• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELAS LERENG

4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor

Dalam membuat peta risiko tanah longsor, harus diawali dengan membuat peta properti. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu wilayah. Peta properti dibangun dari penggabungan beberapa peta , antara lain peta infrastruktur (point), peta jaringan jalan (line), dan peta penggunaan lahan (poligon ).

Dalam peta properti, harus memuat nilai properti dari suatu wilayah yang menggambarkan nilai ekonominya , baik yang tidak digunakan (seperti lahan tidur) maupun berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di atasnya, seperti pemukiman, industri, sawah, tegalan , kolam/tambak, dan infrastruktur lainnya. Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masing-masing unsur dari setiap peta.

Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta -peta tersebut juga dilakukan buffering. Dengan buffering akan membentuk suatu area , poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi atau melindungi objek spasial. Buffering hanya dilakukan pada dua peta , yaitu peta infrastruktur dan jaringan jalan, sedangkan peta penggunaan lahan tidak dilakukan buffering karena batasan dari masing -masing penggunaan lahan

sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan garis untuk mendapatkan suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya.

4.5.1. Peta Infrastruktur

Peta Infrastruktur diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1999. Berdasarkan peta Peta RBI tersebut, infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas 17 jenis.

Untuk mengetahui nilai dari masing-masing jenis infrastruktur tersebut guna menentukan nilai propertinya, diberikan skor berdasarkan kriteria penilaian tertentu . Dalam penelitian ini, kriteria penilaian yang dipakai adalah fisik, manusia , dan manfaat (utilitas). Skor dinyatakan dalam angka tertentu berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya. Skor dari masing -masing jenis infrastruktur secara terperinci disajikan dalam Tabel 19 .

Tabel 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur

No Jenis Infrastruktur Fisik Manusia Manfaat Total Buffering (m)

1 Bangunan Terpencar 3 2 2 7 50 2 Gereja 2 2 2 6 20 3 Kantor Camat 2 2 2 6 20 4 Kantor Desa 2 2 2 6 20 5 Kantor Lurah 2 2 2 6 20 6 Kantor Polisi 2 2 2 6 20 7 Masjid 2 2 2 6 20 8 PLTD 3 1 2 6 50 9 Pasar 3 3 3 9 100 10 Pelayanan Pos 2 2 2 6 20 11 Pelayanan Telepon 2 2 2 6 20 12 Rumah Sakit/Puskesmas 3 3 3 9 50 13 Sekolah 3 3 3 9 50

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Terdapat empat jenis infrastruktur yang tidak dima sukkan dalam penilaian, sehingga jumlah infrastruktur dalam Tabel 19 hanya berjumlah 13 jenis. Keempat jenis insfratruktur tersebut adalah Kuburan Islam, Kuburan Kristen, Talang, dan Tonggak Kilometer. Hal ini karena diasumsikan keempat jenis

59

infrastruktur tersebut memiliki agregasi nilai fisik, manusia, dan manfaat yang sangat kecil.

Kriteria penilaian yang meliputi fisik, manusia, dan manfaat (utilitas) ditentukan berdasarkan nilai atau atribut yang dimiliki. Semakin tinggi nilai atau atribut yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang diberikan , begitu pula sebaliknya.

Untuk kriteria fisik, atribut yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis infrastruktur yang ada. Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan berdasarkan utilitas yang dapat diperoleh dari jenis infrastruktur tersebut.

Pemberian jarak buffering dari masing-masing infrastruktur sebagaimana disajikan dalam Tabel 19 berbeda-beda meskipun beberapa diantaranya ditentukan pada jarak yang sama . Jarak buffering diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan selama survai. Dasar penentuan jarak buffering adalah luasan dari suatu jen is infrastruktur. Semakin luas area suatu infrastruktur, maka jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh. Sebagai contoh, pasar diberikan jarak buffering yang lebih jauh dibandingkan sekolah karena luasan area pasar yang lebih luas.

4.5.2. Peta Jaringan Jalan

Jaringan jalan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan diperoleh dari Peta RBI skala 1:25 .000 tahun 1999 (Bakosurtanal) dan infomasi yang dikumpulkan dari Bappeda Kabupaten Sumedang . Berdasarkan dua sumber informasi tersebut, jenis jalan yang teridentifikasi meliputi arteri primer, kolektor primer, lokal primer, kolektor, lokal, dan setapak. Skor jenis jalan ditentukan berdasarkan fungsi dan peranannya. Semakin berarti dan besar peranan dari suatu jenis jalan , nilai yang diberikan akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.

Kriteria penilaian dalam memberikan skor dari masing -masing jenis jalan meliputi fisik dan manfaat, minus manusia. Manusia tidak dimasukkan sebagai kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia dalam melakukan berbagai aktivitasnya , sehingga keberadaan manusia di jalan (untuk semua jenis) bersifat dinamis. Artinya , tidak berada di jalan dalam jangka waktu yang lama atau tidak menetap.

Sebagaiman a dalam penilaian risiko terhadap jenis-jenis infrastruktur, buffering juga dilakukan untuk jenis jalan, yang ditentukan berdasarkan lebar dan

fungsinya. Skor dan jarak buffering dari masing -masing jenis jalan secara lengkap dan terperinci disajikan dalam Tabel 20 .

Tabel 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan

No. Jenis Jalan Fisik Manfaat Total Buffering (m)

1 Arteri Primer 3 3 6 100 2 Kolektor Primer 3 2 5 80 3 Lokal Primer 3 2 5 80 4 Kolektor 3 2 5 80 5 Lokal 2 2 4 50 6 Setapak 1 1 2 20

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 20 , terlihat bahwa nilai dan jarak buffering tertinggi terdapat pada jenis jalan arteri primer, masing-masing diberikan Skor 6 dan jarak 100 meter. Hal ini mengingat fungsi dan peranan jenis jalan ini yang lebih penting diantara jenis-jenis jalan lainnya .

Jalan setapak diberikan skor terendah 2 dengan jarak buffering 20 meter karena secara fisik dan manfaat, jenis jalan ini kurang menentukan risiko dari bahaya longsor. Keberadaan jenis jalan ini pada dasarnya adalah tidak termasuk dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah serta muncul dengan sendirinya akibat perlintasan masyarakat. Frekuensi lintasan di jalan ini pun sangat rendah dan relatif hampir tidak ada kerugian apa -apa secara material kalau jalan jenis ini rusak karena longsor.

4.5.3. Peta Penggunaan Lahan

Berbeda dengan dua peta sebelumnya dimana masing -masing jenis infrastruktur dan jalan diberikan skor yang dilanjutkan dengan pemberian buffering, dalam penilaian jenis penggunaan lahan tidak dilakukan. Hal ini karena dalam Peta Penggunaan Lahan, jenis penggunaan lahan sudah tergambar berupa poligon-poligon dan batas-batas tertentu , sehingga tidak perlu dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia, dan manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 21.

61

Tabel 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan

No. Penggunaan Lahan Fisik Manusia Manfaat Total

1 Air 1 1 3 5 2 Belukar/Semak 1 1 1 3 3 Gedung 3 2 2 7 4 Hutan 1 1 1 3 5 Kebun/Perkebunan 2 1 2 5 6 Pemukiman 3 3 3 9 7 Rumput/Tanah kosong 1 1 1 3 8 Sawah Irigasi 3 1 3 7

9 Sawah Tadah Hujan 2 1 2 5

10 Tegalan/Ladang 1 1 1 3

Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 21 , tiga jenis penggunaan lahan yang diberikan total skor tertinggi adalah pemukiman, gedung, dan sawah irigasi masing-masing sebesar 9, 7, dan 7. Hal ini sangat beralasan mengingat dari ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia , dan manfaat. Ketiga jenis penggunaan lahan ini memiliki risiko kerugian materil dan non-materil yang paling tinggi apabila terjadi tanah longsor.

Berdasarkan kriteria fisik, nilai eko nomi yang dimiliki oleh pemukiman, gedung, dan sawah irigasi lebih besar dari tujuh jenis penggunaan lahan lainnya, sehingga diberikan skor 3 karena nilai propertinya tinggi. Adapun untuk kriteria manusia , ketiga jenis penggunaan lahan diberikan skor yang berbeda, yaitu skor 3 untuk pemukiman, skor 2 untuk gedung, dan skor 1 untuk sawah irigasi. Penentuan skor untuk kriteria manusia didasarkan pada frekuensi aktivitas manusia di ketiga jenis penggunaan lahan tersebut.

Selanjutnya untuk kriteria manfaat, seluruh jenis penggunaan lahan memiliki manfaat yang cukup penting kecuali untuk tiga jenis hutan, rumput/tanah kosong, dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan untuk pemukiman, gedung, dan sawah irigasi bersasarkan kriteria manfaat masing-masing diberikan 3, 2, dan 3. Penentuan skor untuk kriteria manfaat didasarkan aspek kegunaan atau utilitas dari masing-masing jenis penggunaan lahan.

Selanjutnya, berdasarkan uraian di atas, diperoleh peta properti yang dihasilkan dari penggabungan peta infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan . Peta properti dapat dilihat pada Gambar 18.

4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor

Penyusunan Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan didasarkan pada Peta Properti dan Peta Bahaya Tanah Longsor. Adapun Peta Properti merupakan penggabungan dari tiga peta, yaitu infrastruktur, jaringan jalan, dan peta penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan analisis keruangan terhadap keempat peta tersebut. Analisis ini dilakukan untuk menentukan wilayah-wilayah yang memiliki risiko tanah longsor melalui buffer (kecuali untuk peta bahaya dan penggunaan lahan). Setelah dilakukan buffer, keempat peta tersebut diubah ke dalam format raster atau grid .

Nilai risiko tanah longsor dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). Secara matematis, nilai risiko tanah longsor dihitung dengan persamaan berikut :

P H R= + dimana : R = risiko H = hazard (bahaya) P = properti

Perhitungan berdasarkan persamaan matematis di atas, menghasilkan nilai risiko untuk menentukan kelas risikonya. Matrik perhitungannya secara lengkap disajikan dalam Tabel 22 berikut.

Tabel 22. Matrik Penentuan Nilai Risiko Tanah Longsor

Nilai Properti Ting kat Potensi Bahaya

1 2 3 4

Kurang Rawan 1 2 3 4 5

Tidak Rawan 2 3 4 5 6

Rawan 3 4 5 6 7

Sangat Rawan 4 5 6 7 8

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh luasan wilayah risiko tanah longsor yang terdiri atas empat kelas, yaitu tidak berisiko, kurang berisiko , berisiko, dan sangat berisiko. Sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko tanah longsor dapat dilihat dalam Gambar 19. Adapun kelas risiko dan luasan tanah longsor yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 23.

6°56'00" 6°56'00" 6°54'00" 6°54'00" 6°52'00" 6°52'00" 6°50'00" 6°50'00" 6°48'00" 6°48'00" 107°52'00" 107°52'00" 107°54'00" 107°54'00" 107°56'00" 107°56'00" 107°58'00" 107°58'00" CISARUA KEC. SUMEDANG UTARA

GANEAS

CIMANGGUNG RANCAKALONG

KEC. SUMEDANG SELATAN

PAMULIHAN CIMALAKA KEBONJATI SUKAGALIH JATIHURIP PADASUKA GIRIMUKTI MEKARJAYA SIRNAMULYA KOTA KULON TALUN KOTA KALER MARGAMUKTI CIPAMEUNGPEUK MERUYA MEKAR BAGINDA REGOL WETAN JATIMULYA MULYASARI SITU CIHERANG PASANGGRAHAN GUNASARI SUKAJAYA CIPANCAR CITENGAH KAB. GARUT

Dokumen terkait