• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stubs (1983: 1) mengatakan, analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di samping itu, bagi Brown dan Yule (1983: 1) analisis wacana adalah investigasi terhadap penggunaan bahasa pada suatu teks yang dianggap sebagai komunikasi verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana merupakan kajian yang digunakan untuk menginvestigasi penggunaan bahasa pada suatu wacana baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Mohammad A.S. Hikam dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (1996: 78-86) membagi tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pertama, pandangan positivisme-empiris memisahkan antara pemikiran dan realitas. Seseorang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang

mendasari pernyataan dalam sebuah wacana. Titik perhatian berdasarkan pada sintaksis dan semantik dalam suatu pernyataan. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata urutan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Pandangan kedua, konstruktivisme, bahasa yang digunakan seseorang memiliki tujuan tertentu dan subjek memiliki kemampuan untuk mengontrol maksud tertentu dalam wacana. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk mengurai maksud dan makna tertentu dalam suatu wacana. Ketiga, pandangan kritis. Bahasa dianggap terlibat dalam hubungan kekuasaan terutama dalam membentuk subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Individu dapat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat yang menjadikan individu sebagai subjek yang tidak netral. Oleh karena itu, analisis wacana menekankan pada kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Jadi, analisis wacana menurut pandangan kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa seperti perspektif yang mesti dipakai, batasan-batasan yang diperkenankan menjadi wacana, dan topik yang dibicarakan.

Menurut Fairclough (2001: 125), analisis wacana yang menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan adanya keterkaitan antara kekuasaan dan ideologi di dalam sebuah wacana. Bagi Badara (2012: 26) analisis wacana kritis adalah suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas, berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Senada dengan Fairclough dan Badara, Richards dan Schmidt (2002: 161) mengemukakan bahwa dalam analisis wacana kritis, wacana digunakan untuk

menunjukkan tidak hanya jenis pembicaraan tetapi juga makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pembicaraan. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana kritis merupakan upaya dalam melihat bahasa di dalam sebuah wacana yang menjadi faktor penting untuk pengungkapan ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat.

Analisis wacana kritis mempunyai karakteristik penting seperti yang disarikan oleh Eriyanto dari Van Dijk, Fairclough, dan Wodak (2012: 7-14) sebagai berikut:

1. Tindakan

Wacana dipandang sebagai bentuk interaksi dan dipahami sebagai sebuah tindakan. Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, menimbulkan beberapa konsekuensi dalam memandang sebuah wacana. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan dan mengandung maksud tertentu baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami bukan sebagai sesuatu yang di luar kendali, namun diekspresikan secara sadar dan terkontrol.

2. Konteks

Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis secara kritis dengan mempertimbangkan konteks. Konteks tidak hanya sesuatu yang dilisankan, tetapi juga kejadian-kejadian nonverbal lain, yaitu keseluruhan wacana. Konteks wacana dalam gagasan Sumarlam (2003: 47) merupakan aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Di samping itu,

Halliday dan Hassan (1994: 6) berpendapat bahwa konteks berperan sebagai jembatan antara teks dan situasi tempat teks terjadi. Konteks mendahului teks karena situasi ada lebih dahulu dari wacana yang berhubungan dengan situasi tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan konteks yang lebih terperinci yaitu komponen tutur SPEAKING (situation, partisipants, ends, acts, key,

instrument, norms, dan genre) yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1989: 62). Situation (S) yang terdiri atas setting dan scene, yang bersifat fisik dan meliputi

tempat atau waktu terjadinya tuturan. Partisipant (P) yaitu mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima. End (E), meliputi maksud atau tujuan dan hasil. Hasil berupa tanggapan atas suatu pertuturan. Act sequence (A), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan. Key (K), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan. Instrument (I), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan. Selanjutnya, norm (N) mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyataan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan. Genre (G) mencakup jenis bentuk penyampaian pesan seperti pidato, doa, surat, iklan, dan sebagainya.

Di bawah ini adalah contoh komponen tutur SPEAKING. (2) Côte-d'Or: ils forçaient des enfants à se frapper entre eux

Six jeunes hommes d'une vingtaine d'années ont été interpellés mardi pour avoir forcé des jeunes enfants de 9 et 10 ans à se frapper entre eux, à Quetigny, en Côte-d'Or, rapporte le Bien Public.

Trois des suspects ont été mis en examen pour provocation de mineur de moins de 15 ans à commettre des violences, violences sans

incapacité sur mineur de 15 ans et port d’arme. Une information

judiciaire est ouverte.

Les gendarmes ont été mis sur leur piste après plusieurs semaines d'enquête, alors que des bruits couraient qu'un groupe de jeunes hommes terrorisait des enfants, tirant sur eux avec des pistolets à billes, et le forçant à combattre entre eux. Trois victimes ont été identifiées, et deux ont porté plainte, selon le quotidien.

(http://www.bfmtv.com/societe/cote-dor-forcaient-enfants-a-se-frapper-entre-eux-646546.html) (Côte-d'Or: mereka memaksa anak-anak untuk memukul mereka Enam pemuda dua puluhan tahun telah ditangkap pada hari Selasa karena telah memaksa anak-anak yang berusia 9 dan 10 tahun untuk memukul mereka di Quetigny, Côte-dOr, kata Bien Public.

Tiga tersangka telah didakwa atas hasutan kepada anak-anak di bawah umur 15 tahun untuk melakukan kekerasan, kekerasan hak pada anak di bawah umur 15 tahun dan membawa senjata. Sebuah investigasi kriminal dibuka.

Para polisi telah berada di jejak mereka setelah beberapa minggu penyelidikan, sementara rumor adalah sekelompok pemuda meneror anak-anak, menembak mereka dengan pistol bola dan memaksanya untuk melawan mereka. Tiga korban telah diidentifikasi, dan keduanya telah mengeluh, menurut surat kabar itu.)

Pada contoh (2) dapat diketahui situation-nya di Quetigny, Côte-dOr.

Partisipant yang terdapat pada contoh (2) di atas yaitu six jeunnes hommes d’une vingtaine d’années (enam pemuda dua puluhan tahun), des jeunes enfants de 9 et

10 ans (anak-anak yang berumur 9 dan 10 tahun), dan les gendarmes (para polisi). End dari wacana di atas adalah penangkapan enam pemuda yang meneror

anak-anak dan membawa senjata.

Act sequence didahului dengan mendeskripsikan peristiwa dari umum ke

khusus. Dimulai dari peristiwa yang sedang terjadi yaitu telah ditangkapnya pelaku yang telah memaksa anak-anak untuk memukul. Kemudian, paragrafnya dikembangkan dengan investigasi yang menghasilkan identifikasi korban. Key dari contoh (2) dapat diketahui bahwa adanya dukungan atas aksi atau tindakan dari para polisi dalam menangkap para pelaku. Instrument bahasanya berbentuk

tulisan berbahasa Prancis. Selanjutnya, norm pada contoh (2) yaitu mendeskripsikan tindakan penangkapan pelaku teror terhadap anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh para polisi. Genre wacananya berupa berita.

3. Histori

Wacana diproduksi dalam konteks tertentu ketika wacana ditempatkan dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Untuk dapat mengerti suatu teks, adapun aspek penting yang diperhatikan yaitu dengan menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu.

4. Kekuasaan

Aspek kekuasaan perlu pula untuk dikritisi untuk mengamati hal-hal yang tersembunyi karena wacana yang muncul dalam bentuk teks maupun percakapan merupakan bentuk pertarungan kekuasaan dan bukan sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral. Kekuasaan berperan sebagai suatu kontrol untuk mengontrol seseorang atau kelompok lain melalui wacana. Kontrol tersebut tidak selalu dalam bentuk fisik dan langsung, tetapi dapat berbentuk psikis atau mental yang tersirat pada kosakata atau konteks dalam suatu wacana.

5. Ideologi

Ideologi dipersepsikan sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Di sisi lain, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Wujud dari suatu

ideologi dapat dilihat melalui teks, percakapan, dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menganalisis suatu wacana harus dilihat konteks terutama ideologi yang berperan dalam membentuk wacana.

Dokumen terkait