• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Sifat Mekanis

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR LAMPIRAN

3. Contoh Uji Pengujian Absorbsi Suara i) Plywood

3.3.4 Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian destruktif yang dilakukan mengacu pada ASTM D-143 (2000) dengan metode primer untuk pengujian pada kayu laminasi dan metode sekunder untuk pengujian pada masing-masing bahan pembentuknya. Masing-masing pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Pengujian dilakukan dengan metode beban tunggal di tengah bentang (one point loading) sesuai ASTM D-143 (2000). Kecepatan pembebanan yang digunakan sebesar 1,3 mm/detik dengan panjang bentang (L) sebesar 14 x t. Parameter yang diperoleh dari pengujian ini adalah modulus elastisitas (MOE) dan kekuatan lentur (MOR) yang dihitung dengan rumus : MOE= ΔPL 3 4Δybh3 MOR = 3PL 2bh2 Keterangan :

MOE = modulus elastisitas (kg/cm2) MOR = modulus of rupture (kg/cm2)

ΔP/ΔY = kemiringan (slope) kurva beban defleksi hingga batas proporsi (kg/cm)

Pmax = beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg) L = panjang bentang (cm)

b = lebar contoh uji (cm) h = tebal contoh uji (cm)

Gambar 6 Pengujian Sifat Mekanis Menggunakan Metode One Point Loading. 3.3.5 Pengujian Sifat Fisis

3.3.5.1 Kadar Air

Nilai kadar air didapat dengan cara membandingkan pengurangan berat basah dan berat kering tanur terhadap berat kering tanurnya menggunakan rumus :

KA = BKU-BKT

BKT X 100 %

Keterangan :

KA = kadar air (%)

BKU = berat kering udara (g) BKT = berat kering tanur (g)

3.3.5.2 Kerapatan

Nilai kerapatan diperoleh dari perbandingan berat kayu dengan volumenya dalam kondisi kering udara. Penentuan kerapatan ini dilakukan secara gravimetris dengan menggunakan rumus :

Kerapatan (ρ) = BKU

VKU (g/cm 3

) Keterangan :

BKU = berat kering udara (g) VKU = volume kering udara (cm3)

3.3.5.3 Berat Jenis

Nilai Berat Jenis (BJ) diperoleh dari perbandingan kerapatan kayu dengan kerapatan air, dengan catatan kerapatan air sama dengan 1 gr/cm3. Berat jenis diukur pada berat kering tanur dan volume kering udara.

BJ = BKT VKU ρ air Keterangan : BJ = berat jenis

ρ air = kerapatan air dianggap 1 (g/cm3)

Gambar 7 Pengujian Sifat Fisis.

3.3.6 Pengujian Absorbsi Suara

Pengukuran koefisien absorbsi suara dilakukan dengan menggunakan metode gelombang berdiri. Setelah sinyal generator di-setting pada frekuensi tertentu (200 Hz, 250 Hz, 315 Hz, 400 Hz, 500 Hz, 630 Hz, 800 Hz, 1000 Hz, 1250 Hz, 1600 Hz, 2000 Hz, 2500 Hz, 3000 Hz, 3150 Hz, 4000 Hz, dan 5000 Hz), salah satu ujung tabung dari alat resonance tube WA-9612 PASCO scientific

dipasang contoh uji. Setelah itu microphone dinamis digeser mendekati dan menjauhi contoh uji. Dengan menghubungkan output microphone dengan

oscilloscope, akan terlihat puncak-puncak gelombang melalui oscilloscope. Dari puncak-puncak gelombang tersebut, ditentukan Vmin dan Vmax yaitu dari amplitudo terkecil dan terbesar yang terdapat pada oscilloscope, yang merupakan fungsi tegangan terhadap waktu. Koefisien absorbsi suara dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

α= 1- V V V V Keterangan :

α = koefisien absorbsi suara Vmin = tegangan minimum (mV)

Vmax = tegangan maksimum (mV)

Gambaran umum urutan proses penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 9 Alur Proses Penelitian.

Pengolahan Data Uji Absorpsi Suara

Bahan penelitian

Plywood, balsa, MDF, dan akasia dikeringudarakan hingga

mencapai KA < 15 % Styrofoam

Sortimen dipotong menjadi berukuran (100 x 5,5) cm2 untuk dibuat menjadi KAYU LAMINASI

Sisa sortimen digunakan untuk pengujian bahan pembentuk kayu laminasi Cek KA < 15 %

Pemotongan bahan menjadi sortimen berukuran (100 x 10) cm2

Uji Mekanis Pemotongan contoh uji berukuran (88 x 5 x

tebal bahan) cm3

Pemotongan contoh uji berukuran (5 x 5 x tebal bahan) cm3

-Pemotongan sampel uji berukuran (3 x 2,5 x 0,4) cm3 untuk

plywood

-Pemotongan sampel uji berukuran (5 x 2,5 x tebal bahan) cm3 untuk bahan lain 

Pembuatan kayu laminasi styrofoam, balsa, dan MDF menggunakan perekat FOX dengan berat labur 175 g/m2,

klem selama 24 jam dan dikondisikan selama 1 minggu

‐ Pemotongan contoh uji berukuran (10 x 2,5 x 0,4) cm3

untuk bagian face

-Pemotongan contoh uji berukuran (60 x 2,5 x tebal bahan) cm3

untuk bagian core

- Pemotongan contoh uji berukuran (27 x 2,5 x 1,6) cm3

untuk bagian back

Uji Fisis

Pemotongan sampel uji berdiameter 3 cm x tebal bahan Pemotongan sampel uji

3.4 Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Microsoft Excel 2007. Data-data dalam penelitian ditampilkan secara sederhana dengan menggunakan tabel dan grafik.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisis

Sifat fisis pada kayu laminasi dipengaruhi oleh sifat fisis bahan pembentuknya yaitu bagian face, core, dan back. Dalam penelitian ini, bagian face

adalah plywood dengan tebal 0,4 cm, bagian core terdiri dari styrofoam, kayu balsa, atau MDF dengan variasi tebal 1, 2, dan 4 cm, serta bagian back terdiri dari kayu akasia dengan tebal 1,6 cm. Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai kadar air, kerapatan, dan berat jenis pada bahan pembentuk kayu laminasi disajikan pada Lampiran 1 sampai 5, sedangkan pada kayu laminasi disajikan pada Lampiran 6 sampai 8. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat fisis seperti disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi Spesimen Lapisan KA (%) ρ (g/cm3) BJ Plywood Face 11,2 0,56 0,50 Styrofoam 1 cm Core 9,2 0,010 0,009 Styrofoam 2 cm Core 9,2 0,010 0,009 Styrofoam 4 cm Core 9,2 0,008 0,008 Balsa 1 cm Core 13,9 0,25 0,22 Balsa 2 cm Core 14,0 0,22 0,19 Balsa 4 cm Core 14,2 0,25 0,21 MDF 1 cm Core 10,4 0,58 0,52 MDF 2 cm Core 8,5 0,73 0,66 MDF 4 cm Core 8,8 0,73 0,67 Akasia Back 13,9 0,62 0,53

Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur

(Brown et al. 1952)

ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda

itu sendiri yang dinyatakan dalam g/cm3

BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan

Tabel 2 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata kayu laminasi

Spesimen Tebal Core (cm) KA (%) ρ (g/cm3) BJ

CoreStyrofoam 1 cm 1 11,6 0,46 0,40 CoreStyrofoam 2 cm 2 11,6 0,33 0,29 CoreStyrofoam 4 cm 4 11,7 0,24 0,21 Core Balsa 1 cm 1 13,8 0,49 0,42 Core Balsa 2 cm 2 13,7 0,39 0,34 Core Balsa 4 cm 4 14,0 0,35 0,30 Core MDF 1 cm 1 12,4 0,62 0,54 Core MDF 2 cm 2 11,4 0,68 0,60 Core MDF 4 cm 4 10,6 0,69 0,62

Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur

(Brown et al. 1952)

ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda

itu sendiri yang dinyatakan dalam g/cm3

BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan

air pada temperatur 4oC.

4.1.1 Kadar Air (KA)

Pengukuran kadar air bahan pembentuk kayu laminasi menggunakan prinsip water displacement dimana berat kering tanur diperoleh setelah bahan dioven pada suhu 103 ± 20C. Metode ini tidak dapat diaplikasikan pada styrofoam,

karena karakteristik dari styrofoam yang akan meleleh bila dipanaskan. Nilai kadar air pada styrofoam cukup tinggi dan seragam pada tiap ketebalannya karena pengukurannya menggunakan moisturemeter.

Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara 8,5-14,2 %. Nilai tertinggi terdapat pada kayu balsa 4 cm (14,2 %) dan terkecil terdapat pada MDF 2 cm (8,5 %). Nilai kadar air tertinggi terdapat pada kayu, yaitu kayu balsa dan akasia. Hal ini disebabkan kayu balsa dan kayu akasia merupakan produk primer, sedangkan plywood dan MDF merupakan produk turunan dari kayu, sehingga dalam proses pembuatannya, melalui tahapan tertentu yang mensyaratkan kadar air yang sesuai standar pabrik. Kadar air tinggi pada kayu akasia (yang merupakan kayu cepat tumbuh) disebabkan adanya proporsi kayu gubal dan juvenile yang tinggi. Sel-sel kayu gubal mempunyai fungsi biologis, yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari akar ke daun untuk proses fotosintesis, sehingga banyak mengandung air (Dwianto dan Marsoem 2008).

Kayu balsa memiliki kadar air yang tinggi karena berat jenisnya yang rendah. Semakin rendah berat jenis atau kerapatan, maka tingkat absorbsi kayu

semakin tinggi, karena memiliki tempat penampung air yang lebih banyak daripada kayu dengan berat jenis atau kerapatan lebih tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980 dalam Dwianto dan Marsoem 2008). Semakin tebal core yang digunakan, kadar air semakin meningkat kecuali pada styrofoam dan MDF.

Styrofoam mempunyai kadar air yang sama pada tiap ketebalannya karena berasal dari pabrik yang sama, sedangkan pada MDF tidak. Kadar air MDF 1 cm dibandingkan dengan MDF 2 cm dan 4 cm berbeda jauh. Hal ini dikarenakan MDF 1 cm berasal dari pabrik yang berbeda dengan MDF 2 cm dan 4 cm, sehingga menggunakan formulasi perekat dan proses produksi yang berbeda pula. MDF 2 cm dan 4 cm berasal dari pabrik yang sama. Proses penggabungan 2 buah papan MDF 2 cm menjadi MDF 4 cm menyebabkan papan MDF 4 cm memiliki kadar air yang lebih tinggi karena adanya perekat yang ditambahkan. Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi disajikan dalam Gambar 10.

Gambar 10 Histogram kadar air (%) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Setelah disatukan menjadi kayu laminasi, nilai kadar air meningkat (kecuali pada kayu laminasi balsa yang cenderung stabil bahkan menurun kadar airnya setelah dijadikan kayu laminasi). Peningkatan kadar air ini disebabkan adanya perekat yang ditambahkan. Vick (1999) menyatakan bahwa perekat mengandung air sebagai pembawa, sehingga pada proses perekatan, air akan menguap dan diserap oleh kayu yang mengakibatkan kadar airnya meningkat. Air juga diserap kayu dari udara sehingga kayu mengalami kesetimbangan dengan udara. Kadar air kayu laminasi balsa tidak berbeda jauh dengan bahan

11.2 9.2 9.2 9.2 13.9 14.0 14.2 10.4 8.5 8.8 13.9 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Kadar Air (% )

pembentuknya walaupun telah ditambahkan perekat. Hal ini disebabkan oleh struktur dari kayu balsa itu sendiri yang memiliki rongga, sehingga ketika dioven air didalamnya (baik itu air dalam kayu balsa dan air akibat tambahan perekat) akan mudah menguap (terevaporasi).

Nilai kadar air rata-rata kayu laminasi berkisar antara 10,6-14,0 %. Nilai tertinggi terdapat pada laminasi core balsa 4 cm (14,0 %) dan terendah pada laminasi core MDF 4 cm (10,6 %). Kelompok laminasi balsa memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan kelompok laminasi styrofoam dan MDF. Hal ini disebabkan core balsa memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya.

Selain menghitung nilai kadar air kayu laminasi, kadar air rata-rata bahan terboboti juga dihitung. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti didasarkan pada kadar air masing-masing bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai ini dihitung untuk mengetahui kadar air sebenarnya dari kayu laminasi yang dibuat dan untuk melihat bagaimana pengaruh nilai kadar air bahan pembentuk kayu laminasi terhadap kayu laminasinya. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai kadar air kayu laminasi, dan nilainya tidak berbeda jauh. Hal ini berarti kadar air dan ketebalan masing-masing bahan pembentuk laminasi memberikan pengaruh terhadap kadar air kayu laminasinya. Kadar air rata-rata kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan : Rata-rata KA bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(KA tiap lapisan x tebal)

dengan Σ tebal kayu laminasi

Gambar 11 Histogram kadar air rata-rata kayu laminasi.

11.6 11.6 11.7 13.8 13.7 14.0 12.4 11.4 10.6 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Kadar Air (% ) Kayu Laminasi

4.1.2 Kerapatan (ρ) dan Berat Jenis (BJ)

Kerapatan merupakan suatu ukuran kekompakan suatu partikel dalam lembaran. Nilainya sangat tergantung pada kerapatan kayu asal yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama pembuatan lembaran (Haygreen et al. 2003). Kerapatan sangat berhubungan dengan berat jenis yang merupakan rasio antara kerapatan bahan dengan kerapatan air. Kerapatan rata- rata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara 0,008-0,73 g/cm3 sebagaimana tersaji pada Gambar 12. Gambar 13 memperlihatkan berat jenis bahan pembentuk kayu laminasi.

Kerapatan dan berat jenis tertinggi pada bahan pembentuk kayu laminasi adalah MDF 2 dan 4 cm, serta terendah pada styrofoam 4 cm. Kerapatan dan berat jenis MDF tinggi karena dibuat dari serat kayu (fiber) yang kemudian dipadatkan melalui proses pengempaan, sedangkan styrofoam memiliki struktur yang berongga sehingga kerapatan dan berat jenisnya lebih rendah dibandingkan MDF. Kerapatan kayu akasia menempati urutan kedua tertinggi setelah MDF, karena secara visual struktur porinya cukup rapat dibandingkan bahan kayu lainnya yaitu kayu balsa. Kayu balsa menunjukkan nilai kerapatan dan berat jenis yang rendah. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yang mempunyai berat ringan dan berpori. Plywood memiliki kerapatan dan berat jenis cukup tinggi karena dibuat dari veneer yang direkatkan secara tegak lurus serat dan dikempa hingga padat.

Gambar 12 Histogram kerapatan (g/cm3) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. 0.56 0.010 0.010 0.008 0.25 0.22 0.25 0.58 0.73 0.73 0.62 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Kerapatan (g/cm 3)

Gambar 13 Histogram berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai kerapatan mengalami perubahan setelah dibentuk menjadi kayu laminasi sebagaimana tersaji pada Gambar 14. Kerapatan rata-rata kayu laminasi berkisar antara 0,24-0,69 g/cm3. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada kayu laminasi core MDF 4 cm (0,69 g/cm3) dan terendah pada kayu laminasi core styrofoam 4 cm (0,24 g/cm3). Hal ini berkaitan dengan karakteristik core

pembentuknya, dimana core MDF lebih padat dibandingkan core styrofoam, sehingga kerapatan produk akhir lebih tinggi.

Secara umum kerapatan meningkat setelah dibentuk menjadi kayu laminasi (kecuali pada kayu laminasi dengan core MDF 2 dan 4 cm). Santoso

et.al. (2001) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bertambahnya kerapatan kayu laminasi dibanding bahan pembentuknya adalah adanya lapisan perekat dan pemadatan pada proses pengempaan. Kayu laminasi dengan core

MDF 2 cm dan 4 cm memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibanding bahan pembentuknya. Hal ini disebabkan oleh kerapatan bahan pembentuknya yang tinggi (0,73 g/cm3) sehingga penetrasi perekat kurang maksimal. Penetrasi perekat yang kurang maksimal menyebabkan kontak antara perekat dan kayu yang kurang baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Vick (1999) yang menyatakan bahwa ikatan rekat akan maksimal apabila perekat membasahi semua permukaan kayu selaku bahan yang direkat, sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu (daya tarik intermolekulnya dapat mengikat dengan baik).

0.50 0.009 0.009 0.008 0.22 0.19 0.21 0.52 0.66 0.67 0.53 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Berat Jenis

Semakin tebal core pembentuknya, kerapatan kayu laminasi cenderung menurun, kecuali pada laminasi MDF yang mengalami kenaikan nilai kerapatan seiring dengan meningkatnya tebal core yang digunakan. Core yang memiliki kerapatan lebih rendah dari bagian face dan back akan menurunkan kerapatan produk akhir seiring dengan meningkatnya ketebalan core, sedangkan core yang memiliki kerapatan lebih tinggi dari bagian face dan back akan mengalami peningkatan kerapatan produk akhir seiring dengan bertambahnya tebal core. Core MDF memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan bagian face dan

back, sehingga presentase berat core yang semakin tinggi seiring dengan ketebalannya akan meningkatkan kerapatan kayu laminasi. Hal ini sesuai dengan rata-rata kerapatan bahan terboboti yang nilainya tidak berbeda jauh serta memiliki kecenderungan yang sama dengan kerapatan kayu laminasinya.

Kerapatan mengalami penurunan atau kenaikan dipengaruhi oleh nilai berat jenisnya. Grafik berat jenis kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 15. Berat jenis yang tinggi pada produk akhir (kayu laminasi) dipengaruhi oleh berat jenis dari bahan pembentuknya.

Keterangan : Rata-rata kerapatan bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(kerapatan tiap

lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi

Gambar 14 Histogram kerapatan rata-rata kayu laminasi.

0.46 0.33 0.24 0.49 0.39 0.35 0.62 0.68 0.69 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 Kerapatan (g/cm 3) Kayu Laminasi

Keterangan : Rata-rata BJ bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(BJ tiap lapisan x tebal)

dengan Σ tebal kayu laminasi

Gambar 15 Histogram berat jenis rata-rata kayu laminasi.

4.2 Sifat Mekanis Bahan Pembentuk Kayu Laminasi

Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai MOE dan MOR bahan pembentuk kayu laminasi asimetris disajikan pada Lampiran 9 sampai 13. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat mekanis seperti disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Nilai MOE dan MOR rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi

Spesimen Lapisan MOE (kg/cm2) MOR (kg/cm2)

Plywood face 55597 477 Styrofoam 1 cm core 65 0 Styrofoam 2 cm core 35 0 Styrofoam 4 cm core 17 0 Balsa 1 cm core 39205 245 Balsa 2 cm core 35097 191 Balsa 4 cm core 31362 188 MDF 1 cm core 12242 42 MDF 2 cm core 22175 262 MDF 4 cm core 19446 128 Akasia back 90762 866

Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity, kemampuan bahan untuk menahan beban sampai

batas proporsi (kg/cm2)

MOR = Modulus of Rupture, kemampuan bahan untuk menahan beban lentur

maksimum hingga mengalami kerusakan permanen (kg/cm2)

0.40 0.29 0.21 0.42 0.34 0.30 0.54 0.60 0.62 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 Berat Jenis Kayu Laminasi

4.2.1 MOE Bahan Pembentuk Kayu Laminasi

Sifat kekakuan kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan lenturan tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap atau bisa kembali ke bentuk semula Besarnya hasil pengujian dinyatakan dalam Modulus Elastisitas (MOE). Nilai MOE rata-rata tertinggi bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia (90762 kg/cm2) dan terkecil pada styrofoam 4 cm (17 kg/cm2). Hal ini dikarenakan kayu akasia memiliki kerapatan yang tinggi sedangkan styrofoam 4 cm memiliki kerapatan yang rendah. Sesuai dengan pernyataan Herawati (2008), kayu yang memiliki kerapatan tinggi akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu dengan kerapatan lebih rendah.

Nilai MOE kayu akasia lebih tinggi dibandingkan MOE kayu balsa yang disebabkan oleh berat jenis kayu akasia yang lebih tinggi. Berat jenis lebih tinggi dikarenakan dinding sel kayu akasia lebih tebal, sehingga meningkatkan kekuatan kayu. Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa kekakuan dan kekuatan kayu meningkat dengan meningkatnya berat jenis pada kondisi kayu bebas cacat.

Plywood dan MDF merupakan produk komposit yang memiliki perbedaan dari segi bahan bakunya. MDF dibuat dari serat kayu yang di-press sedemikian rupa sehingga padat, sangat kaku, dan lebih mudah patah dibandingkan plywood,

sedangkan plywood dibuat dari lembaran veneer kayu yang direkatkan secara tegak lurus serat dan masih memiliki sifat elastis. Walaupun MDF memiliki nilai kerapatan dan berat jenis yang lebih tinggi, namun nilai MOEnya lebih rendah dibandingkan plywood. Hal ini disebabkan karakteristik plywood yang masih memiliki sifat integritas bahan baku yang lebih tinggi dibandingkan MDF.

Nilai MOE pada bagian core semakin menurun seiring dengan bertambahnya tebal. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya tebal, nilai h/l akan semakin tinggi sehingga nilai MOE yang terbaca lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai rendah tersebut dipengaruhi oleh gaya geser. Semakin tebal bahan menyebabkan pengaruh gaya geser semakin besar, dimana pada pengujian menggunakan one point loading nilai ini diabaikan.

Grafik MOE rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai standar deviasi MOE kayu akasia paling tinggi dibandingkan bahan lainnya. Nilai standar deviasi tinggi menunjukkan banyaknya variasi nilai

MOE yang dihasilkan pada kayu akasia itu sendiri dalam tiap ulangannya. Firmanti et. al. (2007) menyatakan bahwa fenomena ini disebabkan oleh cacat- cacat kayu yang ditemukan serta proporsi kayu juvenile yang tinggi pada kayu akasia. Sebagai salah satu jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species), kayu akasia memiliki proporsi kayu juvenile yang tinggi. Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa kayu juvenile mempunyai ciri-ciri berat jenis dan kekuatan yang rendah karena memiliki dinding sel yang tipis, lingkaran tumbuh yang lebih besar, dan sel-sel kayu akhir yang sedikit. Kayu juvenile mempunyai efek yang tinggi dalam mereduksi sifat mekanis pada kayu (Green et. al. 1999).

Gambar 16 Histogram MOE (kg/cm2) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Gambar 17 mewakili variabilitas sifat-sifat struktural dari produk-produk kayu yang telah didekati dengan distribusi normal standar. Gambar tersebut menunjukkan satu sisi dari persamaan struktur yaitu sisi kapasitas. Setiap kurva dicirikan oleh parameter-parameter statistika, yang pada kasus ini yaitu nilai rata- rata dan standar deviasinya (Bahtiar 2004). Dari Gambar 17 terlihat bahwa kayu

solid mempunyai keragaman yang lebih tinggi dibanding produk komposit.

Kurva normal distribusi menggambarkan nilai keragaman dari suatu hasil pengujian. Pada penelitian ini diplotkan nilai mekanis (MOE dan MOR) yang dihasilkan pada masing-masing bahan untuk mengetahui variabilitas nilai dalam setiap ulangannya. Semakin landai kurva yang dihasilkan menunjukkan MOE atau MOR dari bahan semakin beragam. Sebaliknya semakin curam kurva yang

55597 65 35 17 392053509731362 122422217519446 90762 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 MOE (kg/cm 2)

dihasilkan menunjukkan MOE dan MOR dari bahan semakin seragam, yang didukung dengan semakin kecil nilai standar deviasinya.

Sumber : Bahtiar (2004)

Gambar 17 Kurva kekuatan material-material kayu.

Kayu akasia memiliki keragaman MOE yang lebih tinggi dan MOE rata- rata yang lebih besar dibandingkan plywood. Hal ini didukung dengan pernyataan Bahtiar (2004) tentang keragaman kayu solid lebih tinggi dibandingkan produk komposit seperti plywood. Pada kurva distribusi MOE core styrofoam, dapat dilihat bahwa styrofoam 4 cm lebih seragam dibanding dengan core styrofoam 1 dan 2 cm. Semakin tebal core styrofoam yang digunakan, semakin rendah nilai keragamannya. Core balsa 1 cm memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki MOE lebih besar dibandingkan dengan core balsa lainnya. Kurva distribusi MOE paling seragam terdapat pada core balsa 2 cm dikarenakan nilai standar deviasinya paling kecil. Core MDF 1 cm memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki nilai rata-rata MOE terkecil diantara core MDF lainnya. Hal ini didukung dengan nilai standar deviasinya yang paling besar. Kurva distribusi MOE yang paling seragam terdapat pada MDF 4 cm, karena nilai standar deviasinya paling kecil. Dari kurva distribusi MOE dapat dilihat bahwa MOE terbesar tidak selalu memberikan nilai keragaman yang tinggi, hal ini dipengaruhi oleh standar deviasi masing-masing bahan yang digunakan. Kurva distribusi bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 18 A sampai D.

Gambar 18 Kurva distribusi MOE rata-rata dari (A) plywood dan akasia (face dan

back). (B) core styrofoam; (C) core balsa; (D) core MDF.

4.2.2 MOR Bahan Pembentuk Kayu Laminasi

Nilai MOR terbesar pada bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia dan terkecil pada styrofoam (tebal 1, 2 dan 4 cm). Nilai MOR

0 0.00001 0.00002 0.00003 0.00004 0.00005 0.00006 0.00007 0.00008 0 100000 200000 Frekuensi MOE (kg/cm2) Plywood Akasia A 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 200 400 Frekuensi MOE (kg/cm2) Styrofoam 1 cm Styrofoam 2 cm Styrofoam 4 cm B 0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002 0.00025 0.0003 0 50000 100000 Frekuensi MOE (kg/cm2) Balsa 1 cm Balsa 2 cm Balsa 4 cm C 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0 20000 40000 Frekuensi MOE (kg/cm2) MDF 1 cm MDF 2 cm MDF 4 cm D

styrofoam dianggap nol karena nilainya sangat kecil dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya, sedangkan nilai MOR kayu akasia tinggi karena berat jenisnya tinggi. Nilai MOR berbanding lurus dengan nilai MOE. Sama seperti MOE, salah satu faktor yang mempengaruhi nilai MOR adalah berat

Dokumen terkait