi core MDF 4 cm. Sedangkan nilai MOR empiris yang tidak masuk dalam range tersebut terdapat pada kayu laminasi core styrofoam 1 cm, kayu laminasi core styrofoam 2 cm, kayu laminasi core MDF 1 cm, dan kayu laminasi core MDF 2 cm, dimana keempat kayu laminasi tersebut menggunakan

core dengan tebal 1 dan 2 cm. Hal ini dapat disebabkan oleh penetrasi perekat yang baik pada core dengan tebal 1 dan 2 cm terutama pada core styrofoam dan MDF, sehingga bahan pembentuk laminasi dapat bekerja secara maksimal dan meningkatkan kekuatan lenturnya.

Rendahnya nilai MOE dan MOR empiris pada kayu laminasi disebabkan perhitungan kekuatan lentur hanya mengandalkan pada lendutan akibat momen lentur saja, sedangkan menurut Sulistyawati (2006), gaya geser yang dipikul oleh kayu laminasi mempunyai pengaruh terhadap lendutan total sehingga memungkinkan untuk diperhitungkan. Lendutan total sebenarnya yang terjadi adalah jumlah lendutan akibat momen lentur dan gaya geser. Dengan memperhitungkan lendutan akibat gaya geser, akan memperbesar nilai kekakuan lentur, sehingga kapasitas dan kemampuan balok dalam menahan lendutan akan makin besar.

Dokumen terkait