IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Detoksifikasi dan Analisis Data
4.2.1. Analisis Proksimat Hasil Detoksifikasi
Hasil proksimat setelah perlakuan detoksifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, detoksifikasi dapat mempengaruhi parameter analisis proksimat. Berdasarkan analisis statistika menggunakan uji keragaman (anova satu arah), kadar air BBJP antara sebelum dan setelah detoksifikasi menunjukkan perbedaan yang nyata (sig <0.05) (Lampiran 4). Penurunan kadar air ini disebabkan adanya pemanasan yang dilakukan setelah detoksifikasi menggunakan oven. Kadar air yang berbeda nyata dengan kadar air awal ditunjukkan oleh kelompok perlakuan C (transesterifikasi pencucian metanol), B (transesterifikasi pencucian heksan), MB (maserasi dan autoklaf), dan MD (BBJP hanya di autoklaf).
Tabel 4. Kandungan kimia BBJP setelah detoksifikasi (%BK)
Sampel1) Kadar air2) Kadar lemak2) Serat kasar2) Protein2) Bungkil awal (K) 8.75c 24.80c 39.12ab 25.28d Cuci air (A) 8.15c 13.50b 48.48bc 20.97b Cuci heksan (B) 3.29a 2.74a 45.11abc 24.86cd Cuci metanol (C) 2.47a 14.17b 34.93a 21.07bc Maserasi (MA) 6.93b 3.93a 45.19ab 30.57e Maserasi + autoklaf (MB) 3.46a 2.55a 40.67ab 25.87d Maserasi NaOH (MC) 6.70b 4.79a 56.96c 4.02a Otoklaf (MD) 3.73a 24.19c 38.38ab 20.73bc
Keterangan : 1)K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2) Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset yang sama
Pada uji kadar lemak contoh setelah detoksifikasi menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0.00 (sig<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar lemak contoh. Hasil analisis proksimat sebelum detoksifikasi pada uji kadar lemak menunjukkan nilai sebesar 24.80%sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki nilai kadar lemak terkecil (berbeda nyata) adalah MB (maserasi autoklaf) sebesar 2.55%, B (transesterifikasi dengan pencucian heksan) sebesar 2.74%, MA (maserasi tanpa autoklaf) sebesar 3.93%, dan MC (maserasi dengan NaOH autoklaf) sebesar 4.79%. Penurunan kadar lemak contoh ini disebabkan karena lemak larut dalam pelarut organik. Girindra (1990) menyampaikan bahwa lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti kloroform, eter, dan benzena.
Protein merupakan senyawa polimer yang tersusun dari satuan – satuan molekul yang saling berikatan. Satuan molekul itu disebut asam amino. Masing – masing asam amino saling dihubungkan oleh suatu ikatan kovalen yang disebut ikatan peptida (Sumartini & Kartasubrata, 1992). Detoksifikasi juga berpengaruh nyata terhadap kadar protein pada contoh. Kadar protein pada contoh sebelum detoksifikasi sebesar 25.28%.Nilai kadar protein yang berbeda nyata dengan contoh sebelum detoksifikasi terjadi pada perlakuan MA (maserasi tanpa autoklaf) sebesar 30.57%, MB (maserasi dengan autoklaf) sebesar 25.87%, dan B (transesterifikasi dengan pencucian heksan) sebesar 24.86%. Kenaikan kadar protein ini disebabkan adanya penurunan
18
kadar lemak dan kadar air, sehingga persentase kadar protein meningkat. Sedangkan penurunan kadar protein terjadi pada MC, A, MD dan C. Penurunan ini terjadi karena adanya pemanasan dan penggunaan NaOH (pada perlakuan MC) yang menyebabkan perubahan struktur protein (denaturasi).
Winarno (2008) menyebutkan bahwa perubahan struktur protein (denaturasi protein) dapat terjadi akibat beberapa faktor diantaranya adalah panas, pH, bahan kimia, mekanik, urea, garam guanidina, dan sebagainya. Putra (2009) menyebutkan bahwa terdapat dua tipe perubahan yang terjadi, yaitu (1) Interaksi antara rantai – rantai (diantara rantai samping polipeptida) yang menghasilkan ikatan, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi, (2) Interaksi antara rantai dan pelarut (antara molekul pelarut dan grup rantai samping) yang menghasilkan solubilitas, disosiasi, pembengkakan dan denaturasi.
Makanan dengan kadar serat tinggi cenderung meningkatkan bobos feses, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna, dan dapat mengontrol metabolisme glukosa dan lipid (Almatsier 2002 dalam Endra 2006). Kalangan ahli gizi mengatakan bahwa serat biasa dibedakan menjadi serat larut dan serat tidak larut (serat kasar). Serat larut, seperti pektin (yang biasanya lekat pada tangan) akan mengalami fermentasi di usus dan menghasilkan produk akhir yang biasanya memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Serat tidak larut, misalnya selulosa dan lignin membantu penyerapan air pasif, membuat feses lebih menggumpal dan mempersingkat perjalanannya di usus besar. Serat kasar (crude fiber) tersusun atas selulosa, gum, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pati merupakan polisakarida terpenting dalam tumbuh – tumbuhan karenanya merupakan zat paling penting dalam ransum ternak. Serat berfungsi sebagai sumber energi, sumber protein, sumber vitamin, dan mineral (Putra 2009).
Kadar serat kasar contoh sebelum perlakuan adalah 39.12%. Kadar serat kasar contoh setelah perlakuan yaitu (A) transesterifikasi dengan pencucian air sebesar 48.48%, (B) transesterifikasi dengan pencucian heksan sebesar 45.11%, (C) transesterifikasi dengan pencucian metanol sebesar 34.93%, (MA) maserasi tanpa autoklaf sebesar 45.19%, (MB) maserasi dengan autoklaf sebesar 40.67%, (MC) maserasi dengan NaOH autoklaf sebesar 56.96%, (MD) BBJP kontrol di autoklaf sebesar 38.38%. Berdasarkan hasil analisis statistika uji keseragaman (ANOVA satu arah) terhadap kadar serat menunjukkan bahwa sampel BBJP sebelum dan setelah perlakuan detoksifikasi baik dengan maserasi maupun transesterifikasi berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 6). Kadar serat kasar tertinggi dimiliki oleh sampel bungkil terdetoksifikasi dengan metode peredaman NaOH (MC). Tingginya kadar serat dalam sampel MC lebih disebabkan karena kandungan protein, minyak dan air dalam bahan yang rendah sehingga persentase serat meningkat. Selain itu proses perendaman dalam NaOH juga akan melarutkan lignin dalam bungkil sehingga fraksi serat dalam sampel cenderung tinggi.
Sampel BBJP yang telah didetoksifikasi mengalami perubahan warna seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8. Sampel BBJP hasil maserasi dengan penambahan NaOH mengalami perubahan warna menjadi hitam. Perubahan ini disebabkan adanya penambahan NaOH yang mengakibatkan terjadinya dekomposisi pada BBJP yang memiliki kandungan polisakarida tinggi. Menurut Soeharsono (1978), larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida. Perubahan ini terjadi pada atom C anomerik dan atom C tetangganya tanpa mempengaruhi atom-atom C lainnya. Jika D-glukosa dituangi larutan basa encer maka sakarida itu akan berubah menjadi campuran: D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa. Perubahan menjadi senyawaan tersebut melalui bentuk-bentuk enediolnya. Bilamana basa yang digunakan berkadar tinggi maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi sehingga monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi (Soeharsono 1978).
19
Sampel BBJP yang hanya autoklaf mengalami warna kecoklatan diduga disebabkan rusaknya struktur protein akibat pemanasan pada suhu tinggi (suhu 1210C). Pengaruh penambahan pelarut organik baik pada proses maserasi maupun transesterifikasi tidak mengubah warna secara signifikan, namun setelah mengalami pengeringan pada oven suhu 600C warna sampel berubah menjadi lebih terang (Gambar 7 dan 8).
Gambar 7. BBJP hasil detoksifikasi dengan maserasi (pelarut)
Gambar 8. BBJP hasil detoksifikasi dengan transesterifikasi
4.2.2. Analisis Phorbol Ester Setelah Detoksifikasi
Hasil uji analisis phorbol ester dilakukan terhadap sampel yang telah didetoksifikasi. Hasil pengujian analisis phorbol ester dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Berdasarkan analisis data statistika menggunakan uji keragaman satu arah (ANOVA) terhadap sampel yang didetoksifikasi menunjukkan nilai sig 0.00 (P<0.05) sehingga dapat disimpulkan
Cuci Metanol
Cuci Heksan
20
bahwa usaha detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar phorbol ester dalam sampel (Lampiran 8).
Tabel 5. Rataan hasil analisis phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi
Sampel 1) Phorbol ester dalam sampel (mg/g) 2) Bungkil awal (K) 795.78±0.00 d
Cuci air (A) 18.98±13.03 b
Cuci heksan (B) 1.04±0.26 a Cuci metanol (C) ND a 3) Maserasi (MA) 18.91±12.54 b Maserasi + autoklaf (MB) 0.78±0.23 a Maserasi NaOH (MC) 1.14±0.70 a Autoklaf (MD) 73.92±8.12 c
Keterangan : 1) K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD = BBPJ hanya di autoklaf. 2) Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset yang sama. 3) ND = Not Detected
Nilai kadar phorbol ester terkecil didapat oleh perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol (C). Nilai phorbol ester dalam sampel C tidak terbaca oleh HPLC karena nilainya sangat kecil, yaitu hampir mencapai 0.00. Selain perlakuan C, perlakuan MB berada pada subset yang sama dan memiliki nilai kadar phorbol ester yang kecil juga yaitu 0.78. Penurunan kadar phorbol ester yang tinggi dalam proses transesterifikasi dengan pencucian metanol disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut (KOH) mampu merusak struktur phorbol ester. Proses maserasi yang dilakukan sampel menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Dengan adanya prinsip maserasi ini, sampel yang telah dimaserasi mengalami penurunan kadar lemak. Phorbol ester dapat larut dengan pelarut organik saat perendaman menggunakan pelarut. Senyawa Phorbol ester merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada bungkil biji jarak pagar yang terlarut dalam pelarut organik karena adanya perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel.
Berdasarkan hasil perhitungan, kadar phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi berkisar dari tidak terdeteksi (ND) hingga 73.92 mg/g bungkil jarak. Nilai ini jauh dibawah kadar
phorbol ester dalam bungkil awal yang mencapai 795.78 mg/g bungkil. Untuk sampel C (transesterifikasi dengan pencucian methanol) kadar phorbol ester dalam sampel menunjukkan nilai yang paling kecil karena bentuk peak phorbol ester tidak jelas hanya berupa noise dalam kromatogram. Kadar phorbol ester tertinggi dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan autoklaf saja (MD). Hasil kromatogram HPLC menunjukkan keberadaan phorbol ester dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 9.
Phorbol ester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota
21
et al. 1998) yang dapat diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al.2006).Phorbol ester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar dan dalam air (Ahmed dan Salimon 2009). Hal inilah yang menyebabkan kadar phorbol ester dalam sampel yang dimaserasi ataupun dicuci dengan metanol cukup rendah. Kelarutan phorbol ester dalam metanol jauh lebih tinggi dibandingkan kelarutan dalam air. Hal ini terlihat dari kadar phorbol ester
bungkil jarak pagar perlakuan transesterifikasi yang dicuci dengan metanol (0.00 mg/g bungkil) jauh lebih rendah dibandingkan kadar phorbol ester dalam bungkil yang dicuci dengan air (18.98 mg/g bungkil).
Penurunan kadar phorbol ester yang besar dalam proses transesterifikasi disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut mampu merusak struktur phorbol ester. Perlakuan pencucian setelah proses transesterifikasi menggunakan heksan mampu membuat kadar phorbol ester menjadi 1.04 mg/g. Hal ini dikarenakan heksan mampu melarutkan minyak yang masih mengandung phorbol ester dalam bungkil sehingga kadar phorbol ester semakin berkurang.
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan (Lampiran 5) terhadap kadar phorbol ester pada usaha detoksifikasi yang memiliki nilai signifikasi sebesar 0.00(P<0.05). menunjukkan bahwa sampel C (transesterifikasi dengan pencucian metanol) memiliki kadar phorbol ester terendah dan tidak berbeda nyata dengan MB, B dan MC akan tetapi berbeda nyata dengan sampel MA, A, MD dan K.
Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk menghilangkan phorbol ester pada jarak pagar. Perlakukan panas yang diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa phorbol ester dapat mengeliminasi banyak senyawa racun dan antinutrisi dari varietas jarak yang beracun (Makkar dan Becker 1997). Perlakukan panas yang dikombinasikan dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan sodium hypochlorite dapat menurunkan kandungan phorbol ester hingga 75%. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi phorbol ester
hingga 55%, dan proses degumming dan deodorisasi dapat menurunkan kadar phorbol ester
menjadi lebih rendah (Hass et al. 2002). Phorbol ester alami tidak stabil dan rentan terhadap oksidasi, hidrolisis transesterifikasi dan epimerization selama prosedur isolasi (Hass et al. 2002).
Kandungan phorbol ester pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. (1998) melaporkan kandungan phorbol ester untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung phorbol ester
paling tinggi yaitu 2.7 mg/g kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g kernel. Makkar juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum matang) mengandung senyawa phorbol ester yang lebih tinggi.