• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Analisis In vitro dengan Cairan Rumen

Amonia dalam cairan rumen merupakan produk antara dalam degradasi protein oleh mikroba dan sintesis protein. Apabila pakan defisien akan protein atau protein sulit didegradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba akan lambat. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan tergantung pula pada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut di degradasi (McDonald et al. 2002).

22

Tabel 6. Hasil analisis NH3 dan VFA pada uji in vitro pencernaan fermentatif

Keterangan : 1) K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2) Beberapa jenis asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) (asam asetat, propionat, butirat, gas metan, gas C02)

Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 tertinggi dimiliki oleh bungkil biji jarak pagar dengan perlakuan maserasi heksan dan metanol yaitu sebesar 29.37 mM, sedangkan konsentrasi terendah dimiliki oleh bungkil jarak dengan perlakuan perendaman dalam NaOH 4% yaitu sebesar 17.25 mM. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap konsentrasi NH3 pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 10) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang berada pada subset tertinggi dalam perolehan konsentrasi NH3 adalah sampel MA (maserasi), C (transesterifikasi pencucian metanol), B (transesterifikasi pencucian heksan), MB (maserasi dengan autoklaf).

Arora (1989) menjelaskan bahwa makanan dengan kandungan serat kasar rendah mudah dicerna dan memerlukan waktu yang pendek per satuan berat. BBJP dengan kandungan serat kasar yang tinggi akan sulit didegradasi karena mikroba rumen memerlukan yang lama untuk mendegradasinya, namun cukup untuk memenuhi kadar amonia normal untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu 5-17.65 mM (McDonald et al. 2002).

Ammonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena ammonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora 1995). Konsentrasi NH3 mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak dominan di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Tanpa mempertimbangkan kandungan senyawa toksik ataupun antinutrisi, maka semakin tinggi kandungan protein dalam bahan maka konsentrasi NH3 akan meningkat. Hal ini terlihat dari sampel MC (perendaman NaOH) yang memiliki kadar protein terendah (3.75%) memiliki konsentrasi NH3 yang paling rendah juga (17.25 mM). Dengan mempertimbangkan kadar senyawa toksik dalam bungkil, maka terlihat bahwa semakin rendah kandungan phorbol ester maka konsentrasi NH3 akan meningkat, sebagaimana terlihat pada sampel C (transesterifikasi pencucian metanol).

Efek senyawa antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar terhadap konsentrasi NH3 telah diteliti oleh Juniastica (2008) dan Afriyanti (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada cairan rumen sapi dan kerbau tidak dipengaruhi oleh penambahan antinutrisi kurcin BBJP sampai taraf 3% dalam ransum.

Sampel

Bungkil 1) mM NH3

VFA (mM)

C2 C3 1C4 nC4 iC5 nC5 Total VFA K 34.94 71.02 23.44 3.56 9.41 5.72 3.2 116.36 A 23.19 21.93 9.33 3.24 2.34 2.18 0 39.01 B 28.75 47.81 21.88 4.8 5.23 5.16 1.91 86.79 C 29.13 37.51 15.74 4.01 4.14 3.97 3.25 68.61 MA 29.37 34.15 14.41 3.19 3.06 3.41 0 58.22 MB 26.09 40.93 15.03 5.00 3.38 2.96 0 67.28 MC 17.25 30.07 12.25 2.35 3.58 2.48 0 50.74 MD 20.62 42.33 17.22 3.39 2.59 4.06 1.36 49.78

23

4.3.2. Konsentrasi VFA

VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat berupa asetat, propionat, dan butirat serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora 1989). Bersama – sama amonia (NH3), VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba (Sutardi 1980).

Hasil pengukuran produksi VFA total (Tabel 6) menunjukkan bahwa produksi VFA tertinggi dimiliki oleh BBJP kontrol yaitu sebesar 116.36mM. Tingginya nilai VFA yang dimiliki BBJP kontrol disebabkan adanya kandungan asam asetat yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi kadar VFA total. Tingginya konsentrasi asetat dalam cairan rumen berhubungan dengan tingginya proporsi hijauan atau pakan berserat yang dikonsumsi (McDonald et al. 2002).

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA (Lampiran 11) diketahui bahwa perlakuan detoksifikasi berpengaruh nyata terhadap produksi VFA total. Berdasarkan pada Tabel 6, usaha detoksifikasi terbaik berdasarkan kandungan VFA tertinggi dimiliki oleh perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan heksan (B) sebesar 86.79 mM, sedangkan produksi VFA total terendah dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan air (A) yaitu sebesar 39.01 mM. Kadar VFA optimal /normal untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah sebesar 80-160 mM (Sutardi 1979).

Dari uji fermentabilitas in vitro pada cairan rumen, menunjukkan bahwa usaha detoksifikasi tidak mempengaruhi kandungan VFA total. Pengujian pemanfaatan BBJP secara in vitro

menggunakan inokulum cairan rumen yang mengandung mikroba tidak dapat menggambarkan efek dari racun phorbol ester karena senyawa ini tidak memiliki antimikroba. Sehingga diperlukan pengujian secara biologis untuk melihat dampak dari pengolahan yang dilakukan dan pemanfaatan langsung pada ternak secara in vivo (Suparjo 2008).

4.3.3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Persentase KCBK dan KCBO merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka zat – zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak juga semakin tinggi (Sutardi 1979). Kecernaan bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : 1) adanya enzim yang mempengaruhi lingkungan fisiologis rumen, 2) komposisi nutrien bahan pakan dan antinutrisi yang terkandung dalam pakan dan 3) kapasitas saluran pencernaan ternak (Church 1979).

Nilai rata-rata KCBK BBJP terdetoksifikasi berkisar dari 17.31 – 45 g/100 g sedangkan rata-rata nilai KCBO BBJP adalah 21.08 – 46.42 g/100 g. Perlakuan yang menunjukkan nilai KCBK dan KCBO tertinggi dimiliki oleh sampel MD (Autoklaf), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh sampel MC (Perendaman NaOH dan autoklaf). Hasil analisis kecernaan bahan kering dan organik bungkil biji jarak terdetoksifikasi disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan (Lampiran 12) terhadap nilai KCBK dengan signifikansi 0.00 (P<0.05) menunjukkan bahwa sampel MC (perendaman NaOH) memiliki nilai KCBK terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A dan MB, akan tetapi berbeda nyata dengan sampel B, MA, C dan MD. Analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap nilai KCBO pada tingkat dengan signifikansi 0.00 (P<0.05) menunjukkan bahwa sampel MC (perendaman NaOH) memiliki nilai KCBO terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A akan tetapi berbeda nyata dengan sampel lainnya.

24

Tabel 7. Hasil Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Sampel Bungkil g/ 100 g KCBK g/ 100 g KCBO

Bungkil awal (K) 45.36 47.47 Cuci air (A) 29.61 31.58 Cuci heksan(B) 39.48 39.70 Cuci metanol (C) 42.79 45.53 Maserasi (MA) 39.65 38.65 Maserasi + autoklaf (MB) 35.44 36.57 Maserasi NaOH (MC) 17.31 21.08 Autoklaf (MD) 45.00 46.42

Keterangan : K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf.

Komposisi bahan pakan berpengaruh tingkat kecernaan bahan. Tingginya nilai KCBK dan KCBO dari sampel bungkil awal dan sampel MD dapat disebabkan oleh tingginya kadar bahan organik dalam bahan seperti kadar minyak dan kadar protein yang bisa tercerna. Kandungan serat kasar sangat berpengaruh terhadap nilai kecernaan, semakin tinggi kandungan serat, maka kecernaan akan semakin rendah karena pencernaan serat sangat tergantung pada kemampuan mikroba rumen. Rendahnya nilai KCBK dan KCBO disebabkan karena kandungan lignin dari cangkang BBJP yang cukup tinggi. Menurut Tillman et al. (1989), lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia termasuk juga degradasi enzimatik. Nilai kecernaan bahan organik dari bungkil terdetoksifikasi berkisar 21.08 – 46.42 g/100 g. Nilai ini lebih rendah dibanding bungkil kernel biji jarak pagar yang mencapai 77.3-78% (Makkar dan Becker 2009). Sedangkan kecernaan bahan organik untuk bungkil kedelai adalah sebesar 87.9%.

Berdasarkan analisis terhadap serangkaian uji seperti analisis proksimat, uji phorbol ester, dan uji fermentabilitas in vitro pada sampel BBJP dipilih satu perlakuan untuk diujikan secara in vivo terhadap mencit (Mus musculus) yaitu sampel C (transesterifikasi dengan pencucian metanol). Pemilihan sampel C didasarkan atas rendahnya kandungan phorbol ester (menunjukkan nilai terrendah) ditunjang dengan kadar protein yang tinggi dan kadar serat yang cukup rendah dibandingkan sampel lainnya. Selain itu, kadar VFA, NH3 dan nilai kecernaan (KCBK dan KCBO) menunjukkan nilai yang cukup baik dibandingkan sampel perlakuan lainnya. Waktu proses yang lebih singkat dan kebutuhan energi proses yang dianggap lebih rendah (pemanasan selama 2 jam, suhu 60oC) pada perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol menjadi pertimbangan tersendiri.

Kadar proksimat contoh hasil transesterifikasi dengan cuci metanol menunjukkan bahwa contoh tersebut berada pada kisaran standar pakan untuk sapi potong induk dan sapi perah dara. Kadar serat contoh lebih tinggi daripada kadar serat standar pakan sapi perah dara. Namun dengan kadar serat tersebut, ampas bungkil jarak pagar masih cocok digunakan untuk pakan ruminansia seperti kambing, sapi dan kerbau (Makkar dan Becker 1999). Hal ini dikarenakan ruminansia memiliki bakteri rumen yang menghasilkan enzim selulase sehingga serat (termasuk selulosa) dapat dicerna (Putra 2009). Kadar proksimat pakan ternak (ayam petelur, ayam ras pedaging, sapi perah dara dan sapi potong induk) dapat dilihat pada Lampiran 14.

25

Dokumen terkait