BAB III. METODE PENELITIAN
4.2. Kinerja Kawasan Agropolitan
4.2.5. Analisis Tipologi di Dalam Kawasan Agropolitan
Analisis penentuan tipologi kawasan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai karakteristik dari masing-masing kawasan. Dengan mengetahui berbagai karakteristik yang ada tentunya akan bisa memberikan informasi yang berguna dalam merumuskan suatu kebijakan. Seperti diketahui setiap karakteristik wilayah tertentu membutuhkan suatu kebijakan yang tertentu pula. Hal ini berarti penyeragaman kebijakan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu menjadi sangat tidak memadai.
Dalam penentuan tipologi kawasan agropolitan pada tahap awal akan dilakukan pentipologian karakteristik wilayah di dalam kawasan. Seperti diketahui bahwa kawasan agropolitan sebagai suatu sistem terdiri dari unit-unit wilayah yang
berfungsi sebagai pusat dan yang berfungsi sebagai hinterland. Karakteristik ini
perlu diidentifikasi untuk bisa melakukan analis is terhadap potensi dan kendala dari suatu upaya pengembangan kawasan agropolitan. Berdasarkan karakteristik tipologi wilayah di dalam kawasan agropolitan, selanjutnya bisa dilakukan pembandingan karakteristik antar kawasan. Hasil dari proses pembandingan ini akan memberikan rumusan mengenai tipologi dari setiap kawasan agropolitan yang dikaji.
a. Tipologi Kawasan Agropolitan Cianjur
Seperti diketahui kawasan agropolitan Cianjur mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukaresmi. Berdasarkan master plan pengembangan kawasan Agropolitan yang telah disusun, Kecamatan Pacet ditentukan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, sedangkan Sukaresmi ditetapkan
sebagai wilayah hinterland-nya. Dengan menggunakan data-data karakteristik
wilayah yang tercakup di dalam data Potensi Desa (BPS 2003) maka dapat dilakukan analisis pentipologian wilayah untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing desa di kawasan agropolitan dan melihat keterkaitannya dengan konsepsi dan rencana pengembangan kawasan agropolitan ke depan.
Pada tahap awal dilakukan seleksi variabel yang dianggap dapat memberikan informasi penting mengenai karakteristik unit wilayah (desa) di kawasan agropolitan berdasarkan pertimbangan logis. Selanjutnya variabel-variabel terpilih ini akan dianalisis dengan teknik analisis PCA sebagai upaya untuk melakukan penyederhanaan variabel dan menghilangkan multikolinearitas (hubungan korelasi antar variabel-variabel penjelas). Hasil analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih untuk melakukan pentipologian di kawasan agropolitan dapat dilihat pada
Lampiran 13a yang menunjukkan nilai korelasi antara variabel baru hasil analisis (faktor) dengan variabel asalnya. Variabel-variabel baru hasil analsisis PCA ini atau yang juga dinamakan dengan faktor 1 sampai dengan 5 ternyata mampu menggambarkan keragaman sampel karakteristik desa sampai sebesar 73.41%. Hal ini bisa dilihat dari dari nilai kumulatif eigen value atau nilai kumulatif keragaman
pada Lampiran 13b.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis PCA ini akan muncul skor baru untuk setiap faktor yang ada atau dinamakan dengan factor score. Skor dari masing-masing faktor ini kemudian akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis clustering untuk mengetahui pengelompokan desa-desa di Kawasan Agropolitan Cianjur dan seperti apa karakteristik-karakteristik dari setiap kelompok.
Teknik analisis clustering pada dasarnya merupakan suatu teknik untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan mema ksimumkan keragaman antar kelompok. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa variabel yang dihitung dalam analisis adalah faktor 1 sampai 5 hasil analisis PCA. Hasil dari analisis
clustering menunjukkan bahwa desa-desa di kawasan agropolitan Cianjur terba gi ke
dalam 3 kelompok dengan karakteristik seperti pada Tabel 19.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tipologi I terdiri dari desa Gadog, Sindangjaya, Cipanas, Palasari, dan Sukatani. Desa-desa ini secara spasial memang terletak di pinggir jalur jalan arteri yang menghubungkan antara Bogor, Puncak dan Cianjur dimana banyak berkembang aktivitas-aktivitas wisata dan sektor-sektor penunjangnya seperti hotel, restaurant, pasar swalayan, pasar dan sebagainya. Dengan demikian desa-desa ini memang sudah mulai menampakan karkateristik wilayah urban. Hal ini tampak dari karakteristik yang diperoleh dimana jumlah KK relatif banyak, persentase pemilik yang menggarap sendiri lahannya relatif rendah, persentase rumah tangga pelanggan PLN yang relatif tinggi, persentase jumlah penggarap yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum yang relatif tinggi dan proporsi jumlah keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga yang relatif rendah.
Tabel 19. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Cianjur dan Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Desa Karakteristik
Tipologi I Gadog, Sindangjaya, Cipanas , Palasari, Sukatani
Jumlah KK relatif banyak, persentase pemilik sekaligus penggarap rendah, rumah tanga yang menggunakan listrik PLN tinggi, persentase jumlah penggarap rendah, ketersediaan fasilitas umum tinggi, proporsi keluarga pra sejahtera I terhadap total jumlah keluarga rendah
Tipologi II Cibadak, Kawungluwuk, Rawabelut,
Ciloto, Ciherang, Ciputri, Sindanglaya, Ciwalen, Cimacan, Cikancana, Cipendawa,
Jumlah penggarap tinggi, ketersedian fasilitas umum rendah, jarak desa ke kecamatan jauh, jarak desa ke ibukota kabupaten jauh Tipologi III Cibodas, Pakuon, Sukamahi,
Cikanyere, Cibanteng, Kubang, Sukanagalih, Sukaresmi, Batulawang
Jumlah KK sedikit , jumlah pemilik sekaligus penggarap tinggi, banyaknya keluarga yang
menggunakan listrik PLN rendah, pesentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik (termasuk dari luar wilayah) rendah, persentase lahan yang dimiliki dan digarap tinggi, jarak desa ke kecamatan jauh, jarak desa ke ibukota kabupaten jauh
Selanjutnya untuk tipologi II terdiri atas desa -desa Cibadak, Kawungluwuk, Rawabelut, Ciloto, Ciherang, Ciputri, Sindanglaya, Ciwalen, Cimacan, Cikancana, Cipendawa. Desa-desa ini meskipun secara spasial posisinya lebih jauh dari jalan raya dan pusat keramaian wisata, namun posisinya yang masih relatif dekat dengan daerah Puncak dan Bogor telah membuat banyak orang-orang kota yang menanamkan investasinya dalam bentuk kepemilikan lahan. Dari karakteristiknya tampak bahwa persentase penggarap relatif tinggi. Meskipun dilihat dari kondisi ketersediaan fasilitas umum ternyata masih kurang memadai tetapi posisi letak yang dekat dengan Bogor dan daerah Puncak ternyata cukup mampu mendorong orang untuk berinvestasi de ngan membeli lahan.
Untuk karakteristik dari segi jarak ternyata desa-desa pada tipologi II ini memang rata-rata jaraknya jauh dengan pusat kecamatan maupun dengan ibukota Kabupaten. Tetapi perlu diingat bahwa dalam realit anya di lapangan, kota Bogor dan kawasan Puncak lebih banyak memberikan pengaruh daripada Kota Cianjur sendiri. Sehingga jarak yang lebih jauh dengan Kota Cianjur mengandung arti bahwa secara spasial desa-desa di tipologi II ini posisinya relatif lebih dekat ke Bogor dan kawasan Puncak. Karena itu menjadi sangat wajar apabila fenomena yang terjadi di wilayah ini umumnya juga ditemukan di wilayah-wilayah lain yang relatif dekat dengan kota besar dimana terjadi alih kepemilikan lahan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Kemudian untuk tipologi III ternyata terdiri dari desa-desa seperti Cibodas,
Pakuon, Sukamahi, Cikanyere, Cibanteng, Kubang, Sukanagalih, Sukaresmi, Batulawang. Desa-desa ini relatif jauh dan kondisi aksesnya lebih terbatas daripada desa-desa di tipologi 1 dan 2. Karena itu karakteristiknya mencakup jumlah KK yang lebih sedikit. persentase pemilik yang sekaligus menjadi penggarap relative masih tinggi. keluarga yang menggunakan listrik PLN masih rendah. persentase lahan pertanian yang dimiliki (termasuk orang luar) masih rendah. dan persentase lahan yang dimiliki dan digarap sendiri masih tinggi. Sementara itu dari sisi jarak, posisinya yang lebih dekat dengan Kota Cianjur sebenarnya menggambarkan bahwa desa-desa ini lebih jauh dari Bogor dan kawasan Puncak sebagai pusat aktivitas yang sangat berpengaruh di kawasan Cipanas dan sekitarnya.
Dari ketiga tipologi desa dan karakteristiknya ini tampak bahwa di kawasan Agropolitan Cianjur sebenarnya masih belum terbangun suatu keterpaduan pengelolaan kawasan mengingat pada kenyataanya perbedaan tipologi ini begitu nyata dengan semakin jauhnya jarak dengan Bogor dan Kawasan Puncak. Apabila dalan suatu kawasan Agropolitan mampu terjadi aliran sumberdaya yang saling menguntungkan maka kawasan ini akan mempunyai kesempatan yang sangat terbuka untuk bisa berkembang.
Satu hal lagi yang cukup mengkawatirkan adalah akses petani terhadap sumberdaya lahan di kawasan Agropolitan Cianjur juga mulai berkurang. Semakin banyak wilayah yang didominasi oleh penggarap daripada pemilik di samping ada wilayah-wilayah dimana sektor pertaniannya sudah mengalami pergeseran menjadi berbagai kawasan wisata, permukiman dan perdagangan. Apabila desa-desa dengan karakteristik tipologi 1 dan 2 ini dominan maka pembangunan kawasan Agropolitan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani menjadi sia -sia. Karena itu perubahan alih kepemilikan dan alih fungsi lahan ini juga harus menjadi perhatian agar kawasan agropolitan bisa terus berkembang secara berkelanjutan.
b. Tipologi Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes
Berdasarkan analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih yang dianggap mampu menggambarkan karakteristik perkembangan wilayah diperoleh 5 variabel
baru sebagai penciri utama karakteristik wilayah (Lampiran 14a).
Kelima variabel baru hasil analisisi PCA tersebut mampu mewakili
keragaman dari variabel asal sebesar 85.65% seperti dapat dilihat pada Lampiran
14b. Selanjutnya skor baru dari kelima faktor hasil analisis PCA ini dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan teknik analisis cluster. Hasil dari analisis cluster ini berupa pengelompokan wilayah berdasarkan karakteristik penciri utamanya. Dapat
dilihat pada Tabel 20, bahwa hasil analisis cluster menggolongkan desa-desa di
kawasan agropolitan Brebes ke dalam 3 kelompok dengan karaktersitiknya masing-masing.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa desa-desa pada kelompok I memberikan indikasi yaitu mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai wilayah pusat pelayanan bagi desa-desa lain. Hal ini terlihat dari wilayahnya yang sudah
mulai berkembang dimana sektor pertanian sudah tidak lagi dominan dan fasilitas umum yang ada juga relatif tersedia. Wilayah ini mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi desa pusat pertumbuhan di kawasan agropolitan Brebes.
Kemudian untuk wilayah-wilayah pada kelompok II kelihatannya merupakan wilayah transisi dimana peran sektor pertanian sudah mulai berkurang. Namun sayangnya masih banyak juga keluarga miskin yang tidak bisa terjangkau oleh listrik. Persentase pemilik sekaligus penggarap relatif rendah, dan persentase penggarap relatif tinggi. Fasilitas pertanian relatif rendah. Jadi kemungkinan besar berkembangnya desa-desa ini justru telah membuat penduduk lokal menjadi tersingkir. Untuk kondisi wilayah yang demikian maka harus ada upaya untuk memperbesar akses masyarakat terhadap lahan dimana selain ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga ditujukan untuk memperkuat kapasitas wilayah pusat produksi di kawasan agropolitan. Meskipun di desa-desa tersebut juga terdapat peluang untuk dikembangkan sebagai wilayah pusat pelayanan, namun kemungkinan hanya sedikit saja dari desa -desa ini yang mempunyai potensi untuk menjadi wilayah pusat pelayanan misalnya bisa dipilih desa -desa pada kelompok III yang jaraknya paling dekat dengan ibu kota kabupaten.
Tabel 20. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Brebes dan Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Nama Desa Karakteristik
Tipologi I Kamal, Brebes, Wlahar,
Pamulihan, Kedungbokor, Lar angan, Karangbale,
Luwunggede, Slatri, Sitanggal, Siandong, Rengaspendawa, Kaliwlingi
Jarak desa/kelurahan ke ibukota Kabupaten lain relatif dekat, persentase pemilik sekaligus penggarap rendah, persentase penggarap tinggi, Banyaknya keluarga yang menggunakan PLN relatif tinggi, jumlah murid SD yang dropout per 1000 penduduk rendah, jumlah buruh tani rendah
Tipologi II Padasugih, Limbangan Wetan, Limbang Kulon
Jumlah keluarga pertanian rendah, fasilitas umum relatif tersedia, fasilitas pertanian relatif kurang
Tipologi III Pemaron, Kalimati, Lembarawa, Krasak, Wangandalem, Terlangu, Pulosari, Gandasuli, Banjaranyar, Kaligangsa Kulon, Kaligangsa Wetan, Randusanga Kulon, Randusanga Wetan, Pasar baru, Sigambir, Pagejugan,
Kedunguter, Tengki
Jarak desa/kelurahan ke ibukota kabupaten lain relatif jauh, Persentase pemilik sekaligus penggarap tinggi, Persentase penggarap redah, banyaknya keluarga yang menggunakan PLN relatif rendah, fasilitas pertanian relatif banyak, jumlah buruh tani juga tinggi
Selanjutnya wilayah-wilayah pada kelompok III mempunyai karakteristik yang cukup menunjang bagi berkembangnya aktivitas produksi pertanian. Hal ini tampak dari akses petani tarhadap lahan yang masih relatif besar sehingga persentase pemilik sekaligus penggarap relatif tinggi dan persentase penggarap relatif rendah. Selain itu fasilitas pertanian juga relatif banyak dan ketersediaan buruh tani juga relatif tinggi. Namun demikian ketersediaan sarana listrik relatif kurang memadai, sehingga banyak keluarga yang belum berlangganan listrik PLN.
c. Tipologi Kawasan Agropolitan Pemalang
Dengan teknik dan cara yang sama analisis pentipologian juga dilakukan di wilayah Agropolitan Pemalang. Seperti sebelumnya, sebagai langkah awal dilakukan seleksi variabel yang secara logis mampu menggambarkan karakteristik desa-desa di kawasan Agropolitan Pemalang. Selanjutnya dari variabel-variabel terpilih tersebut kemudian dilakukan analisis PCA sehingga dihasilkan variabel-variabel baru yang lebih sederhana dan saling bebas. Hasil analisis PCA terhadap
variabel-variabel terpilih di kawasan agropolitan Pemalang disajikan pada Lampiran
15a. Hasil tersebut menunjukkan bahwa analisis PCA terhadap data pada kawasan
agropolitan Pemalang dapat menghasilkan 4 variabel baru yaitu faktor 1 sampai faktor 4 yang saling bebas. Keempat variabel baru ini mampu mewakili keragaman
dari variabel asal sebesar 72.99% (Lampiran 15b).
Hasil analisis cluster berdasarkan keempat fa ktor tersebut untuk kawasan
agropolitan Pemalang dapat dilihat pada Tabe l 21. Dari tabel tersebut terlihat bahwa
desa-desa pada tipologi 1 telah menunjukkan adanya konsentrasi penduduk dan aktivitas yang dikerjakan tidak hanya di sektor pertanian. Konsentrasi penduduk ini dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Sedangkan munculnya aktivitas non pertanian sebagai mata pencaharian bisa dilihat dari
persentase keluarga pertanian yang rendah dan persentase pemilik yang sekaligus menjadi penggarap yang relatif rendah. Dengan jumlah KK yang tinggi dan jumla h keluarga pertanian yang rendah menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai aktivitas di luar sektor pertanian. Namun ternyata proporsi jumlah keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga di desa-desa tipologi I ini relatif tinggi. Berarti meskipun aktivitas non pertanian berkembang tetapi kemungkinan besar aktivitas penggantinya adalah aktivitas yang nilai tambahnya juga tidak begitu besar. Karena itu proporsi keluarga pra sejahtera terhadap total keluarga menjadi tinggi karena aktivitas nelayan juga kurang memberikan nilai tambah.
Sementara itu untuk desa -desa pada tipologi II ternyata jauhnya jarak dengan ibukota kabupaten justru berdampak positif yaitu dapat memperkuat akses masyarakat terhadap lahan. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yaitu persentase penggarap rendah. persentase buruh tani rendah. persentase keluarga petani tinggi. dan persentase pemilik sekaligus penggarap juga tinggi. Namun yang menarik, desa-desa ini ternyata memiliki jumlah KK relatif tinggi tetapi mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang rendah. Kemungkinan meskipun tingkat kepadatannya rendah tetapi wilayah ini lebih dikuasai komunitas lokal yang terdiri dari keluarga-keluarga petani. Hal ini tentunya baik dimana desa-desa ini pada dasarnya mempunyai pote nsi pembentukan kelembagaan.
Tabel 21. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Pemalang dan Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Desa Karakteristik
Tipologi I Belik, Pulosari, Karangsari, Kuta
Kepadatan penduduk tinggi, persentase keluarga pertanian rendah, persentase pemilik sekaligus penggarap rendah, proporsi keluarga pra sejahtera terhadap jumlah total keluarga rendah
Tipologi II Gombong, Gunung Tiga,
Siremeng, Sikasur, Badak, Beluk, Batursari, Clekatakan,
Gunungsari, Mendelem, Bulakan, Pagenteran
Persentase penggarap rendah, persentase buruh tani rendah, kepadatan penduduk relatif rendah, jarak desa ke ibukota kabupaten jauh, persentase keluarga petani tinggi, persentase pemilik sekaligus penggarap tinggi, jumlah KK tinggi, ketersediaan fasilitas umum
Tipologi III Gunungjaya, Simpur, Gambuhan, Penakir, Nyalembeng, Cikedung, Kalisaleh,
Persentase penggarap tinggi, persentase buruh tani tinggi, jumlah KK tinggi, kepadatan penduduk rendah, persentase keluarga pertanian tinggi, persentase pemilik sekaligus penggarap tinggi, ketersediaan fasilitas umum rendah, persentase jumlah keluarga pra sejahtera I terhadap total jumlah keluarga tinggi
Hal menarik lainnya ternyata jumlah fasilitas umum di desa-desa tipologi II relatif tersedia. Fasilitas umum yang cukup memadai ini tentunya akan mendorong tumbuh kembangnya sektor pertanian dan kawasan agropolitan itu sendiri. Secara umum karakteristik desa-desa pada tipologi II ini sebenarnya sudah mulai mengarah kepada konsep pengembangan kawasan Agropolitan. Desa-desa ini sangat potensial terutama ditinjau dari sisi akses kepada lahan, kelembagaan dan infrastruktur. Sejauh ini di desa -desa inilah kawasan agropolitan Pemalang mulai dikembangkan.
Selanjutnya untuk desa-desa pada tipologi III ternyata secara umum kondisinya tidak jauh berbeda dengan desa-desa pada tipologi II. Namun terdapat satu perbedaan karakteristik yang cukup penting yaitu bahwa persentase jumlah keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga pada desa -desa tersebut tinggi.
d. Tipologi Kawasan Agropolitan Sleman
Berdasarkan hasil analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih yang menggambarkan karakteristik wilayah diperoleh 5 faktor utama yang bisa menjadi
penciri karakteristik wilayah (Lampiran 16a). Keempat faktor utama ini mampu
menggambarkan keragaman variabel asal sebesar 92.43% (Lampiran 16b).
Selanjutnya berdasarkan kelima faktor hasil PCA tersebut dilakukan analisis cluster untuk melihat pengelompokan wilayah berdasarkan karakteristiknya. Dari hasil pengelompokan wilayah dan karakteristiknya di atas. dapat dilihat bahwa desa-desa pada Tipologi I menunjukkan karaktersitik sebagai wilayah urban dan bisa dimanfaatkan sebagai wilayah pusat pelayanan bagi desa-desa lain di sekitarnya. Hal ini terlihat dari jumlah KK yang relatif lebih tinggi dan ketersediaan fasilitas
Desa-desa yang termasuk dalam Tipologi II mempunyai karaktersitik yang berpotensi untuk bisa dikembangkan menjadi wilayah sentra produksi. Hal ini bisa dilihat dari akses masyarakat terhadap lahan yang relatif masih tinggi. Dapat dilihat bahwa pada desa-desa ini persentase penggarap relatif rendah dan persentase buruh tani juga relatif rendah. Selain itu kondisi ini juga ditunjang oleh jumlah penganggur per 1000 penduduk yang relatif rendah.
Selanjutnya untuk desa -desa pada kelompok Tipologi III tampaknya mempunyai karakteristik sebagai desa-desa dengan kondisi kesejahteraan masyarakatnya relatif rendah. Infrastruktur yang dimiliki terbatas dan akses masyarakat terhadap lahan relatif rendah. Dengan demikian maka desa-desa seperti ini harus diberdayakan terlebih dahulu sebelum bisa berfungsi dalam menunjang perkembangan kawasan agropolitan. Untuk bisa menjadi wilayah produksi maka kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan melalui peningkatan akses masyarakat terhadap lahan. Selain itu infrastruktur wilayah yang bisa mendorong ke arah perbaikan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan sehingga bisa mendorong perkembangan wilayah ke arah yang lebih baik. Apabila kondisi wilayahnya telah menjadi lebih baik maka desa-desa ini akan siap menunjang pengembangan kawasan agropolitan terutama sebagai wilayah pusat produksi pertanian / hinterland.
Tabel 22. Pengelompokan Desa-Desa di Kawasan Agropolitan Sleman dan Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Nama Desa Karakteristik
Tipologi I Bangun Kerto, Donokerto, Giri Kerto, Wono Kerto, Pakem Binangun, Hargo Binangun
Jumlah KK relatif tinggi, proporsi keluarga pra sejahtera I terhadap tota l keluarga relatif rendah, ketersediaan fasilitas umum relatif tinggi, Jumlah pengangguran per 1000 peduduk relatif tinggi
Tipologi II Porwo Binangun, Wukir Sari, Argomulyo
Persentase penggarap relatif rendah, persentase buruh tani relatif rendah, jumlah pengangguran per 1000 penduduk relatif rendah, jarak desa / kelurahan ke kabupaten lain relatif jauh,
Tipologi III Candi Binangun, Harjo Binangun, Glagah Harjo, Kepuh Harjo, Umbul Harjo
Jumlah KK relatif rendah, proporsi keluarga pra sejahtera I terhadap total keluaraga relatif tinggi, ketersediaan fasilitas umum relatif rendah, persentase penggarap relatif tinggi, persentase buruh tani relatif tinggi, jarak desa / kelurahan ke kabupaten lain relatif jauh,